SATU BULAN KEMUDIAN.
Erlan dan Rania pun telah resmi menikah. Namun, pernikahan tersebut dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan dihadiri dua keluarga inti serta Ketua KUA saja. Hal itu dilakukan semata-mata agar pihak luar tidak mengetahui pernikahan tersebut, terutama dari pihak sekolah dan teman-teman Rania maupun Erlan. . "Lu tidur di lantai, gue tidur di kasur!" tegas Erlan dengan tatapan serius. Rania menganga, tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. "Lu tenang aja. Gue punya kasur cadangan di lemari. Pake aja tuh, biar lu enggak kedinginan," sambung Erlan masih dengan gaya arogannya. Kendati demikian dari kalimat yang digunakan, ada makna perhatian di baliknya. Rania menghela napas panjang, sebelum akhirnya dia mengangguk pelan. Kamar ini telah dihias selayaknya taman. Ada kelopak bunga mawar menghiasi lantai serta tempat tidur. Kata orang, ini adalah malam pertama, malam yang sangat indah bagi sepasang pengantin baru. Namun, bagi Rania, ini adalah malam yang menjadi awal dari kesengsaraannya. Buktinya saja, dia sudah diminta untuk tidur di lantai, meskipun ada kasur lantai, tapi tetap saja kesannya tidaklah mengenakan. Bagaimana pendapat orang rumah, seandainya tahu masalah ini? "Apa lagi?" Rania bertanya singkat dengan nada malas. "Maksud lu?" Erlan balik melontarkan pertanyaan. Rania kembali membuang napas panjang, "maksud gue, apa ada lagi yang harus gue patuhin di kamar ini?" "Ohhhh ... Ngomong dong yang jelas, kan jadinya gue enggak salah paham sama maksud lu tadi." Rania menggelengkan kepalanya, merasa malas dengan perkataan Erlan yang terkesan basa-basi, membuang-buang waktu. "Gue ingetin lu ya. Kamar ini milik gue. Jadi, lu enggak bisa seenaknya pake kamar ini. Gue enggak suka ada orang yang naruh sembarangan barang di kamar gue. Apa lagi sampai bikin kamar gue berantakan. Gue paling benci sama orang kayak gitu. Jorok tau. Paham kan lu?" "Ya, ya, ya. Gue paham. Lu tenang aja, enggak usah khawatir. Gue buka orang yang kayak gitu. Kamar lu, bakalan aman sama gue." Rania langsung membuang pandangannya setelah berkata demikian. Erlan benar-benar orang yang sangat membosankan, di mata Rania. Ya, meksipun mulai sekarang Erlan adalah suaminya. Akan tetapi, bukan berarti Rania akan takluk di bawah kakinya. Begitu juga dengan Erlan. "Ok. Itu yang pertama ..." "Terus apa yang keduanya?" Rania menyela. "Enggak usah nyela kayak gitu. Gue bakalan jelasin semuanya," dengusnya kesal. "Ya udah, gih lanjut." Gadis mungil dengan tatapan judes itu, membuang pandangannya ke sisi berbeda. Selang beberapa detik dia menghela napas berat. Kalau boleh jujur, Erlan sangatlah menyebalkan. Erlan mengernyitkan keningnya. Baru kali ini, dia dibuat ingin makan jantung orang, saking kesalnya. Ekspresi Rania membuat aliran darahnya bergejolak. Seandainya kalau bukan permintaan Ibunya, tidak sudi dia menikah dengan Rania. "Kedua. Lu, enggak boleh nyentuh barang-barang punya gue. Terutama baju-baju gue yang ada di lemari. Pokoknyau jangan nyentuh barang-barang punya gue seenak lu!" tegas Erlan sambil mengacungkan jari telunjuknya. Rania menarik napasnya dalam-dalam, lalu membuangnya cepat. Setelah itu, barulah dia tersenyum lebar. Padahal itu senyuman yang dibuat-buat agar Erlan puas. "Lu paham kan?" "Iya," jawab Rania singkat. "Jangan iya, iya aja. Aslinya paham enggak lu!" Erlan sedikit meninggikan suaranya. "Iya, bawel. Enggak usah ngegas juga kali." Rania berkata dengan nada malas. Sumpah, lama-lama kepalanya bisa pecah kalau begini terus. "Enggak penting juga," gumam Rania sangat pelan. Saking lelahnya, Erlan tidak bisa mendengarnya. Dia hanya melihat Rania seperti sedang komat-kamit. Belum ada dua puluh empat jam Rania berada di rumah ini, tapi rasanya sudah seperti puluhan tahun terkungkung di rumah besar yang lebih pantas disebut penjara ketimbang rumah. Perkataan Erlan yang pantas disebut tong kosong nyaring bunyinya itu, membuat kepala Rania mulai sakit. Sesuatu seperti ingin meledak dari dalam kepalanya. "Oh, iya. Satu hal lagi." "Lagi?" Rania sedikit menganga. Erlan sudah persis Nenek Sihir itu, yang banyak maunya. Rania menepuk keningnya. Sudah dapat ia bayangkan kehidupan apa yang akan dijalaninya setelah ini. "Ini yang terpenting. Gue, ingetin ke lu ya. Jangan bersikap sok kenal saat di sekolah. Pokoknya, gue enggak mau anak-anak di sekolah tahu hubungan ini!" "Lu jangan bersikap seolah-olah kita ini akrab. Apa lagi sampai lu bilang ke semua orang, kalau kita dah nikah. Lu harus bersikap, seperti enggak kenal gue!" Rania melipat kedua tangannya di dada, "dih, siapa juga yang mau akrab sama lu di sekolah. Ogah banget gue. Jangan kegeeran deh. Gue juga muak, deket-deket sama lu." Rania mengatakannya dengan jujur, tampa ia tutupi kekesalannya itu. Erlan mengepalkan tangan kanannya, hendak melayangkan pukulan saking kesalnya dengan ucapan Rania. Namun, diurungkan niatnya itu, mengingat pesan Desi terhadap dirinya. "Udah, itu aja permintaan lu?" "Iya." Erlan menjawabnya singkat. "Ya udah. Gue mau mandi kalau gitu. Udah gerah gue di sini. Panas kepala gue, dengerin omongan lu," celetuknya jujur, tanpa peduli perasaan Erlan yang tidak lain adalah suaminya sekarang. Rania paling tidak bisa menyembunyikan kekesalannya. Bilamana ada sesuatu yang tidak sreg di hatinya, maka Rania tidak segan-segan untuk mengungkapkannya. Selanjutnya, Rania melenggang pergi. Dia cukup puas dengan kalimat terakhirnya itu. Erlan lagi-lagi mengepalkan tangannya sambil menggertakkan gigi. Seandainya bukan karena janjinya kepada Desi, dia tidak akan mau berbagi kamar dengan Rania. Cewek paling ngeselin, yang pernah dikenalnya. "Awas lu, Rania. Gue bakalan bikin hidup lu menderita di sini!" "Lihat aja nanti, siapa yang bakalan bertahan? Gue bakalan bikin lu enggak betah di sini." . Beberapa jam setelahnya. Erlan berada di atas ranjang yang empuk dan hangat, sementara Rania berbaring di lantai beralaskan kasur tipis. Keduanya tidur secara terpisah. Erlan sibuk dengan ponselnya. Dia sedang bermain game, sedangkan Rania berusaha untuk memejamkan matanya. "Woi, bangsat! Itu di belakang lu, anjir!" teriak Erlan yang asyik dengan dunianya sendiri. Rania pun kesulitan untuk tidur, lantaran Erlan terus menerus berteriak, melontarkan kata-kata umpatan dan lainnya sebagainya, membuat gendang telinga Rania seakan ingin pecah. "Ya Tuhan, cobaan apa lagi yang harus aku hadapi? Mengapa Engkau membawaku ke dalam situasi yang menyebalkan ini?" Rania menggerutu, mengomentari nasibnya yang selalu berujung sial atau menyengsarakan dirinya. Rania menutup kupingnya dengan bantal, mencoba untuk tertidur. Tubuhnya sudah sangat lelah."Ini uang lima puluh ribu! Kamu pergi ke pasar, beli daging, telor, sayur, ikan, cabe, bawang, pake uang ini!" tegas wanita itu, seraya memberikan uang kertas pecahan lima puluh ribu, kepada seorang gadis belia, berstatus anak dari mendiang suaminya. "Apa? Belanja sebanyak itu, cuma dikasih lima puluh ribu?"Rania Mikaila, yang biasa dipanggil Rania pun menganga, tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Di tangannya sekarang, ada uang lima puluh ribu. Wanita dewasa yang lebih pantas disebut Nenek sihir itu, berstatus ibu di atas kertas baginya. Ia memberikan uang tersebut untuk membeli keperluan dapur. Ongkos ke pasarnya saja sepuluh ribu, untuk satu kali balik. Kalau bolak balik, berarti dua puluh ribu, sisa tiga puluh ribu, sedangkan uang yang diberikan lima puluh ribu dan harus bisa membeli daging, telur dan lainnya. Wanita itu masih waras atau sudah kelewat gila?"Iya! Memangnya kenapa dengan uang segitu? Bukankah cukup untuk membeli daging, telur dan lainnya? Kamu kan pinta
Hari berikutnya. Rania keluar kamar dengan menghela napas panjang. Hari libur sekolahnya hanya dihabiskan dengan keluar masuk kamar saja. "Ini, uang belanja hari ini!" tegas Vera, wanita empat puluh tahun, yang berkuasa di rumah ini. "Kamu beli daging, telor sama sayuran di pasar! Uang ini harus cukup membeli semua keperluan dapur. Jangan sampai tidak! Mengerti kamu!" tambah Vera menjatuhkan perintah disertai tatapan serius. Rania menganga saat Vera menyodorkan uang lembaran pecahan lima puluh ribu dan segudang keinginan yang harus diwujudkannya. "Kali ini kamu jangan main-main lagi! Sampai kamu mempermainkan Ibu lagi, maka Ibu akan memotong uang jajan sekolah kamu!" ancam Vera. Kali ini, dia lebih ngotot dari sebelumnya. Semata-mata untuk bisa mengatur Rania agar mau menuruti kemauannya.Rania menggenggam uang lima puluh ribu itu. Lagi-lagi, dia harus dihadapkan dengan situasi yang sama seperti kemarin.Kenapa harus serumit ini nasibnya? Kehidupan yang harus dijalani seperti di n
PLAAAKKKKKK ...Tamparan keras mendarat di pipi Rania. Saking kencangnya, sampai meninggalkan bekas merah di sana.Rania menyentuh pipinya yang terasa nyeri, seraya menyeringai kecil. "Sudah, Jeng Vera, cukup. Jangan, dilanjutkan. Kasian Rania, Jeng." kata wanita itu, mencoba untuk melerai pertikaian antara Vera dan Rania. Dia merasa tidak enak hati, melihat pasangan ibu dan anak itu saling melukai. Lagi-lagi Rania tersenyum miring. "Enggak usah masang muka polos kayak gitu, Tan. Aku udah tahu, pikiran kotor kalian. Tante, membeliku, untuk dijadikan budak di club malam kan? Iya kan, Tante?" sungutnya, memberi tuduhan yang tidak dilandasi bukti kuat."RANIA! CUKUP!" teriak Vera kembali. Lama-lama dia muak dengan perkataan Rania yang kurang ajar. "Berhenti berpikir yang bukan-bukan! Minta maaf cepat, ke Tante Desi!" Vera meninggikan suaranya. Alih-alih menuruti perintah Vera, Rania malah menyelengos, memasang wajah tidak sedap dipandang. Setelah itu, dia lari begitu saja dari ruang
Di dalam kelas 12 A."Ran, cowok tadi kayaknya anak baru deh. Soalnya dari seragam sekolahnya itu loh, beda sama seragam sekolah kita," bisik Eva pada teman sebangkunya, yang tidak lain adalah Rania."Terus, gue harus bilang wow gitu?" jawab Rania dengan tatapan malas.Eva menyunggingkan bibir bagian atasnya. "Teriak aja sekalian, Ran. Gue ikhlas. Enggak bakalan gue cegah lu, seandainya lu suka sama tuh cowok," celetuknya mencoba menghibur Rania supaya tidak jeles.Alih-alih mengubah suasana hati temannya, Rania malah semakin ngamuk. Dia menjatuhkan tatapan horor, yang mengerikan."Dih, najis! Ogah, gue suka sama cowok kayak dia. Berandalan kayak gitu. Malas banget gue. Mending gue jomblo seumur hidup, dari pada harus suka sama dia. Ih ...""Hust, jangan ngomong kayak gitu, Ran. Entar, Tuhan, denger doa lu gimana? Bukannya jomblo seumur hidup, lu malah nikah sama tuh cowok, terus bucin akut. Gimana, Ran?"Eva mencoba menakut-nakuti. Namun, Rania tidak semudah itu terhasut dengan ucap
"Jadi, kalian sudah saling kenal?" tanya Desi sambil menatap bergantian Erlan dan Rania."Bukan kenal lagi, tapi sangat kenal, Mom. Dia itu, cewek ngeselin di sekolah," adu Erlan seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan menatap sinis Rania."Maksudnya ngeselin apa, Sayang? Mommy enggak paham deh." Desi begitu penasaran dengan arti ucapan Erlan. Ditatapnya dua remaja belia yang usianya tidak terpaut jauh itu."Dia hampir nabrak aku, Tan," timpal Rania cepat, sebelum Erlan sempat menjawab pertanyaan Desi. Dia sedikit mengangkat bahunya, menunjukkan kesan tantangan kepada Erlan secara terbuka."Apa?" Desi cukup terkejut mendengar pengakuan Rania."Woi, cewek ngeselin. Mana ada seperti itu. Lu nya aja yang jalan enggak pake mata," tunjuk Erlan dengan nada kesal dan kasar."Erlan! Jaga bicaramu!" bentak Desi sedikit keras."Apa, Mom? Aku enggak salah, dia yang salah! Udah tahu, ada motor mau lewat, tetap aja dia jalan!" Erlan meninggikan suaranya, membela dirinya di hadap