Beranda / Romansa / KETUA OSIS DINGIN ITU, SUAMIKU / 4. PERTEMUAN DENGAN CALON SUAMI?

Share

4. PERTEMUAN DENGAN CALON SUAMI?

Penulis: Titik Balik Author
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Di dalam kelas 12 A.

"Ran, cowok tadi kayaknya anak baru deh. Soalnya dari seragam sekolahnya itu loh, beda sama seragam sekolah kita," bisik Eva pada teman sebangkunya, yang tidak lain adalah Rania.

"Terus, gue harus bilang wow gitu?" jawab Rania dengan tatapan malas.

Eva menyunggingkan bibir bagian atasnya. "Teriak aja sekalian, Ran. Gue ikhlas. Enggak bakalan gue cegah lu, seandainya lu suka sama tuh cowok," celetuknya mencoba menghibur Rania supaya tidak jeles.

Alih-alih mengubah suasana hati temannya, Rania malah semakin ngamuk. Dia menjatuhkan tatapan horor, yang mengerikan.

"Dih, najis! Ogah, gue suka sama cowok kayak dia. Berandalan kayak gitu. Malas banget gue. Mending gue jomblo seumur hidup, dari pada harus suka sama dia. Ih ..."

"Hust, jangan ngomong kayak gitu, Ran. Entar, Tuhan, denger doa lu gimana? Bukannya jomblo seumur hidup, lu malah nikah sama tuh cowok, terus bucin akut. Gimana, Ran?"

Eva mencoba menakut-nakuti. Namun, Rania tidak semudah itu terhasut dengan ucapan lawan bicaranya.

"Gue, berharap. Tuh cowok enggak muncul lagi di hadapan gue." Rania mengangkat kedua tangannya, berdoa dengan sungguh-sungguh.

"Selamat pagi semuanya." Salah satu guru, dalam mata pelajaran hari ini, memasuki ruangan.

"Selamat pagi, Pak." Semua murid menjawab serentak.

"Bagaimana pagi kalian di hari ini? Semangat bukan?" tanyanya, membuka topik pembicaraan.

"Enggak baik, Pak! Rania lagi bad mood!" celetuk Eva degan jelas dan gamblang. Bahkan dia mengangkat tangan kanannya, agar semua orang dapat melihat dirinya.

"Woi, cerewet! Apa-apaan si lu!" Rania menepuk salah satu paha Eva, sebagai bentuk kekesalan serta prosesnya, atas tindakan Eva yang kurang ajar itu.

Alhasil, semua orang yang ada di kelas itu, menoleh ke arah Rania dan Eva.

Rania ingin menutupi wajahnya. Ah, tidak. Semua orang telah melihat dirinya. Terlebih lagi, Eva tadi berteriak. Seenggaknya, mereka sudah tahu suasana hatinya sekarang.

"Rania? Kamu bad mood kenapa?" tanya Pak Anton, salah satu guru matematika di sekolah ini.

Rania berusaha tersenyum lebar, "enggak, Pak. Saya enggak lagi bad mood. Eva cuma becanda aja. Enggak usah didengerin omongannya."

Entah. Berkilah pun seakan tidak ada gunanya. Eva sudah mengatakan dengan gamblang tadi. Temannya itu, memang terlalu jujur. Kelewat jujur, sehingga bikin malu. Malu-maluin.

"Baiklah, semuanya. Bapak harap, mood kalian hari ini baik-baik saja. Soalnya, hari ini kita kedatangan murid baru," ungkap Pak Anton, cukup antusias saat berbicara di hadapan murid-muridnya.

"Pasti kalian kepo kan, siapa murid baru di kelas ini?"

"Wah ... Liat deh, ganteng banget dia," ucap salah satu murid perempuan yang ada di kelas itu.

Pak Anton, setengah terkejut. Padahal, rencananya dia ingin membuat semua muridnya penasaran, tetapi murid baru itu malah mengacungkan segalanya.

"Halo, semuanya. Kenalin, nama gue Erlan Davian. Panggil aja gue Erlan," ucapnya dengan tatapan serta raut wajah datar.

Para gadis belia yang ada di kelas ini pun, mulai heboh.

"Lihat ih, ganteng banget si dia. Udah kayak aktor Korea aja deh. Siapa si itu, kayak kenal gitu?"

"Hooh, ganteng banget. Kelas kita beruntung, kedatangan murid keren kayak dia. Pasti anak orang kaya," sahut cewek lainnya.

Mereka saling berbisik dan memuji ketampanan Erlan. Pemuda sembilan belas tahun itu, memiliki ketampanan layaknya aktor Korea atau idola-idola KPop masa kini.

Selain itu, Erlan memiliki tinggi badan yang ideal. Gaya berdirinya pun sangat cool. Begitu juga dengan cara Erlan menggendong tasnya, membuat cewek-cewek berteriak histeris.

"Ran, tuh cowok yang lu omelin kan di lapangan tadi? Apa kata gue, Ran. Lu kayaknya berjodoh sama tuh cowok," goda Eva, dengan semangat.

Sontak Rania pun menjatuhkan tatapan tajam kepada teman sebangkunya itu. "Diam enggak lu! Atau gue, bakalan nutup mulut lu pake lakban. Mau!"

Ancamannya bukan sekedar gertakan belaka. Eva yang sudah paham betul tabeat teman sebangkunya itu, memilih diam. Dia menganggukkan kepalanya, kemudian duduk manis tanpa mengoceh lagi.

Rania seakan ingin menghancurkan kepalanya ke tembok. Dia benar-benar merasa frustasi.

Betapa terkejutnya ia, saat tahu cowok yang hampir menabraknya di lapangan tadi, ternyata murid pindahan dan parahnya harus di kelas yang sama.

"Kenapa cowok ngeselin itu, harus ada di kelas ini si? Kenapa enggak di kelas lain aja? Emang apa yang spesial di kelas ini, sampai-sampai dia ada di sini?" gumam Rania, menggerutu. Mulutnya terus bergerak, seperti sedang melafalkan mantra.

Tatapan Rania sinis, kepada Erlan yang masih berdiri di depan papan tulis. Diantara para wanita yang menyanjung serta mengagumi Erlan dalam satu kali lihat, hanya Rania saja, cewek yang tidak tertarik dengan pesona Erlan.

"Baiklah, Erlan. Kamu boleh duduk di kursi yang kosong itu."

Erlan tidak menggubris ucapan Pak Anton. Dia langsung saja berjalan ke kursi kosong yang ada di pojokan itu.

"Sudah, anak-anak. Kalian bisa diam. Kenalan sama Erlan nanti saja, saat jam istirahat. Sekarang waktunya kalian buka buku paket halaman lima puluh."

Pak Anton segera mengambil alih kelas yang sempat heboh karena kedatangan cowok ganteng, idaman wanita.

Ada keluhan kekecewaan dari para gadis-gadis. Namun, mereka tidak bisa berbuat banyak.

Sementara itu, Rania sedikit melirik ke tempat Erlan berada. Tatapan Rania begitu tajam dan menyimpan dendam yang belum dituntaskan.

Sementara Erlan tidak menyadari hal tersebut. Dia malah memasang henset. Menutupi kedua telinganya dan memutar musik dari ponselnya.

***

Dua hari ini menjadi hari paling menyebalkan bagi gadis belia bernama lengkap Rania Mikaila Putri itu. Dia dihadapkan dengan situasi yang membuat moodnya tidak baik.

Entah kali ini, apa lagi yang harus Rania hadapi? Sesampainya di rumah, Rania melihat ada dua pria dewasa, sedang mengobrol dengan ibu tirinya.

"Baiklah, Bu. Kami permisi dulu. Saya harap, Ibu segera membayar hutang-hutang almarhum, atau kami akan menjual rumah ini!" tegas salah satu pria, sangat serius.

DHEK!

Jantung Rania, seakan ingin copot dari tempatnya, saat dia tidak sengaja mendengar perkataan pria itu, yang hendak menjual rumah ini, kalau hutang tidak segera dibayar.

Rania melotot, hutang apa yang dimaksud pria itu? Pikiran Rania mulai menelaah tentang hal-hal yang belum pasti.

Kedua pria itu, segera melenggang pergi setelah berpamitan dengan Vera. Keduanya melewati Rania dan tidak berkata apa-apa.

Gadis belia itu, masih diam di posisinya.

"Kamu udah pulang?" tanya Vera, sesaat setelah dia menyadari kalau Rania sudah di ruangan ini.

"Siapa mereka? Apa yang mereka lakukan di sini? Mengapa salah satu pria itu, mengatakan akan menjual rumah ini, kalau hutang-hutang tidak segera dibayarkan? Hutang apa yang mereka maksud? Siapa yang berhutang kepada mereka? Apa Ayah yang melakukannya?" cecar Rania panjang lebar.

Sudah sejak tadi, pertanyaan-pertanyaan itu, mengisi kepalanya. Baru sekarang dia bisa mengeluarkannya. Itupun belum semua.

"Iya, Ayah kamu berhutang sangat banyak kepada mereka," aku Vera tanpa bisa ditutupi.

Dia mengatakannya dengan gamblang dan jelas, agar Rania dapat mengetahuinya.

"Berapa banyak?" tanya Rania kembali.

"Sepuluh milyar."

"Apa? Se-pu-luh mi-l-yar ..." Rania menganga. Dia hampir kehilangan kesadarannya setelah mendengar jumlah hutang yang dimiliki almarhum ayahnya.

"Iya. Ayahmu berhutang kepada mereka sepuluh milyar dan ibu diminta untuk segera membayae hutang-hutang itu, dalam waktu satu bulan. Kamu bayangin aja, uang sebanyak itu, dapat dari mana? Seandainya rumah ini dijual sekalipun, jumlahnya tidak sebanyak itu."

Kali ini Vera tidak bersikap egois, kasar ataupun kejam saat membeberkan semuanya kepada Rania.

Gadis belia itu, kehabisan kata-kata. Bagaimana bisa, Ayahnya harus terlilit hutang sebanyak itu? Uang sepuluh milyar bukanlah jumlah yang sedikit. Entah, kalau ditumpuk, berapa tumpukan hasilnya?

Kira-kira uang sepuluh milyar itu, bentuknya seperti apa? Membayangkannya membuat Rania ngebleng.

"Kita hanya memiliki waktu satu bulan, untuk segera melunasi hutang-hutang Ayahmu itu. Lebih dari satu bulan hutang itu tidak dibayarkan, maka mereka akan mengambil rumah ini berserta isinya. Bukan itu saja. Peternakan ikan lele milik ayahmu juga, akan mereka ambil." Helaan napas itu, semakin memperumit keadaan.

Rania semakin kehilangan ketenangannya.

Satu bulan ...

Hanya satu bulan, waktu yang mereka berikan.

Apakah dalam waktu singkat, uang sepuluh milyar bisa didapatkan?"

***

Malam harinya. Rania diajak Vera untuk memenuhi undangan makan malam dari salah seorang teman dekat.

Awalnya Rania menolak ajakan tersebut. Namun, setelah dijelaskan maksud dari pertemuan ini, akhirnya Rania menuruti kemauan Vera.

Sesekali Rania membuang napas panjang, terutama saat dia mengingat, kalau almarhum ayahnya memiliki hutang sepuluh milyar dan harus segera dibayarkan dalam waktu singkat.

Membayangkannya membuat tubuh Rania tidak bertenaga.

"Assalamualaikum, Jeng." Vera mengucap salam lebih dulu.

"Eh, Jeng Vera ..."

"Waalaikumsalam," jawab Desi, seraya beranjak bangun dari tempat duduknya.

Segera dua wanita yang usianya tak terpaut jauh itu, saling cipika cipiki.

"Udah lama nunggunya, ya?" tanya Vera sebagai bentuk basa basi, untuk memulai pembicaraan.

"Enggak, kok. Aku juga baru sampe."

Setelah berbincang singkat dengan Vera, Desi pun langsung mengarahkan pandangannya kepada Rania.

"Masyaallah ... Rania. Cantik banget kamu, Sayang." Desi mengikis jarak. Dia benar-benar antusias dan terpesona dengan kecantikan alami yang ada pada diri Rania.

"Terima kasih, Tan. Tante terlalu memujiku," jawab Rania tersenyum canggung.

Dia dan Desi tidak seakrab itu. Sehingga, cara Rania berbicara pun terbilang kaku.

"Tante enggak berlebihan kok. Tante jujur, mamu memang cantik banget malam ini, Sayang. Tante sampai pangling lihatnya."

Rania tersenyum kecil. Menahan diri untuk tidak berkata kasar, seperti yang dia lakukan sebelumnya.

Jujur saja, hal yang membuat Rania tidak nyaman, tidak lain ketika mengingat betapa bodohnya ia kemarin yang sudah berbicara kasar kepada Desi.

"Oh, iya. Di mana anak kamu, Jeng. Apa dia enggak datang?" tanya Vera, melongok, seperti sedang mencari sesuatu.

"Aduh, sampai lupa, saking fokusnya ngobrol sama Rania." Desi terkekeh kecil. "Soal anakku. Dia datang kok, tadi si bilangnya izin ke toilet, tapi sampai sekarang belum balik-balik."

Desi pun ikut celingak-celinguk, ke sudut yang tadi dilewati anaknya.

"Nah, itu dia!" tunjuk Desi dengan semangat, saat menunjukkan sosok pemuda tampan berstatus anaknya itu.

Rania menganga. Lagi-lagi dia dibuat terkejut. Entah sudah keberapa kali, dirinya dibuat spot jantung hati ini?

"Maaf, Mom, aku lama. Tadi toiletnya penuh," tutur pemuda tersebut, yang tidak lain adalah anak Desi.

Rania mundur beberapa langkah. Mencoba untuk menjauh.

"Oh, iya. Ini Tante Vera, yang Mommy sering ceritakan ke kamu. Nah, kalau itu Rania, anaknya Tante Vera," tunjuk Desi, memperkenalkan Rania kepada putranya.

"Lu? Cewek ngeselin itu kan?" Pemuda itu menunjuk wajah Rania. Dia terkejut. Begitu juga Rania.

"Jadi, kalian udah saling kenal? Wah, bagus kalau begitu. Mommy enggak usah repot-repot kenalin kamu ke calon istri kamu. Sedangkan kamu, Rania ... Erlan ini, adalah calon suami kamu."

"A-pa?"

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Titik Balik Author
asal jangan musuh dalam selimut aja ......
goodnovel comment avatar
Noor Sukabumi
suamiku musih bebuyutanku ini mah judulnya mommy
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • KETUA OSIS DINGIN ITU, SUAMIKU    5. KEPUTUSAN DESI

    "Jadi, kalian sudah saling kenal?" tanya Desi sambil menatap bergantian Erlan dan Rania."Bukan kenal lagi, tapi sangat kenal, Mom. Dia itu, cewek ngeselin di sekolah," adu Erlan seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan menatap sinis Rania."Maksudnya ngeselin apa, Sayang? Mommy enggak paham deh." Desi begitu penasaran dengan arti ucapan Erlan. Ditatapnya dua remaja belia yang usianya tidak terpaut jauh itu."Dia hampir nabrak aku, Tan," timpal Rania cepat, sebelum Erlan sempat menjawab pertanyaan Desi. Dia sedikit mengangkat bahunya, menunjukkan kesan tantangan kepada Erlan secara terbuka."Apa?" Desi cukup terkejut mendengar pengakuan Rania."Woi, cewek ngeselin. Mana ada seperti itu. Lu nya aja yang jalan enggak pake mata," tunjuk Erlan dengan nada kesal dan kasar."Erlan! Jaga bicaramu!" bentak Desi sedikit keras."Apa, Mom? Aku enggak salah, dia yang salah! Udah tahu, ada motor mau lewat, tetap aja dia jalan!" Erlan meninggikan suaranya, membela dirinya di hadap

  • KETUA OSIS DINGIN ITU, SUAMIKU    6. SETELAH RESMI

    SATU BULAN KEMUDIAN.Erlan dan Rania pun telah resmi menikah. Namun, pernikahan tersebut dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan dihadiri dua keluarga inti serta Ketua KUA saja. Hal itu dilakukan semata-mata agar pihak luar tidak mengetahui pernikahan tersebut, terutama dari pihak sekolah dan teman-teman Rania maupun Erlan.."Lu tidur di lantai, gue tidur di kasur!" tegas Erlan dengan tatapan serius. Rania menganga, tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. "Lu tenang aja. Gue punya kasur cadangan di lemari. Pake aja tuh, biar lu enggak kedinginan," sambung Erlan masih dengan gaya arogannya. Kendati demikian dari kalimat yang digunakan, ada makna perhatian di baliknya. Rania menghela napas panjang, sebelum akhirnya dia mengangguk pelan.Kamar ini telah dihias selayaknya taman. Ada kelopak bunga mawar menghiasi lantai serta tempat tidur. Kata orang, ini adalah malam pertama, malam yang sangat indah bagi sepasang pengantin baru. Namun, bagi Rania, ini adalah malam yang menjadi awal

  • KETUA OSIS DINGIN ITU, SUAMIKU    7. ERLAN IDOLA DI KELAS

    Hari berikutnya. Rania pun telah sampai di sekolah lebih dulu. Sedangkan Erlan beberapa menit setelahnya. Keduanya datang dengan kendaraan berbeda. Rania turun dari angkutan umum, sedangkan Erlan dengan motornya. Ketika berpapasan pun, baik Rania maupan Erlan sama-sama bersikap seolah tidak saling melihat. Keduanya sudah sama-sama sepakat, untuk tidak saling menyapa, meskipun status yang dijalani sekarang telah sah menjadi suami istri."Rania tralalala!" Rania menghentikan langkahnya. Suara serta panggilan itu, sangat ia kenali. Ya, siapa lagi kalau bukan Eva. "Gue udah bilang. Jangan panggil gue dengan sebutan Rania tralalala," dengusnya kesal.Rania kembali mengayunkan kakinya. Mengabaikan Eva yang mengekor di belakangnya Sementara itu, Erlan telah memarkirkan motornya di temlat seharusnya. Kedua matanya sempat menangkap pergerakan Rania di sana."Erlannn!!!" Dua gadis centil menghampiri Erlan yang baru saja melepaskan helmnya.Remaja tampan yang selalu bersikap dingin itu, men

  • KETUA OSIS DINGIN ITU, SUAMIKU    8. KESENANGAN RANIA

    JAM KEDUA PELAJAR."Lan, lu mau kemana?" tanya Andri, salah satu murid kelas 12 A, menegur Erlan yang berjalan berlawanan arah.Erlan menoleh."Lu enggak mau ke lapangan? Ada pertandingan voli tuh, kelas kita lawan kelas sebelah." Andri menjelaskan dengan antusias.Erlan tidak berkomentar."Udah, enggak usah banyak mikir!" Andri langsung saja menarik tangan Erlan, mengajaknya untuk pergi ke lapangan, tempat para murid berkumpul untuk menyaksikan pertandingan bola voli, kelas A melawan kelas B.Erlan tidak menolak. Namun, dia cukup kesal lantaran orang lain menyentuh tangannya seenak jidat."Lu harus lihat pertandingan ini. Kelas kita enggak pernah kalah dari kelas manapun," kata Andri begitu semangat."Rania paling jago di kelas kita," tambahnya terdengar begitu membanggakan Rania, yang tidak lain adalah istrinya Erlan. Mendengar nama Rania disebut, Erlan pun langsung menarik tangannya. Andri cukup terkejut. "Kenapa, Lan" tanya Andri penasaran."Gue enggak suka voli." Erlan berkata

  • KETUA OSIS DINGIN ITU, SUAMIKU    9. KE BIOSKOP

    "Mau pergi kemana, Sayang?" tegur Desi, ketika melihat Rania menuruni anak-anak tangga. Terlihat penampilan Rania begitu rapih dan berdandan cantik.Biasanya Rania hanya berdandan biasa, polesan make up tipis-tipis saja. Malam ini, sepertinya ada hal spesial. "Itu, Tan ... Aku mau pergi sama teman," jawab Rania beralasan."Kok masih panggil Tante si? Panggil Mommy dong. Sekarang kan, kamu udah jadi anak Mommy." Desi memprotes sikap Rania yang menurutnya masih saja formal dan kaku."Heum ... I-ya, Mommy, maaf."Rania mengangguk dan canggung, merasa kikuk karena sebenarnya dia belum terbiasa menggigil Desi dengan sebutan 'Mommy," sebagaimana seharusnya. "Iya, Sayang. Enggak apa-apa. Jangan diulangi ya. Kamu harus sudah terbiasa, dengan panggilan itu. Sekarang kan kita sudah berkeluarga. Anggap saja, Mommy adalah Ibu kandung kamu."Desi meraih kedua tangan Rania, menggenggamnya erat dan tersenyum hangat."Iya, Mommy."Lagi-lagi Rania hanya bisa tersenyum canggung. Sungguh keadaan yang

  • KETUA OSIS DINGIN ITU, SUAMIKU    10. BALAPAN

    "Woi, Bro!" teriak seseorang dari kejauhan, sambil melambaikan tangan.Erlan yang baru memasuki tempat hiburan malam itu, lantas menghampiri rekannya yang ada di sana."Gimana kabar lu?" tanya Aldo, sambil melakukan tos persahabatan, yang biasa dilakukannya bersama Erlan.Biasa lah, anak muda. ABG zaman sekarang. "Enggak ada baik-baiknya kabar gue," jawab Erlan sedikit malas. Dia lantas duduk di sofa, menyandarkan punggungnya ke titik ternyaman. Kepalanya mendongak, pikirannya kacau balau. Hari-harinya semakin ruwet, dengan kehadiran Rania. Semakin membuatnya tidak betah berada di rumah. "Iya, kah? Apa nyokap lu maksa buat ngelakuin sesuatu lagi?" tanya Aldo penasaran seraya duduk menemani rekannya yang sedang gundah gulana itu."Hooh. Pusing kepala gue, pengen pecah rasanya." Erlan tidak menutupi kekesalannya. Kendati demikian , dia tidak akan mau membahas soal Rania di depan Aldo. Bisa kacau semua rahasianya.Aldo mengelus dagunya, sedang memikirkan sebuah rencana yang mampu meng

  • KETUA OSIS DINGIN ITU, SUAMIKU    11. CINTA DESI

    "Kamu ada di sini, Rania? Saya sangat cemas mencari kamu kemana-mana." Rania tergagap, ketika pria yang mengajaknya untuk nonton di bioskop, tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya sekarang."Ah, heum iya Pak Ravi. Maafkan aku karena pergi tanpa memberitahu Anda," ungkap Rania sedikit gugup. Wajahnya terlihat pucat dan berkeringat. Ravi sedikit menerka situasi yang sedang Rania alami. Kendati demikian, dia tidak mau asal berucap. Rania tertunduk, merasa bersalah, tapi hatinya sedang dongkol karena ulah suaminya yang pergi begitu saja tanpa meminta maaf. "Apa ada sesuatu yang terjadi? Apa kau baik, Rania?" tanya Ravi kembali. Gadis mungil itu mengangkat kepalanya, "bukan apa-apa, Pak. Mendadak kepikiran almarhum Ayah. Kalau gitu, aku pulang duluan ya Pak Ravi. Maaf sudah membuat Anda cemas."Rania sedikit menunduk disertai senyuman kecil yang terkesan terpaksa, setelahnya dia melenggang pergi tanpa menoleh lagi. Ravi hendak mengejarnya. Namun, kedua kakinya tidak mampu untuk melangka

  • KETUA OSIS DINGIN ITU, SUAMIKU    12. KEKESALAN ERLAN

    Selama di perjalanan, ponsel Erlan terus saja berdering. Hal tersebut membuat suasana hati pemuda sembilan belas tahun itu semakin buruk. Erlan menepikan motornya di sisi kiri. "Siapa si yang nelpon, ganggu banget?" gerutunya sangat kesal. Dia mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana, kemudian membuka kaca helmnya.Tertulis 'Ibu' di layar ponselnya. Itu artinya, Desi yang sedari tadi menelpon. Catatan panggilan menampilkan lebih dari 20 kali panggilan tak terjawab, semua itu berasal dari Desi.Erlan membuang napas panjang. Dia membuka helmnya. Panggilan telpon itu sudah berhenti, tapi kurang dari satu menit, ponsel itu kembali berbunyi dan menampilkan nama 'Ibu' di layar. Erlan menggeser tombol hijau itu, kemudian menempelkan benda pipih itu di telinga.[Iya, Mom.] Tidak ada salah yang terucap dari bibir pemuda sembilan belas tahun itu. Dia malah menunjukkan raut wajah tidak suka dan malas bicara.[Akhirnya kamu angkat juga telpon dari Mommy. Sejak tadi, Mommy terus menelpon ka

Bab terbaru

  • KETUA OSIS DINGIN ITU, SUAMIKU    15. RANIA SAKIT

    "Ran. Lu kenapa? Kok muka lu pucet gitu?" tanya Eva cemas, ketika melihat Rania yang mendadak lemas sambil memegangi kepalanya. "Enggak apa-apa. Gue baik. Cuma lemes dikit aja." Rania menggeleng, menjawab santai dan disertai sedikit senyuman.Dia bersikap seolah tidak terjadi apa-apa, padahal dia sedang merasakan sakit yang sangat luar biasa di bagian kepalanya, seolah ada beban berat yang terus-menerus memukuli kepalanya sehingga ingin pecah saja. Rania kembali memfokuskan dirinya pada buku LKS yang ada di hadapannya. Eva yang melihat sikap sang sahabat, sedikit iba. "Ke UKS aja yuk. Gue takut lu kenapa-kenapa." Eva berusaha membujuk. Namun, hal tersebut mendapat gelengan kepala dari Rania."Enggak apa-apa. Gue baik kok." Bersamaan dengan kalimat itu, Rania mulai merasa pandangannya semakin tidak stabil. Dia melihat semua benda bergerak, memiliki banyak bayangan. Bahkan saat dia melihat ke arah Eva, sahabatnya itu mendadak memiliki dua sampai tiga wajah.Rania menggelengkan kepal

  • KETUA OSIS DINGIN ITU, SUAMIKU    14. ANCAMAN ERLAN

    "Oh. Jadi, lu yang udah taruh lem di bangku gue, ah?" sungut Rania. Dia berkacak pinggang sambil menghampiri Erlan. Wajahnya membusung, kedua bahunya terangkat. Dia benar-benar terlihat seperti preman jalanan yang menguasai pasar.Erlan tersenyum sinis, sekaligus mengejek dan menyepelekan sikap sok berani yang Rania tunjukkan."Kalau iya, kenapa ah?" Erlan balik menantang Rania, yang tidak lain adalah istrinya, tetapi tidak ada satu pun yang mengetahui status tersebut.Rania sempat mengerjap, tetapi segera dia bersikap dingin kembali. "Cepat bersihin lem itu dari bangku gue!" titah Rania tanpa ragu. Meksipun yang dihadapi suaminya sendiri, tetapi Rania tidak merasa takut sama sekali. "Ogah. Lu aja yang bersihin." Erlan tidak kalah tegas. Dia melipat kedua tangan di dada. Rania mengepalkan tangan kanannya. Merasa geram sekaligus kesal. Bisa-bisanya, dia harus menghadapi suami yang memiliki sifat kekanak-kanakan seperti Erlan. Sungguh membuat kepala ingin pecah."Bersihin enggak! Ata

  • KETUA OSIS DINGIN ITU, SUAMIKU    13. PERSETERUAN DESI DAN ERLAN

    "ERLANNN!!!"Suara Desi bergema seisi ruangan. Satu tamparan keras ia layangkan pada wajah sang putra. Tangannya begitu ringan untuk melakukan kekerasa. Napasnya memburu di dalam dada. Erlan menatap Desi penuh emosi. Selama ini, wanita yang telah melahirkannya itu tidak pernah namparnya, meski ia sering membuat marah sekalipun. Erlan menatap Rania dari kejauhan. Tatapannya tajam penuh kemarahan. Semenjak ada Rania di rumah ini, Desi kerap kali menamparnya tanpa ampun.Rania pun telah turun dari ranjang, berdiri mematung di sisi kanan tempat tidur. Bingung harus melakukan apa? Menyela sangat tidak mungkin, atau masalah akan semakin rumit."Mommy menampar aku demi cewek sialan itu?" tunjuk Erlan dengan nada bicara yang mengandung kemarahan."Erlan!!!" teriak Desi kembali. Tanpa menyebutkan nama, Desi sudah tahu siapa yang dimaksud 'Cewek sialan' itu."Pukul aku terus, Mom. Tampar aku lagi!" Alih-alih merasa bersalah, Erlan malah menantang Desi untuk bertindak lebih jauh lagi. "Erlan!

  • KETUA OSIS DINGIN ITU, SUAMIKU    12. KEKESALAN ERLAN

    Selama di perjalanan, ponsel Erlan terus saja berdering. Hal tersebut membuat suasana hati pemuda sembilan belas tahun itu semakin buruk. Erlan menepikan motornya di sisi kiri. "Siapa si yang nelpon, ganggu banget?" gerutunya sangat kesal. Dia mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana, kemudian membuka kaca helmnya.Tertulis 'Ibu' di layar ponselnya. Itu artinya, Desi yang sedari tadi menelpon. Catatan panggilan menampilkan lebih dari 20 kali panggilan tak terjawab, semua itu berasal dari Desi.Erlan membuang napas panjang. Dia membuka helmnya. Panggilan telpon itu sudah berhenti, tapi kurang dari satu menit, ponsel itu kembali berbunyi dan menampilkan nama 'Ibu' di layar. Erlan menggeser tombol hijau itu, kemudian menempelkan benda pipih itu di telinga.[Iya, Mom.] Tidak ada salah yang terucap dari bibir pemuda sembilan belas tahun itu. Dia malah menunjukkan raut wajah tidak suka dan malas bicara.[Akhirnya kamu angkat juga telpon dari Mommy. Sejak tadi, Mommy terus menelpon ka

  • KETUA OSIS DINGIN ITU, SUAMIKU    11. CINTA DESI

    "Kamu ada di sini, Rania? Saya sangat cemas mencari kamu kemana-mana." Rania tergagap, ketika pria yang mengajaknya untuk nonton di bioskop, tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya sekarang."Ah, heum iya Pak Ravi. Maafkan aku karena pergi tanpa memberitahu Anda," ungkap Rania sedikit gugup. Wajahnya terlihat pucat dan berkeringat. Ravi sedikit menerka situasi yang sedang Rania alami. Kendati demikian, dia tidak mau asal berucap. Rania tertunduk, merasa bersalah, tapi hatinya sedang dongkol karena ulah suaminya yang pergi begitu saja tanpa meminta maaf. "Apa ada sesuatu yang terjadi? Apa kau baik, Rania?" tanya Ravi kembali. Gadis mungil itu mengangkat kepalanya, "bukan apa-apa, Pak. Mendadak kepikiran almarhum Ayah. Kalau gitu, aku pulang duluan ya Pak Ravi. Maaf sudah membuat Anda cemas."Rania sedikit menunduk disertai senyuman kecil yang terkesan terpaksa, setelahnya dia melenggang pergi tanpa menoleh lagi. Ravi hendak mengejarnya. Namun, kedua kakinya tidak mampu untuk melangka

  • KETUA OSIS DINGIN ITU, SUAMIKU    10. BALAPAN

    "Woi, Bro!" teriak seseorang dari kejauhan, sambil melambaikan tangan.Erlan yang baru memasuki tempat hiburan malam itu, lantas menghampiri rekannya yang ada di sana."Gimana kabar lu?" tanya Aldo, sambil melakukan tos persahabatan, yang biasa dilakukannya bersama Erlan.Biasa lah, anak muda. ABG zaman sekarang. "Enggak ada baik-baiknya kabar gue," jawab Erlan sedikit malas. Dia lantas duduk di sofa, menyandarkan punggungnya ke titik ternyaman. Kepalanya mendongak, pikirannya kacau balau. Hari-harinya semakin ruwet, dengan kehadiran Rania. Semakin membuatnya tidak betah berada di rumah. "Iya, kah? Apa nyokap lu maksa buat ngelakuin sesuatu lagi?" tanya Aldo penasaran seraya duduk menemani rekannya yang sedang gundah gulana itu."Hooh. Pusing kepala gue, pengen pecah rasanya." Erlan tidak menutupi kekesalannya. Kendati demikian , dia tidak akan mau membahas soal Rania di depan Aldo. Bisa kacau semua rahasianya.Aldo mengelus dagunya, sedang memikirkan sebuah rencana yang mampu meng

  • KETUA OSIS DINGIN ITU, SUAMIKU    9. KE BIOSKOP

    "Mau pergi kemana, Sayang?" tegur Desi, ketika melihat Rania menuruni anak-anak tangga. Terlihat penampilan Rania begitu rapih dan berdandan cantik.Biasanya Rania hanya berdandan biasa, polesan make up tipis-tipis saja. Malam ini, sepertinya ada hal spesial. "Itu, Tan ... Aku mau pergi sama teman," jawab Rania beralasan."Kok masih panggil Tante si? Panggil Mommy dong. Sekarang kan, kamu udah jadi anak Mommy." Desi memprotes sikap Rania yang menurutnya masih saja formal dan kaku."Heum ... I-ya, Mommy, maaf."Rania mengangguk dan canggung, merasa kikuk karena sebenarnya dia belum terbiasa menggigil Desi dengan sebutan 'Mommy," sebagaimana seharusnya. "Iya, Sayang. Enggak apa-apa. Jangan diulangi ya. Kamu harus sudah terbiasa, dengan panggilan itu. Sekarang kan kita sudah berkeluarga. Anggap saja, Mommy adalah Ibu kandung kamu."Desi meraih kedua tangan Rania, menggenggamnya erat dan tersenyum hangat."Iya, Mommy."Lagi-lagi Rania hanya bisa tersenyum canggung. Sungguh keadaan yang

  • KETUA OSIS DINGIN ITU, SUAMIKU    8. KESENANGAN RANIA

    JAM KEDUA PELAJAR."Lan, lu mau kemana?" tanya Andri, salah satu murid kelas 12 A, menegur Erlan yang berjalan berlawanan arah.Erlan menoleh."Lu enggak mau ke lapangan? Ada pertandingan voli tuh, kelas kita lawan kelas sebelah." Andri menjelaskan dengan antusias.Erlan tidak berkomentar."Udah, enggak usah banyak mikir!" Andri langsung saja menarik tangan Erlan, mengajaknya untuk pergi ke lapangan, tempat para murid berkumpul untuk menyaksikan pertandingan bola voli, kelas A melawan kelas B.Erlan tidak menolak. Namun, dia cukup kesal lantaran orang lain menyentuh tangannya seenak jidat."Lu harus lihat pertandingan ini. Kelas kita enggak pernah kalah dari kelas manapun," kata Andri begitu semangat."Rania paling jago di kelas kita," tambahnya terdengar begitu membanggakan Rania, yang tidak lain adalah istrinya Erlan. Mendengar nama Rania disebut, Erlan pun langsung menarik tangannya. Andri cukup terkejut. "Kenapa, Lan" tanya Andri penasaran."Gue enggak suka voli." Erlan berkata

  • KETUA OSIS DINGIN ITU, SUAMIKU    7. ERLAN IDOLA DI KELAS

    Hari berikutnya. Rania pun telah sampai di sekolah lebih dulu. Sedangkan Erlan beberapa menit setelahnya. Keduanya datang dengan kendaraan berbeda. Rania turun dari angkutan umum, sedangkan Erlan dengan motornya. Ketika berpapasan pun, baik Rania maupan Erlan sama-sama bersikap seolah tidak saling melihat. Keduanya sudah sama-sama sepakat, untuk tidak saling menyapa, meskipun status yang dijalani sekarang telah sah menjadi suami istri."Rania tralalala!" Rania menghentikan langkahnya. Suara serta panggilan itu, sangat ia kenali. Ya, siapa lagi kalau bukan Eva. "Gue udah bilang. Jangan panggil gue dengan sebutan Rania tralalala," dengusnya kesal.Rania kembali mengayunkan kakinya. Mengabaikan Eva yang mengekor di belakangnya Sementara itu, Erlan telah memarkirkan motornya di temlat seharusnya. Kedua matanya sempat menangkap pergerakan Rania di sana."Erlannn!!!" Dua gadis centil menghampiri Erlan yang baru saja melepaskan helmnya.Remaja tampan yang selalu bersikap dingin itu, men

DMCA.com Protection Status