"Ini uang lima puluh ribu! Kamu pergi ke pasar, beli daging, telor, sayur, ikan, cabe, bawang, pake uang ini!" tegas wanita itu, seraya memberikan uang kertas pecahan lima puluh ribu, kepada seorang gadis belia, berstatus anak dari mendiang suaminya.
"Apa? Belanja sebanyak itu, cuma dikasih lima puluh ribu?" Rania Mikaila, yang biasa dipanggil Rania pun menganga, tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Di tangannya sekarang, ada uang lima puluh ribu. Wanita dewasa yang lebih pantas disebut Nenek sihir itu, berstatus ibu di atas kertas baginya. Ia memberikan uang tersebut untuk membeli keperluan dapur. Ongkos ke pasarnya saja sepuluh ribu, untuk satu kali balik. Kalau bolak balik, berarti dua puluh ribu, sisa tiga puluh ribu, sedangkan uang yang diberikan lima puluh ribu dan harus bisa membeli daging, telur dan lainnya. Wanita itu masih waras atau sudah kelewat gila? "Iya! Memangnya kenapa dengan uang segitu? Bukankah cukup untuk membeli daging, telur dan lainnya? Kamu kan pintar ... Seharusnya kamu bisa menggunakan uang ini untuk membeli keperluan dapur. Mengerti?" Rania kembali memandangi uang kertas berwarna biru itu. Membeli daging, telur, sayuran dan lainnya, dengan uang lima puluh ribu, bagaimana bisa? Harga daging saja sudah seratus ribu lebih. Belum lagi, telur, satu kilonya saja sudah tiga puluh ribu, lalu sayuran, cabai, bawang dan lainnya. Saat ini harga bahan pokok sedang naik semua. Apa bisa, memenuhi kebutuhan dapur hanya dengan uang pas-pasan? Bukan pas, melainkan kurang banyak. Rania bertanya-tanya, sebenarnya wanita yang dipanggilnya ibu itu, ingin dirinya berbelanja atau merampok di pasar? Banyak maunya, tapi enggan untuk keluar modal. "Rania!" teriaknya keras. Rania tersadar dari lamunan. Memasang wajah datar dan masih terperangah. Isi kepalanya sedang berputar, mencari cara untuk memecahkan masalah ini. Bisa kah uang ini disobek-sobek, lalu diberikan ke pedagang di pasar, untuk ditukarkan daging dan bahan pokok lainnya? "Jangan diam aja! Sudah sana pergi ke pasar, mumpung masih pagi! Sayurannya juga pasti masih segar-segar!" perintahnya semudah membalikkan telapak tangan. "Satu hal lagi. Kalau masih ada sisanya, kamu beli kopi ya. Stok kopi di rumah sudah habis!" "Lagi?" Rania menganga untuk yang kedua kalinya. "Iya. Memangnya kenapa? Seharusnya uang segitu masih ada lebihnya, kalau kamu bisa menggunakan uang itu dengan baik!" tunjuknya pada selembar uang pecahan lima puluh ribu yang ada di tangan Rania. "Daging saja harganya seratus ribu. Sedangkan uang yang kubawa lima puluh ribu. Sebenarnya ibu ingin aku belanja, atau merampok bank?" Rania kehabisan kata-kata. Tidak tahu jalan pikiran ibunya seperti apa? Mungkin beli tahu tempe dan sayur, masih cukup dengan uang lima puluh ribu. Sedangkan yang dimau adalah membeli daging. Apa harus dirobek menjadi dua bagian terlebih dahulu kah, supaya nominalnya berubah menjadi seratus ribu? "Itu, bukan urusan ibu! Pokoknya kamu pulang harus mambwa daging, telor, sayur dan lainnya. Titik!" Selepas berkata demikian, dia langsung pergi. Meninggalkan Rania yang masih terpaku di posisinya. Memikirkan bagaimana caranya mendapatkan daging dengan uang lima puluh ribu saja, sudah membuat kepalanya pusing. Apa lagi harus membeli keperluan lainnya, makin tampah pusing kepalanya. Seperti balon yang sewaktu-waktu bisa saja pecah tanpa terduga. Rania menghela napas panjang. "Seandainya Ayah masih hidup, mungkin aku tidak akan bernasib sial seperti ini ..." "Dia tidak pantas disebut seorang ibu, lebih pantas disebut Mak Lampir. Nenek Sihir. Wewe Gombel, atau semacamnya. Pokoknya lebih serem dari mereka," cibirnya cukup keras. "Seandainya wanita iblis itu, masih ada di sini, mungkin ia akan mengamuk seperti gajah yang kelaparan," lanjutnya mengeluarkan unek-unek yang sedari tadi tertahan di dalam hati. "Kenapa, Ayah mau nikah sama perempuan jahanam kayak dia si? Percuma punya rumah besar, kalau di dalamnya seperti berada di neraka!" Huft ... Rania merasa sangat emosional saat ini. Ingin kabur detik ini juga. Akan tetapi, kemana dia harus pergi? Ia tidak lagi memiliki siapa-siapa. Orang tua kandungnya sudah tiada semua. "Hei, anak pemalas! Kenapa belum jalan? Cepat sana pergi ke pasar!" perintah wanita itu dari lantai dua. Rania mendongak, "iya, Nenek Sihir, bawel!" jawabnya penuh kekesalan. Setelah mengatai wanita itu dengan sebutan 'Nenek Sihir' barulah Rania melenggang pergi. Suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja saat ini. *** DUA JAM KEMUDIAN. Rania sudah keluar dari pasar. Dia membawa tas belanja yang terbuat dari anyaman bambu. Di dalam tas jinjing itu, sudah ada beberapa keperluan dapur yang berhasil ia dapatkan. Ketimbang harus memikirkan semua keinginan Nenek Sihir itu, Rania lebih memilih membeli bahan pokok yang benar-benar diperlukannya. Tidak perlu mahal, asalkan bisa membuat perut kenyang. Itu sudah lebih dari cukup. "Mana ya angkotnya?" Rania melihat sisi kiri dari posisinya berdiri. Sudah lebih lima belas menit dia berdiri di sana, menunggu angkot yang tak kunjung lewat. Jalan kaki pun percuma. Jarak dari pasar ke rumahnya cukup jauh. Lebih dari tiga puluh menit dengan naik angkot. Itupun jika angkotnya tidak berhenti lama menunggu penumpang. Istilahnya 'ngetem'. BRUSSSHH! Mobil sport mewah melaju cepat. Pagi ini turun hujan cukup deras, sehingga ada genangan air tepat tidak jauh dari tempat Rania berdiri. Bekas genangan itu menyembur cukup kuat, hingga membuat baju Rania basah dan kotor setelahnya. "Woi! Orang gila! Punya mata enggak! Kencang aja bawa mobilnya!" teriak Rania mengomel. Tidak terima, pakaiannya menjadi basah dan kotor akibat genangan air yang menyiprat tadi. "Gue juga punya mobil! Enggak gitu-gitu juga kali bawa mobilnya!" "Gue, sumpahin. Biar nabrak pohon lu! Biar lu enggak bisa lagi nyetir!" Sudah saking kesalnya, sumpah pun terucap, lolos begitu saja tanpa cela dari mulutnya. Sedangkan mobil yang tadi ngebut itu, telah hilang dari pandangan. Pengemudinya pasti tidak tahu, bahwa ia telah mendapat sumpah buruk dari seorang gadis yang teraniaya. Suasana hati Rania sedang buruk saat ini. Apapun yang keluar dari mulutnya, adalah bentuk kekesalan. Selang beberapa menit, mobil angkot yang ditunggu-tunggu pun muncul juga. Kalau lagi apes, memang begitu. Kudu marah-marah dulu, baru hilang kesalnya. *** Sesampainya di rumah. Rania langsung memberikan tas belanjanya kepada wanita berstatus ibu di atas kertas itu. "Apa ini?!" Kali ini giliran wanita itu yang melotot. Tas belanja itu ia banting, sehingga isinya keluar sebagian. "Ibu minta kamu beli daging kan? Terus mana dagingnya? Kenapa kamu beli tahu?" teriaknya sangat keras, sampai urat-urat lehernya menegang. "Tahu juga kan daging ... Daging tanpa tulang ..." Rania tersenyum kecil dan menjawab dengan enteng. "Kalau ibu ingin makan telur. Makan aja tuh telor cicak. Aku udah beli ni." Kemudian dia mengeluarkan satu bungkus permen warna warni, yang bentuknya menyerupai bentuk telur cicak. BRAK! Dia menepis tangan Rania cukup keras, sehingga permen itu terlepas, terlempar dan jatuh ke lantai. Rania berdengus kesal. Matanya melotot untuk yang kesekian kalinya di pagi ini. "Kamu jangan bercanda! Ibu berikan uang itu, untuk kamu belanja! Bukan untuk main-main!" Dia membentak dan memarahi putri sambungnya itu. Rania diam. Padahal dia sudah capek-capek pergi ke pasar untuk membeli keperluan dapur, bukannya disambut dengan baik, malah dimarahi, seolah-olah dalam hal ini, dirinya yang paling bersalah. "Terserah ibu saja lah! Aku sudah pusing, mendengar keinginan gila ibu! Sebaiknya aku ke kamar dan mengganti bajuku yang kotor!" Rania menulikan pendengarannya dan melenggang pergi. Kepalanya bisa-bisa pecah beneran, kalau terus-terusan ada di dekat ibunya. "Sungguh, sial sekali nasibku hari ini. Disuruh beli daging, pake uang lima puluh ribu. Sudah dibelikan daging, malah dimarahi. Sebenarnya di mana letak kesalahanku, Ya Tuhan?" Dia menggerutu sepanjang jalan menuju ke kamarnya yang ada di lantai dua. "Ya Tuhan. Semoga Mak Lampir itu, cepat mendapatkan hidayah atau setidaknya berikan dia otak untuk berpikir," kata Rania sengaja meninggikan suaranya, supaya wanita itu dapat mendengarnya. "Apa katamu? Kamu kira, ibumu ini tidak memiliki otak, ah?" Rania berbalik badan, "ups ... Jadi, ibu mendengar perkataanku." Dia menutup mulutnya dengan sebelah tangan, sengaja mengejek ibu tirinya. "Ya, bagus deh. Kalau ibu denger. Seenggaknya aku enggak ngomongin ibu di belakang, tapi di depan. Hahaha." Dia tertawa keras, seraya mengayunkan kakinya, menaiki anak-anak tangga. Suasana hatinya sedikit lega dan puas, saat melihat wajah kesal ibu tirinya.Hari berikutnya. Rania keluar kamar dengan menghela napas panjang. Hari libur sekolahnya hanya dihabiskan dengan keluar masuk kamar saja. "Ini, uang belanja hari ini!" tegas Vera, wanita empat puluh tahun, yang berkuasa di rumah ini. "Kamu beli daging, telor sama sayuran di pasar! Uang ini harus cukup membeli semua keperluan dapur. Jangan sampai tidak! Mengerti kamu!" tambah Vera menjatuhkan perintah disertai tatapan serius. Rania menganga saat Vera menyodorkan uang lembaran pecahan lima puluh ribu dan segudang keinginan yang harus diwujudkannya. "Kali ini kamu jangan main-main lagi! Sampai kamu mempermainkan Ibu lagi, maka Ibu akan memotong uang jajan sekolah kamu!" ancam Vera. Kali ini, dia lebih ngotot dari sebelumnya. Semata-mata untuk bisa mengatur Rania agar mau menuruti kemauannya.Rania menggenggam uang lima puluh ribu itu. Lagi-lagi, dia harus dihadapkan dengan situasi yang sama seperti kemarin.Kenapa harus serumit ini nasibnya? Kehidupan yang harus dijalani seperti di n
PLAAAKKKKKK ...Tamparan keras mendarat di pipi Rania. Saking kencangnya, sampai meninggalkan bekas merah di sana.Rania menyentuh pipinya yang terasa nyeri, seraya menyeringai kecil. "Sudah, Jeng Vera, cukup. Jangan, dilanjutkan. Kasian Rania, Jeng." kata wanita itu, mencoba untuk melerai pertikaian antara Vera dan Rania. Dia merasa tidak enak hati, melihat pasangan ibu dan anak itu saling melukai. Lagi-lagi Rania tersenyum miring. "Enggak usah masang muka polos kayak gitu, Tan. Aku udah tahu, pikiran kotor kalian. Tante, membeliku, untuk dijadikan budak di club malam kan? Iya kan, Tante?" sungutnya, memberi tuduhan yang tidak dilandasi bukti kuat."RANIA! CUKUP!" teriak Vera kembali. Lama-lama dia muak dengan perkataan Rania yang kurang ajar. "Berhenti berpikir yang bukan-bukan! Minta maaf cepat, ke Tante Desi!" Vera meninggikan suaranya. Alih-alih menuruti perintah Vera, Rania malah menyelengos, memasang wajah tidak sedap dipandang. Setelah itu, dia lari begitu saja dari ruang
Di dalam kelas 12 A."Ran, cowok tadi kayaknya anak baru deh. Soalnya dari seragam sekolahnya itu loh, beda sama seragam sekolah kita," bisik Eva pada teman sebangkunya, yang tidak lain adalah Rania."Terus, gue harus bilang wow gitu?" jawab Rania dengan tatapan malas.Eva menyunggingkan bibir bagian atasnya. "Teriak aja sekalian, Ran. Gue ikhlas. Enggak bakalan gue cegah lu, seandainya lu suka sama tuh cowok," celetuknya mencoba menghibur Rania supaya tidak jeles.Alih-alih mengubah suasana hati temannya, Rania malah semakin ngamuk. Dia menjatuhkan tatapan horor, yang mengerikan."Dih, najis! Ogah, gue suka sama cowok kayak dia. Berandalan kayak gitu. Malas banget gue. Mending gue jomblo seumur hidup, dari pada harus suka sama dia. Ih ...""Hust, jangan ngomong kayak gitu, Ran. Entar, Tuhan, denger doa lu gimana? Bukannya jomblo seumur hidup, lu malah nikah sama tuh cowok, terus bucin akut. Gimana, Ran?"Eva mencoba menakut-nakuti. Namun, Rania tidak semudah itu terhasut dengan ucap
"Jadi, kalian sudah saling kenal?" tanya Desi sambil menatap bergantian Erlan dan Rania."Bukan kenal lagi, tapi sangat kenal, Mom. Dia itu, cewek ngeselin di sekolah," adu Erlan seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan menatap sinis Rania."Maksudnya ngeselin apa, Sayang? Mommy enggak paham deh." Desi begitu penasaran dengan arti ucapan Erlan. Ditatapnya dua remaja belia yang usianya tidak terpaut jauh itu."Dia hampir nabrak aku, Tan," timpal Rania cepat, sebelum Erlan sempat menjawab pertanyaan Desi. Dia sedikit mengangkat bahunya, menunjukkan kesan tantangan kepada Erlan secara terbuka."Apa?" Desi cukup terkejut mendengar pengakuan Rania."Woi, cewek ngeselin. Mana ada seperti itu. Lu nya aja yang jalan enggak pake mata," tunjuk Erlan dengan nada kesal dan kasar."Erlan! Jaga bicaramu!" bentak Desi sedikit keras."Apa, Mom? Aku enggak salah, dia yang salah! Udah tahu, ada motor mau lewat, tetap aja dia jalan!" Erlan meninggikan suaranya, membela dirinya di hadap
SATU BULAN KEMUDIAN.Erlan dan Rania pun telah resmi menikah. Namun, pernikahan tersebut dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan dihadiri dua keluarga inti serta Ketua KUA saja. Hal itu dilakukan semata-mata agar pihak luar tidak mengetahui pernikahan tersebut, terutama dari pihak sekolah dan teman-teman Rania maupun Erlan.."Lu tidur di lantai, gue tidur di kasur!" tegas Erlan dengan tatapan serius. Rania menganga, tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. "Lu tenang aja. Gue punya kasur cadangan di lemari. Pake aja tuh, biar lu enggak kedinginan," sambung Erlan masih dengan gaya arogannya. Kendati demikian dari kalimat yang digunakan, ada makna perhatian di baliknya. Rania menghela napas panjang, sebelum akhirnya dia mengangguk pelan.Kamar ini telah dihias selayaknya taman. Ada kelopak bunga mawar menghiasi lantai serta tempat tidur. Kata orang, ini adalah malam pertama, malam yang sangat indah bagi sepasang pengantin baru. Namun, bagi Rania, ini adalah malam yang menjadi awal
Hari berikutnya. Rania pun telah sampai di sekolah lebih dulu. Sedangkan Erlan beberapa menit setelahnya. Keduanya datang dengan kendaraan berbeda. Rania turun dari angkutan umum, sedangkan Erlan dengan motornya. Ketika berpapasan pun, baik Rania maupan Erlan sama-sama bersikap seolah tidak saling melihat. Keduanya sudah sama-sama sepakat, untuk tidak saling menyapa, meskipun status yang dijalani sekarang telah sah menjadi suami istri."Rania tralalala!" Rania menghentikan langkahnya. Suara serta panggilan itu, sangat ia kenali. Ya, siapa lagi kalau bukan Eva. "Gue udah bilang. Jangan panggil gue dengan sebutan Rania tralalala," dengusnya kesal.Rania kembali mengayunkan kakinya. Mengabaikan Eva yang mengekor di belakangnya Sementara itu, Erlan telah memarkirkan motornya di temlat seharusnya. Kedua matanya sempat menangkap pergerakan Rania di sana."Erlannn!!!" Dua gadis centil menghampiri Erlan yang baru saja melepaskan helmnya.Remaja tampan yang selalu bersikap dingin itu, men
JAM KEDUA PELAJAR."Lan, lu mau kemana?" tanya Andri, salah satu murid kelas 12 A, menegur Erlan yang berjalan berlawanan arah.Erlan menoleh."Lu enggak mau ke lapangan? Ada pertandingan voli tuh, kelas kita lawan kelas sebelah." Andri menjelaskan dengan antusias.Erlan tidak berkomentar."Udah, enggak usah banyak mikir!" Andri langsung saja menarik tangan Erlan, mengajaknya untuk pergi ke lapangan, tempat para murid berkumpul untuk menyaksikan pertandingan bola voli, kelas A melawan kelas B.Erlan tidak menolak. Namun, dia cukup kesal lantaran orang lain menyentuh tangannya seenak jidat."Lu harus lihat pertandingan ini. Kelas kita enggak pernah kalah dari kelas manapun," kata Andri begitu semangat."Rania paling jago di kelas kita," tambahnya terdengar begitu membanggakan Rania, yang tidak lain adalah istrinya Erlan. Mendengar nama Rania disebut, Erlan pun langsung menarik tangannya. Andri cukup terkejut. "Kenapa, Lan" tanya Andri penasaran."Gue enggak suka voli." Erlan berkata
"Mau pergi kemana, Sayang?" tegur Desi, ketika melihat Rania menuruni anak-anak tangga. Terlihat penampilan Rania begitu rapih dan berdandan cantik.Biasanya Rania hanya berdandan biasa, polesan make up tipis-tipis saja. Malam ini, sepertinya ada hal spesial. "Itu, Tan ... Aku mau pergi sama teman," jawab Rania beralasan."Kok masih panggil Tante si? Panggil Mommy dong. Sekarang kan, kamu udah jadi anak Mommy." Desi memprotes sikap Rania yang menurutnya masih saja formal dan kaku."Heum ... I-ya, Mommy, maaf."Rania mengangguk dan canggung, merasa kikuk karena sebenarnya dia belum terbiasa menggigil Desi dengan sebutan 'Mommy," sebagaimana seharusnya. "Iya, Sayang. Enggak apa-apa. Jangan diulangi ya. Kamu harus sudah terbiasa, dengan panggilan itu. Sekarang kan kita sudah berkeluarga. Anggap saja, Mommy adalah Ibu kandung kamu."Desi meraih kedua tangan Rania, menggenggamnya erat dan tersenyum hangat."Iya, Mommy."Lagi-lagi Rania hanya bisa tersenyum canggung. Sungguh keadaan yang
"Pak, bukannya banyak kasus ya. Dia yang suaranya paling besar, ternyata pelaku sebenarnya." Dia menyunggingkan bibirnya, penuh kemenangan. Erlan langsung membalikkan suasana. Secara tidak langsung, dia menyerang gadis belia itu dengan kalimatnya barusan."Kenapa Bapak tidak tanyakan ke dia? Mungkin saja, dia lah yang sudah membuat Rania sakit?" cecar Erlan lagi. "Saya bukan seseorang yang akan melakukan hal licik hanya untuk menjatuhkan lawan. Jika, saya mau, saya akan menjatuhkannya dari depan, bukan sembunyi-sembunyi seperti pengecut."Mereka yang mendengar pun termangu. Takjub dengan Erlan. Namun, tidak dengan gadis belia yang tadi menyerang Erlan. Dia tampak sangat kesal. Mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat, seolah siap untuk melayangkan pukulan pada wajah Erlan."Tenang dulu semuanya. Jangan ada keributan di sini," ucap pria setengah baya itu, berusaha untuk melerai kehebohan yang terjadi di dalam kelas.Erlan dan gadis belia itu, saling menjatuhkan tatapan tajam. Entah ada
Dikarenakan kondisi Rania yang sudah membaik, Dokter pun sudah memperbolehkan Rania untuk pulang tentu dengan pengawasan ketat dari Desi. "Apa Mommy sudah dapat kabar soal Ibu?" tanya Rania cukup cemas, terpancar dari raut wajahnya yang tampak gelisah lantaran sampai detik ini nomor Vera belum bisa dihubungi sama sekali.Desi menggeleng, "belum, Sayang. Kenapa ya, kok nomornya enggak bisa dihubungi kayak gini? Mommy juga ikut cemas sama keadaan Ibu kamu." Dia duduk di samping Rania, membelai kepala menantu kesayangannya itu. "Rania juga bingung, kenapa tiba-tiba nomor Ibu enggak aktif gini? Apa sudah terjadi sesuatu sama Ibu?" tebak Rania menduga-duga. "Ushh, jangan ngomong gitu, enggak baik, Sayang. Kita harus tetap berpikir positif. Mungkin aja hp Ibu kamu lagi rusak atau ada hal lain yang membuat nomor Ibu kamu tidak aktif ...""Kita berdoa yang terbaik untuk Ibu kamu, Sayang. Kita berdoa, supaya dia baik-baik saja di sana."Desi mengulas senyuman kecil, sedangkan Rania mengang
Perlahan-lahan sepasang mata itu mulai terbuka. Lampu LED dan langit-langit platform menjadi objek pertama yang Rania lihat.Dia mulai menggerakkan jari jemarinya perlahan. Dapat Rania rasakan adanya kehadiran seseorang di sisi kanannya. "Mommy ...," sebutnya dengan suara pelan. Dalam satu kali lihat, Rania langsung mengenali sosok wanita dewasa yang sedang duduk terlelap itu. Gerakan yang Rania lakukan, akhirnya mampu menyadarkan Desi dari tidur singkatnya itu."Sayang." Secepat mungkin, Desi mengendalikan pikirannya supaya kembali ke alam nyata."Kamu sudah bangun, Sayang? Maafin Mommy, ketiduran tadi," sambungnya yang disertai senyuman tipis kepada menantu satu-satunya itu."Enggak apa-apa, Mom. Seharusnya yang minta maaf tuh, Rania karena udah bikin Mommy cemas.""Kamu jangan banyak gerak dulu, Sayang."Nurani seorang Ibu langsung bereaksi, ketika melihat putri kesayangannya tidak bisa diam di tempatnya."Aku udah baik-baik aja kok, Mom. Cuma sedikit lemes aja," aku Rania diirin
"Ran. Lu kenapa? Kok muka lu pucet gitu?" tanya Eva cemas, ketika melihat Rania yang mendadak lemas sambil memegangi kepalanya. "Enggak apa-apa. Gue baik. Cuma lemes dikit aja." Rania menggeleng, menjawab santai dan disertai sedikit senyuman.Dia bersikap seolah tidak terjadi apa-apa, padahal dia sedang merasakan sakit yang sangat luar biasa di bagian kepalanya, seolah ada beban berat yang terus-menerus memukuli kepalanya sehingga ingin pecah saja. Rania kembali memfokuskan dirinya pada buku LKS yang ada di hadapannya. Eva yang melihat sikap sang sahabat, sedikit iba. "Ke UKS aja yuk. Gue takut lu kenapa-kenapa." Eva berusaha membujuk. Namun, hal tersebut mendapat gelengan kepala dari Rania."Enggak apa-apa. Gue baik kok." Bersamaan dengan kalimat itu, Rania mulai merasa pandangannya semakin tidak stabil. Dia melihat semua benda bergerak, memiliki banyak bayangan. Bahkan saat dia melihat ke arah Eva, sahabatnya itu mendadak memiliki dua sampai tiga wajah.Rania menggelengkan kepal
"Oh. Jadi, lu yang udah taruh lem di bangku gue, ah?" sungut Rania. Dia berkacak pinggang sambil menghampiri Erlan. Wajahnya membusung, kedua bahunya terangkat. Dia benar-benar terlihat seperti preman jalanan yang menguasai pasar.Erlan tersenyum sinis, sekaligus mengejek dan menyepelekan sikap sok berani yang Rania tunjukkan."Kalau iya, kenapa ah?" Erlan balik menantang Rania, yang tidak lain adalah istrinya, tetapi tidak ada satu pun yang mengetahui status tersebut.Rania sempat mengerjap, tetapi segera dia bersikap dingin kembali. "Cepat bersihin lem itu dari bangku gue!" titah Rania tanpa ragu. Meksipun yang dihadapi suaminya sendiri, tetapi Rania tidak merasa takut sama sekali. "Ogah. Lu aja yang bersihin." Erlan tidak kalah tegas. Dia melipat kedua tangan di dada. Rania mengepalkan tangan kanannya. Merasa geram sekaligus kesal. Bisa-bisanya, dia harus menghadapi suami yang memiliki sifat kekanak-kanakan seperti Erlan. Sungguh membuat kepala ingin pecah."Bersihin enggak! Ata
"ERLANNN!!!"Suara Desi bergema seisi ruangan. Satu tamparan keras ia layangkan pada wajah sang putra. Tangannya begitu ringan untuk melakukan kekerasa. Napasnya memburu di dalam dada. Erlan menatap Desi penuh emosi. Selama ini, wanita yang telah melahirkannya itu tidak pernah namparnya, meski ia sering membuat marah sekalipun. Erlan menatap Rania dari kejauhan. Tatapannya tajam penuh kemarahan. Semenjak ada Rania di rumah ini, Desi kerap kali menamparnya tanpa ampun.Rania pun telah turun dari ranjang, berdiri mematung di sisi kanan tempat tidur. Bingung harus melakukan apa? Menyela sangat tidak mungkin, atau masalah akan semakin rumit."Mommy menampar aku demi cewek sialan itu?" tunjuk Erlan dengan nada bicara yang mengandung kemarahan."Erlan!!!" teriak Desi kembali. Tanpa menyebutkan nama, Desi sudah tahu siapa yang dimaksud 'Cewek sialan' itu."Pukul aku terus, Mom. Tampar aku lagi!" Alih-alih merasa bersalah, Erlan malah menantang Desi untuk bertindak lebih jauh lagi. "Erlan!
Selama di perjalanan, ponsel Erlan terus saja berdering. Hal tersebut membuat suasana hati pemuda sembilan belas tahun itu semakin buruk. Erlan menepikan motornya di sisi kiri. "Siapa si yang nelpon, ganggu banget?" gerutunya sangat kesal. Dia mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana, kemudian membuka kaca helmnya.Tertulis 'Ibu' di layar ponselnya. Itu artinya, Desi yang sedari tadi menelpon. Catatan panggilan menampilkan lebih dari 20 kali panggilan tak terjawab, semua itu berasal dari Desi.Erlan membuang napas panjang. Dia membuka helmnya. Panggilan telpon itu sudah berhenti, tapi kurang dari satu menit, ponsel itu kembali berbunyi dan menampilkan nama 'Ibu' di layar. Erlan menggeser tombol hijau itu, kemudian menempelkan benda pipih itu di telinga.[Iya, Mom.] Tidak ada salah yang terucap dari bibir pemuda sembilan belas tahun itu. Dia malah menunjukkan raut wajah tidak suka dan malas bicara.[Akhirnya kamu angkat juga telpon dari Mommy. Sejak tadi, Mommy terus menelpon ka
"Kamu ada di sini, Rania? Saya sangat cemas mencari kamu kemana-mana." Rania tergagap, ketika pria yang mengajaknya untuk nonton di bioskop, tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya sekarang."Ah, heum iya Pak Ravi. Maafkan aku karena pergi tanpa memberitahu Anda," ungkap Rania sedikit gugup. Wajahnya terlihat pucat dan berkeringat. Ravi sedikit menerka situasi yang sedang Rania alami. Kendati demikian, dia tidak mau asal berucap. Rania tertunduk, merasa bersalah, tapi hatinya sedang dongkol karena ulah suaminya yang pergi begitu saja tanpa meminta maaf. "Apa ada sesuatu yang terjadi? Apa kau baik, Rania?" tanya Ravi kembali. Gadis mungil itu mengangkat kepalanya, "bukan apa-apa, Pak. Mendadak kepikiran almarhum Ayah. Kalau gitu, aku pulang duluan ya Pak Ravi. Maaf sudah membuat Anda cemas."Rania sedikit menunduk disertai senyuman kecil yang terkesan terpaksa, setelahnya dia melenggang pergi tanpa menoleh lagi. Ravi hendak mengejarnya. Namun, kedua kakinya tidak mampu untuk melangka
"Woi, Bro!" teriak seseorang dari kejauhan, sambil melambaikan tangan.Erlan yang baru memasuki tempat hiburan malam itu, lantas menghampiri rekannya yang ada di sana."Gimana kabar lu?" tanya Aldo, sambil melakukan tos persahabatan, yang biasa dilakukannya bersama Erlan.Biasa lah, anak muda. ABG zaman sekarang. "Enggak ada baik-baiknya kabar gue," jawab Erlan sedikit malas. Dia lantas duduk di sofa, menyandarkan punggungnya ke titik ternyaman. Kepalanya mendongak, pikirannya kacau balau. Hari-harinya semakin ruwet, dengan kehadiran Rania. Semakin membuatnya tidak betah berada di rumah. "Iya, kah? Apa nyokap lu maksa buat ngelakuin sesuatu lagi?" tanya Aldo penasaran seraya duduk menemani rekannya yang sedang gundah gulana itu."Hooh. Pusing kepala gue, pengen pecah rasanya." Erlan tidak menutupi kekesalannya. Kendati demikian , dia tidak akan mau membahas soal Rania di depan Aldo. Bisa kacau semua rahasianya.Aldo mengelus dagunya, sedang memikirkan sebuah rencana yang mampu meng