"Kamu ada di sini, Rania? Saya sangat cemas mencari kamu kemana-mana." Rania tergagap, ketika pria yang mengajaknya untuk nonton di bioskop, tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya sekarang."Ah, heum iya Pak Ravi. Maafkan aku karena pergi tanpa memberitahu Anda," ungkap Rania sedikit gugup. Wajahnya terlihat pucat dan berkeringat. Ravi sedikit menerka situasi yang sedang Rania alami. Kendati demikian, dia tidak mau asal berucap. Rania tertunduk, merasa bersalah, tapi hatinya sedang dongkol karena ulah suaminya yang pergi begitu saja tanpa meminta maaf. "Apa ada sesuatu yang terjadi? Apa kau baik, Rania?" tanya Ravi kembali. Gadis mungil itu mengangkat kepalanya, "bukan apa-apa, Pak. Mendadak kepikiran almarhum Ayah. Kalau gitu, aku pulang duluan ya Pak Ravi. Maaf sudah membuat Anda cemas."Rania sedikit menunduk disertai senyuman kecil yang terkesan terpaksa, setelahnya dia melenggang pergi tanpa menoleh lagi. Ravi hendak mengejarnya. Namun, kedua kakinya tidak mampu untuk melangka
Selama di perjalanan, ponsel Erlan terus saja berdering. Hal tersebut membuat suasana hati pemuda sembilan belas tahun itu semakin buruk. Erlan menepikan motornya di sisi kiri. "Siapa si yang nelpon, ganggu banget?" gerutunya sangat kesal. Dia mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana, kemudian membuka kaca helmnya.Tertulis 'Ibu' di layar ponselnya. Itu artinya, Desi yang sedari tadi menelpon. Catatan panggilan menampilkan lebih dari 20 kali panggilan tak terjawab, semua itu berasal dari Desi.Erlan membuang napas panjang. Dia membuka helmnya. Panggilan telpon itu sudah berhenti, tapi kurang dari satu menit, ponsel itu kembali berbunyi dan menampilkan nama 'Ibu' di layar. Erlan menggeser tombol hijau itu, kemudian menempelkan benda pipih itu di telinga.[Iya, Mom.] Tidak ada salah yang terucap dari bibir pemuda sembilan belas tahun itu. Dia malah menunjukkan raut wajah tidak suka dan malas bicara.[Akhirnya kamu angkat juga telpon dari Mommy. Sejak tadi, Mommy terus menelpon ka
"ERLANNN!!!"Suara Desi bergema seisi ruangan. Satu tamparan keras ia layangkan pada wajah sang putra. Tangannya begitu ringan untuk melakukan kekerasa. Napasnya memburu di dalam dada. Erlan menatap Desi penuh emosi. Selama ini, wanita yang telah melahirkannya itu tidak pernah namparnya, meski ia sering membuat marah sekalipun. Erlan menatap Rania dari kejauhan. Tatapannya tajam penuh kemarahan. Semenjak ada Rania di rumah ini, Desi kerap kali menamparnya tanpa ampun.Rania pun telah turun dari ranjang, berdiri mematung di sisi kanan tempat tidur. Bingung harus melakukan apa? Menyela sangat tidak mungkin, atau masalah akan semakin rumit."Mommy menampar aku demi cewek sialan itu?" tunjuk Erlan dengan nada bicara yang mengandung kemarahan."Erlan!!!" teriak Desi kembali. Tanpa menyebutkan nama, Desi sudah tahu siapa yang dimaksud 'Cewek sialan' itu."Pukul aku terus, Mom. Tampar aku lagi!" Alih-alih merasa bersalah, Erlan malah menantang Desi untuk bertindak lebih jauh lagi. "Erlan!
"Oh. Jadi, lu yang udah taruh lem di bangku gue, ah?" sungut Rania. Dia berkacak pinggang sambil menghampiri Erlan. Wajahnya membusung, kedua bahunya terangkat. Dia benar-benar terlihat seperti preman jalanan yang menguasai pasar.Erlan tersenyum sinis, sekaligus mengejek dan menyepelekan sikap sok berani yang Rania tunjukkan."Kalau iya, kenapa ah?" Erlan balik menantang Rania, yang tidak lain adalah istrinya, tetapi tidak ada satu pun yang mengetahui status tersebut.Rania sempat mengerjap, tetapi segera dia bersikap dingin kembali. "Cepat bersihin lem itu dari bangku gue!" titah Rania tanpa ragu. Meksipun yang dihadapi suaminya sendiri, tetapi Rania tidak merasa takut sama sekali. "Ogah. Lu aja yang bersihin." Erlan tidak kalah tegas. Dia melipat kedua tangan di dada. Rania mengepalkan tangan kanannya. Merasa geram sekaligus kesal. Bisa-bisanya, dia harus menghadapi suami yang memiliki sifat kekanak-kanakan seperti Erlan. Sungguh membuat kepala ingin pecah."Bersihin enggak! Ata
"Ran. Lu kenapa? Kok muka lu pucet gitu?" tanya Eva cemas, ketika melihat Rania yang mendadak lemas sambil memegangi kepalanya. "Enggak apa-apa. Gue baik. Cuma lemes dikit aja." Rania menggeleng, menjawab santai dan disertai sedikit senyuman.Dia bersikap seolah tidak terjadi apa-apa, padahal dia sedang merasakan sakit yang sangat luar biasa di bagian kepalanya, seolah ada beban berat yang terus-menerus memukuli kepalanya sehingga ingin pecah saja. Rania kembali memfokuskan dirinya pada buku LKS yang ada di hadapannya. Eva yang melihat sikap sang sahabat, sedikit iba. "Ke UKS aja yuk. Gue takut lu kenapa-kenapa." Eva berusaha membujuk. Namun, hal tersebut mendapat gelengan kepala dari Rania."Enggak apa-apa. Gue baik kok." Bersamaan dengan kalimat itu, Rania mulai merasa pandangannya semakin tidak stabil. Dia melihat semua benda bergerak, memiliki banyak bayangan. Bahkan saat dia melihat ke arah Eva, sahabatnya itu mendadak memiliki dua sampai tiga wajah.Rania menggelengkan kepal
Perlahan-lahan sepasang mata itu mulai terbuka. Lampu LED dan langit-langit platform menjadi objek pertama yang Rania lihat.Dia mulai menggerakkan jari jemarinya perlahan. Dapat Rania rasakan adanya kehadiran seseorang di sisi kanannya. "Mommy ...," sebutnya dengan suara pelan. Dalam satu kali lihat, Rania langsung mengenali sosok wanita dewasa yang sedang duduk terlelap itu. Gerakan yang Rania lakukan, akhirnya mampu menyadarkan Desi dari tidur singkatnya itu."Sayang." Secepat mungkin, Desi mengendalikan pikirannya supaya kembali ke alam nyata."Kamu sudah bangun, Sayang? Maafin Mommy, ketiduran tadi," sambungnya yang disertai senyuman tipis kepada menantu satu-satunya itu."Enggak apa-apa, Mom. Seharusnya yang minta maaf tuh, Rania karena udah bikin Mommy cemas.""Kamu jangan banyak gerak dulu, Sayang."Nurani seorang Ibu langsung bereaksi, ketika melihat putri kesayangannya tidak bisa diam di tempatnya."Aku udah baik-baik aja kok, Mom. Cuma sedikit lemes aja," aku Rania diirin
Dikarenakan kondisi Rania yang sudah membaik, Dokter pun sudah memperbolehkan Rania untuk pulang tentu dengan pengawasan ketat dari Desi. "Apa Mommy sudah dapat kabar soal Ibu?" tanya Rania cukup cemas, terpancar dari raut wajahnya yang tampak gelisah lantaran sampai detik ini nomor Vera belum bisa dihubungi sama sekali.Desi menggeleng, "belum, Sayang. Kenapa ya, kok nomornya enggak bisa dihubungi kayak gini? Mommy juga ikut cemas sama keadaan Ibu kamu." Dia duduk di samping Rania, membelai kepala menantu kesayangannya itu. "Rania juga bingung, kenapa tiba-tiba nomor Ibu enggak aktif gini? Apa sudah terjadi sesuatu sama Ibu?" tebak Rania menduga-duga. "Ushh, jangan ngomong gitu, enggak baik, Sayang. Kita harus tetap berpikir positif. Mungkin aja hp Ibu kamu lagi rusak atau ada hal lain yang membuat nomor Ibu kamu tidak aktif ...""Kita berdoa yang terbaik untuk Ibu kamu, Sayang. Kita berdoa, supaya dia baik-baik saja di sana."Desi mengulas senyuman kecil, sedangkan Rania mengang
"Pak, bukannya banyak kasus ya. Dia yang suaranya paling besar, ternyata pelaku sebenarnya." Dia menyunggingkan bibirnya, penuh kemenangan. Erlan langsung membalikkan suasana. Secara tidak langsung, dia menyerang gadis belia itu dengan kalimatnya barusan."Kenapa Bapak tidak tanyakan ke dia? Mungkin saja, dia lah yang sudah membuat Rania sakit?" cecar Erlan lagi. "Saya bukan seseorang yang akan melakukan hal licik hanya untuk menjatuhkan lawan. Jika, saya mau, saya akan menjatuhkannya dari depan, bukan sembunyi-sembunyi seperti pengecut."Mereka yang mendengar pun termangu. Takjub dengan Erlan. Namun, tidak dengan gadis belia yang tadi menyerang Erlan. Dia tampak sangat kesal. Mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat, seolah siap untuk melayangkan pukulan pada wajah Erlan."Tenang dulu semuanya. Jangan ada keributan di sini," ucap pria setengah baya itu, berusaha untuk melerai kehebohan yang terjadi di dalam kelas.Erlan dan gadis belia itu, saling menjatuhkan tatapan tajam. Entah ada
"RANIA! JAGA UCAPAN LU!" teriak Erlan sambil mengangkat tangan kanannya, siap untuk melayangkan pukulan. Namun, tangannya tertahan di udara. Erlan menunjukkan tatapan nanar, garis bawah matanya merah. Dia tidak menyembunyikan kemarahannya di depan Rania."Kenapa diam? Lu mau tampar gue? Sini. Tampar gue. Pukul gue. Kenapa lu berhenti, Lan?" Rania menurunkan tangan Erlan, menekan-nekan di pipinya, memudahkan suaminya untuk melakukan kekerasan.Erlan tidak melanjutkan tindakannya. Dia menarik tangannya dengan kasar, sehingga terlepas dari genggaman Rania.Erlan berdengus kesal, mengepalkan tangan kanannya kuat-kuat, menunjukkannya di depan Rania. Namun, dia menahan diri untuk tidak memukul maupun menampar. "Sitt!!!" umpatnya kesal, setelah itu melenggang pergi tanpa kata.Erlan tak melanjutkan emosinya, memilih pergi dari pada harus berlama-lama di dekat Rania. Isi kepalanya terlalu panas dan sewaktu-waktu bisa meledak kapan pun
"Kamu mau makan, Sayang?" tanya Desi seraya berjalan menghampiri putra satu-satunya itu.Erlan menghentikan langkahnya, lalu menoleh pada Desi. "Mommy, urus aja tuh, menantu kesayangan, Mommy. Erlan bisa urus diri sendiri," tuturnya dengan nada dingin.Setelah berkata demikian, Erlan langsung mengayunkan kakinya kembali, mengacuhkan perhatian Desi. Dia sempat melirik Rania sekilas. Hanya sekilas karena dirinya enggan menyia-nyiakan waktu hanya untuk memandangi istrinya. Erlan menaiki anak-anak tangga, tanpa sedetik pun dia menoleh ke belakang. Sementara Desi yang masih berdiri di posisinya, tampak bersedih. Sorot kedua matanya enggan berpaling dari Erlan. Hati kecilnya berharap, suatu saat nanti putra semata wayangnya itu, bisa berubah menjadi sosok pemuda yang mampu membawa nama baik keluarga.Rania pun menghela napas panjang, tepat saat Erlan berkata tadi. Sungguh suaminya itu benar-benar tidak memiliki hati nurani. Di saat yang lain
Malam itu, seperti biasa. Erlan baru saja keluar dari salah satu tempat hiburan malam favoritnya. Dia hanya datang bersama Aldo, sahabat yang paling dipercayainya. "Lan, lu yakin bakalan balapan? Lu tadi minum lebih dari enam gelas. Gue enggak yakin, lu bakalan bisa balapan," ucap Aldo cukup cemas. "Lu ngomong apaan si, Do? Enam gelas tidak akan membuat seorang Erlan mabok, hahaha."Alih-alih berterima kasih, Erlan malah tertawa cukup keras sambil menepuk bahu Aldo. "Gue, bisa melakukan lebih dari balapan. Lu enggak usah cemas berlebihan kayak gitu. Gue bakalan pastiin ke lu, balapan kali ini gue yang jadi pemenangnya," tambahnya disertai senyuman penuh kemenangan. Aldo hanya bisa geleng-geleng kepala. "Ya dah, gue percaya, tapi kalau sampai kenapa-kenapa di jalan, gue enggak mau tanggung jawab," lanjut Aldo sambil mengacungkan jari telunjuknya. Mewanti-wanti Erlan supaya berhati-hati.Erlan mengacuhkan peringatan itu dan mem
"Selamat pagi semuanya. Hari ini Bapak ada pengumuman penting untuk kalian," ucap Agus, berstatus Wali Kelas di sini. Dia memperhatikan semua murid-muridnya. "Pengumuman penting apa, Pak?" tanya salah satu murid, menimpali.Bukan hanya dia saja yang bertanya-tanya, tetapi murid-murid lainnya pun memiliki pertanyaan yang sama.Rania dan Eva menyimak dengan serius. Sedangkan Erlan tampak memalingkan wajahnya melihat ke luar jendela. Hal seperti ini, tidak akan membuatnya penasaran. Tidak peduli, sepenting apa pengumuman itu."Pengumuman pentingnya. Dinas Pendidikan, mengadakan pertandingan Bola Voli antar sekolah tingkat kecamatan. Jadi, akan ada dua puluh sekolah di lima kecamatan yang akan bertanding, salah satunya sekolah kita. Setiap sekolah yang masuk pertandingan ini, akan mengirimkan satu tim bola voli terbaik mereka ...""Sekolah kita memiliki satu Tim terbaik. Kepala sekolah dan guru-guru lainnya telah sepakat untuk mengirimkan Tim tersebut untuk pertandingan ini.""Rania ..."
'Maafin Mommy. Sebenarnya Mommy sudah mengetahui masalah ini sejak beberapa hari yang lalu. Mommy tidak ingin memberitahumu karena Mommy taku, masalah ini akan mempengaruhi kesehatan kamu. Mommy minta maaf. Kamu mau kan maafin, Mommy.''Seperti apa pun Vera, kamu tetap putri kesayangannya, Mommy.''Ini cobaan dari, Allah. Kamu harus kuat, Sayang. Mommy akan ada terus di sisi kamu.'Perkataan Desi sangat membekas di benang Rania. Dia duduk di tepi ranjang. Menatap nanar objek di depannya. Kedua tangannya mengepal erat siap untuk meninjau sesuatu yang ada di sana. "Aaaaaaa!!!!" teriaknya sangat kencang. Bersamaan dengan itu.BRAK!!!Rania menyapu bersih barang-barang yang ada di atas meja rias. Parfum, bedak dan lainnya jatuh berserakan di lantai. Benda yang berbahan kaca, langsung pecah. Rania melihat pantulan dirinya yang kacau dari balik cermin. Garis bawah matanya merah. Napasnya memburu. "Aaaaaa!!!" Dia kembali berteriak, penuh rasa frustasi."Ayah! Inikah perempuan yang Ayah an
'RUMAH INI TELAH DISITA. RUMAH INI SUDAH MILIK TUAN ALEXANDER.'Tertulis di papan yang terpasang di depan pintu. "Mommy," ucap Rania lirih. Sepasang mata indahnya mulai berkaca-kaca. Desi meraih tangan Rania, menggenggamnya, memberi sentuhan hangat yang sangat diperlukan Rania sekarang."Kenapa ada tulisan kayak gitu, Mom? Apa maksudnya?" Rania bertanya-tanya. Dia menggenggam daun pintu, mencoba untuk membuka pintu itu. Namun, pintu itu terkunci."Bu! Buka pintunya, Bu!" Rania menggedor-gedor pintu, berteriak memanggil Ibu tirinya yang dalam beberapa hari terakhir hilang kontak dengannya."Bu, ini Rania! Buka pintunya, Bu! Rania pengen masuk, Bu!" Dia terus berusaha untuk minta dibukakan pintu, tanpa ia pedulikan papan tulis yang terpajang itu.Desi membuang napas berat. Bibirnya membisu. Hatinya menjerit sakit. "Buka pintunya, Bu! Ini rumah Ayah. Rania berhak masuk! Rumah ini milik Rania, Bu! Buka pintunya!"Rania berpikir, rumah ini terkunci dari dalam. Vera pasti ada di dalam, e
Rania masuk ke kamar. Dia berlari menuju lemari yang berada di sudut ruangan ini. Dia buru-buru mengeluarkan koper yang disimpan di dalam lemari.Rania meletakkan koper itu di lantai, dia membuka resleting koper tersebut, kemudian dia mengeluarkan baju-baju yang ada di dalam lemari.Rania melakukannya dengan langkah terburu-buru. Tak ada lagi tangisan. Pikirannya telah dipenuhi kalimat hinaan yang dilontarkan Erlan beberapa saat lalu."Sayang." Desi termangu dari jarak lima meter. Dilihatnya sang menantu yang sedang mengemas pakaiannya. Desi berlari, mengikis jarak antara keduanya. Kedua mata tidak mampu membendung air mata yang terus memaksa untuk keluar."Apa-apaan ini, Sayang? Kamu mau kemana? Ini rumah kamu, Sayang. Rumah ini milik kamu." Dia mencoba untuk membujuk Rania agar mau mengubah keputusannya itu."Enggak, Mom. Ini bukan rumah Rania. Rania di sini cuma jadi cewek pembawa sial, seperti yang Erlan katakan."Rania menarik tumpukan pakaiannya dari dalam lemari, lalu memasukk
"Pak, bukannya banyak kasus ya. Dia yang suaranya paling besar, ternyata pelaku sebenarnya." Dia menyunggingkan bibirnya, penuh kemenangan. Erlan langsung membalikkan suasana. Secara tidak langsung, dia menyerang gadis belia itu dengan kalimatnya barusan."Kenapa Bapak tidak tanyakan ke dia? Mungkin saja, dia lah yang sudah membuat Rania sakit?" cecar Erlan lagi. "Saya bukan seseorang yang akan melakukan hal licik hanya untuk menjatuhkan lawan. Jika, saya mau, saya akan menjatuhkannya dari depan, bukan sembunyi-sembunyi seperti pengecut."Mereka yang mendengar pun termangu. Takjub dengan Erlan. Namun, tidak dengan gadis belia yang tadi menyerang Erlan. Dia tampak sangat kesal. Mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat, seolah siap untuk melayangkan pukulan pada wajah Erlan."Tenang dulu semuanya. Jangan ada keributan di sini," ucap pria setengah baya itu, berusaha untuk melerai kehebohan yang terjadi di dalam kelas.Erlan dan gadis belia itu, saling menjatuhkan tatapan tajam. Entah ada
Dikarenakan kondisi Rania yang sudah membaik, Dokter pun sudah memperbolehkan Rania untuk pulang tentu dengan pengawasan ketat dari Desi. "Apa Mommy sudah dapat kabar soal Ibu?" tanya Rania cukup cemas, terpancar dari raut wajahnya yang tampak gelisah lantaran sampai detik ini nomor Vera belum bisa dihubungi sama sekali.Desi menggeleng, "belum, Sayang. Kenapa ya, kok nomornya enggak bisa dihubungi kayak gini? Mommy juga ikut cemas sama keadaan Ibu kamu." Dia duduk di samping Rania, membelai kepala menantu kesayangannya itu. "Rania juga bingung, kenapa tiba-tiba nomor Ibu enggak aktif gini? Apa sudah terjadi sesuatu sama Ibu?" tebak Rania menduga-duga. "Ushh, jangan ngomong gitu, enggak baik, Sayang. Kita harus tetap berpikir positif. Mungkin aja hp Ibu kamu lagi rusak atau ada hal lain yang membuat nomor Ibu kamu tidak aktif ...""Kita berdoa yang terbaik untuk Ibu kamu, Sayang. Kita berdoa, supaya dia baik-baik saja di sana."Desi mengulas senyuman kecil, sedangkan Rania mengang