Share

BAGIAN 2 VANUA

Author: ANOMOV
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Vanua sedang perjalanan pulang dari Kampung Tujuh. Dia berjalan kaki sejak matahari belum bangun dari tidurnya menuju kampung yang hanya dihuni tujuh kepala keluarga itu.

Ketika Vanua berumur dua puluh tahun, ia meninggalkan kampung kelahirannya di kota Jakarta. Belasan tahun tiada jemu ia menikmati tembok di depan rumah. Kampung sempit dengan jalanan yang hanya bisa dilewati dua orang bertubuh ceking.

Suatu hari, ia terbangun bersama matahari yang meninggi, ”Engkau tak bosan memanaskan tembok depan rumahku, memancarkan sinarmu tanpa peduli kegelapan kamar dan kesunyianku.”

Saat itu awal bulan April. Berangkatlah ia menuju desa pegunungan Kampung Tujuh Yogyakarta. ”Apakah matahari di kampung sempit masih bahagia, jika aku tidak menikmati sinarnya lagi?” Vanua meyakinkan dirinya sendiri.

Setiap pagi ia menatap matahari di pucuk gunung Kampung Tujuh. Jalan berbatu sudah menjadi sarapan paginya. 

Ia membangun rumah bambu, tepat tujuh meter di atas lahan kompleks makam desa. Dekat rerimbunan pohon akasia yang daunnya manis menarik lebah. 

Sepuluh langkah dari rumah bambu ia memeriksa kotak rumah lebah yang bertengger di pohon akasia. Keringat menetes di keningnya yang licin nan halus. ”Rumah lebahku sudah berlimpah madu, tak perlu kaki panjang dan tangan terulur untuk mengunduhnya”. 

”Mbak! Turun! Mau hujan!” teriak Ros, bu lurah Kampung Tujuh, sambil melambaikan tangan kepada Vanua dari bawah. Tak jauh dari kompleks makam Kampung Tujuh.

”Iya, bu…!” teriak Vanua sambil membereskan madu, bunga dan dupa. Ia terburu-buru mendekatkan korek api kepada dupa sepanjang satu meter. Asap tipis mengepul. Harum aroma cendana. Bunga mawar dan melati mengepung dupa yang tertancap tegak di atas tanah.

Vanua menuruni jalan berbatu. Ia harus bergegas turun, sembari melirik senja di balik rerimbunan akasia. Matanya jernih dan bibirnya tiada nampak kemurungan. Ia berjalan dengan mengarahkan telapak kakinya ke dalam. Langkah penari yang terlatih. 

”Kamu mengerjakan apa di rumah bambu,” tanya bu Ros. 

Vanua menjawab: ”Saya mengambil madu, bu. Nanti saya akan campur dengan jeruk nipis. Buat menambah imun.” 

Ros mengangguk tegas. Ia sangat percaya tanah di Kampung Tujuh mampu menumbuhkan tanaman perawat tubuh. Jiwanya sudah pernah melihat dengan rasa sesal kepada tubuhnya sendiri. Ia menginginkan tubuh padat berisi seperti Vanua. Diet tapi gagal. 

Empat purnama berlalu, Ros berpikir hendak melarikan diri dari tubuhnya sendiri. Tetapi kegigihan Vanua memanen madu di rumah lebah telah membuatnya lupa akan hasrat diet. 

Ia mementingkan tatapan mata enam kepala keluarga di Kampung Tujuh. Tatapan mata mereka seperti neraka bagi Ros karena mereka menanam benih harapan tertinggi kepadanya. Agar panen madu bisa mengenyangkan jiwa dan tubuh semua penghuni kampung.

Rasa cemas berlebihan menyebar pada masing-masing orang di Kampung Tujuh. Rasa cemas itu dirasakan oleh Vanua.

Sepanjang malam angin berdesing cepat dan tanah yang dipijaknya seolah dilapisi permadani dingin yang tebalnya tak lebih dari lima sentimeter. Dalam kesunyian di Desa, tak lama setelah Vanua berjalan ke rumah warga, ia mendengar berita warga meninggal.

Tubuhnya terasa panas-dingin setiap kali mendengar berita orang meninggal. Sakit kepala bertubi-tubi menyerang tanpa ampun pula ketika berita media daring memuat berita tentang ribuan orang meninggal seketika. 

Nafsu makan berkurang drastis karena khawatir makanan itu tidak bersih dari virus. Panik melanda jiwanya.

Kecemasan berlebihan itu semakin meluas pada Bu Ros, Lurah Kepala Desa.

“Aku cemas besok diberhentikan sebagai pemerintah Desa”.

“Aku tidak tahu cara bekerja secara daring, yang aku tahu hanya bekerja di balai Desa”.

Belum lagi banyak warga mendadak pulang ke kampung untuk berkumpul dengan keluarga daripada mati sendirian di perantauan. Berulang kali Bu Ros menghibur pemudik yang berteriak sedu-sedan karena tak punya harapan.

Vanua menatap bangunan bisu di pinggir taman. Ia membakar dupa cendana. 

Pada saat Vanua merasakan puncak dari rasa ketidaknyamanan, ia merasa perlu bermeditasi. Vanua ingin cepat menyadari suara “ke-Aku-an” yang menyatakan: “Aku cemas”, “Aku bakal sakit”, dan “Aku akan mati terkena virus”. Ketidaknyamanan itu disadari telah menjadi miliknya sendiri. Bukan milik orang lain.

Pikiran telah menciptakan bayangan “si Aku” yang merayap perlahan menggerogoti keadaan fisik dan psikologisnya. Masuk semakin dalam menuju kedalaman.

Tampak hadir kunang-kunang. Kunang-kunang menghampiri “si Aku Vanua” pada kedalaman. Napas tiada lagi terasa.

Vanua mengalami sikap nyaman dalam ketidaknyamanan. Ia berusaha keras mencari sebab-sebab ketidaknyamanan. Ia biarkan suara batinnya menggelora.

“Aku bakal sakit karena tidak cuci tangan dan belum minum madu Kampung Tujuh sebagai penguat imunitas.”

“Aku akan miskin karena selama ini aku malas belajar teknologi digital.”

Ketidakmampuan dirinya beradaptasi, tanpa sadar, dijadikan sebagai penyebab dari seluruh ketidaknyamanan. 

“Aku berterima kasih kepadamu, kunang-kunang,” ujar Vanua dalam batin. Kunang-kunang tidak mempertanyakan, “Aku bakal sakit” atau “Aku akan miskin”. Tetapi mereka sekedar merasakan dan menyadari ketidaknyamanan itu.

Tiga jam Vanua bermeditasi. Tarikan napas serasa yang pertama sekaligus yang terakhir. Bermeditasi membuatnya terhenti mencari penyebab segala kecemasan. Inilah cara alam semesta bekerja. Mengajari bersikap pasif-responsif atas ketidaknyamanan melalui batinnya. 

Meditasi membuat Vanua seperti genangan air, eksistensinya tumbuh halus, melar dan akhirnya meluber. 

Vanua menatap taman dengan keheningan. Diri terasa penuh. Semesta mengalir di dalam aliran darahnya. 

Tapi entah mengapa, Vanua merasa dirinya berjalan bolak-balik dari masa lalu yang menyakitkan, melesat ke masa depan yang penuh kecemasan, dan kembali ke masa sekarang sebagaimana apa adanya. 

***

Related chapters

  • KERUMUNAN ADALAH NERAKA   BAGIAN 3 NI GRENJENG

    Tidak ada kata menyerah bagi Mudra. Bagaimanapun, Mudra harus menagih cicilan utang pada lelaki di Desa yang punya ilmu kebal: Rontek. Senja yang menawan tak berarti lagi baginya. Cahaya keemasan di ujung senja menimbulkan nyeri di ulu hati. Tiga bulan lebih Mudra tidak memegang uang karena perputaran dana bergulir mengalami kemacetan. Satu orang saja dalam kelompok pemanfaat dana bergulir gagal bayar, maka bisa dipastikan kelompok itu harus tanggung renteng membayar atau terhenti kegiatan produksinya. Apalagi di masa pagebluk seperti ini, nasib kelompok usaha di Desa sedang jatuh ke dasar mata air. Berteriak dari kedalaman pun tak ada guna.“Aku mau menagih cicilannya tetapi wajahnya kalau ditagih pasti bermuka masam. Berbeda sekali kalau mengajukan pinjaman, wajahnya secerah matahari, dan memelas seperti kelinci,” keluh Mudra pada Bu Raisa Kepala Desa. “Ketika aku menagihnya, disuguhi air putih di gelas kecil seukuran mainan anak PAUD, itu sudah lumayan. Pernah, aku dibawakan par

  • KERUMUNAN ADALAH NERAKA   BAGIAN 4 BERMIMPI DALAM MIMPI

    Pagi hari ini Mudra terbangun di atas kasur bejana. Tangannya berkata kepada kaki: “kamu percaya hari ini jam 6 sore di permukaan bulan?” Mudra bergegas mengayun kaki ke langit ketujuh. Barang durjana bernama handphone bertalu-talu mengingatkan sang waktu dengan sederet pesan. “Hari ini jadwalku bersua dengan Vanua.” Tangan Mudra beringsut menimbun kata pada besi titanium: “Kita akan bertemu secepatnya, kak Vanua.” Vanua baru kali pertama akan bertemu sosok lelaki yang didengarnya berkemampuan seperti Manusia Semut. Ant-Man. Manusia yang mampu membesar dan mengkerut di dalam kubangan masalah Desa. Semut bertengger di atas kelapa pun konon akan mengikuti derap kaki Mudra bila diperintah dengan senyuman. Laksana pejabat yang tahu cara mengatur tapi alpa dalam mengurus rakyatnya, Mudra mengeja kalimat yang ditulisnya di atas buku agenda. Ratusan pohon telah ditebang menjadi kertas dan didaur ulang menjadi buku agenda kertas buram coklat. Apabila Mudra jujur kepada luka di kakinya, ma

  • KERUMUNAN ADALAH NERAKA   BAGIAN 5 PENYIHIR TAROT DAN DUNIA PERI

    Kabut tipis masih menyelimuti desa Gayam saat Mudra terbangun. Di sampingnya, Vanua masih terlelap, wajahnya tenang dalam balutan mimpi. Namun, Mudra tak bisa kembali ke alam mimpi. Ia merasakan getaran aneh, panggilan tak kasat mata yang menariknya dari tempat tidur, keluar dari rumah bambu, menuju hutan bambu yang sunyi dan magis.Di jantung hutan, di bawah kanopi bambu yang menjulang tinggi, berdirilah sosok Penyihir Tarot. Jubah merah dan kuningnya berkibar lembut tertiup angin pagi, pentagram perak melingkari lehernya, dan simbol-simbol okultisme terjalin rumit di kainnya. Ia berdiri di bawah gapura mawar merah yang merekah, simbol harmoni antara manusia dan alam. Di hadapannya, sebuah altar batu kuno berdiri kokoh, lilin-lilin hitam menyala misterius di atasnya. Di atas altar, terdapat perkakas-perkakas sang Penyihir Kuno, juga simbol-simbol dari empat suit Minor Arcana: cawan yang mewakili elemen Air, pedang yang mewakili elemen Udara, tongkat kayu hawthorn yang mewakili elemen

  • KERUMUNAN ADALAH NERAKA   BAGIAN 6 SANG PENDETA AGUNG

    Kabut tipis menyelimuti Desa Gayam, menyamarkan sosok-sosok yang berjalan tergesa-gesa di jalan setapak. Mudra, dengan rambutnya yang sedikit acak-acakan dan mata yang menyimpan rahasia, duduk termenung di beranda rumahnya. Pikirannya melayang kembali ke pertemuannya dengan Penyihir Tarot, seorang wanita tua dengan aura mistis yang kuat. Kata-kata sang penyihir masih terngiang di telinganya, "Masa lalu adalah bayangan, Mudra. Tapi masa depan adalah kanvas kosong yang siap kau lukis."Di tengah keputusasaan yang melanda desa akibat pandemi dan isolasi, Mudra muncul bak cahaya di ujung terowongan. Sebagai direktur BUM Desa yang baru, ia menangani setiap masalah dengan kecerdikan yang mengingatkan Sari pada Profesor Dumbledore. Mudra bukan hanya pemimpin, tapi juga sosok misterius yang membuat jantung Sari berdebar tak menentu.Suatu senja, Mudra menemui Sari di petilasan desa, tempat yang diyakini sebagai gerbang antara dunia nyata dan dunia roh."Sari," Mudra memulai, suaranya selembut

  • KERUMUNAN ADALAH NERAKA   BAGIAN 7 IBU BUMI

    Setelah kepergian Mudra dan Vanua, Sari merasakan kekosongan yang mendalam. Ia kembali ke rumah bambunya, tempat yang dulu terasa hangat kini terasa dingin dan sepi. Pandemi telah merenggut banyak hal darinya: kebebasan, interaksi sosial, dan yang paling menyakitkan, ibunya.Sari teringat akan ibunya, seorang wanita tangguh yang selalu menjadi sumber kekuatannya. Ia adalah sosok Ibu Bumi yang memberikan kasih sayang, perlindungan, dan kebijaksanaan. Namun, pandemi telah merenggutnya, meninggalkan Sari sendirian menghadapi dunia yang kejam.Air mata mengalir di pipi Sari saat ia memandangi foto ibunya. "Ibu," bisiknya lirih, "aku merasa sendiri. Aku rindu pelukanmu, nasihatmu, dan senyummu yang hangat."Kesedihan Sari semakin mendalam saat ia menyadari bahwa ia tidak hanya kehilangan ibunya, tapi juga harapannya akan masa depan. Pandemi telah meluluhlantakkan mimpinya, membuatnya merasa kecil dan tak berdaya."Apa yang harus kulakukan, Ibu?" isaknya. "Aku merasa seperti terjebak dalam k

  • KERUMUNAN ADALAH NERAKA   BAGIAN 8 RAJA BATU

    Pagi itu, kabut tipis masih menyelimuti Kampung Tujuh. Vanua berdiri di depan rumah bambunya, memandangi desa yang telah menjadi rumahnya. Kampung ini penuh dengan kehidupan dan kehangatan, tetapi ancaman baru telah menimbulkan kecemasan di hati setiap penduduknya. Bencana alam yang tak terduga telah membuat tanah di sekitar desa mulai retak, dan wabah penyakit misterius mulai menyebar, mengancam kehidupan di kampung kecil itu.Vanua merasakan beban berat di pundaknya. Dia tahu bahwa penduduk desa bergantung padanya. Sarang lebah yang dia rawat dengan penuh cinta telah menjadi sumber penghidupan bagi banyak orang. Dia juga tahu bahwa sesuatu yang lebih besar dari dirinya sedang dibutuhkan.Sari dan Mudra tiba di Kampung Tujuh setelah menerima pesan dari Vanua. Mereka tahu bahwa ini bukan hanya tentang menyelamatkan desa, tetapi juga tentang menyatukan kekuatan mereka untuk menghadapi ancaman yang lebih besar.“Vanua, kita akan mengatasi ini bersama,” kata Mudra dengan tegas. “Kita tel

  • KERUMUNAN ADALAH NERAKA   BAGIAN 9 DEBAT TENTANG NERAKA

    Ritual di Kampung Tujuh telah berhasil, tetapi rasa cemas dan ketidakpastian masih menyelimuti hati penduduk desa. Suasana misterius dan melankolis memenuhi udara malam di Kampung Tujuh. Sari, Mudra, dan Vanua duduk di bawah pohon akasia besar, memandang jauh ke dalam diri mereka sendiri, mencari jawaban atas pertanyaan yang belum terjawab.Ki Rajendra, pemimpin spiritual yang bijak, tetap tinggal di desa setelah ritual. Kehadirannya membawa ketenangan, tetapi juga membuka luka-luka yang tersembunyi dalam jiwa setiap penduduk."Ki Rajendra," Sari memulai, suaranya dipenuhi keprihatinan, "meskipun ritual telah selesai, mengapa kita masih merasa terjebak dalam kecemasan dan ketidakpastian?"Ki Rajendra tersenyum lembut. "Karena, anakku, kebebasan sejati bukan hanya tentang menyatukan fisik dan spiritual. Kebebasan sejati juga tentang bagaimana kita memahami dan menerima diri kita sendiri serta orang lain."Mudra, yang biasanya tenang, tampak gelisah. "Apakah ini yang dimaksud ketika sese

  • KERUMUNAN ADALAH NERAKA   BAGIAN 10 PERTEMUAN KEGELAPAN DAN CAHAYA

    Panas. Mentari memancarkan api tanpa kobaran. Bayang-bayang ketidakpercayaan terhadap Mudra dan Vanua masih pekat di Kampung Tujuh. Surya, dengan ambisinya yang membara, berhasil menghasut beberapa warga desa. Ia menyebarkan bisik-bisik keraguan tentang kekuatan mistis yang diduga digunakan Mudra dan Vanua, menanamkan bibit-bibit perselisihan di tengah masyarakat yang mulai rapuh.Surya adalah seorang pria yang cerdas namun licik. Pemikirannya sering kali dangkal dan cepat berubah, sepanjang sebatang korek api. Meskipun aktif mengikuti pertemuan dengan Bu Ros dan penduduk lainnya, ia sering kali menggunakan informasi yang didapatnya untuk keuntungan pribadi. Ketidaktahuannya tentang praktik spiritual membuatnya mudah dipengaruhi oleh rasa takut dan ketidakpastian. Keputusan-keputusannya diwarnai oleh kecenderungan untuk mengambil jalan pintas, tanpa memikirkan konsekuensi jangka panjang."Mereka berdua itu penipu!" seru Surya di tengah kerumunan yang berkumpul di balai desa. "Mereka h

Latest chapter

  • KERUMUNAN ADALAH NERAKA   BAGIAN 12 MISTERI DI BALIK KERETA KUDA

    Desa Gayam tenggelam dalam keheningan, hanya ditemani suara jangkrik yang bersahutan dan gemericik air sungai kecil yang mengalir di tepi desa. Di bawah langit malam yang berkilauan, bintang gemintang bertaburan bagai permata yang ditaburkan di atas kain beludru hitam. Di dalam rumah bambu yang hangat, Sari, Vanua, dan Mudra masih duduk bersila, dikelilingi cahaya temaram lampu minyak kelapa.Tiba-tiba, suara gemuruh memecah kesunyian malam. Sari terlonjak, jantungnya berdebar kencang. Ia bangkit dari duduknya, melangkah cepat menuju jendela. Matanya membelalak saat melihat bayangan besar mendekat dari kejauhan."Apa itu?" tanyanya dengan suara tercekat, rasa takut menjalari tubuhnya.Mudra, yang sedari tadi merenung, ikut berdiri. Ia mengerutkan kening, mencoba mengidentifikasi suara yang semakin mendekat. "Itu terdengar seperti kereta kuda," katanya dengan nada penuh waspada.Vanua, yang duduk di samping Mudra, ikut merasakan ketegangan. Ia menatap Mudra dengan tatapan cemas. "Tapi s

  • KERUMUNAN ADALAH NERAKA   BAGIAN 11 THE LOVERS

    Suasana di Desa Gayam semakin dingin. Langit meredup. Hewan hitam berukuran lima milimeter terbang dengan kecepatan cahaya lampu senter. Angin sepoi-sepoi membawa aroma bunga kamboja, menambah kesan magis malam itu. Di tengah desa, berdiri sebuah rumah bambu yang sederhana namun kokoh. Bagian dari rumah bertembok baja. Di dalamnya, Sari merenung di depan jendela, memandang bintang-bintang yang mulai bermunculan. Pikirannya bercabang, terjebak antara cinta yang dalam dan keputusan sulit yang harus diambil.Sejak kemunculan Mudra, hidup Sari berubah drastis. Mudra bukan hanya pemimpin BUM Desa yang baru, tapi juga sosok yang berhasil menyalakan kembali api semangat di dalam dirinya. Di sisi lain, Vanua, sahabat setianya yang berasal dari Kampung Tujuh, juga menyimpan rasa yang dalam kepada Mudra. Konflik batin ini semakin tajam saat Sari menyadari bahwa Vanua juga mencintai Mudra dengan segenap hatinya.“Bagaimana mungkin aku memilih di antara mereka?” bisik Sari pada dirinya sendiri, sa

  • KERUMUNAN ADALAH NERAKA   BAGIAN 10 PERTEMUAN KEGELAPAN DAN CAHAYA

    Panas. Mentari memancarkan api tanpa kobaran. Bayang-bayang ketidakpercayaan terhadap Mudra dan Vanua masih pekat di Kampung Tujuh. Surya, dengan ambisinya yang membara, berhasil menghasut beberapa warga desa. Ia menyebarkan bisik-bisik keraguan tentang kekuatan mistis yang diduga digunakan Mudra dan Vanua, menanamkan bibit-bibit perselisihan di tengah masyarakat yang mulai rapuh.Surya adalah seorang pria yang cerdas namun licik. Pemikirannya sering kali dangkal dan cepat berubah, sepanjang sebatang korek api. Meskipun aktif mengikuti pertemuan dengan Bu Ros dan penduduk lainnya, ia sering kali menggunakan informasi yang didapatnya untuk keuntungan pribadi. Ketidaktahuannya tentang praktik spiritual membuatnya mudah dipengaruhi oleh rasa takut dan ketidakpastian. Keputusan-keputusannya diwarnai oleh kecenderungan untuk mengambil jalan pintas, tanpa memikirkan konsekuensi jangka panjang."Mereka berdua itu penipu!" seru Surya di tengah kerumunan yang berkumpul di balai desa. "Mereka h

  • KERUMUNAN ADALAH NERAKA   BAGIAN 9 DEBAT TENTANG NERAKA

    Ritual di Kampung Tujuh telah berhasil, tetapi rasa cemas dan ketidakpastian masih menyelimuti hati penduduk desa. Suasana misterius dan melankolis memenuhi udara malam di Kampung Tujuh. Sari, Mudra, dan Vanua duduk di bawah pohon akasia besar, memandang jauh ke dalam diri mereka sendiri, mencari jawaban atas pertanyaan yang belum terjawab.Ki Rajendra, pemimpin spiritual yang bijak, tetap tinggal di desa setelah ritual. Kehadirannya membawa ketenangan, tetapi juga membuka luka-luka yang tersembunyi dalam jiwa setiap penduduk."Ki Rajendra," Sari memulai, suaranya dipenuhi keprihatinan, "meskipun ritual telah selesai, mengapa kita masih merasa terjebak dalam kecemasan dan ketidakpastian?"Ki Rajendra tersenyum lembut. "Karena, anakku, kebebasan sejati bukan hanya tentang menyatukan fisik dan spiritual. Kebebasan sejati juga tentang bagaimana kita memahami dan menerima diri kita sendiri serta orang lain."Mudra, yang biasanya tenang, tampak gelisah. "Apakah ini yang dimaksud ketika sese

  • KERUMUNAN ADALAH NERAKA   BAGIAN 8 RAJA BATU

    Pagi itu, kabut tipis masih menyelimuti Kampung Tujuh. Vanua berdiri di depan rumah bambunya, memandangi desa yang telah menjadi rumahnya. Kampung ini penuh dengan kehidupan dan kehangatan, tetapi ancaman baru telah menimbulkan kecemasan di hati setiap penduduknya. Bencana alam yang tak terduga telah membuat tanah di sekitar desa mulai retak, dan wabah penyakit misterius mulai menyebar, mengancam kehidupan di kampung kecil itu.Vanua merasakan beban berat di pundaknya. Dia tahu bahwa penduduk desa bergantung padanya. Sarang lebah yang dia rawat dengan penuh cinta telah menjadi sumber penghidupan bagi banyak orang. Dia juga tahu bahwa sesuatu yang lebih besar dari dirinya sedang dibutuhkan.Sari dan Mudra tiba di Kampung Tujuh setelah menerima pesan dari Vanua. Mereka tahu bahwa ini bukan hanya tentang menyelamatkan desa, tetapi juga tentang menyatukan kekuatan mereka untuk menghadapi ancaman yang lebih besar.“Vanua, kita akan mengatasi ini bersama,” kata Mudra dengan tegas. “Kita tel

  • KERUMUNAN ADALAH NERAKA   BAGIAN 7 IBU BUMI

    Setelah kepergian Mudra dan Vanua, Sari merasakan kekosongan yang mendalam. Ia kembali ke rumah bambunya, tempat yang dulu terasa hangat kini terasa dingin dan sepi. Pandemi telah merenggut banyak hal darinya: kebebasan, interaksi sosial, dan yang paling menyakitkan, ibunya.Sari teringat akan ibunya, seorang wanita tangguh yang selalu menjadi sumber kekuatannya. Ia adalah sosok Ibu Bumi yang memberikan kasih sayang, perlindungan, dan kebijaksanaan. Namun, pandemi telah merenggutnya, meninggalkan Sari sendirian menghadapi dunia yang kejam.Air mata mengalir di pipi Sari saat ia memandangi foto ibunya. "Ibu," bisiknya lirih, "aku merasa sendiri. Aku rindu pelukanmu, nasihatmu, dan senyummu yang hangat."Kesedihan Sari semakin mendalam saat ia menyadari bahwa ia tidak hanya kehilangan ibunya, tapi juga harapannya akan masa depan. Pandemi telah meluluhlantakkan mimpinya, membuatnya merasa kecil dan tak berdaya."Apa yang harus kulakukan, Ibu?" isaknya. "Aku merasa seperti terjebak dalam k

  • KERUMUNAN ADALAH NERAKA   BAGIAN 6 SANG PENDETA AGUNG

    Kabut tipis menyelimuti Desa Gayam, menyamarkan sosok-sosok yang berjalan tergesa-gesa di jalan setapak. Mudra, dengan rambutnya yang sedikit acak-acakan dan mata yang menyimpan rahasia, duduk termenung di beranda rumahnya. Pikirannya melayang kembali ke pertemuannya dengan Penyihir Tarot, seorang wanita tua dengan aura mistis yang kuat. Kata-kata sang penyihir masih terngiang di telinganya, "Masa lalu adalah bayangan, Mudra. Tapi masa depan adalah kanvas kosong yang siap kau lukis."Di tengah keputusasaan yang melanda desa akibat pandemi dan isolasi, Mudra muncul bak cahaya di ujung terowongan. Sebagai direktur BUM Desa yang baru, ia menangani setiap masalah dengan kecerdikan yang mengingatkan Sari pada Profesor Dumbledore. Mudra bukan hanya pemimpin, tapi juga sosok misterius yang membuat jantung Sari berdebar tak menentu.Suatu senja, Mudra menemui Sari di petilasan desa, tempat yang diyakini sebagai gerbang antara dunia nyata dan dunia roh."Sari," Mudra memulai, suaranya selembut

  • KERUMUNAN ADALAH NERAKA   BAGIAN 5 PENYIHIR TAROT DAN DUNIA PERI

    Kabut tipis masih menyelimuti desa Gayam saat Mudra terbangun. Di sampingnya, Vanua masih terlelap, wajahnya tenang dalam balutan mimpi. Namun, Mudra tak bisa kembali ke alam mimpi. Ia merasakan getaran aneh, panggilan tak kasat mata yang menariknya dari tempat tidur, keluar dari rumah bambu, menuju hutan bambu yang sunyi dan magis.Di jantung hutan, di bawah kanopi bambu yang menjulang tinggi, berdirilah sosok Penyihir Tarot. Jubah merah dan kuningnya berkibar lembut tertiup angin pagi, pentagram perak melingkari lehernya, dan simbol-simbol okultisme terjalin rumit di kainnya. Ia berdiri di bawah gapura mawar merah yang merekah, simbol harmoni antara manusia dan alam. Di hadapannya, sebuah altar batu kuno berdiri kokoh, lilin-lilin hitam menyala misterius di atasnya. Di atas altar, terdapat perkakas-perkakas sang Penyihir Kuno, juga simbol-simbol dari empat suit Minor Arcana: cawan yang mewakili elemen Air, pedang yang mewakili elemen Udara, tongkat kayu hawthorn yang mewakili elemen

  • KERUMUNAN ADALAH NERAKA   BAGIAN 4 BERMIMPI DALAM MIMPI

    Pagi hari ini Mudra terbangun di atas kasur bejana. Tangannya berkata kepada kaki: “kamu percaya hari ini jam 6 sore di permukaan bulan?” Mudra bergegas mengayun kaki ke langit ketujuh. Barang durjana bernama handphone bertalu-talu mengingatkan sang waktu dengan sederet pesan. “Hari ini jadwalku bersua dengan Vanua.” Tangan Mudra beringsut menimbun kata pada besi titanium: “Kita akan bertemu secepatnya, kak Vanua.” Vanua baru kali pertama akan bertemu sosok lelaki yang didengarnya berkemampuan seperti Manusia Semut. Ant-Man. Manusia yang mampu membesar dan mengkerut di dalam kubangan masalah Desa. Semut bertengger di atas kelapa pun konon akan mengikuti derap kaki Mudra bila diperintah dengan senyuman. Laksana pejabat yang tahu cara mengatur tapi alpa dalam mengurus rakyatnya, Mudra mengeja kalimat yang ditulisnya di atas buku agenda. Ratusan pohon telah ditebang menjadi kertas dan didaur ulang menjadi buku agenda kertas buram coklat. Apabila Mudra jujur kepada luka di kakinya, ma

DMCA.com Protection Status