Alya. Dia istri shalihahku. Selalu berusaha menjalankan apa yang kukatakan, jarang sekali membantah jika memang perintahku masih dalam batas kewajaran. Tak hanya padaku, pada mama dan saudaraku yang lain pun dia patuh. Alya adalah perempuan idaman yang kuyakin banyak diincar para lelaki. Dia cantik dan lembut. Meski penampilannya sederhana, tapi hatinya begitu istimewa. Bukan salahnya tak bisa merawat wajah hingga terkesan kusam dan berjerawat. Hanya saja, aku yang tak memberinya dana lebih untuk membeli skincare. Gajiku memang cukup banyak sebagai manager keuangan, tapi kebutuhan harian pun tak kalah banyak. Mama selalu meminta jatah lebih tiap bulan, meski uang dapur sudah diurus oleh Alya. Gajiku sebelas juta perbulan. Dua juta rupiah kuberikan pada mama tiap bulannya, sama persis dengan jatah Alya. Hanya saja, uang mama fokus untuk kebutuhannya sendiri sementara uang yang kuberikan pada Alya untuk kebutuhan keluarga, mulai dari perdapuran, listrik, WiFi, air, dan iuran lain. Ua
Malam tiba. Aku sengaja pura-pura memejamkan mata dan terlelap lebih dulu sebelum Mas Naufal masuk kamar. Di ruang keluarga masih terdengar suara mama dan Erika juga Mas Naufal yang bercengkerama membahas masa lalu mereka. Merasa tak dibutuhkan dan selalu diabaikan, bukankah lebih baik aku di dalam kamar saja? Pura-pura terlelap lebih dulu jauh lebih baik dibandingkan harus ikut duduk di tengah mereka, tapi tak pernah dianggap ada. Hanya sebagai manekin yang membisu, mendengarkan apapun yang mereka bicarakan. Jam sebelas lewat, belum terdengar langkah kaki Mas Naufal menuju kamar. Biasanya dia tak suka begadang. Dia selalu tidur teratur apalagi jika bukan weekend atau hari libur yang lain. Nyaris tak pernah melewati jam sebelas malam, kecuali benar-benar ada masalah atau kegiatan penting. Namun, kali ini dia betah mengobrol di luar. Detik ini aku mulai merasa tak ingin pura-pura tidur, tapi benar-benar ingin bisa tidur. Denting jarum jam di dinding seolah mengejekku yang tidur send
"Al, kok belum ada sarapan?" Suara mama mulai terdengar saat aku baru selesai mencuci pakaian Mas Naufal. Walau bagaimanapun Mas Naufal masih sah suamiku dan aku wajib menjalankan tugasku sebagai istri dengan baik. Biar kelak dia mengingat semua baktiku dan menyesal sudah menduakanku seperti ini. Cukup pakaianku dan Mas Naufal saja yang kucuci. Pakaian mereka, biar saja dicuci sendiri. Nggak ada lagi menantu rasa pembantu. Hari ini aku akan cari kontrakan dan akan mengubah duniaku sendiri. "Aku habis nyuci, Ma. Capek. Lagipula kemarin aku sudah bilang nggak akan dipusingkan dengan urusan beberes rumah dan perdapuran lagi. Apa mama lupa? Lagipula di rumah ini banyak kepala, kenapa nggak minta mereka untuk saling membantu mengerjakan semuanya?" balasku sekenanya. Kedua mata mama membulat lebar. Tentu shock karena tak biasanya aku seperti ini. Aku terbiasa patuh dan tunduk pada apapun yang mereka perintahkan, tapi itu dulu sebab mulai detik ini akan jelas berbeda. Siap-siap saja shock
Tiga hari waktu yang kuberikan untuk Mas Naufal berpikir. Dia harus memutuskan untuk tetap tinggal di rumah mama bersama perempuan itu atau lebih memilih tinggal di kontrakan demi mempertahankan rumah tangganya denganku. Aku sengaja ingin melihat apakah saat ini dia bisa memutuskan sendiri atau tetap bergantung pada keputusan mamanya. Jika dia tak juga berubah, aku yang akan berubah dan mengambil sikap. Semua berkas untuk gugatan sudah kusimpan rapi tanpa dia ketahui. Mungkin Mas Naufal masih menganggapku istri yang polos, baik dan super sabar sekalipun terus disakiti. Namun, dia salah besar. Aku tak sesabar istri-istri Baginda Rasul yang rela dipoligami, pun dia tak bisa seperti Rasul yang bisa adil dalam berbagai hati. Jadi, agar tetap waras bukankah lebih baik mundur daripada selalu makan hati ketika bersamanya? "Tiga hari ini aku masih memberimu kesempatan untuk berpikir, Mas. Namun, seperti yang kukatakan kemarin jika aku hanya ingin mengurusmu saja sebagai baktiku padamu. Yan
"Dengar kamu, Al. Kamu nggak akan pernah mendapatkan Naufal seutuhnya selagi mama masih hidup!" Ancaman mama kembali terdengar untuk kedua kalinya. Aku mencoba tetap tenang lalu balik menatap mama."Kalau begitu kenapa nggak minta anak lelaki mama buat talak aku saja? Lagipula percuma punya suami yang masih berdiri di bawah ketiak mamanya. Aku bisa hidup mandiri dan bahagia tanpanya kok, Ma. Tenang saja." Aku kembali menantang mama setelah kemarin menantang anak lelakinya.Kupikir mama akan senang dengan permintaan talakku. Namun, di luar dugaan. Dia cukup shock dengan ancamanku barusan. Aneh. Bukannya tantanganku seharusnya diterima dengan senang hati, tapi kenapa mama sekaget itu? Oh, apa dia pikir aku akan menangis dan memohon-mohon agar tak diceraikan Mas Naufal? Atau dia sengaja membiarkanku di rumah ini agar bisa dijadikan pembantu gratisan seperti biasanya? Oh, tidak! Aku nggak selugu dulu. "Belagu banget kamu, Al! Apa karena sudah punya sugar daddy jadi kamu menantang Mas Na
"Alya!" Teriakan dan lambaian tangan Nuri membuatku tersenyum lebar. Aku memang sengaja menjemputnya di stasiun. Sudah lama tak bertemu dengannya membuatku pangling. Nuri terlihat lebih dewasa dibandingkan beberapa bulan lalu. Dia juga lebih cantik dan modis sekarang. "Al, sepertinya kamu banyak masalah ya?" tanyanya setelah mengurai pelukan. Kedua tangannya memegang lenganku lalu mengamati wajahku yang mungkin terlihat kusam dibandingkan saat terlahir bertemu dengannya. Tubuhku pun lebih kurus karena turun lima kilo. Bukan karena diet, melainkan kecapekan mengurus dan membersihkan rumah. Lelah yang dibalas dengan cibiran dan dipandang sebelah mata. Menyakitkan"Nanti sore kita ke salon bareng ya? Sudah lama nggak jalan berdua. Tumben kamu boleh keluar, biasanya selalu dikurung di kamar seperti calon pengantin." Aku tersenyum tipis. Mungkin terlihat hambar di mata Nuri. "Biasalah, Nur. Mas Naufal mengantar kakak, adik dan istri barunya jalan-jalan ke mall." "Lah, kamu nggak diaja
[Jangan lupa besok aku jemput jam sembilan ya, Al. Acara reuni dimulai jam sepuluh. Kamu mau ikut grup alumni di WA? Kalau mau, aku minta Abar buat masukin kamu ke grup] Pesan dari Nuri baru kubaca setelah sampai di depan rumah. [Nggak usah masuk grup, Al. Aku tunggu info dari kamu aja deh kalau ada apa-apa. Oke, besok jemput jam sembilan ya. Aku mau cuci gamisnya dulu biar besok bisa dipakai] Kububuhkan emoticon tawa di akhir kalimat. Nuri pun membalas hal yang sama. Kuhela napas panjang lalu masuk ke rumah penuh luka itu sembari membawa paper bag di kedua tangan. Satu berisi gamis, satu berisi sandal dan satunya berisi skincare. Semua Nuri yang traktir. Dia habis banyak mentraktirku hari ini. Mungkin dia hanya ingin mengurangi pedihku, makanya dia tak ambil pusing jika mengeluarkan banyak uang untuk membuatku lebih bahagia. Nuri memang sebaik dan semanis itu. "Darimana kamu? Oh, jadi sengaja nggak ikut ke mall karena kamu mau keluar rumah sendiri? Ketemu laki-laki itu?" Tanpa m
"Kamu hebat, Al." Nuri menepuk pundakku pelan dengan tersenyum lebar saat aku naik ke taksi pesanannya. Tak peduli tatapan Mas Naufal dan keluarganya, aku tetap mengikuti kata hatiku sendiri. Kupikir Mas Naufal akan mengejar, tapi nyatanya dia hanya bergeming semba moo KK kkri menatapku dari tempatnya berdiri. Sedih sih. Aku merasa benar-benar tak dihargai dan dicintai, tapi aku cukup lega dengan kondisi seperti ini. Setidaknya aku bisa membuktikan pada mereka soal harga diri dan keberanianku untuk mandiri. Kini kusadar jika cinta dan pengorbanan yang kulakukan selama ini ternyata tak berdampak apapun untuk mereka. Mas Naufal dan keluarganya tetap saja tak pernah menganggapku ada. "Jangan menangis. Ada aku yang selalu mendukungmu. Kamu berhak bahagia dan terlepas dari belenggu yang selama ini menyakiti hatimu, Al." Kutatap Alya dengan mata berkaca. Tangisku pecah di pundaknya saat kami berpelukan. Sekuat-kuatnya aku, tetap saja ada luka yang tersemat dalam dada melihat sikap Mas N
Kebaya berwarna putih gading dengan hiasan swarovski membuat penampilan Alya terlihat cantik dan elegan. Dilengkapi dengan polesan make up flawless dan senyum tipisnya, membuatnya semakin mempesona. Beberapa kali Azka menatapnya kagum lalu tersenyum saat tak sengaja bersirobok dengannya. Tak ingin semakin salah tingkah, Azka pamit untuk menemui tamu setelah selesai dimake up.Keluarga besar Azka dari Jogja datang semua ke Jakarta untuk menghadiri hari spesialnya. Mulai dari keluarga papa angkatnya, kakak tirinya dan keluarga ayah kandungnya pun ikut datang. Kebahagian Azka semakin bertambah saat melihat keluarga besarnya akur dan kumpul hari ini.Melihat keluarga besar Azka, Alya pun merasa bersyukur. Dia yang selama ini tak memiliki keluarga akhirnya mendapatkan keluarga baru yang begitu hangat dan menyambutnya dengan tangan terbuka. Berulang kali Alya mengucapkan Hamdallah atas semua karunia-Nya. Dia yang selama ini mendapatkan banyak ujian, akhirnya kini mendapatkan kenikmatan berl
"Alya, maukah kamu menikah denganku?" Pertanyaan Azka saat makan malam itu masih teringat jelas di benak Alya. Sesekali dia tersenyum saat membayangkan kembali momen mendebarkan itu. Dengan sedikit jongkok, Azka membuka kotak cincin itu lalu mengangsurkannya ke arah Alya yang berdiri di depannya. Laras tersenyum tipis melihat keromantisan yang sudah direncanakan anak lelakinya untuk menyambut Alya. Ruangan tak terlalu lebar yang dihiasi beberapa bunga mawar putih dan balon berbentuk hati itu semakin membuat nuansa romantis di dalamnya. Lilin-lilin kecil di tepi dinding seolah menjadi sakti ungkapan cinta lelaki tampan itu. "Aku akan berusaha membuatmu bahagia. Akan kuletakkan bahagiamu di atas bahagiaku, Alya. Percayalah, karena bahagiamu adalah bahagiaku jua." Azka tersenyum tipis menatap Alya yang masih mematung. Dia terharu dengan semua perjuangan Azka selama ini. Berkali-kali ditolak dan diabaikan, berkali-kali pula dia bangkit dan membuktikan cinta tulusnya. Alya yang sebelum
Kasus Erika mulai masuk ke meja hijau. Alya didampingi Nuri, Laras dan Azka beserta pengacaranya sudah duduk di kursi yang disediakan. Para pelaku pun mengikuti sidang ini dan duduk tak jauh dari tempat Alya berada. Alya tampak begitu cemas setelah memberikan penjelasan tentang kejadian itu. Namun, dia berusaha untuk tetap tenang saat Laras dan Nuri kembali meyakinkannya jika semua akan baik-baik saja. Tak banyak kata, Azka berusaha meyakinkan Alya dengan caranya. Senyum tipis dan tatapan lekatnya membuat Alya sedikit lebih tenang. Dia merasa banyak orang yang begitu menyayangi dan mendukungnya saat ini. Pengacara yang disewa Azka pun bukan pengacara sembarangan. Dia cukup kompeten di bidangnya bahkan termasuk pengacara terkenal yang berhasil memenangkan beragam kasus rumit. Azka ingin melakukan yang terbaik untuk Alya karena dia tahu orang tua Erika pasti juga akan melakukan beragam cara untuk membantu anak semata wayangnya. Sidang berjalan cukup sengit karena orang tua Erika dan
Erika meraung. Dia seperti kesurupan saat dua polisi itu membawanya pergi. Rengekan, permohonan dan linang air matanya seolah tak berarti. Dia memang pantas mendapatkan balasan setimpal atas semua yang pernah dilakukannya bukan? Melihat Erika histeris seperti itu, bukannya iba, Naufal justru semakin benci. Rasa bencinya semakin bertambah setelah dia tahu siapa yang diculik oleh istrinya itu. Benci, amarah dan muak seolah tercampur menjadi satu. Mamanya yang mendadak sakit pun semakin shock saat melihat menantu kesayangannya digelandang polisi bahkan mungkin akan segera dijebloskannya ke penjara. Sakit jantung yang sebelumnya hanya sandiwara, kini justru menjadi nyata. Allah telah mengabulkan ucapan wanita paruh baya itu. Bukankah ucapan bagian dari doa? Begitu pula Sumiwi yang sebelumnya berpura-pura sakit, kini dia benar-benar terbaring lemah dan tak berdaya di ranjang pasien karena sakit jantungnya. Wanita itu hanya membisu saat anggota keluarga dan kerabatnya menjenguk. Mungkin
"Telepon siapa sampai shock begitu?" Pertanyaan Naufal yang tiba-tiba membuat Erika semakin kaget. Dia tercekat lalu membalikkan badan. Keringat dingin mulai membasahi kening. Kali ini dia benar-benar ketakutan dengan gertakan Azka. Tak sekadar gertakan, Erika yakin ada sesuatu yang menimpa anak buahnya. Sejak semalam mereka memang nggak memberi kabar apapun pada Erika. Mereka takut kecerobohan Erika hanya akan membuat mereka tertangkap basah. Mereka, terutama Edward cukup tahu bagaimana sikap Erika yang sering gegabah dan tak bisa berpikir panjang saat melakukan sesuatu. "Siapa?" tanya Naufal lagi. Tanpa menunggu balasan Erika, Naufal menarik kasar benda pipih di tangan perempuan itu. Erika berusaha mempertahankan handphonenya, tapi Naufal berhasil mendapatkan bende mungil kesayangan Erika itu. Naufal menatap layar lalu mencari menu panggilan terakhir di handphone itu."Alya?!" ucap Naufal dengan mata membulat. Dia menoleh pada Erika yang kini mendadak diam. "Ngapain kamu telep
Naufal pergi dengan ekspresi kesal. Raut wajahnya memerah karena emosi. Alya tak lagi peduli. Baginya, laki-laki itu hanya bagian dari masa lalu yang harus dia lupakan. Alya tak ingin mengingatnya lagi karena semakin diingat, rasa sakit itu justru semakin terasa. "Benar mau menikah denganku?" tanya Azka lirih setelah Naufal keluar rumah. Alya tercekat. Alya tak menyangka jika Azka masih sadar karena dia pikir laki-laki itu sudah pingsan. Wajahnya memerah seketika saat menoleh pada Azka yang membenarkan letak duduknya. Salah tingkah. Alya benar-benar kikuk dan tak tahu harus membalas apa. "Benar mau menikah denganku, hmmm?" ulang Azka dengan senyum tipis membuat Alya sedikit kesal. "Pura-pura pingsan?" tanya Alya kemudian. "Ngapain pura-pura. Aku hanya diam saja menahan sakit. Nggak menyangka diamku ada gunanya juga," sambung laki-laki itu."Dasar!" rutuk Alya pendek lalu bangkit dari lantai, sementara Azka mengikuti Alya dengan berdiri perlahan dan duduk kembali ke sofa. "Sudahl
Nuri memijit keningnya beberapa kali. Nyaris semalaman dia tak bisa tidur karena memikirkan sahabatnya, Alya. Setelah subuh, dia memilih ke dapur untuk membuat bubur dan teh hangat untuk sarapan. Perutnya terasa melilit karena lapar. Tak lupa membalas beberapa pesan yang masuk ke messengernya. Pesan dari Naufal yang menanyakan soal Alya karena semalam Nuri memang memberikan kabar pada laki-laki itu soal penculikan Alya. Nuri tahu jika saat ini Naufal tak ada hubungan dengan Alya lagi setelah perpisahan itu terjadi, hanya saja Nuri kehilangan akal dan dia tak tahu harus minta pertolongan siapa lagi selain mantan suami sahabatnya itu. Azka memang sudah gerak cepat, tapi sampai saat ini belum juga memberikan kabar untuknya. Nuri benar-benar tak tenang dan hanya menginginkan yang terbaik untuk Alya karena menurutnya semakin banyak yang mencari keberadaan Alya maka akan semakin cepat menemukannya. Lagi dan lagi Nuri hanya ingin Alya segera ditemukan dengan keadaan baik tanpa kekurangan s
"Sudah bangun, Sayang?" tanya laki-laki bernama Edward itu singkat dengan senyum tipisnya. Alya menatap tajam laki-laki bertubuh tinggi dan berkulit bersih itu. Dia berusaha menghindar saat tangan kekar laki-laki itu berusaha menyentuhnya. Hanya saja, dia tak bisa bergerak banyak karena tangan dan kakinya diikat, sementara mulutnya dilakban. Keringat dingin mulai menetes di keningnya. Alya benar-benar ketakutan melihat ada orang asing satu kamar dengannya. "Maaf harus mengikatmu seperti ini. Terpaksa karena aku nggak mau kamu pergi. Tunggu sampai pagi, setelah itu kita akan pergi," ucap laki-laki itu lagi. Alya kembali ketakutan. Dia tak ingin diajak pergi oleh laki-laki tak dikenalnya itu. Alya masih berusaha memberontak, tapi tangan kekar itu berhasil menyentuh kepalanya. "Jangan jual mahal, Sayang," lirih laki-laki itu sembari mengusap wajah cantik Alya. Hijab yang dipakainya sudah terlepas. Rambut hitam panjangnya pun berantakan karena tarikan kasar laki-laki itu. "Kamu lebi
[Dia anak buah Mas Bemo, Bos. Mas Bemo masih di sel karena kasus shabu lima bulan lalu. Saya sama Erik sudah ketemu basecampnya, tapi nggak tahu apakah mereka di dalam atau keluar. Suasana di rumah itu cukup sepi dan temaram] Pesan dari Molen, salah satu anak buah Azka muncul di layar. Dia teman dekat Erik yang tak lain tangan kanannya. Erik dan Mollen dulu sama-sama preman di kawasan taman Arjuna. Mereka nyaris merampok Azka saat pulang dari cafe Bianglalanya. Namun, berkat sering latihan beladiri di Jogja, Azka berhasil membekuk dua laki-laki itu. Alih-alih memenjarakan keduanya, Azka justru memberikan tawaran yang lebih menguntungkan mereka. Dua lelaki itu dijadikan karyawan oleh Azka agar memiliki penghasilan bulanan dan tak merampok lagi. Erik menjadi asisten pribadinya sementara Molen menjadi satpam di cafe bianglala. Sejak saat itu, perangai keduanya mulai berubah membaik sampai akhirnya menjadi tangan kanan Azka. [Awasi rumah itu. Kalau ada hal-hal yang mencurigakan segera