Alya dan Nuri melangkah tergesa ke rumah mereka. Keduanya masih saling diam saat melihat dua lelaki berdiri di depan teras rumah. Alya tak mengenali sosok itu. Begitu pula dengan Nuri. Namun, melihat dari gerak-gerik mereka cukup membuat dua sahabat itu curiga. "Jangan-jangan mereka yang menghancurkan warungku?" lirih Alya seperti bergumam pada diri sendiri. Nuri yang tak sengaja mendengarnya pun mengiyakan. Dia setuju dengan dugaan Alya. Oleh karena itulah saat ini dia ikut waspada jika terjadi sesuatu saat berhadapan dengan dua lelaki itu. "Ayo samperin, Al," ajak Nuri sembari menarik pelan lengan sahabatnya. Alya mengangguk lalu buru-buru mendekati dua lelaki yang masih duduk di teras rumah Nuri. "Maaf, Pak. Ada perlu apa datang ke rumah saya?" tanya Nuri sopan sembari sedikit membungkukkan badan. Dua lelaki itu menoleh lalu menatap Nuri dan Alya bergantian. "Alya?" tanya salah seorang tamu sembari menunjuk Nuri. Perempuan itu menggeleng lalu Alya tunjuk jari. "Saya Alya. Ad
Sumiwi dan Rani meradang. Mereka begitu geram melihat keangkuhan Alya dan ketidaksopanannya. Rani bahkan nyaris melempar botol air mineral ke arah Alya jika tak ditepis kasar oleh salah seorang tetangga. "Jangan kasar, Mbak!" sentak ibu itu sembari menepis tangan kanan Rani. Perempuan itu meringis kesakitan. "Silakan pergi dan jangan pernah membuat onar di sini kalau nggak mau kulaporkan ke polisi!" sentak Nuri ikut andil bicara. Beberapa tetangga mengangguk bersamaan. Kedua tamu tak diundang itu semakin meradang. Mereka mencak-mencak tak karuan. Saat berjalan tiga langkah menjauhi tenda, panggilan Alya membuat langkah keduanya terhenti. Dua perempuan itu sama-sama membalikkan badan dan menatap lekat Alya. "Jangan-jangan kalian dalang semua ini," ucap Alya sembari menunjuk beberapa barang yang hancur di sudut halaman."Apa maksudmu? Dalang apa?!" sentak Rani kemudian."Jangan asal tuduh kalau nggak ada bukti!" sambung Sumiwi dengan sinisnya."Kalau sampai aku menemukan bukti jika
"Kenapa Erika murung begitu, Fal? Kamu apain dia?!" sentak Sumiwi, mertua Erika. "Mama bersekongkol sama dia kan?" tuduh Naufal begitu geram. Laki-laki itu menatap mama dan Erika bergantian. Saat perjalanan pulang tadi, Naufal sudah mencecar Erika soal kehamilannya. Dia yakin betul jika tespek yang ditunjukkannya waktu itu palsu. Entah milik siapa tespek itu, yang jelas Naufal yakin kalau sebenarnya Erika tak berbadan dua. Gerak-gerik, kegugupan bahkan ketakutan Erika saat dipaksa turun ke klinik membuat Naual semakin yakin kalau dia memang sudah merencanakan itu semua. Naufal yakin alasan terkuat Erika melakukan kebohongan itu agar dia memilih Erika yang sedang hamil daripada Alya. Ternyata, prediksi Erika benar adanya. Sekalipun Naufal masih mencintai Alya, tapi dia tak bisa meninggalkan Erika begitu saja di tengah kehamilannya. Kehamilan yang saat ini Naufal tahu hanya sebuah sandiwara belaka. Erika memang terlalu cerdik dan licik. Dia bisa merencanakan sesuatu yang mungkin ta
[Nur, ternyata biang kerok hancurnya warungku memang mama mertuaku sama perempuan itu. Entah apa yang mereka inginkan. Bisa-bisanya melakukan hal konyol seperti itu. Aku tahu semuanya karena ada yang kirim foto-foto pelaku sama mereka saat makan siang. Masalahnya, aku juga nggak tahu siapa yang mengirimkan bukti-bukti ini. Aneh nggak sih, Nur? Kok jadi semakin takut ya?] Alya mengirimkan pesan panjang itu pada sahabatnya. Sembari menikmati secangkir kopi dan kue bolu, Alya ingin menghabiskan hari minggu ini untuk bermalas-malasan di rumah. Setelah enam hari berjibaku dengan peralatan dapur, Alya memang menyisakan satu hari untuk istirahat. Sesekali makan di luar, shopping atau sekadar jalan-jalan cari angin. Meski sendirian, Alya cukup menikmati hari-harinya. [Dugaanku benar kan, Al? Pasti mereka, siapa lagi? Benar-benar kurang ajar ya mereka itu. Sesekali kamu harus tegas, Al. Kasih mereka pelajaran biar jera dan nggak seenaknya. Mau sampai kapan merecoki hidupmu coba? Aku kok ikut
"Kamu?!" Alya mengernyit. Dia masih tak habis pikir kenapa laki-laki yang ditemuinya pertama kali saya reuni SMA itu muncul di depan rumah kontrakannya. "Iya. Kenapa?" balas Akza dengan senyum tipisnya. Alya mendengkus kesal melihat Azka yang seolah tak punya masalah apapun dengannya. Padahal pertemuan terakhir mereka tak baik-baik saja karena Alya begitu kesal saat Azka menyimpan video marah-marahnya. "Ngapain kamu ke sini? Ada perlu apa?" tanya Alya tanpa basa-basi. Dia nggak mau bertele-tele karena takut ada fitnah di antara mereka. "Nggak disuruh masuk dulu?" tanya laki-laki itu lagi. Dia masih di luar teras. Azka cukup tahu diri tak mungkin menyelonong masuk tanpa izin penghuni rumah."Silakan duduk dan sampaikan alasan kamu ke sini dengan singkat, padat dan jelas," balas Alya sembari menunjuk kursi di sebelahnya. Ada meja bulat kecil yang terbuat dari rotan sebagai pemisah kursi satu dengan lainnya. Mendengar balasan Alya, Azka kembali terkekeh. Dia sedikit geli mendengar k
"Gimana kabarnya, Ma?" tanya Azka saat menjemput mamanya pulang. Laras tersenyum tipis sembari membingkai wajah anak semata wayangnya. "Seperti yang kamu lihat, Ka. Mama sehat dan baik-baik saja. Mama lebih sehat dan cantik kan?" Anak dan ibu itu sama-sama tersenyum. "Akhirnya setelah sekian lama, mama bisa merasakan udara bebas juga. Kebebasan yang selalu mama tunggu sekian lama,," ujarnya dengan mata berkaca. Azka mengangguk lalu memeluk erat mamanya."Biar Azka bantu," ucap Azka lagi saat menuruni tangga menuju mobilnya. Kaki kanan Laras memang diamputasi karena kecelakaan beberapa tahun silam. Kini, dia harus memakai kruk, sesekali memakai kursi rodanya untuk beraktivitas. Kekurangan yang dimilikinya saat ini, tak membuat Laras patah semangat. Dia selalu berusaha mengikhlaskan karena sadar jika semua itu terjadi atas kesalahannya sendiri di masa lalu. Kini, Laras menjalani kehidupan yang berbeda. Tak seperti dulu yang selalu ambisius bahkan menghalalkan berbagai cara untuk men
Suasana di rumah juragan Rahmat cukup sepi. Hanya ada satpam dan asisten rumah tangga di rumah megah itu, sementara tuan rumah ternyata masih sibuk di rumah sakit. Seperti yang Azka bilang jika hari ini Kaira melahirkan anak keduanya. Anak perempuan yang begitu diidamkan orang tua dan nenek kakeknya. "Ya Allah Bu Laras. Alhamdulillah ya, Bu akhirnya bisa bertemu ibu lagi setelah sekian lama," ucap Bi Inem dengan mata berkaca saat melihat Azka dan Laras di teras rumah bosnya. "Alhamdulillah, Bi. Bibi sehat kan?" balas Laras sembari memeluk mantan asistennya itu. "Alhamdulillah sehat, Bu. Ibu sendiri bagaimana? Bibi lihat justru makin cantik dan bersinar wajahnya," balas Bi Inem saat mengurai pelukan. "Bibi bisa saja. Alhamdulillah saya sehat, Bi. Meski ya seperti ini keadaannya." Laras memperlihatkan kaki kanannya yang diamputasi. Merasa tak enak hati, Bi Inem pun mengusap lengan mantan majikannya itu perlahan. "Nggak apa-apa ya, Bu. Yang penting sehat dan panjang umur. Masa lalu
"Gimana keadaanmu, Kai?" tanya Azka singkat setelah sampai di samping ranjang Kaira bersama mamanya. "Alhamdulillah baik dan sehat, Mas," balas Kaira singkat sembari tersenyum tipis. Azka hanya mengangguk lalu mundur dan duduk di sofa tak jauh dari mamanya yang duduk di kursi roda. "Tante Laras apa kabar? Maaf selama hamil saya nggak bisa jenguk Tante. Hamil kedua ini rupanya cukup manja, Tante. Sering mual dan lemas. Dokter meminta saya untuk bedrest total. Maaf juga nggak bisa jemput Tante hari ini," ucap Kaira dengan senyum tipisnya. Laras yang dulu begitu membenci perempuan itu bahkan menolak keras hubungannya dengan Azka, kini telah berubah. Apalagi selama di dalam penjara, Kaira dan ibu mertuanya sering menjenguk Laras dan membawakan barang-barang yang dibutuhkannya. Sejak itu pula pandangan Laras tentang Kaira mulai ada perubahan. Dia tak lagi membenci perempuan itu melainkan sebaliknya. Ada rasa sayang yang tersemat di hatinya untuk Kaira bahkan berharap Azka mendapatkan i