Hari berikutnya. Rania keluar kamar dengan menghela napas panjang. Hari libur sekolahnya hanya dihabiskan dengan keluar masuk kamar saja.
"Ini, uang belanja hari ini!" tegas Vera, wanita empat puluh tahun, yang berkuasa di rumah ini. "Kamu beli daging, telor sama sayuran di pasar! Uang ini harus cukup membeli semua keperluan dapur. Jangan sampai tidak! Mengerti kamu!" tambah Vera menjatuhkan perintah disertai tatapan serius. Rania menganga saat Vera menyodorkan uang lembaran pecahan lima puluh ribu dan segudang keinginan yang harus diwujudkannya. "Kali ini kamu jangan main-main lagi! Sampai kamu mempermainkan Ibu lagi, maka Ibu akan memotong uang jajan sekolah kamu!" ancam Vera. Kali ini, dia lebih ngotot dari sebelumnya. Semata-mata untuk bisa mengatur Rania agar mau menuruti kemauannya. Rania menggenggam uang lima puluh ribu itu. Lagi-lagi, dia harus dihadapkan dengan situasi yang sama seperti kemarin. Kenapa harus serumit ini nasibnya? Kehidupan yang harus dijalani seperti di novel-novel saja. Tinggal bersama Ibu Tiri kejam, yang menikah dengan Ayah hanya demi hartanya saja. "Rania! Apa kamu mendengar perkataan Ibu?" Vera meninggikan suaranya, hal tersebut membuat Rania tersadar dari lamunannya. "Iya, baiklah, Nenek Sihir yang kejam," jawab Rania dengan nada mengejek. "Apa katamu?" erang Vera sangat kesal. "Bukan apa-apa." Rania mengelak. Dia sudah muak dengan drama yang selalu terjadi setiap harinya, sehingga Rania memutuskan untuk pergi sebelum Ibu tirinya mengamuk dan melontarkan kata-kata yang membuat gendang telinganya pecah. "Awas kamu anak nakal. Bakalan aku buat kamu tunduk dan enggak macam-macam lagi," gumam Vera seraya melotot horor. *** Rania pun turun dari angkot, kemudian menghela napas panjang setelah membayar ongkos. Uang lembaran lima puluh ribu, kini telah berubah menjadi pecahan lembaran dua puluh ribu, sepuluh ribu dan lima ribu. Supir angkot itu, baik sekali kepadanya. Rania memberi satu lembar uang, lalu supir itu mengembalikannya empat lembar. Hahaha... Rania rasanya ingin tertawa, tetapi dadanya terasa sesak. Entah sampai kapan, cobaan hidup ini berakhir? "Rania?" Tiba-tiba ada yang memanggilnya. Rania pun menoleh. Suara serak-serak basah itu, menyadarkan Rania dari ratapan nasibnya. "Eh, Dokter Ravi?" Dalam satu kali lihat, Rania mengenali sosok pria tampan dua puluh tujuh tahun itu. "Jangan panggil, Dokter. Panggil aja Pak, atau Mas. Kita kan bukan lagi di rumah sakit. Jadi, tidak perlu formal kepada saya," kata Ravi, mencoba mencairkan suasana pada pertemuan tak terduga ini. "Ah, iya, Pak Ravi. Maafkan aku, Pak. Kaget aja, tiba-tiba Pak Ravi ada di sini. Apa Pak Ravi, mau belanja juga?" tanya Rania kemudian. "Iya ni, Rania. Katanya lagi ada diskon besar-besaran di sini," beber Ravi cukup antusias. "Sungguh? Diskon apa itu, Pak?" Rania pun penasaran dibuatnya. Mendengar kata diskon membuat jiwa emak-emaknya meronta-ronta. "Katanya si, ada diskon daging, tapi saya juga enggak tahu, harganya berapa. Ya, setidaknya turun harga. Tahu sendiri kan, harga daging sekarang tuh berapa? Benar kan, Rania?" Gadis belia itu, termangu saat mendengar penuturan Ravi. Rania berpikir, ini kesempatannya untuk mendapatkan daging dengan harga miring, dengan begitu Nenek Sihir yang tinggal di rumahnya, tidak lagi nyap-nyap seperti burung beo yang kelaparan. "Kesempatan bagus ini, Pak. Di mana yang jual daging diskon itu?" tanya Rania dengan semangat dan antusias. "Ah, iya ..." Ravi sedikit tersentak dan tersadar dari lamunannya. "Oh, ada di dalam. Mari, kita pergi sama-sama!" ajak Ravi kemudian, setelah berhasil mengendalikan pikirannya yang sempat memikirkan hal lain itu. Rania mengangguk. Kesempatan emas, tidak datang untuk kedua kalinya. Maka dari itu, ia harus memanfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin dan tidak akan menyia-nyiakannya. Rania dan Ravi mendatangi salah satu pedagang daging, yang disinyalir menjual daging dengan harga miring. "Dagingnya, Neng. Sekilonya lima puluh ribu aja, mungpung lagi diskon ni, Neng," kata pedagang itu, menawarkan dagangannya kepada Rania yang baru saja datang. Rania terperangah saat pedang itu, mengatakan harga daging yang dijualnya. Sepertinya Dewi keberuntungan sedang berpihak kepadanya sekarang. "Lima puluh ribu satu kilo?" Rania mengulangi perkataan pedang itu, guna meyakinkan dirinya kalau yang didengar tidaklah salah. "Iya, Neng. Mau berapa kilo? Cuma hari ini aja diskonnya. Besok mah belum tentu ada. Dagingnya masih seger. Baru dipotong subuh tadi. Tenang aja, Neng. Ini daging sapi asli. Bukan daging celeng," kata penjual itu mulai merayu serta meyakinkan Rania untuk memborong dagangannya. Di tangan Rania sekarang, tersisa uang empat puluh ribu lagi. Kalau dia beli satu kilo uangnya tidak mencukupi. "Setengah kilo aja, Pak," kata Rania meminta. Dia sebenarnya malu dengan Ravi, yang berada di sebelahnya. Sebegitu miskinnya ia, membeli daging yang harganya miring saja, hanya mampu membeli separuh. "Siap, Neng. Setengah kilo aja? Apa enggak kurang itu?" kata si penjual daging, mencoba merayu agar suasana tidak tegang banget. "Enggak, Pak. Di rumah cuma ada dua orang aja. Cukup lah setengh kilo," jawab Rania beralasan. Ravi yang mendengarkan percakapan dua orang di sampingnya, hanya bisa mengulas senyuman tipis. "Kalau Mas-nya, mau beli berapa kilo?" tanya si pedagang, yang kali ini Ravi menjadi sasaran obrolannya. "Sekilo aja, Pak. Cuma saya aja yang makan." Ravi menjawab dengan santai. Rania tersenyum canggung saat Ravi menatapnya. Pria berstatus dokter itu, sudah tentu mampu membeli daging. Bahkan daging dengan harga tinggi sekalipun, Rania yakin Ravi mampu membelinya. Entah kenapa, Dokter Ganteng ini memilih daging diskon ketimbang daging mahal? Sekedar membeli daging satu kilo, tidak mungkin menghabiskan seluruh gajinya. . Rania pun telah mendapatkan daging yang diinginkannya. Begitu juga dengan Ravi. "Makasih ya, Pak. Seandainya tidak ada Pak Ravi, mungkin aku enggak bakalan tahu kalau ada diskon daging di sini," ungkap Rania tulus. "Heum, iya. Kebetulan aja tadi, teman saya bilang, kalau ada diskon di tempat itu. Untungnya masih ada daging buat kita." "Iya, Pak. Pastinya kalau diskon udah diserbu emak-emak ya kan. Bisa aja udah kehabisan. Alhamdulillah, masih kebagian." Rania mengangkat keranjang belanjanya dengan penuh semangat dan antusias. Dia senang, akhirnya bisa membeli daging, sesuai yang Nenek Sihir itu minta. Setidaknya, uang jajan sekolahnya tidak akan dipotong oleh wanita kejam itu. Rania cengengesan sendiri, seperti orang gila. Hahaha ... Ya, dia memang sudah gila. Gila karena nasib baik, sedang berpihak kepada dirinya hari ini. "Kok, aku rasanya agak aneh ya. Pas kita beli daging tadi, kenapa sepi di situ? Seharusnya kalau memang diskon, sudah pasti rame banget itu?" Tiba-tiba dia kepikiran hal janggal yang terjadi saat membeli daging tadi. Pertanyaan itu, sontak membuat Ravi sedikit terkejut. Namun, dia segera memasang wajah manis dan tersenyum. "Mungkin yang lain sudah belanja sebelum kita datang tadi. Ah, sudahlah. Tidak perlu kamu pikirkan, hal seperti itu. Setidaknya kita mendapatkan daging dengan harga murah." "Heum, iya, Pak. Sekali lagi terima kasih. Kalau enggak ada Pak Ravi, mungkin uang jajan sekolahku akan dipotong." Rania tertawa kecil setelahnya. Ravi tidak menanggapi. Namun, dia paham maksud ucapan Rania. Curhatan dibalut candaan. Sekiranya itu yang Ravi tangkap. Keduanya sudah berdiri di depan gerbang masuk pasar. "Oh iya, Pak. Aku pulang duluan. Tuh, angkotnya udah datang," kata Rania. "Baiklah. Hati-hati di jalan," pesan Ravi, yang sebenarnya berat untuk melepas Rania pulang sendiri. Rania pun menyetop angkot, selanjutnya dia menaiki angkot tersebut. Ravi hanya tersenyum lembut sambil melambaikan tangan. *** Rania telah sampai di rumah. Di ruang tamu, si Nenek Sihir yang kejam itu, sedang ngobrol asyik dengan seorang wanita yang usianya sebaya. Agaknya seperti itu, Rania melihatnya. "Itu, Rania." kata Vera, menunjuk putri sambungnya yang memasuki ruangan. Raut wajahnya terlihat berbeda, seperti biasanya. Firasat Rania mulai tidak enak. Rania memasang senyuman lebar yang terkesan dipaksakan. Sebenarnya dia malas banget menanggapi sambutan Vera. Wanita dewasa yang bergaya modern itu, meletakkan cangkir tehnya di atas meja. "Oh, ini yang namanya Rania? Cantik banget kamu, Sayang," ucapnya memuji. Rania menghentikan langkahnya, kemudian menoleh. "Makasih pujiannya, Tante." Wanita yang baru pertama kali Rania lihat itu, beranjak bangun. Dia tampak antusias saat bertatapan langsung dengan gadis belia sembilan belas tahun tersebut. "Baru pulang dari pasar ya, Sayang? Tante seneng deh ketemu sama kamu, udah cantik, rajin bantu orang tua juga. Enggak salah, kalau kamu jadi menantu, Tante." Rania langsung menganga, saat wanita itu mengatakan soal 'Menantu' pada kalimat terakhirnya. "Apa, Tan? Menantu? Aku, jadi menantu, Tante?" Rania mengulang ucapan wanita itu, dengan terbata-bata. Dia menunjuk dirinya sendiri dan tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya itu. "Iya, Sayang. Mau ya. Jadi, menantu, Tante," pintanya dengan enteng. Dia seperti menawarkan permen kepada bocah lima tahun. Rania kehabisan kata-kata. Dia melihat Vera, yang sedang tersenyum penuh makna. Rania diam untuk sesaat, sebelum akhirnya dia tertawa. "Hahaha ... Jadi, Ibu menjualku ke Tante-tante ini. Begitu kan?" tuduhnya dengan jelas dan lantang. "Ibu, ingin aku pergi dari rumah ini dan menikmati seluruh harta Ayah, dan juga uang dari hasil menjual diriku kepada Tante-tante ini," lanjutnya terdengar pilu. "RANIA! JAGA UCAPANMU!" teriak Vera sangat keras, sampai bergema seisi ruangan. Rania tersenyum miring dan kembali tertawa keras. "Jadi, benar. Kalau aku sudah dijual kepada Tante-tante hedon ini." "RANIA!!!" PLAAAKKKKKK! "Jaga, ucapanmu, RANIA!!!" teriak Vera, semakin keras.PLAAAKKKKKK ...Tamparan keras mendarat di pipi Rania. Saking kencangnya, sampai meninggalkan bekas merah di sana.Rania menyentuh pipinya yang terasa nyeri, seraya menyeringai kecil. "Sudah, Jeng Vera, cukup. Jangan, dilanjutkan. Kasian Rania, Jeng." kata wanita itu, mencoba untuk melerai pertikaian antara Vera dan Rania. Dia merasa tidak enak hati, melihat pasangan ibu dan anak itu saling melukai. Lagi-lagi Rania tersenyum miring. "Enggak usah masang muka polos kayak gitu, Tan. Aku udah tahu, pikiran kotor kalian. Tante, membeliku, untuk dijadikan budak di club malam kan? Iya kan, Tante?" sungutnya, memberi tuduhan yang tidak dilandasi bukti kuat."RANIA! CUKUP!" teriak Vera kembali. Lama-lama dia muak dengan perkataan Rania yang kurang ajar. "Berhenti berpikir yang bukan-bukan! Minta maaf cepat, ke Tante Desi!" Vera meninggikan suaranya. Alih-alih menuruti perintah Vera, Rania malah menyelengos, memasang wajah tidak sedap dipandang. Setelah itu, dia lari begitu saja dari ruang
Di dalam kelas 12 A."Ran, cowok tadi kayaknya anak baru deh. Soalnya dari seragam sekolahnya itu loh, beda sama seragam sekolah kita," bisik Eva pada teman sebangkunya, yang tidak lain adalah Rania."Terus, gue harus bilang wow gitu?" jawab Rania dengan tatapan malas.Eva menyunggingkan bibir bagian atasnya. "Teriak aja sekalian, Ran. Gue ikhlas. Enggak bakalan gue cegah lu, seandainya lu suka sama tuh cowok," celetuknya mencoba menghibur Rania supaya tidak jeles.Alih-alih mengubah suasana hati temannya, Rania malah semakin ngamuk. Dia menjatuhkan tatapan horor, yang mengerikan."Dih, najis! Ogah, gue suka sama cowok kayak dia. Berandalan kayak gitu. Malas banget gue. Mending gue jomblo seumur hidup, dari pada harus suka sama dia. Ih ...""Hust, jangan ngomong kayak gitu, Ran. Entar, Tuhan, denger doa lu gimana? Bukannya jomblo seumur hidup, lu malah nikah sama tuh cowok, terus bucin akut. Gimana, Ran?"Eva mencoba menakut-nakuti. Namun, Rania tidak semudah itu terhasut dengan ucap
"Jadi, kalian sudah saling kenal?" tanya Desi sambil menatap bergantian Erlan dan Rania."Bukan kenal lagi, tapi sangat kenal, Mom. Dia itu, cewek ngeselin di sekolah," adu Erlan seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan menatap sinis Rania."Maksudnya ngeselin apa, Sayang? Mommy enggak paham deh." Desi begitu penasaran dengan arti ucapan Erlan. Ditatapnya dua remaja belia yang usianya tidak terpaut jauh itu."Dia hampir nabrak aku, Tan," timpal Rania cepat, sebelum Erlan sempat menjawab pertanyaan Desi. Dia sedikit mengangkat bahunya, menunjukkan kesan tantangan kepada Erlan secara terbuka."Apa?" Desi cukup terkejut mendengar pengakuan Rania."Woi, cewek ngeselin. Mana ada seperti itu. Lu nya aja yang jalan enggak pake mata," tunjuk Erlan dengan nada kesal dan kasar."Erlan! Jaga bicaramu!" bentak Desi sedikit keras."Apa, Mom? Aku enggak salah, dia yang salah! Udah tahu, ada motor mau lewat, tetap aja dia jalan!" Erlan meninggikan suaranya, membela dirinya di hadap
SATU BULAN KEMUDIAN.Erlan dan Rania pun telah resmi menikah. Namun, pernikahan tersebut dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan dihadiri dua keluarga inti serta Ketua KUA saja. Hal itu dilakukan semata-mata agar pihak luar tidak mengetahui pernikahan tersebut, terutama dari pihak sekolah dan teman-teman Rania maupun Erlan.."Lu tidur di lantai, gue tidur di kasur!" tegas Erlan dengan tatapan serius. Rania menganga, tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. "Lu tenang aja. Gue punya kasur cadangan di lemari. Pake aja tuh, biar lu enggak kedinginan," sambung Erlan masih dengan gaya arogannya. Kendati demikian dari kalimat yang digunakan, ada makna perhatian di baliknya. Rania menghela napas panjang, sebelum akhirnya dia mengangguk pelan.Kamar ini telah dihias selayaknya taman. Ada kelopak bunga mawar menghiasi lantai serta tempat tidur. Kata orang, ini adalah malam pertama, malam yang sangat indah bagi sepasang pengantin baru. Namun, bagi Rania, ini adalah malam yang menjadi awal
Hari berikutnya. Rania pun telah sampai di sekolah lebih dulu. Sedangkan Erlan beberapa menit setelahnya. Keduanya datang dengan kendaraan berbeda. Rania turun dari angkutan umum, sedangkan Erlan dengan motornya. Ketika berpapasan pun, baik Rania maupan Erlan sama-sama bersikap seolah tidak saling melihat. Keduanya sudah sama-sama sepakat, untuk tidak saling menyapa, meskipun status yang dijalani sekarang telah sah menjadi suami istri."Rania tralalala!" Rania menghentikan langkahnya. Suara serta panggilan itu, sangat ia kenali. Ya, siapa lagi kalau bukan Eva. "Gue udah bilang. Jangan panggil gue dengan sebutan Rania tralalala," dengusnya kesal.Rania kembali mengayunkan kakinya. Mengabaikan Eva yang mengekor di belakangnya Sementara itu, Erlan telah memarkirkan motornya di temlat seharusnya. Kedua matanya sempat menangkap pergerakan Rania di sana."Erlannn!!!" Dua gadis centil menghampiri Erlan yang baru saja melepaskan helmnya.Remaja tampan yang selalu bersikap dingin itu, men
JAM KEDUA PELAJAR."Lan, lu mau kemana?" tanya Andri, salah satu murid kelas 12 A, menegur Erlan yang berjalan berlawanan arah.Erlan menoleh."Lu enggak mau ke lapangan? Ada pertandingan voli tuh, kelas kita lawan kelas sebelah." Andri menjelaskan dengan antusias.Erlan tidak berkomentar."Udah, enggak usah banyak mikir!" Andri langsung saja menarik tangan Erlan, mengajaknya untuk pergi ke lapangan, tempat para murid berkumpul untuk menyaksikan pertandingan bola voli, kelas A melawan kelas B.Erlan tidak menolak. Namun, dia cukup kesal lantaran orang lain menyentuh tangannya seenak jidat."Lu harus lihat pertandingan ini. Kelas kita enggak pernah kalah dari kelas manapun," kata Andri begitu semangat."Rania paling jago di kelas kita," tambahnya terdengar begitu membanggakan Rania, yang tidak lain adalah istrinya Erlan. Mendengar nama Rania disebut, Erlan pun langsung menarik tangannya. Andri cukup terkejut. "Kenapa, Lan" tanya Andri penasaran."Gue enggak suka voli." Erlan berkata
"Mau pergi kemana, Sayang?" tegur Desi, ketika melihat Rania menuruni anak-anak tangga. Terlihat penampilan Rania begitu rapih dan berdandan cantik.Biasanya Rania hanya berdandan biasa, polesan make up tipis-tipis saja. Malam ini, sepertinya ada hal spesial. "Itu, Tan ... Aku mau pergi sama teman," jawab Rania beralasan."Kok masih panggil Tante si? Panggil Mommy dong. Sekarang kan, kamu udah jadi anak Mommy." Desi memprotes sikap Rania yang menurutnya masih saja formal dan kaku."Heum ... I-ya, Mommy, maaf."Rania mengangguk dan canggung, merasa kikuk karena sebenarnya dia belum terbiasa menggigil Desi dengan sebutan 'Mommy," sebagaimana seharusnya. "Iya, Sayang. Enggak apa-apa. Jangan diulangi ya. Kamu harus sudah terbiasa, dengan panggilan itu. Sekarang kan kita sudah berkeluarga. Anggap saja, Mommy adalah Ibu kandung kamu."Desi meraih kedua tangan Rania, menggenggamnya erat dan tersenyum hangat."Iya, Mommy."Lagi-lagi Rania hanya bisa tersenyum canggung. Sungguh keadaan yang
"Woi, Bro!" teriak seseorang dari kejauhan, sambil melambaikan tangan.Erlan yang baru memasuki tempat hiburan malam itu, lantas menghampiri rekannya yang ada di sana."Gimana kabar lu?" tanya Aldo, sambil melakukan tos persahabatan, yang biasa dilakukannya bersama Erlan.Biasa lah, anak muda. ABG zaman sekarang. "Enggak ada baik-baiknya kabar gue," jawab Erlan sedikit malas. Dia lantas duduk di sofa, menyandarkan punggungnya ke titik ternyaman. Kepalanya mendongak, pikirannya kacau balau. Hari-harinya semakin ruwet, dengan kehadiran Rania. Semakin membuatnya tidak betah berada di rumah. "Iya, kah? Apa nyokap lu maksa buat ngelakuin sesuatu lagi?" tanya Aldo penasaran seraya duduk menemani rekannya yang sedang gundah gulana itu."Hooh. Pusing kepala gue, pengen pecah rasanya." Erlan tidak menutupi kekesalannya. Kendati demikian , dia tidak akan mau membahas soal Rania di depan Aldo. Bisa kacau semua rahasianya.Aldo mengelus dagunya, sedang memikirkan sebuah rencana yang mampu meng
"Pak, bukannya banyak kasus ya. Dia yang suaranya paling besar, ternyata pelaku sebenarnya." Dia menyunggingkan bibirnya, penuh kemenangan. Erlan langsung membalikkan suasana. Secara tidak langsung, dia menyerang gadis belia itu dengan kalimatnya barusan."Kenapa Bapak tidak tanyakan ke dia? Mungkin saja, dia lah yang sudah membuat Rania sakit?" cecar Erlan lagi. "Saya bukan seseorang yang akan melakukan hal licik hanya untuk menjatuhkan lawan. Jika, saya mau, saya akan menjatuhkannya dari depan, bukan sembunyi-sembunyi seperti pengecut."Mereka yang mendengar pun termangu. Takjub dengan Erlan. Namun, tidak dengan gadis belia yang tadi menyerang Erlan. Dia tampak sangat kesal. Mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat, seolah siap untuk melayangkan pukulan pada wajah Erlan."Tenang dulu semuanya. Jangan ada keributan di sini," ucap pria setengah baya itu, berusaha untuk melerai kehebohan yang terjadi di dalam kelas.Erlan dan gadis belia itu, saling menjatuhkan tatapan tajam. Entah ada
Dikarenakan kondisi Rania yang sudah membaik, Dokter pun sudah memperbolehkan Rania untuk pulang tentu dengan pengawasan ketat dari Desi. "Apa Mommy sudah dapat kabar soal Ibu?" tanya Rania cukup cemas, terpancar dari raut wajahnya yang tampak gelisah lantaran sampai detik ini nomor Vera belum bisa dihubungi sama sekali.Desi menggeleng, "belum, Sayang. Kenapa ya, kok nomornya enggak bisa dihubungi kayak gini? Mommy juga ikut cemas sama keadaan Ibu kamu." Dia duduk di samping Rania, membelai kepala menantu kesayangannya itu. "Rania juga bingung, kenapa tiba-tiba nomor Ibu enggak aktif gini? Apa sudah terjadi sesuatu sama Ibu?" tebak Rania menduga-duga. "Ushh, jangan ngomong gitu, enggak baik, Sayang. Kita harus tetap berpikir positif. Mungkin aja hp Ibu kamu lagi rusak atau ada hal lain yang membuat nomor Ibu kamu tidak aktif ...""Kita berdoa yang terbaik untuk Ibu kamu, Sayang. Kita berdoa, supaya dia baik-baik saja di sana."Desi mengulas senyuman kecil, sedangkan Rania mengang
Perlahan-lahan sepasang mata itu mulai terbuka. Lampu LED dan langit-langit platform menjadi objek pertama yang Rania lihat.Dia mulai menggerakkan jari jemarinya perlahan. Dapat Rania rasakan adanya kehadiran seseorang di sisi kanannya. "Mommy ...," sebutnya dengan suara pelan. Dalam satu kali lihat, Rania langsung mengenali sosok wanita dewasa yang sedang duduk terlelap itu. Gerakan yang Rania lakukan, akhirnya mampu menyadarkan Desi dari tidur singkatnya itu."Sayang." Secepat mungkin, Desi mengendalikan pikirannya supaya kembali ke alam nyata."Kamu sudah bangun, Sayang? Maafin Mommy, ketiduran tadi," sambungnya yang disertai senyuman tipis kepada menantu satu-satunya itu."Enggak apa-apa, Mom. Seharusnya yang minta maaf tuh, Rania karena udah bikin Mommy cemas.""Kamu jangan banyak gerak dulu, Sayang."Nurani seorang Ibu langsung bereaksi, ketika melihat putri kesayangannya tidak bisa diam di tempatnya."Aku udah baik-baik aja kok, Mom. Cuma sedikit lemes aja," aku Rania diirin
"Ran. Lu kenapa? Kok muka lu pucet gitu?" tanya Eva cemas, ketika melihat Rania yang mendadak lemas sambil memegangi kepalanya. "Enggak apa-apa. Gue baik. Cuma lemes dikit aja." Rania menggeleng, menjawab santai dan disertai sedikit senyuman.Dia bersikap seolah tidak terjadi apa-apa, padahal dia sedang merasakan sakit yang sangat luar biasa di bagian kepalanya, seolah ada beban berat yang terus-menerus memukuli kepalanya sehingga ingin pecah saja. Rania kembali memfokuskan dirinya pada buku LKS yang ada di hadapannya. Eva yang melihat sikap sang sahabat, sedikit iba. "Ke UKS aja yuk. Gue takut lu kenapa-kenapa." Eva berusaha membujuk. Namun, hal tersebut mendapat gelengan kepala dari Rania."Enggak apa-apa. Gue baik kok." Bersamaan dengan kalimat itu, Rania mulai merasa pandangannya semakin tidak stabil. Dia melihat semua benda bergerak, memiliki banyak bayangan. Bahkan saat dia melihat ke arah Eva, sahabatnya itu mendadak memiliki dua sampai tiga wajah.Rania menggelengkan kepal
"Oh. Jadi, lu yang udah taruh lem di bangku gue, ah?" sungut Rania. Dia berkacak pinggang sambil menghampiri Erlan. Wajahnya membusung, kedua bahunya terangkat. Dia benar-benar terlihat seperti preman jalanan yang menguasai pasar.Erlan tersenyum sinis, sekaligus mengejek dan menyepelekan sikap sok berani yang Rania tunjukkan."Kalau iya, kenapa ah?" Erlan balik menantang Rania, yang tidak lain adalah istrinya, tetapi tidak ada satu pun yang mengetahui status tersebut.Rania sempat mengerjap, tetapi segera dia bersikap dingin kembali. "Cepat bersihin lem itu dari bangku gue!" titah Rania tanpa ragu. Meksipun yang dihadapi suaminya sendiri, tetapi Rania tidak merasa takut sama sekali. "Ogah. Lu aja yang bersihin." Erlan tidak kalah tegas. Dia melipat kedua tangan di dada. Rania mengepalkan tangan kanannya. Merasa geram sekaligus kesal. Bisa-bisanya, dia harus menghadapi suami yang memiliki sifat kekanak-kanakan seperti Erlan. Sungguh membuat kepala ingin pecah."Bersihin enggak! Ata
"ERLANNN!!!"Suara Desi bergema seisi ruangan. Satu tamparan keras ia layangkan pada wajah sang putra. Tangannya begitu ringan untuk melakukan kekerasa. Napasnya memburu di dalam dada. Erlan menatap Desi penuh emosi. Selama ini, wanita yang telah melahirkannya itu tidak pernah namparnya, meski ia sering membuat marah sekalipun. Erlan menatap Rania dari kejauhan. Tatapannya tajam penuh kemarahan. Semenjak ada Rania di rumah ini, Desi kerap kali menamparnya tanpa ampun.Rania pun telah turun dari ranjang, berdiri mematung di sisi kanan tempat tidur. Bingung harus melakukan apa? Menyela sangat tidak mungkin, atau masalah akan semakin rumit."Mommy menampar aku demi cewek sialan itu?" tunjuk Erlan dengan nada bicara yang mengandung kemarahan."Erlan!!!" teriak Desi kembali. Tanpa menyebutkan nama, Desi sudah tahu siapa yang dimaksud 'Cewek sialan' itu."Pukul aku terus, Mom. Tampar aku lagi!" Alih-alih merasa bersalah, Erlan malah menantang Desi untuk bertindak lebih jauh lagi. "Erlan!
Selama di perjalanan, ponsel Erlan terus saja berdering. Hal tersebut membuat suasana hati pemuda sembilan belas tahun itu semakin buruk. Erlan menepikan motornya di sisi kiri. "Siapa si yang nelpon, ganggu banget?" gerutunya sangat kesal. Dia mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana, kemudian membuka kaca helmnya.Tertulis 'Ibu' di layar ponselnya. Itu artinya, Desi yang sedari tadi menelpon. Catatan panggilan menampilkan lebih dari 20 kali panggilan tak terjawab, semua itu berasal dari Desi.Erlan membuang napas panjang. Dia membuka helmnya. Panggilan telpon itu sudah berhenti, tapi kurang dari satu menit, ponsel itu kembali berbunyi dan menampilkan nama 'Ibu' di layar. Erlan menggeser tombol hijau itu, kemudian menempelkan benda pipih itu di telinga.[Iya, Mom.] Tidak ada salah yang terucap dari bibir pemuda sembilan belas tahun itu. Dia malah menunjukkan raut wajah tidak suka dan malas bicara.[Akhirnya kamu angkat juga telpon dari Mommy. Sejak tadi, Mommy terus menelpon ka
"Kamu ada di sini, Rania? Saya sangat cemas mencari kamu kemana-mana." Rania tergagap, ketika pria yang mengajaknya untuk nonton di bioskop, tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya sekarang."Ah, heum iya Pak Ravi. Maafkan aku karena pergi tanpa memberitahu Anda," ungkap Rania sedikit gugup. Wajahnya terlihat pucat dan berkeringat. Ravi sedikit menerka situasi yang sedang Rania alami. Kendati demikian, dia tidak mau asal berucap. Rania tertunduk, merasa bersalah, tapi hatinya sedang dongkol karena ulah suaminya yang pergi begitu saja tanpa meminta maaf. "Apa ada sesuatu yang terjadi? Apa kau baik, Rania?" tanya Ravi kembali. Gadis mungil itu mengangkat kepalanya, "bukan apa-apa, Pak. Mendadak kepikiran almarhum Ayah. Kalau gitu, aku pulang duluan ya Pak Ravi. Maaf sudah membuat Anda cemas."Rania sedikit menunduk disertai senyuman kecil yang terkesan terpaksa, setelahnya dia melenggang pergi tanpa menoleh lagi. Ravi hendak mengejarnya. Namun, kedua kakinya tidak mampu untuk melangka
"Woi, Bro!" teriak seseorang dari kejauhan, sambil melambaikan tangan.Erlan yang baru memasuki tempat hiburan malam itu, lantas menghampiri rekannya yang ada di sana."Gimana kabar lu?" tanya Aldo, sambil melakukan tos persahabatan, yang biasa dilakukannya bersama Erlan.Biasa lah, anak muda. ABG zaman sekarang. "Enggak ada baik-baiknya kabar gue," jawab Erlan sedikit malas. Dia lantas duduk di sofa, menyandarkan punggungnya ke titik ternyaman. Kepalanya mendongak, pikirannya kacau balau. Hari-harinya semakin ruwet, dengan kehadiran Rania. Semakin membuatnya tidak betah berada di rumah. "Iya, kah? Apa nyokap lu maksa buat ngelakuin sesuatu lagi?" tanya Aldo penasaran seraya duduk menemani rekannya yang sedang gundah gulana itu."Hooh. Pusing kepala gue, pengen pecah rasanya." Erlan tidak menutupi kekesalannya. Kendati demikian , dia tidak akan mau membahas soal Rania di depan Aldo. Bisa kacau semua rahasianya.Aldo mengelus dagunya, sedang memikirkan sebuah rencana yang mampu meng