"Selamat datang di rumah sederhana kami, Tante. Halaman rumah sudah kaya taman mini ya, Tante. Semua berkat anak lelaki Tante itu. Setelah buket bunganya selalu ditolak, akhirnya dia bawakan tanaman dan bunga hidup setiap hari. Lumayanlah, rumah kami jadi indah dan penuh warna," ucap Nuri setelah mobil berhenti di tepi jalan depan rumahnya. "Wah, sejuk ya, Al, Nur," balas Laras sembari tersenyum tipis. "Iya, Tante. Alhamdulillah Alya selalu rajin menyiraminya tiap pagi dan sore," balas Nuri lagi sembari menaik turunkan kedua alis saat Alya menatapnya. Mendengar cerita Nuri, Azka tersenyum tipis. Dia kembali melirik Alya dari spionnya. "Turun dulu, Tante. Mampir ke rumah. Tenang saja, Mas. Kali ini nggak bakal diusir Alya, soalnya saya yang ajak. Bukan Mas Azka yang sengaja bertamu," ucap Nuri lagi. Dia sengaja menggoda Alya dan Azka yang sedari tadi tampak saling lirik dan salah tingkah. "Oke. Ayo turun, Ma," pinta Azka kemudian. Dia gegas membuka sabuk pengamannya lalu buru-buru
"Ya Allah, pusing." Nuri menggumam. Diamembuka kedua matanya perlahan. Kepalanya masih terasa pusing. Dia kembali mengerjapkan mata lalu mengingat-ingat apa yang sebelumnya terjadi. Mendadak tercekat saat ingat Alya nggak ada di sampingnya. Nuri beranjak dari ruang tamu sembari memanggil Alya. Sepi. Tak ada siapapun di rumah itu selain dirinya. Nuri benar-benar kalut saat ini. Dia khawatir dan takut terjadi sesuatu pada sahabatnya itu. Dengan tergesa, Nuri kembali ke ruang tamu. Tas kecil Alya tertinggal di sana. Isinya masih lengkap, tak ada yang berkurang satupun. Bahkan handphone Alya juga masih di sana. Tak hanya barang-barang milik Alya, tapi tasnya pun masih utuh. Nuri luruh di lantai. Dia kembali berpikir apa alasan dua lelaki itu mencelakainya dan Alya. Jelas bukan perampokan karena tak ada satu pun barang yang hilang. Nuri kembali beranjak dari ruang tamu sembari membawa tas Alya. Dia melangkah tergesa ke pintu belakang. Benar dugaannya jika dua lelaki bertopeng itu masuk
[Dia anak buah Mas Bemo, Bos. Mas Bemo masih di sel karena kasus shabu lima bulan lalu. Saya sama Erik sudah ketemu basecampnya, tapi nggak tahu apakah mereka di dalam atau keluar. Suasana di rumah itu cukup sepi dan temaram] Pesan dari Molen, salah satu anak buah Azka muncul di layar. Dia teman dekat Erik yang tak lain tangan kanannya. Erik dan Mollen dulu sama-sama preman di kawasan taman Arjuna. Mereka nyaris merampok Azka saat pulang dari cafe Bianglalanya. Namun, berkat sering latihan beladiri di Jogja, Azka berhasil membekuk dua laki-laki itu. Alih-alih memenjarakan keduanya, Azka justru memberikan tawaran yang lebih menguntungkan mereka. Dua lelaki itu dijadikan karyawan oleh Azka agar memiliki penghasilan bulanan dan tak merampok lagi. Erik menjadi asisten pribadinya sementara Molen menjadi satpam di cafe bianglala. Sejak saat itu, perangai keduanya mulai berubah membaik sampai akhirnya menjadi tangan kanan Azka. [Awasi rumah itu. Kalau ada hal-hal yang mencurigakan segera
"Sudah bangun, Sayang?" tanya laki-laki bernama Edward itu singkat dengan senyum tipisnya. Alya menatap tajam laki-laki bertubuh tinggi dan berkulit bersih itu. Dia berusaha menghindar saat tangan kekar laki-laki itu berusaha menyentuhnya. Hanya saja, dia tak bisa bergerak banyak karena tangan dan kakinya diikat, sementara mulutnya dilakban. Keringat dingin mulai menetes di keningnya. Alya benar-benar ketakutan melihat ada orang asing satu kamar dengannya. "Maaf harus mengikatmu seperti ini. Terpaksa karena aku nggak mau kamu pergi. Tunggu sampai pagi, setelah itu kita akan pergi," ucap laki-laki itu lagi. Alya kembali ketakutan. Dia tak ingin diajak pergi oleh laki-laki tak dikenalnya itu. Alya masih berusaha memberontak, tapi tangan kekar itu berhasil menyentuh kepalanya. "Jangan jual mahal, Sayang," lirih laki-laki itu sembari mengusap wajah cantik Alya. Hijab yang dipakainya sudah terlepas. Rambut hitam panjangnya pun berantakan karena tarikan kasar laki-laki itu. "Kamu lebi
Nuri memijit keningnya beberapa kali. Nyaris semalaman dia tak bisa tidur karena memikirkan sahabatnya, Alya. Setelah subuh, dia memilih ke dapur untuk membuat bubur dan teh hangat untuk sarapan. Perutnya terasa melilit karena lapar. Tak lupa membalas beberapa pesan yang masuk ke messengernya. Pesan dari Naufal yang menanyakan soal Alya karena semalam Nuri memang memberikan kabar pada laki-laki itu soal penculikan Alya. Nuri tahu jika saat ini Naufal tak ada hubungan dengan Alya lagi setelah perpisahan itu terjadi, hanya saja Nuri kehilangan akal dan dia tak tahu harus minta pertolongan siapa lagi selain mantan suami sahabatnya itu. Azka memang sudah gerak cepat, tapi sampai saat ini belum juga memberikan kabar untuknya. Nuri benar-benar tak tenang dan hanya menginginkan yang terbaik untuk Alya karena menurutnya semakin banyak yang mencari keberadaan Alya maka akan semakin cepat menemukannya. Lagi dan lagi Nuri hanya ingin Alya segera ditemukan dengan keadaan baik tanpa kekurangan s
Naufal pergi dengan ekspresi kesal. Raut wajahnya memerah karena emosi. Alya tak lagi peduli. Baginya, laki-laki itu hanya bagian dari masa lalu yang harus dia lupakan. Alya tak ingin mengingatnya lagi karena semakin diingat, rasa sakit itu justru semakin terasa. "Benar mau menikah denganku?" tanya Azka lirih setelah Naufal keluar rumah. Alya tercekat. Alya tak menyangka jika Azka masih sadar karena dia pikir laki-laki itu sudah pingsan. Wajahnya memerah seketika saat menoleh pada Azka yang membenarkan letak duduknya. Salah tingkah. Alya benar-benar kikuk dan tak tahu harus membalas apa. "Benar mau menikah denganku, hmmm?" ulang Azka dengan senyum tipis membuat Alya sedikit kesal. "Pura-pura pingsan?" tanya Alya kemudian. "Ngapain pura-pura. Aku hanya diam saja menahan sakit. Nggak menyangka diamku ada gunanya juga," sambung laki-laki itu."Dasar!" rutuk Alya pendek lalu bangkit dari lantai, sementara Azka mengikuti Alya dengan berdiri perlahan dan duduk kembali ke sofa. "Sudahl
"Telepon siapa sampai shock begitu?" Pertanyaan Naufal yang tiba-tiba membuat Erika semakin kaget. Dia tercekat lalu membalikkan badan. Keringat dingin mulai membasahi kening. Kali ini dia benar-benar ketakutan dengan gertakan Azka. Tak sekadar gertakan, Erika yakin ada sesuatu yang menimpa anak buahnya. Sejak semalam mereka memang nggak memberi kabar apapun pada Erika. Mereka takut kecerobohan Erika hanya akan membuat mereka tertangkap basah. Mereka, terutama Edward cukup tahu bagaimana sikap Erika yang sering gegabah dan tak bisa berpikir panjang saat melakukan sesuatu. "Siapa?" tanya Naufal lagi. Tanpa menunggu balasan Erika, Naufal menarik kasar benda pipih di tangan perempuan itu. Erika berusaha mempertahankan handphonenya, tapi Naufal berhasil mendapatkan bende mungil kesayangan Erika itu. Naufal menatap layar lalu mencari menu panggilan terakhir di handphone itu."Alya?!" ucap Naufal dengan mata membulat. Dia menoleh pada Erika yang kini mendadak diam. "Ngapain kamu telep
Erika meraung. Dia seperti kesurupan saat dua polisi itu membawanya pergi. Rengekan, permohonan dan linang air matanya seolah tak berarti. Dia memang pantas mendapatkan balasan setimpal atas semua yang pernah dilakukannya bukan? Melihat Erika histeris seperti itu, bukannya iba, Naufal justru semakin benci. Rasa bencinya semakin bertambah setelah dia tahu siapa yang diculik oleh istrinya itu. Benci, amarah dan muak seolah tercampur menjadi satu. Mamanya yang mendadak sakit pun semakin shock saat melihat menantu kesayangannya digelandang polisi bahkan mungkin akan segera dijebloskannya ke penjara. Sakit jantung yang sebelumnya hanya sandiwara, kini justru menjadi nyata. Allah telah mengabulkan ucapan wanita paruh baya itu. Bukankah ucapan bagian dari doa? Begitu pula Sumiwi yang sebelumnya berpura-pura sakit, kini dia benar-benar terbaring lemah dan tak berdaya di ranjang pasien karena sakit jantungnya. Wanita itu hanya membisu saat anggota keluarga dan kerabatnya menjenguk. Mungkin