PLAAAKKKKKK ...
Tamparan keras mendarat di pipi Rania. Saking kencangnya, sampai meninggalkan bekas merah di sana. Rania menyentuh pipinya yang terasa nyeri, seraya menyeringai kecil. "Sudah, Jeng Vera, cukup. Jangan, dilanjutkan. Kasian Rania, Jeng." kata wanita itu, mencoba untuk melerai pertikaian antara Vera dan Rania. Dia merasa tidak enak hati, melihat pasangan ibu dan anak itu saling melukai. Lagi-lagi Rania tersenyum miring. "Enggak usah masang muka polos kayak gitu, Tan. Aku udah tahu, pikiran kotor kalian. Tante, membeliku, untuk dijadikan budak di club malam kan? Iya kan, Tante?" sungutnya, memberi tuduhan yang tidak dilandasi bukti kuat. "RANIA! CUKUP!" teriak Vera kembali. Lama-lama dia muak dengan perkataan Rania yang kurang ajar. "Berhenti berpikir yang bukan-bukan! Minta maaf cepat, ke Tante Desi!" Vera meninggikan suaranya. Alih-alih menuruti perintah Vera, Rania malah menyelengos, memasang wajah tidak sedap dipandang. Setelah itu, dia lari begitu saja dari ruangan tersebut, tanpa mengatakan apa-apa. "Rania! Kembali kamu! Dasar anak tidak tahu diuntung!" teriak Vera, sampai urat-urat lehernya menegang saking kesal dan marah kepada putri sambungnya itu. "Sudah, Jeng. Jangan marah lagi. Biarkan Rania menenangkan dirinya dulu. Mungkin, Rania belum siap dengan perjodohan ini," kata Desi, berusaha menenangkan Vera yang emosinya sedang meluap-luap itu. Dada Vera naik turun. Dia benar-benar malu di depan Desi, atas sikap Rania yang keras kepala itu. "Maafin aku ya, Jeng. Kamu harus lihat kejadian kayak gini. Padahal niat kamu baik, cuma ingin menjodohkan dia dengan anakmu." Vera mulai tenang, setelah berhasil mengendalikan pikirannya, yang sempat kehilangan ketenangan itu. "Iya, Jeng. Enggak apa-apa. Aku bisa maklumin kok. Bukan kamu aja, Jeng, yang ngadepin sikap keras kepala anak-anak. Aku pun sering berdebat dengan anakku," tutur Desi, yang juga mulai enjoy kembali, setelah sempat ikut merasakan ketegangan tadi. Vera menarik napasnya dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan-lahan. "Makasih ya, Jeng, atas pengertiannya. Rania memang gitu, sifat keras kepalanya susah dihilangkan. Dia juga susah diatur. Makanya, saya sering marah-marah, kalau ngomong sama dia." Vera tidak ragu untuk mengungkapkan kelakuan Rania di hadapan Desi. "Santai aja, Jeng. Jangan buru-buru. Aku sudah melihat Rania. Dia anak yang baik sebenarnya. Perjodohan ini tetap dilanjutkan, Jeng. Kamu tenang aja. Sekarang, kita tinggal mengatur waktu, supaya Rania bisa bertemu dengan anakku." Perkataan Desi, membawa angin segar bagi Vera. Dia sempat cemas, Desi akan mengubah keputusannya, setelah melihat sikap tidak dewasa Rania. "Aduh, makasih banget, Jeng Desi. Aku sebagai walinya Rania sekarang, merasa sangat senang dan bersyukur. Jeng Desi, masih mau melanjutkan perjodohan ini." Desi mengulas senyuman kecil. "Tenang aja, Jeng. Perjodohan ini tetap dilanjutkan dan pernikahan keduanya akan tetap berjalan, sesuai yang kita sepakati bersama. Aku yakin, Rania akan menerima semua ini, cepat atau lambat." "Amiin. Semoga aja ya, Jeng dan anakmu bisa menerima Rania." *** Hari berikutnya. Rania pergi sekolah lebih awal dari biasanya. Bahkan dia tidak sarapan. Alasannya karena malas harus kontak mata dengan Vera. Rania turun dari angkot. Padahal di rumahnya ada mobil serta supir. Namun, Rania enggan menikmati pasilitas tersebut, setelah Ayahnya tiada. Vera selalu mengungkit soal gaji supir dan ART, kalau dirinya menikmati pasilitas. Gadis beli berseragam putih abu-abu itu, lantas mengayunkan kakinya melewati gerbang, memasuki halaman sekolah. "Woi, Rania tralalala!" panggil seseorang dari arah belakang. Dari cara panggilan itu, Rania langsung mengenali sosok yang baru saja menyapanya. Dia berbalik badan dan memasang wajah datar, lantaran suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja sejak kemarin. "Apaan si? Enggak usah pake tralalala gitu. Nama gue, Rania Mikaila Putri!" tegas gadis mungil delapan belas tahun itu, sedikit protes dan kesal, sebab temannya memanggilnya dengan seenak jidat. "Hahaha, iya, iya. Enggak usah sewot kayak gitu juga kali. Gue juga tahu, nama lu tuh, Rania Mikaila Putri." "Nah, itu tempe," jawab Rania masih dengan nada ketus. Kemudian, dia kembali mengayunkan kakinya. "Gue, tebak. Lu, pasti lagi bad mood ya?" "Hooh. Biasalah. Si Nenek Sihir itu, selalu aja bikin bad mood," aku Rania dengan nada malas. Malas berkata panjang lebar. "Kali ini, apa lagi yang dilakuin tuh si Nenek Sihir, ke lu? Sampai-sampai mood lu kayak gini?" tanya Eva, penasaran. Ya, gadis belia berseragam putih abu-abu dan usianya sebaya dengan Rania itu, bernama Eva Sari. Biasa dipanggil Eva. Rania pun menghela napas panjang, "dia ngajak Tante-tante ke rumah. Terus, tuh si Tante-tante bilang. Kalau dia mau jadiin gue menantu ..." "Lah, gue langsung marah dong. Emang dia kira gue cewek apaan, semudah itu buat dijadiin menantu? Terus gue debat, akhirnya gue kena tampar si Nenek Sihir," beber Rania diiringi helaan napas. "Seriusan? Dia nampar lu?" Eva menghentikan langkahnya, tidak mampu menyembunyikan keterkejutannya. Rania mengangguk satu kali, sebelum akhirnya mengayunkan kakinya kembali. "Wah, parah itu. Bisa kena pasal kekerasan dalam rumah tangga. Lu bisa nuntut tuh. Apa lagi, tuh Tante-tante niat buat jadiin lu menantunya. Jangan-jangan, lu udah dijual tuh sama si Nenek Sihir ke Tante-tante itu. Makanya dia bilang kayak gitu. Dih, ngeri amat ya," cerocos Eva, ke sana kemari. "Gue yakin, si Nenek Sihir sama Tante-tante itu, udah ngerencanain sesuatu buat lu ..." Suasana hati Rania sudah terbakar sejak kemarin, kemudian ditambah Eva menyiraminya dengan minyak tanah. Alhasil, makin menjadi-jadi luapan emosi Rania. "Woi, Rania tralalala! Tunggu gue!" Rania memilih untuk mengayunkan kakinya saja, dari pada harus terus-menerus mendengarkan ocehan Eva yang semakin ngawur. TIIITTT! Seseorang dengan sepeda motornya, tiba-tiba mengerem mendadak, tepat di depan Rania. Jaraknya hanya beberapa sentimeter saja. "Rania awas!" teriak Eva sangat keras. Rania terkejut bukan main. Hanya kurang beberapa detik saja, dia hampir berakhir di rumah sakit. "Woi, bangsat! Punya mata enggak lu!" Rania yang memang sudah emosi, kini semakin menjadi-jadi. Dia membusungkan dada serta wajahnya, saat berbicara dengan pengendara motor yang masih mengenakan helm itu. "Lu, mau bikin gue mati ah! Dasar bangsat lu!" Selain berteriak dan memaki, Rania juga memukul body depan motor itu cukup keras. Remaja belia yang ada di atas motor itu, lantas membuka helmnya. Dia mengibaskan rambutnya, sehingga terlihat keren di mata para cewek-cewek yang kebetulan berada di area tersebut. "Ran, liat deh. Ganteng banget dia," bisik Eva sambil bergelayut di tangan Rania. "Apaan si, enggak usah lebay deh!" Rania mendorong Eva, sehingga temannya itu tidak lagi menempel seperti anak monyet. "Dih, jangan marah gitu. Kenyataannya dia emang ganteng banget, Ran. Masa si, lu enggak bisa lihat?" "Enggak!" tegas Rania, tidak bisa diganggu gugat. "Tadi lu bilang apa? Gue, mau bikin lu mati?" Pemuda itu akhirnya angkat bicara. Dia menanyai Rania, yang sempat marah-marah tadi. "Hooh! Kan emang benar. Lu pengen gue mati di sini!" sungut Rania seraya berkacak pinggang. Remaja ganteng yang belum diketahui namanya itu, menyelengos. Sorot matanya terlihat jeles dan menganggap perkataan lawan bicaranya hanyalah bualan semata. "Alah ... Engga usah lebay lah. Lu sendiri yang jalan enggak pake mata. Udah, tahu gue mau lewat sini, masih aja lu jalan. Dalam hal ini, bukan gue salah. Sudah jelas, lu yang salah!" tegas pemuda itu, membela dirinya sendiri. Tentu ia mengelak dan tidak mau disalahkan Rania semakin murka. Wajahnya yang semula merah padam, kini menjadi kelabu. Dia mengepalkan kedua tangannya, sangat-sangat marah. BRUK! Rania mendorong helm itu, sehingga jatuh berguling-guling di tanah. "Woi! Lu punya masalah apa si sama gue, ah?" teriaknya sewot. Rania menjulurkan lidahnya, balik meledek remaja belia itu. Setelahnya, Rania melenggang pergi. "Woi, cewek aneh! Minta maaf enggak lu!" Pemuda itu kembali berteriak. Namun, Rania tidak menggubrisnya. Dia hanya menoleh, sebelum akhirnya kembali berjalan.Di dalam kelas 12 A."Ran, cowok tadi kayaknya anak baru deh. Soalnya dari seragam sekolahnya itu loh, beda sama seragam sekolah kita," bisik Eva pada teman sebangkunya, yang tidak lain adalah Rania."Terus, gue harus bilang wow gitu?" jawab Rania dengan tatapan malas.Eva menyunggingkan bibir bagian atasnya. "Teriak aja sekalian, Ran. Gue ikhlas. Enggak bakalan gue cegah lu, seandainya lu suka sama tuh cowok," celetuknya mencoba menghibur Rania supaya tidak jeles.Alih-alih mengubah suasana hati temannya, Rania malah semakin ngamuk. Dia menjatuhkan tatapan horor, yang mengerikan."Dih, najis! Ogah, gue suka sama cowok kayak dia. Berandalan kayak gitu. Malas banget gue. Mending gue jomblo seumur hidup, dari pada harus suka sama dia. Ih ...""Hust, jangan ngomong kayak gitu, Ran. Entar, Tuhan, denger doa lu gimana? Bukannya jomblo seumur hidup, lu malah nikah sama tuh cowok, terus bucin akut. Gimana, Ran?"Eva mencoba menakut-nakuti. Namun, Rania tidak semudah itu terhasut dengan ucap
"Jadi, kalian sudah saling kenal?" tanya Desi sambil menatap bergantian Erlan dan Rania."Bukan kenal lagi, tapi sangat kenal, Mom. Dia itu, cewek ngeselin di sekolah," adu Erlan seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan menatap sinis Rania."Maksudnya ngeselin apa, Sayang? Mommy enggak paham deh." Desi begitu penasaran dengan arti ucapan Erlan. Ditatapnya dua remaja belia yang usianya tidak terpaut jauh itu."Dia hampir nabrak aku, Tan," timpal Rania cepat, sebelum Erlan sempat menjawab pertanyaan Desi. Dia sedikit mengangkat bahunya, menunjukkan kesan tantangan kepada Erlan secara terbuka."Apa?" Desi cukup terkejut mendengar pengakuan Rania."Woi, cewek ngeselin. Mana ada seperti itu. Lu nya aja yang jalan enggak pake mata," tunjuk Erlan dengan nada kesal dan kasar."Erlan! Jaga bicaramu!" bentak Desi sedikit keras."Apa, Mom? Aku enggak salah, dia yang salah! Udah tahu, ada motor mau lewat, tetap aja dia jalan!" Erlan meninggikan suaranya, membela dirinya di hadap
SATU BULAN KEMUDIAN.Erlan dan Rania pun telah resmi menikah. Namun, pernikahan tersebut dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan dihadiri dua keluarga inti serta Ketua KUA saja. Hal itu dilakukan semata-mata agar pihak luar tidak mengetahui pernikahan tersebut, terutama dari pihak sekolah dan teman-teman Rania maupun Erlan.."Lu tidur di lantai, gue tidur di kasur!" tegas Erlan dengan tatapan serius. Rania menganga, tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. "Lu tenang aja. Gue punya kasur cadangan di lemari. Pake aja tuh, biar lu enggak kedinginan," sambung Erlan masih dengan gaya arogannya. Kendati demikian dari kalimat yang digunakan, ada makna perhatian di baliknya. Rania menghela napas panjang, sebelum akhirnya dia mengangguk pelan.Kamar ini telah dihias selayaknya taman. Ada kelopak bunga mawar menghiasi lantai serta tempat tidur. Kata orang, ini adalah malam pertama, malam yang sangat indah bagi sepasang pengantin baru. Namun, bagi Rania, ini adalah malam yang menjadi awal
"Ini uang lima puluh ribu! Kamu pergi ke pasar, beli daging, telor, sayur, ikan, cabe, bawang, pake uang ini!" tegas wanita itu, seraya memberikan uang kertas pecahan lima puluh ribu, kepada seorang gadis belia, berstatus anak dari mendiang suaminya. "Apa? Belanja sebanyak itu, cuma dikasih lima puluh ribu?"Rania Mikaila, yang biasa dipanggil Rania pun menganga, tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Di tangannya sekarang, ada uang lima puluh ribu. Wanita dewasa yang lebih pantas disebut Nenek sihir itu, berstatus ibu di atas kertas baginya. Ia memberikan uang tersebut untuk membeli keperluan dapur. Ongkos ke pasarnya saja sepuluh ribu, untuk satu kali balik. Kalau bolak balik, berarti dua puluh ribu, sisa tiga puluh ribu, sedangkan uang yang diberikan lima puluh ribu dan harus bisa membeli daging, telur dan lainnya. Wanita itu masih waras atau sudah kelewat gila?"Iya! Memangnya kenapa dengan uang segitu? Bukankah cukup untuk membeli daging, telur dan lainnya? Kamu kan pinta
Hari berikutnya. Rania keluar kamar dengan menghela napas panjang. Hari libur sekolahnya hanya dihabiskan dengan keluar masuk kamar saja. "Ini, uang belanja hari ini!" tegas Vera, wanita empat puluh tahun, yang berkuasa di rumah ini. "Kamu beli daging, telor sama sayuran di pasar! Uang ini harus cukup membeli semua keperluan dapur. Jangan sampai tidak! Mengerti kamu!" tambah Vera menjatuhkan perintah disertai tatapan serius. Rania menganga saat Vera menyodorkan uang lembaran pecahan lima puluh ribu dan segudang keinginan yang harus diwujudkannya. "Kali ini kamu jangan main-main lagi! Sampai kamu mempermainkan Ibu lagi, maka Ibu akan memotong uang jajan sekolah kamu!" ancam Vera. Kali ini, dia lebih ngotot dari sebelumnya. Semata-mata untuk bisa mengatur Rania agar mau menuruti kemauannya.Rania menggenggam uang lima puluh ribu itu. Lagi-lagi, dia harus dihadapkan dengan situasi yang sama seperti kemarin.Kenapa harus serumit ini nasibnya? Kehidupan yang harus dijalani seperti di n