"Ini uang lima puluh ribu! Kamu pergi ke pasar, beli daging, telor, sayur, ikan, cabe, bawang, pake uang ini!" tegas wanita itu, seraya memberikan uang kertas pecahan lima puluh ribu, kepada seorang gadis belia, berstatus anak dari mendiang suaminya.
"Apa? Belanja sebanyak itu, cuma dikasih lima puluh ribu?" Rania Mikaila, yang biasa dipanggil Rania pun menganga, tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Di tangannya sekarang, ada uang lima puluh ribu. Wanita dewasa yang lebih pantas disebut Nenek sihir itu, berstatus ibu di atas kertas baginya. Ia memberikan uang tersebut untuk membeli keperluan dapur. Ongkos ke pasarnya saja sepuluh ribu, untuk satu kali balik. Kalau bolak balik, berarti dua puluh ribu, sisa tiga puluh ribu, sedangkan uang yang diberikan lima puluh ribu dan harus bisa membeli daging, telur dan lainnya. Wanita itu masih waras atau sudah kelewat gila? "Iya! Memangnya kenapa dengan uang segitu? Bukankah cukup untuk membeli daging, telur dan lainnya? Kamu kan pintar ... Seharusnya kamu bisa menggunakan uang ini untuk membeli keperluan dapur. Mengerti?" Rania kembali memandangi uang kertas berwarna biru itu. Membeli daging, telur, sayuran dan lainnya, dengan uang lima puluh ribu, bagaimana bisa? Harga daging saja sudah seratus ribu lebih. Belum lagi, telur, satu kilonya saja sudah tiga puluh ribu, lalu sayuran, cabai, bawang dan lainnya. Saat ini harga bahan pokok sedang naik semua. Apa bisa, memenuhi kebutuhan dapur hanya dengan uang pas-pasan? Bukan pas, melainkan kurang banyak. Rania bertanya-tanya, sebenarnya wanita yang dipanggilnya ibu itu, ingin dirinya berbelanja atau merampok di pasar? Banyak maunya, tapi enggan untuk keluar modal. "Rania!" teriaknya keras. Rania tersadar dari lamunan. Memasang wajah datar dan masih terperangah. Isi kepalanya sedang berputar, mencari cara untuk memecahkan masalah ini. Bisa kah uang ini disobek-sobek, lalu diberikan ke pedagang di pasar, untuk ditukarkan daging dan bahan pokok lainnya? "Jangan diam aja! Sudah sana pergi ke pasar, mumpung masih pagi! Sayurannya juga pasti masih segar-segar!" perintahnya semudah membalikkan telapak tangan. "Satu hal lagi. Kalau masih ada sisanya, kamu beli kopi ya. Stok kopi di rumah sudah habis!" "Lagi?" Rania menganga untuk yang kedua kalinya. "Iya. Memangnya kenapa? Seharusnya uang segitu masih ada lebihnya, kalau kamu bisa menggunakan uang itu dengan baik!" tunjuknya pada selembar uang pecahan lima puluh ribu yang ada di tangan Rania. "Daging saja harganya seratus ribu. Sedangkan uang yang kubawa lima puluh ribu. Sebenarnya ibu ingin aku belanja, atau merampok bank?" Rania kehabisan kata-kata. Tidak tahu jalan pikiran ibunya seperti apa? Mungkin beli tahu tempe dan sayur, masih cukup dengan uang lima puluh ribu. Sedangkan yang dimau adalah membeli daging. Apa harus dirobek menjadi dua bagian terlebih dahulu kah, supaya nominalnya berubah menjadi seratus ribu? "Itu, bukan urusan ibu! Pokoknya kamu pulang harus mambwa daging, telor, sayur dan lainnya. Titik!" Selepas berkata demikian, dia langsung pergi. Meninggalkan Rania yang masih terpaku di posisinya. Memikirkan bagaimana caranya mendapatkan daging dengan uang lima puluh ribu saja, sudah membuat kepalanya pusing. Apa lagi harus membeli keperluan lainnya, makin tampah pusing kepalanya. Seperti balon yang sewaktu-waktu bisa saja pecah tanpa terduga. Rania menghela napas panjang. "Seandainya Ayah masih hidup, mungkin aku tidak akan bernasib sial seperti ini ..." "Dia tidak pantas disebut seorang ibu, lebih pantas disebut Mak Lampir. Nenek Sihir. Wewe Gombel, atau semacamnya. Pokoknya lebih serem dari mereka," cibirnya cukup keras. "Seandainya wanita iblis itu, masih ada di sini, mungkin ia akan mengamuk seperti gajah yang kelaparan," lanjutnya mengeluarkan unek-unek yang sedari tadi tertahan di dalam hati. "Kenapa, Ayah mau nikah sama perempuan jahanam kayak dia si? Percuma punya rumah besar, kalau di dalamnya seperti berada di neraka!" Huft ... Rania merasa sangat emosional saat ini. Ingin kabur detik ini juga. Akan tetapi, kemana dia harus pergi? Ia tidak lagi memiliki siapa-siapa. Orang tua kandungnya sudah tiada semua. "Hei, anak pemalas! Kenapa belum jalan? Cepat sana pergi ke pasar!" perintah wanita itu dari lantai dua. Rania mendongak, "iya, Nenek Sihir, bawel!" jawabnya penuh kekesalan. Setelah mengatai wanita itu dengan sebutan 'Nenek Sihir' barulah Rania melenggang pergi. Suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja saat ini. *** DUA JAM KEMUDIAN. Rania sudah keluar dari pasar. Dia membawa tas belanja yang terbuat dari anyaman bambu. Di dalam tas jinjing itu, sudah ada beberapa keperluan dapur yang berhasil ia dapatkan. Ketimbang harus memikirkan semua keinginan Nenek Sihir itu, Rania lebih memilih membeli bahan pokok yang benar-benar diperlukannya. Tidak perlu mahal, asalkan bisa membuat perut kenyang. Itu sudah lebih dari cukup. "Mana ya angkotnya?" Rania melihat sisi kiri dari posisinya berdiri. Sudah lebih lima belas menit dia berdiri di sana, menunggu angkot yang tak kunjung lewat. Jalan kaki pun percuma. Jarak dari pasar ke rumahnya cukup jauh. Lebih dari tiga puluh menit dengan naik angkot. Itupun jika angkotnya tidak berhenti lama menunggu penumpang. Istilahnya 'ngetem'. BRUSSSHH! Mobil sport mewah melaju cepat. Pagi ini turun hujan cukup deras, sehingga ada genangan air tepat tidak jauh dari tempat Rania berdiri. Bekas genangan itu menyembur cukup kuat, hingga membuat baju Rania basah dan kotor setelahnya. "Woi! Orang gila! Punya mata enggak! Kencang aja bawa mobilnya!" teriak Rania mengomel. Tidak terima, pakaiannya menjadi basah dan kotor akibat genangan air yang menyiprat tadi. "Gue juga punya mobil! Enggak gitu-gitu juga kali bawa mobilnya!" "Gue, sumpahin. Biar nabrak pohon lu! Biar lu enggak bisa lagi nyetir!" Sudah saking kesalnya, sumpah pun terucap, lolos begitu saja tanpa cela dari mulutnya. Sedangkan mobil yang tadi ngebut itu, telah hilang dari pandangan. Pengemudinya pasti tidak tahu, bahwa ia telah mendapat sumpah buruk dari seorang gadis yang teraniaya. Suasana hati Rania sedang buruk saat ini. Apapun yang keluar dari mulutnya, adalah bentuk kekesalan. Selang beberapa menit, mobil angkot yang ditunggu-tunggu pun muncul juga. Kalau lagi apes, memang begitu. Kudu marah-marah dulu, baru hilang kesalnya. *** Sesampainya di rumah. Rania langsung memberikan tas belanjanya kepada wanita berstatus ibu di atas kertas itu. "Apa ini?!" Kali ini giliran wanita itu yang melotot. Tas belanja itu ia banting, sehingga isinya keluar sebagian. "Ibu minta kamu beli daging kan? Terus mana dagingnya? Kenapa kamu beli tahu?" teriaknya sangat keras, sampai urat-urat lehernya menegang. "Tahu juga kan daging ... Daging tanpa tulang ..." Rania tersenyum kecil dan menjawab dengan enteng. "Kalau ibu ingin makan telur. Makan aja tuh telor cicak. Aku udah beli ni." Kemudian dia mengeluarkan satu bungkus permen warna warni, yang bentuknya menyerupai bentuk telur cicak. BRAK! Dia menepis tangan Rania cukup keras, sehingga permen itu terlepas, terlempar dan jatuh ke lantai. Rania berdengus kesal. Matanya melotot untuk yang kesekian kalinya di pagi ini. "Kamu jangan bercanda! Ibu berikan uang itu, untuk kamu belanja! Bukan untuk main-main!" Dia membentak dan memarahi putri sambungnya itu. Rania diam. Padahal dia sudah capek-capek pergi ke pasar untuk membeli keperluan dapur, bukannya disambut dengan baik, malah dimarahi, seolah-olah dalam hal ini, dirinya yang paling bersalah. "Terserah ibu saja lah! Aku sudah pusing, mendengar keinginan gila ibu! Sebaiknya aku ke kamar dan mengganti bajuku yang kotor!" Rania menulikan pendengarannya dan melenggang pergi. Kepalanya bisa-bisa pecah beneran, kalau terus-terusan ada di dekat ibunya. "Sungguh, sial sekali nasibku hari ini. Disuruh beli daging, pake uang lima puluh ribu. Sudah dibelikan daging, malah dimarahi. Sebenarnya di mana letak kesalahanku, Ya Tuhan?" Dia menggerutu sepanjang jalan menuju ke kamarnya yang ada di lantai dua. "Ya Tuhan. Semoga Mak Lampir itu, cepat mendapatkan hidayah atau setidaknya berikan dia otak untuk berpikir," kata Rania sengaja meninggikan suaranya, supaya wanita itu dapat mendengarnya. "Apa katamu? Kamu kira, ibumu ini tidak memiliki otak, ah?" Rania berbalik badan, "ups ... Jadi, ibu mendengar perkataanku." Dia menutup mulutnya dengan sebelah tangan, sengaja mengejek ibu tirinya. "Ya, bagus deh. Kalau ibu denger. Seenggaknya aku enggak ngomongin ibu di belakang, tapi di depan. Hahaha." Dia tertawa keras, seraya mengayunkan kakinya, menaiki anak-anak tangga. Suasana hatinya sedikit lega dan puas, saat melihat wajah kesal ibu tirinya.Hari berikutnya. Rania keluar kamar dengan menghela napas panjang. Hari libur sekolahnya hanya dihabiskan dengan keluar masuk kamar saja. "Ini, uang belanja hari ini!" tegas Vera, wanita empat puluh tahun, yang berkuasa di rumah ini. "Kamu beli daging, telor sama sayuran di pasar! Uang ini harus cukup membeli semua keperluan dapur. Jangan sampai tidak! Mengerti kamu!" tambah Vera menjatuhkan perintah disertai tatapan serius. Rania menganga saat Vera menyodorkan uang lembaran pecahan lima puluh ribu dan segudang keinginan yang harus diwujudkannya. "Kali ini kamu jangan main-main lagi! Sampai kamu mempermainkan Ibu lagi, maka Ibu akan memotong uang jajan sekolah kamu!" ancam Vera. Kali ini, dia lebih ngotot dari sebelumnya. Semata-mata untuk bisa mengatur Rania agar mau menuruti kemauannya.Rania menggenggam uang lima puluh ribu itu. Lagi-lagi, dia harus dihadapkan dengan situasi yang sama seperti kemarin.Kenapa harus serumit ini nasibnya? Kehidupan yang harus dijalani seperti di n
PLAAAKKKKKK ...Tamparan keras mendarat di pipi Rania. Saking kencangnya, sampai meninggalkan bekas merah di sana.Rania menyentuh pipinya yang terasa nyeri, seraya menyeringai kecil. "Sudah, Jeng Vera, cukup. Jangan, dilanjutkan. Kasian Rania, Jeng." kata wanita itu, mencoba untuk melerai pertikaian antara Vera dan Rania. Dia merasa tidak enak hati, melihat pasangan ibu dan anak itu saling melukai. Lagi-lagi Rania tersenyum miring. "Enggak usah masang muka polos kayak gitu, Tan. Aku udah tahu, pikiran kotor kalian. Tante, membeliku, untuk dijadikan budak di club malam kan? Iya kan, Tante?" sungutnya, memberi tuduhan yang tidak dilandasi bukti kuat."RANIA! CUKUP!" teriak Vera kembali. Lama-lama dia muak dengan perkataan Rania yang kurang ajar. "Berhenti berpikir yang bukan-bukan! Minta maaf cepat, ke Tante Desi!" Vera meninggikan suaranya. Alih-alih menuruti perintah Vera, Rania malah menyelengos, memasang wajah tidak sedap dipandang. Setelah itu, dia lari begitu saja dari ruang
Di dalam kelas 12 A."Ran, cowok tadi kayaknya anak baru deh. Soalnya dari seragam sekolahnya itu loh, beda sama seragam sekolah kita," bisik Eva pada teman sebangkunya, yang tidak lain adalah Rania."Terus, gue harus bilang wow gitu?" jawab Rania dengan tatapan malas.Eva menyunggingkan bibir bagian atasnya. "Teriak aja sekalian, Ran. Gue ikhlas. Enggak bakalan gue cegah lu, seandainya lu suka sama tuh cowok," celetuknya mencoba menghibur Rania supaya tidak jeles.Alih-alih mengubah suasana hati temannya, Rania malah semakin ngamuk. Dia menjatuhkan tatapan horor, yang mengerikan."Dih, najis! Ogah, gue suka sama cowok kayak dia. Berandalan kayak gitu. Malas banget gue. Mending gue jomblo seumur hidup, dari pada harus suka sama dia. Ih ...""Hust, jangan ngomong kayak gitu, Ran. Entar, Tuhan, denger doa lu gimana? Bukannya jomblo seumur hidup, lu malah nikah sama tuh cowok, terus bucin akut. Gimana, Ran?"Eva mencoba menakut-nakuti. Namun, Rania tidak semudah itu terhasut dengan ucap
"Jadi, kalian sudah saling kenal?" tanya Desi sambil menatap bergantian Erlan dan Rania."Bukan kenal lagi, tapi sangat kenal, Mom. Dia itu, cewek ngeselin di sekolah," adu Erlan seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan menatap sinis Rania."Maksudnya ngeselin apa, Sayang? Mommy enggak paham deh." Desi begitu penasaran dengan arti ucapan Erlan. Ditatapnya dua remaja belia yang usianya tidak terpaut jauh itu."Dia hampir nabrak aku, Tan," timpal Rania cepat, sebelum Erlan sempat menjawab pertanyaan Desi. Dia sedikit mengangkat bahunya, menunjukkan kesan tantangan kepada Erlan secara terbuka."Apa?" Desi cukup terkejut mendengar pengakuan Rania."Woi, cewek ngeselin. Mana ada seperti itu. Lu nya aja yang jalan enggak pake mata," tunjuk Erlan dengan nada kesal dan kasar."Erlan! Jaga bicaramu!" bentak Desi sedikit keras."Apa, Mom? Aku enggak salah, dia yang salah! Udah tahu, ada motor mau lewat, tetap aja dia jalan!" Erlan meninggikan suaranya, membela dirinya di hadap
SATU BULAN KEMUDIAN.Erlan dan Rania pun telah resmi menikah. Namun, pernikahan tersebut dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan dihadiri dua keluarga inti serta Ketua KUA saja. Hal itu dilakukan semata-mata agar pihak luar tidak mengetahui pernikahan tersebut, terutama dari pihak sekolah dan teman-teman Rania maupun Erlan.."Lu tidur di lantai, gue tidur di kasur!" tegas Erlan dengan tatapan serius. Rania menganga, tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. "Lu tenang aja. Gue punya kasur cadangan di lemari. Pake aja tuh, biar lu enggak kedinginan," sambung Erlan masih dengan gaya arogannya. Kendati demikian dari kalimat yang digunakan, ada makna perhatian di baliknya. Rania menghela napas panjang, sebelum akhirnya dia mengangguk pelan.Kamar ini telah dihias selayaknya taman. Ada kelopak bunga mawar menghiasi lantai serta tempat tidur. Kata orang, ini adalah malam pertama, malam yang sangat indah bagi sepasang pengantin baru. Namun, bagi Rania, ini adalah malam yang menjadi awal