"Gimana kabarnya, Ma?" tanya Azka saat menjemput mamanya pulang. Laras tersenyum tipis sembari membingkai wajah anak semata wayangnya. "Seperti yang kamu lihat, Ka. Mama sehat dan baik-baik saja. Mama lebih sehat dan cantik kan?" Anak dan ibu itu sama-sama tersenyum. "Akhirnya setelah sekian lama, mama bisa merasakan udara bebas juga. Kebebasan yang selalu mama tunggu sekian lama,," ujarnya dengan mata berkaca. Azka mengangguk lalu memeluk erat mamanya."Biar Azka bantu," ucap Azka lagi saat menuruni tangga menuju mobilnya. Kaki kanan Laras memang diamputasi karena kecelakaan beberapa tahun silam. Kini, dia harus memakai kruk, sesekali memakai kursi rodanya untuk beraktivitas. Kekurangan yang dimilikinya saat ini, tak membuat Laras patah semangat. Dia selalu berusaha mengikhlaskan karena sadar jika semua itu terjadi atas kesalahannya sendiri di masa lalu. Kini, Laras menjalani kehidupan yang berbeda. Tak seperti dulu yang selalu ambisius bahkan menghalalkan berbagai cara untuk men
Suasana di rumah juragan Rahmat cukup sepi. Hanya ada satpam dan asisten rumah tangga di rumah megah itu, sementara tuan rumah ternyata masih sibuk di rumah sakit. Seperti yang Azka bilang jika hari ini Kaira melahirkan anak keduanya. Anak perempuan yang begitu diidamkan orang tua dan nenek kakeknya. "Ya Allah Bu Laras. Alhamdulillah ya, Bu akhirnya bisa bertemu ibu lagi setelah sekian lama," ucap Bi Inem dengan mata berkaca saat melihat Azka dan Laras di teras rumah bosnya. "Alhamdulillah, Bi. Bibi sehat kan?" balas Laras sembari memeluk mantan asistennya itu. "Alhamdulillah sehat, Bu. Ibu sendiri bagaimana? Bibi lihat justru makin cantik dan bersinar wajahnya," balas Bi Inem saat mengurai pelukan. "Bibi bisa saja. Alhamdulillah saya sehat, Bi. Meski ya seperti ini keadaannya." Laras memperlihatkan kaki kanannya yang diamputasi. Merasa tak enak hati, Bi Inem pun mengusap lengan mantan majikannya itu perlahan. "Nggak apa-apa ya, Bu. Yang penting sehat dan panjang umur. Masa lalu
"Gimana keadaanmu, Kai?" tanya Azka singkat setelah sampai di samping ranjang Kaira bersama mamanya. "Alhamdulillah baik dan sehat, Mas," balas Kaira singkat sembari tersenyum tipis. Azka hanya mengangguk lalu mundur dan duduk di sofa tak jauh dari mamanya yang duduk di kursi roda. "Tante Laras apa kabar? Maaf selama hamil saya nggak bisa jenguk Tante. Hamil kedua ini rupanya cukup manja, Tante. Sering mual dan lemas. Dokter meminta saya untuk bedrest total. Maaf juga nggak bisa jemput Tante hari ini," ucap Kaira dengan senyum tipisnya. Laras yang dulu begitu membenci perempuan itu bahkan menolak keras hubungannya dengan Azka, kini telah berubah. Apalagi selama di dalam penjara, Kaira dan ibu mertuanya sering menjenguk Laras dan membawakan barang-barang yang dibutuhkannya. Sejak itu pula pandangan Laras tentang Kaira mulai ada perubahan. Dia tak lagi membenci perempuan itu melainkan sebaliknya. Ada rasa sayang yang tersemat di hatinya untuk Kaira bahkan berharap Azka mendapatkan i
"Nggak ada urusan lagi sama kamu ya, Mas," balas Alya singkat. Perempuan itu masih melayani pembeli terakhir lalu memberikan pesanannya. Setelah pelanggannya pulang, Alya duduk di sebuah kursi sembari menatap tiga lelaki yang masih berdiri di depan warungnya. Erik dan Azka tampak bercakap-cakap sebentar lalu Erik pergi meninggalkan bosnya sendirian. Alya masih terdiam di tempat, sesekali menatap Naufal yang masih menatapnya lekat. "Sekarang memang bukan urusanku lagi, Al. Cuma aku nggak menyangka jika kamu-- "Kamu apa? Kamu menuduhku selingkuh saat masih bersamamu? Jangan mengada-ada, Mas. Aku bukan perempuan murahan yang mengkhianati statusnya sebagai istri. Jangan samakan aku dengan kamu yang tega mengkhianati pernikahan kita," balas Alya dengan suara bergetar. Dia tak peduli lagi ada Azka di belakang Naufal. Tuduhan Naufal barusan membuatnya meradang. Alya tak tahan difitnah seperti itu oleh mantan suaminya sendiri. Dia tak menyangka jika Naufal curiga dengan kesetiaan dan ket
"Astaghfirullah, Mas! Apa-apaan sih kamu!" sentak Alya saat melihat Naufal memberikan bogem mentah di wajah Azka. Azka yang tak siap mendadak terhuyung ke belakang. Dia ingin membalas, tapi melihat Alya yang shock lalu menariknya cepat membuatnya mengurungkan niat. "Kamu lebih membela laki-laki asing itu daripada mantan suamimu sendiri, Al?!" sentak Naufal meradang. Wajahnya memerah karena cemburu dan menahan amarah yang mulai menjalar di dadanya. "Kenapa memangnya? Apa bedanya kamu sama dia? Sama-sama asing bukan? Setidaknya dia tak pernah menyakitiku seperti kamu, Mas!" balas Alya kemudian. Dia kini berada di tengah, menghalangi Naufal yang masih memburu Azka dengan kepalan tangannya. "Kamu baru kenal!" sentak Naufal lagi. "Kamu nggak tahu siapa dia kan? Memangnya kamu tahu rumahnya dimana, bagaimana pergaulannya, keluarganya dan-- "Cukup, Mas! Tahu atau nggak itu bukan urusanmu. Kamu nggak ada hak mencampuri hidupku lagi. Pergi dari sini," balas Alya cepat. Dia malas mendeng
Alya dan Azka duduk di teras rumah, sementara Bi Rusmini kembali ke warung untuk melayani pembeli. Sesekali Azka melirik Alya yang masih bergeming. Entah apa yang dipikirkannya detik ini. Hanya saja, dia tak angkat bicara sejak beberapa menit lalu. Seolah membiarkan Azka tak nyaman sampai akhirnya pamit pulang. "Maaf," ujar Alya singkat. Dia tetap menunduk. Tanpa menoleh ke arah Azka yang kini menatapnya. "Maaf buat apa?" tanya Azka dengan senyum tipisnya. "Maaf sudah melibatkan kamu ke dalam masalahku. Maaf juga sudah merepotkanmu," balas Alya. Kini dia menoleh dan sempat bersitatap dengan Azka beberapa saat. "Aku nggak merasa direpotkan dan senang jika kamu melibatkanku dalam masalahmu," balasnya santai membuat Alya tersedak seketika. Azka buru-buru mengambil air mineral di meja dan membuka tutupnya untuk Alya. Perempuan itu pun menerimanya lalu meneguknya sebagian. "Rayuanmu seperti anak ABG. Nggak mempan buat janda sepertiku," balas Alya sembari menutup botol air mineralnya.
[Lagi ngapain, Al?] [Hari ini di rumah?] [Boleh berkunjung ke rumah nggak?] Tiga pesan Azka masuk ke aplikasi hijau Alya. Tiada hari tanpa pesan dari laki-laki itu. Sebenarnya Alya risih, tapi dia merasa berhutang budi pada Azka karena sudah membantunya menghentikan teror dari mantan suaminya. Setidaknya sudah tiga mingguan ini dia tak lagi datang ke rumah. Itu membuat Alya benar-benar lega.[Sore aku ke rumah ya? Boleh kan?] Pesan terbaru muncul kembali. Alya menghela napas panjang lalu membalas pesannya. Kalau tidak, Azka pasti akan terus mengirimkan pesan sampai akhirnya Alya lelah dan memberikan balasan. [Aku sama Nuri pergi. Kalau kamu mau datang, silakan saja. Nanti ngobrol sama teras rumah]Alya tersenyum tipis saat membaca kembali pesan yang dia kirimkan. Dia membayangkan wajah masam Azka saat membaca balasannya. [Hemm ... Masih ingat kita ngobrol di teras rumah ya? Saat kamu bersihin mukaku pakai air dingin? Terngiang-ngiang sampai sekarang, Al?] Balasan dari Azka mema
"Kamu nggak apa-apa Alya?" tanya Laras sembari mengusap lengan Alya. Perempuan itu menggeleng pelan. "Kalian ini kenapa? Kalau ada masalah diselesaikan baik-baik tanpa kekerasan. Malu dilihat banyak orang. Sudah dewasa, tapi kelakuan seperti anak-anak," ucap Laras sembari menatap Erika dan Naufal bergantian. Dia juga melirik sinis Ratna yang tadi sempat menarik lengan Nuri sampai terbentur tembok."Tante nggak usah ikut campur. Ini urusan kami, bukan urusan Tante. Jadi, kami punya pilihan sendiri untuk menyelesaikannya dengan cara bagaimana," ujar Ratna kemudian. "Ratna! Diam kamu!" sentak Naufal lalu menarik lengan adik perempuannya itu. "Kita pulang sekarang," pinta Naufal pada Ratna dan Erika, tapi kedua perempuan itu tak menggubris. Mereka tak mengikuti Naufal yang sudah meninggalkannya beberapa langkah. "Ingat, Al-- Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Azka sudah memotong ucapan Erika. "Nggak perlu mengancam. Kalau kamu terus mengintimidasi Alya, aku yang akan turun tanga