"Jadi, kalian sudah saling kenal?" tanya Desi sambil menatap bergantian Erlan dan Rania.
"Bukan kenal lagi, tapi sangat kenal, Mom. Dia itu, cewek ngeselin di sekolah," adu Erlan seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan menatap sinis Rania. "Maksudnya ngeselin apa, Sayang? Mommy enggak paham deh." Desi begitu penasaran dengan arti ucapan Erlan. Ditatapnya dua remaja belia yang usianya tidak terpaut jauh itu. "Dia hampir nabrak aku, Tan," timpal Rania cepat, sebelum Erlan sempat menjawab pertanyaan Desi. Dia sedikit mengangkat bahunya, menunjukkan kesan tantangan kepada Erlan secara terbuka. "Apa?" Desi cukup terkejut mendengar pengakuan Rania. "Woi, cewek ngeselin. Mana ada seperti itu. Lu nya aja yang jalan enggak pake mata," tunjuk Erlan dengan nada kesal dan kasar. "Erlan! Jaga bicaramu!" bentak Desi sedikit keras. "Apa, Mom? Aku enggak salah, dia yang salah! Udah tahu, ada motor mau lewat, tetap aja dia jalan!" Erlan meninggikan suaranya, membela dirinya di hadapan Desi. Dia melirik tajam ke arah Rania yang memasang wajah kesal sekaligus geram. "Udah gitu, dia jatuhin helm aku, Mom. Terus dia pergi gitu aja, enggak pake maaf." Erlan pun menambahkan sambil memasang senyuman penuh kemenangan. Seringai itu, mambuat Rania sangat kesal sampai-sampai dia ingin sekali menarik rambut Erlan dan mendorong pemuda itu dari atas gedung. Vera pun menahan Rania dengan tangan kanannya, supaya anak gadisnya itu tidak mengambil tindakan balasan untuk melawan Erlan. Gadis belia itu menatap Vera dengan raut wajah kesal, sedangkan Vera menggelengkan kepalanya beberapa kali, isyarat kepada Rania untuk tidak melakukan hal konyol seperti yang biasa Rania lakukan untuk membela dirinya. Rania tidak menutupi kekesalannya. Kenapa harus dihentikan? Kenapa tidak dibiarkan langsung duel saja? "Pokoknya, Erlan enggak mau nikah sama dia, Mom. Titik!" tegas Erlan sambil menatap tajam Rania. Begitu juga sebaliknya. Rania merasa jengkel dengan nasib yang sedang memainkannya sekarang. "Kenapa enggak mau? Rania anak yang baik. Mommy tidak mungkin salah memilih calon untuk kamu, Sayang." "Baik apanya, Mom? Mukanya aja yang kelihatan polos, tapi kelakuannya menyamai preman di jalanan," ejek Erlan secara gamblang. Rania melebarkan matanya spontan, sedangkan Desi semakin geram dibuatnya. "Erlan! Sudah cukup! Bicara kamu sudah sangat keterlaluan. Cepat minta maaf kepada Rania!" "Tapi, Mom ..." "Tidak ada tapi-tapi! Cepat, minta maaf sekarang juga!" tegas Desi dengan tatapan nyalang, yang membuat Erlan semakin jengkel kepada Rania. "Erlan!" Desi kembali meninggikan suaranya, sebab putranya itu masih diam membisu. "Sudah, Jeng Desi. Jangan dipaksakan." Vera pun datang mendekat, mencoba untuk meredam kemarahan Desi. "Ini, sepenuhnya bukan salah Erlan. Rania juga salah karena tidak memperhatikan jalan saat di sekolah, sehingga tidak sengaja Erlan hampir menabraknya." Rania hanya diam, ketika wanita berstatus ibu tirinya itu, balik menyalahkan dirinya. "Rania tidak salah, Jeng. Sudah jelas-jelas Erlan lah yang keterlaluan. Dia berani menghina Rania dan menjelekkannya. Saya sebagai ibunya tidak senang dengan kelakuan anak yang tidak bisa menjaga ucapannya." "Erlan! Cepat minta maaf pada Rania!" Desi mengulangi perintahnya. Erlan membuang napas panjang, kemudian dia mendekati Rania. Selanjutnya menyodorkan tangan kanannya. "Gue minta maaf," ungkapnya dengan nada malas. "Pakai bahwa yang benar. Jangan lu gue! Rania itu, calon istri kamu. Jadi, kamu harus memperlakukan dia dengan baik!" tegas Desi memberi peringatan. Lagi-lagi, Erlan membuang napas panjang. "Aku minta maaf." Meksipun terucap kata maaf, tapi hatinya tetap dongkol. Erlan melihat Rania dari ujung rambut hingga ujung kaki, menandai gadis belia itu, sebagai seseorang yang harus dirinya buat perhitungan. "Gimana, Sayang. Kamu mau kan maafin Erlan?" Sekarang giliran Rania yang menjadi pusat perhatian. Desi tersenyum lembut kepada calon menantunya itu. Ini kali kedua dirinya bertemu Rania. Entah kenapa, hatinya telah sreg dengan gadis belia itu? "Heum ... Iya, Tan. Rania maafin kok." Gadis belia itu hanya menjawab singkat. Sedangkan Erlan sesekali membuang pandangannya dan tersenyum sinis. Tidak menutupi kekesalannya di hadapan semua orang. "Nah, begitu dong akur, kan enak dilihatnya." Desi mendekati dua remaja belia, yang memiliki watak saling bertolak belakang itu. "Mommy harap, kalian terus akur seperti ini bukan sekarang saja, tetapi sampai nanti-nanti pun, kalian harus tetap akur," pesan Desi kepada Rania dan Erlan. Namun, ekspresi keduanya tampak tidak bersahabat, walau keduanya sama-sama menunjukkan sedikit senyuman. "Kalian harus bisa saling melengkapi satu sama lain, sebagai suami istri." Desi menggenggam tangan Erlan dan Rania. Kemudian dia menyatukan kedua tangan itu, sekaligus memberi restunya. "Mommy dan Jeng Vera, sudah sama-sama sepakat. Pernikahan kalian akan dilangsungkan satu bulan dari sekarang," ungkap Desi antusias. "A-pa?" Keduanya terkejut bukan main. "Mom, enggak bisa gini dong." Erlan menarik tangannya dari genggaman Desi. Memikat keningnya yang tiba-tiba sakit. "Tan, aku enggak setuju kalau pernikahannya bulan besok. Aku masih pengen sekolah. Aku enggak mau semua orang tahu, kalau aku udah nikah. Bisa enggak pernikahannya ditunda dulu gitu, sampai aku lulus sekolah atau nanti beberapa tahun lagi gitu?" Rania lantas melayangkan penolakan secara halus, secara dirinya masih ingin menikmati masa mudanya dan terlebih lagi dirinya masih sekolah, tinggal beberapa bulan lagi untuk bisa lulus. "Seandainya aku tahu, pernikahannya bulan besok, aku menolak permintaan Mommy. Semuanya terlalu cepat, Mom." Erlan menyahut dengan nada kesal. Tidak menyembunyikan kekecewaannya atas keputusan wanita yang telah melahirkannya itu. Desi melihat kedua remaja belia itu bergantian. "Terserah, apa alasan kalian, pokoknya Mommy tetap mau pernikahan ini dilakukan satu bulan dari sekarang. Titik! Tidak ada yang bisa mengubah keputusan Mommy. Kamu maupun Rania!" Desi berucap sangat tegas. Erlan sudah membuka mulutnya. Namun, detik itu juga Desi mengangkat tangannya, mengisyaratkan bahwa tidak ada yang boleh menyela dan mengubah keputusannya. "Mommy, sudah menyiapkan semuanya. Jadi, kalian tidak bisa mengubah keputusan Mommy. Kalian mengerti!" Desi sekali lagi menegaskan keputusannya. Erlan dan Rania tidak bisa berkata-kata.SATU BULAN KEMUDIAN.Erlan dan Rania pun telah resmi menikah. Namun, pernikahan tersebut dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan dihadiri dua keluarga inti serta Ketua KUA saja. Hal itu dilakukan semata-mata agar pihak luar tidak mengetahui pernikahan tersebut, terutama dari pihak sekolah dan teman-teman Rania maupun Erlan.."Lu tidur di lantai, gue tidur di kasur!" tegas Erlan dengan tatapan serius. Rania menganga, tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. "Lu tenang aja. Gue punya kasur cadangan di lemari. Pake aja tuh, biar lu enggak kedinginan," sambung Erlan masih dengan gaya arogannya. Kendati demikian dari kalimat yang digunakan, ada makna perhatian di baliknya. Rania menghela napas panjang, sebelum akhirnya dia mengangguk pelan.Kamar ini telah dihias selayaknya taman. Ada kelopak bunga mawar menghiasi lantai serta tempat tidur. Kata orang, ini adalah malam pertama, malam yang sangat indah bagi sepasang pengantin baru. Namun, bagi Rania, ini adalah malam yang menjadi awal
Hari berikutnya. Rania pun telah sampai di sekolah lebih dulu. Sedangkan Erlan beberapa menit setelahnya. Keduanya datang dengan kendaraan berbeda. Rania turun dari angkutan umum, sedangkan Erlan dengan motornya. Ketika berpapasan pun, baik Rania maupan Erlan sama-sama bersikap seolah tidak saling melihat. Keduanya sudah sama-sama sepakat, untuk tidak saling menyapa, meskipun status yang dijalani sekarang telah sah menjadi suami istri."Rania tralalala!" Rania menghentikan langkahnya. Suara serta panggilan itu, sangat ia kenali. Ya, siapa lagi kalau bukan Eva. "Gue udah bilang. Jangan panggil gue dengan sebutan Rania tralalala," dengusnya kesal.Rania kembali mengayunkan kakinya. Mengabaikan Eva yang mengekor di belakangnya Sementara itu, Erlan telah memarkirkan motornya di temlat seharusnya. Kedua matanya sempat menangkap pergerakan Rania di sana."Erlannn!!!" Dua gadis centil menghampiri Erlan yang baru saja melepaskan helmnya.Remaja tampan yang selalu bersikap dingin itu, men
JAM KEDUA PELAJAR."Lan, lu mau kemana?" tanya Andri, salah satu murid kelas 12 A, menegur Erlan yang berjalan berlawanan arah.Erlan menoleh."Lu enggak mau ke lapangan? Ada pertandingan voli tuh, kelas kita lawan kelas sebelah." Andri menjelaskan dengan antusias.Erlan tidak berkomentar."Udah, enggak usah banyak mikir!" Andri langsung saja menarik tangan Erlan, mengajaknya untuk pergi ke lapangan, tempat para murid berkumpul untuk menyaksikan pertandingan bola voli, kelas A melawan kelas B.Erlan tidak menolak. Namun, dia cukup kesal lantaran orang lain menyentuh tangannya seenak jidat."Lu harus lihat pertandingan ini. Kelas kita enggak pernah kalah dari kelas manapun," kata Andri begitu semangat."Rania paling jago di kelas kita," tambahnya terdengar begitu membanggakan Rania, yang tidak lain adalah istrinya Erlan. Mendengar nama Rania disebut, Erlan pun langsung menarik tangannya. Andri cukup terkejut. "Kenapa, Lan" tanya Andri penasaran."Gue enggak suka voli." Erlan berkata
"Mau pergi kemana, Sayang?" tegur Desi, ketika melihat Rania menuruni anak-anak tangga. Terlihat penampilan Rania begitu rapih dan berdandan cantik.Biasanya Rania hanya berdandan biasa, polesan make up tipis-tipis saja. Malam ini, sepertinya ada hal spesial. "Itu, Tan ... Aku mau pergi sama teman," jawab Rania beralasan."Kok masih panggil Tante si? Panggil Mommy dong. Sekarang kan, kamu udah jadi anak Mommy." Desi memprotes sikap Rania yang menurutnya masih saja formal dan kaku."Heum ... I-ya, Mommy, maaf."Rania mengangguk dan canggung, merasa kikuk karena sebenarnya dia belum terbiasa menggigil Desi dengan sebutan 'Mommy," sebagaimana seharusnya. "Iya, Sayang. Enggak apa-apa. Jangan diulangi ya. Kamu harus sudah terbiasa, dengan panggilan itu. Sekarang kan kita sudah berkeluarga. Anggap saja, Mommy adalah Ibu kandung kamu."Desi meraih kedua tangan Rania, menggenggamnya erat dan tersenyum hangat."Iya, Mommy."Lagi-lagi Rania hanya bisa tersenyum canggung. Sungguh keadaan yang
"Woi, Bro!" teriak seseorang dari kejauhan, sambil melambaikan tangan.Erlan yang baru memasuki tempat hiburan malam itu, lantas menghampiri rekannya yang ada di sana."Gimana kabar lu?" tanya Aldo, sambil melakukan tos persahabatan, yang biasa dilakukannya bersama Erlan.Biasa lah, anak muda. ABG zaman sekarang. "Enggak ada baik-baiknya kabar gue," jawab Erlan sedikit malas. Dia lantas duduk di sofa, menyandarkan punggungnya ke titik ternyaman. Kepalanya mendongak, pikirannya kacau balau. Hari-harinya semakin ruwet, dengan kehadiran Rania. Semakin membuatnya tidak betah berada di rumah. "Iya, kah? Apa nyokap lu maksa buat ngelakuin sesuatu lagi?" tanya Aldo penasaran seraya duduk menemani rekannya yang sedang gundah gulana itu."Hooh. Pusing kepala gue, pengen pecah rasanya." Erlan tidak menutupi kekesalannya. Kendati demikian , dia tidak akan mau membahas soal Rania di depan Aldo. Bisa kacau semua rahasianya.Aldo mengelus dagunya, sedang memikirkan sebuah rencana yang mampu meng
"Kamu ada di sini, Rania? Saya sangat cemas mencari kamu kemana-mana." Rania tergagap, ketika pria yang mengajaknya untuk nonton di bioskop, tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya sekarang."Ah, heum iya Pak Ravi. Maafkan aku karena pergi tanpa memberitahu Anda," ungkap Rania sedikit gugup. Wajahnya terlihat pucat dan berkeringat. Ravi sedikit menerka situasi yang sedang Rania alami. Kendati demikian, dia tidak mau asal berucap. Rania tertunduk, merasa bersalah, tapi hatinya sedang dongkol karena ulah suaminya yang pergi begitu saja tanpa meminta maaf. "Apa ada sesuatu yang terjadi? Apa kau baik, Rania?" tanya Ravi kembali. Gadis mungil itu mengangkat kepalanya, "bukan apa-apa, Pak. Mendadak kepikiran almarhum Ayah. Kalau gitu, aku pulang duluan ya Pak Ravi. Maaf sudah membuat Anda cemas."Rania sedikit menunduk disertai senyuman kecil yang terkesan terpaksa, setelahnya dia melenggang pergi tanpa menoleh lagi. Ravi hendak mengejarnya. Namun, kedua kakinya tidak mampu untuk melangka
Selama di perjalanan, ponsel Erlan terus saja berdering. Hal tersebut membuat suasana hati pemuda sembilan belas tahun itu semakin buruk. Erlan menepikan motornya di sisi kiri. "Siapa si yang nelpon, ganggu banget?" gerutunya sangat kesal. Dia mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana, kemudian membuka kaca helmnya.Tertulis 'Ibu' di layar ponselnya. Itu artinya, Desi yang sedari tadi menelpon. Catatan panggilan menampilkan lebih dari 20 kali panggilan tak terjawab, semua itu berasal dari Desi.Erlan membuang napas panjang. Dia membuka helmnya. Panggilan telpon itu sudah berhenti, tapi kurang dari satu menit, ponsel itu kembali berbunyi dan menampilkan nama 'Ibu' di layar. Erlan menggeser tombol hijau itu, kemudian menempelkan benda pipih itu di telinga.[Iya, Mom.] Tidak ada salah yang terucap dari bibir pemuda sembilan belas tahun itu. Dia malah menunjukkan raut wajah tidak suka dan malas bicara.[Akhirnya kamu angkat juga telpon dari Mommy. Sejak tadi, Mommy terus menelpon ka
"ERLANNN!!!"Suara Desi bergema seisi ruangan. Satu tamparan keras ia layangkan pada wajah sang putra. Tangannya begitu ringan untuk melakukan kekerasa. Napasnya memburu di dalam dada. Erlan menatap Desi penuh emosi. Selama ini, wanita yang telah melahirkannya itu tidak pernah namparnya, meski ia sering membuat marah sekalipun. Erlan menatap Rania dari kejauhan. Tatapannya tajam penuh kemarahan. Semenjak ada Rania di rumah ini, Desi kerap kali menamparnya tanpa ampun.Rania pun telah turun dari ranjang, berdiri mematung di sisi kanan tempat tidur. Bingung harus melakukan apa? Menyela sangat tidak mungkin, atau masalah akan semakin rumit."Mommy menampar aku demi cewek sialan itu?" tunjuk Erlan dengan nada bicara yang mengandung kemarahan."Erlan!!!" teriak Desi kembali. Tanpa menyebutkan nama, Desi sudah tahu siapa yang dimaksud 'Cewek sialan' itu."Pukul aku terus, Mom. Tampar aku lagi!" Alih-alih merasa bersalah, Erlan malah menantang Desi untuk bertindak lebih jauh lagi. "Erlan!
[Roy! Cerita cari Erlan. Dia pergi dari rumah dalam keadaan marah.][Dia juga habis berduel dengan Aldo. Tolong kamu cari dia sampai ketemu. Saya takut dia kenapa-kenapa.] Ucap Desi cemas, dengan seseorang yang ada di ujung sambungan telepon.[Erlan tidak membawa ponselnya. Tolong kau lacak dan temukan keberadaannya bagaimanapun juga!] cerocos Desi.[Baik, Nyonya. Saya akan cari keberadaan Tuan Muda. Nyonya tenang saja.]Tak lama kemudian, sambungan telponnya berakhir. Tangannya bergetar saat menggengam benda pintarnya. Desi kemudian menghubungi nomor yang lain. Cukup lama ia menunggu, hanya terdengar dering kecil di sana.Wanita empat puluhan tahun yang masih tampak muda itu, mencoba menghubungi Aldo kembali. Kali ini ada yang menjawabnya.[Aldo! Tolong Tante. Erlan pergi dari rumah dengan penuh kemarahan. Dia naik motor tanpa membawa ponselnya.][Tante sangat takut dia kenapa-kenapa di jalan. Tolong cariin Erlan ya, Aldo. Tante mohon.][Astaga, Tan.][Ok, Tante. Aldo akan cari Erla
"Erlannnn! Cukup, Nak!" teriak Desi sangat kencang."Apa, Mom? Kenapa Mommy halangi Erlan buat mengatakan semuanya? Kenapa, Mom? Apa Mommy malu untuk mengakui, kalau pria bodoh itu, lebih mencintai istri orang ketimbang istrinya sendiri?" Suara Erlan tidak kalah menggebu-gebunya dari Desi. "Erlannnn!!!" Desi kembali berteriak.Rania mengangkat kepalanya. Menatap Desi yang sedang menatap nanar putra semata wayangnya. Gadis mungil itu, sedikit menebak bahwa pria bodoh yang disinggung Erlan, tidak lain adalah Tuan Davian, yang sudah tiada."Mommy, kenapa nutupin kebenarannya dari dia? Erlan tahu, Mommy pasti mau bilang kan, kalau wanita yang melahirkan dia, bukanlah plakor!" tunjuk Erlan, menatap Rania penuh dendam yang membuncah di dalam dada.PLAAAAAKKKK...Satu hamparan keras mendarat sempurna di pipi Erlan. Desi yang telah melakukannya. Saking kencangnya tamparan sampai meninggalkan bekas nyeri dan merah."Cukup! Mommy, sudah katakan! Cukup! Apa yang kamu tahu, tidaklah benar! Kebe
"Akhirnya, setelah empat tahun berjuang, Ayahnya Erlan mampu mewujudkan impiannya. Dia berhasil membangun sebuah bisnis yang sejak lama diinginkannya," kata Desi, memulai kembali ceritanya."Apa selama itu, Mommy terus mendampinginya?" tanya Rania penasaran.Desi mengangguk pelan, "iya, Sayang. Selama itu juga, kami tidak mengetahui kabar tentang Bundamu di sana. Dia seolah-olah telah hilang dari kehidupan kami. Tidak ada yang membahas tentang Bundamu lagi. Walaupun begitu, cinta yang ada di dalam hati Tuan Davian untuk Bundamu tidak sedikitpun berkurang."Desi kembali menghela napas berat. Selang beberapa detik, dia pun tersenyum tipis. Tatapannya seolah sedang menyusun kepingan ingatan yang hampir ia lupakan."Apa Mommy pernah merasa cemburu saat itu? Padahal kan yang menemani Tuan Davian adalah Mommy dan bukan Bundaku, tetapi mengapa dia terus mencintai seseorang yang mungkin sama sekali tidak pernah memikirkannya?" Pertanyaan Rania membuat Desi kembali mengukir senyuman tipis. Di
Kira-kira satu jam kemudian. Desi mengajak Rania untuk keluar kamar, meninggalkan Erlan di sana untuk bisa beristirahat."Maafkan Mommy, Sayang. Tidak sepatutnya kamu melihat semua ini." Desi memelas sambil menggenggam tangan Rania penuh rasa penyesalan.Rania menggeleng, "enggak, Mom. Mommy enggak salah sama sekali dalam hal ini."Sekarang giliran Desi yang menggelengkan kepalanya. "Enggak, Sayang. Mommy salah besar. Seharusnya sejak awal Mommy katakan semua ini, tetapi Mommy malah menyembunyikannya dari kamu."Desi bahkan tidak memiliki keberanian untuk menatap kedua mata menantunya. Begitu malu dan hancur harga dirinya, ketika sosok asli putra semata wayangnya terlihat oleh Rania. "Seperti inilah Erlan. Setiap kali dia merasa marah, maka dia akan mengajak orang lain untuk berduel, hingga salah satu dari mereka ada yang tumbang. Erlan belum mau selesai, jika dari duel ini belum ada yang terluka parah. Sering kali, dia yang mengalami kekalahan," ungkap Desi dengan suara bergetar."E
Erlan sudah berada di atas ring tinju. Dia sudah memakai sarung tinju, tapi tidak dengan alat pengamannya.Aldo datang, sekitar dua puluh menit setelah Erlan sampai di sana."Sorry." Aldo terengah-engah karena berlari dari area parkir takut Erlan mengeluarkan dua tanduk di kepalanya. "Lu bikin gue nunggu dua puluh menit." Erlan berkata dingin sambil mengusap-usap sarung tinjunya tanpa melirik Aldo."Jangan gitu lah, Lan. Gue butuh waktu, jarak dari sekolah ke sini, sekitar sepuluh sampai lima belas menit ...""Terus kenapa lu baru sampai dua puluh menit? Kemana lima menit itu, ah?" Erlan mengangkat kepalanya. Tatapan itu seperti singa yang hendak menerkam mangsanya. Seluruh bulu yang ada di tubuh Aldo berdiri semua."Ayo lah, Lan. Tadi itu, jalanan sedikit macet, belum lagi gue harus izin ke guru, buat keluar kelas." Sedikit memelas, tetapi alasan itu tidak akan membuat Erlan semudah itu percaya. Bruk!Erlan melemparkan sepasang sarung tinju kepada Aldo. "Cepat naik!" titah Erlan,
"Mau pergi kemana?" tahan Rania, tepat saat suaminya hendak mengeluarkan motornya dari area parkiran.Erlan membuka kaca helmnya. "Minggir!" tegasnya. Namun, Rania tidak mendengarkan perintah tersebut. Kedua tangannya menahan body motor itu, agar tidak bisa keluar.Erlan merasa kesal."Jawab dulu pertanyaan gue. Lu mau pergi kemana?" Rania mengulangi pertanyaannya. Kurang lebih, dia sudah memahami watak dan kebiasaan suaminya. Kali ini, tidak akan dia biarkan Erlan pergi."Bukan urusan lu!" jawab Erlan dingin, sambil berusaha mendorong motornya agar keluar dari parkiran.Di sana ada motor yang terparkir, saling berjejeran rapih. Salah satunya motor Erlan."Sekarang jadi urusan gue!" Rania tidak kalah dinginnya dari sang suami.Erlan melongok, "what? Sejak kapan, lu peduli terhadap urusan gue, ah?" Akhirnya dia turun dari motor, melepaskan pelindung kepalanya."Mulai hari ini, apa yang lu lakuin, gue harus tahu semuanya!" tegas Rania sampai kepalanya mendongak. Erlan tertawa sinis sam
"Ran, tuh cowok lu udah datang," senggol Eva sambil menunjukkan lirikan mata ke arah Erlan yang baru saja memasuki kelas.Langkah tegap sambil menggendong tas hitam di bahu, menunjukkan tatapan tajam penuh ambisi, membuat mereka yang melihat Erlan, merasa seperti berada di dunia lain.Rania ikut melirik suaminya sekilas, kemudian mengalihkan pandangannya dengan kasar. "Apaan si? Dia bukan cowok gue," elaknya, buru-buru membuka buku pelajaran yang tergeletak di meja.'Kenapa dia baru datang?' batin Rania, saat mengingat kembali bahwa Erlan pergi ke sekolah lebih dulu, tetapi baru sampai setengah jam setelah dirinya. Eva tertawa kecil, "ah, yang benar? Kenapa ya, gue rasa, lu sama dia punya hubungan khusus gitu?"Ucapan Eva yang cukup keras, memantik perhatian Erlan yang berdiri di sana. Secara samar-samar dia mendengar obrolan Rania dan Eva. Sorot matanya langsung menukik tajam ke arah Rania. Gadis mungil itu, sempat tertunduk, sebelum dia menghela napas panjang setelah itu."Udah ah
Malam semakin larut. Namun, Rania masih terjaga. Matanya enggan terpejam, walau sudah ia usahakan, tetap saja pikirannya masih melalang buana, memikirkan banyak hal. Sementara Erlan, sudah terlelap di atas ranjang menyapa mimpi.Rania beringsut dari tempat tidur. Seperti biasa, dia tidur di lantai, sedangkan Erlan tidur di ranjang. Begitulah adanya jika tidur di kamar ini. Berbeda jika tidur di kamar Desi, sudah pasti Rania mendapatkan tempat nyaman dan hangat.Rania menatap suaminya dalam-dalam. "Di balik wajah yang tenang ini, ada sebuah rahasia yang coba disembunyikan di setiap waktu," gumamnya. "Gue selalu gagal mengenali lu. Terkadang gue mikir, lu seperti pahlawan yang datang di waktu yang tepat buat nyelametin nyawa gue, tapi dari wujud pahlawan itu, ada sosok monster yang tidak bisa gue pahami.""Kenapa gue bilang gitu? Karena, di balik kehangatan lu, yang datang buat nyelametin gue, ada sosok pemarah yang terkadang bikin gue bingung.""Sumpah, Lan. Kalau lu benci gue, terus
"Mom, hari ini Rania tidur di kamar aku. Boleh kan?" kata Erlan, mendadak. Alhasil, Desi langsung tersedak napasnya sendiri. "Apa, Sayang?"Uhukk ...Uhukk ...Dia sampai batuk-batuk kecil. Rania segera mengambil gelas berisi air putih, buru-buru memberikannya kepada Desi."Minum dulu, Mom. Pelan-pelan." Desi mengangguk, lalu menggenggam gelas itu, meneguk air putih tersebut perlahan-lahan.Erlan tampak mengerutkan keningnya, merasa heran, tetapi tidak ada yang dilakukannya selain memperhatikan saja."Mommy udah baikan?" tanya Rania memastikan."Iya, Sayang. Terima kasih." Desi menganggukan kepalanya disertai senyuman tipis, masih menyentuh dadanya yang mendadak sesak napas akibat ucapan Erlan yang seperti anak panah itu.Setelah mematikan mertuanya baik-baik saja, barulah Rania duduk kembali."Kamu ngomong apa tadi, Sayang?" tanya Desi, kepada Erlan yang tampak diam sambil menetap ke arahnya."Aku mau, Rania tidur di kamarku lagi. Kemarin dia masih sakit. Aku enggak masalah dia tidu