Perempuan berumur tiga puluh lima tahun itu berjalan pelan di depan Balai Desa Gayam. Ia seorang pegiat literasi yang menerima kuasa untuk memegang keris Desa Gayam berjuluk Pasopati.
Sejak pagi hingga senja ia menatap benda purbakala itu untuk menemukan kedamaian dalam diri. Tak ada guna mengharap kedamaian di luar dirinya.
Dan malam itu ia meninggalkan Balai Desa dengan rasa galau tak berujung. Sambil mengapit buku kumpulan cerita, Sadajiwa.
Bibirnya komat-kamit membaca kalimat pada sampul buku tipis berwarna hitam itu: “karena hidup adalah keindahan imajinasi, sedangkan kematian adalah kenyataan yang nestapa.”
Anak lelaki semata wayangnya baru kembali dari kota. Anak muda yang kalah dari pertempuran nafkah ojek online. Di rumah kos anaknya sudah ada orang tua yang tetiba sesak napas, mati, terbujur kaku dan akhirnya dikubur dengan protokol kafan plastik.
Jarak antara ia dan anaknya hanya satu meter, tanpa pelukan. Terhijab oleh benda laknat bernama plastik isolasi.
Jeritan menggema. Suara pilu dari sang anak karena protokol busuk bernama Lockdown. Setelah itu yang terdengar hanya isak tangis berbarengan.
Salah satu perangkat Desa menghibur anaknya dengan memutar film drama Korea Crash Landing on You. Tak perlu diceritakan lagi bagaimana klinik isolasi di Balai Desa menerapkan tindakan medis dan non-medis kepada anaknya yang terobsesi artis berwajah minyak dan emas, Son Ye-Jin.
Sari, demikianlah nama asli perempuan pemegang keris pusaka Pasopati itu, geram membaca berita pada time line pada aplikasi Twitter. Ratusan cuitan hanya berisi pesan-pesan dungu berlanggam Lockdown.
Berhari-hari sebelumnya ia mencari kabar dari para filsuf tentang bencana kasat mata atau pagebluk. Demi menahan anaknya agar tidak bersendagurau dengan kematian, sepulang dari reruntuhan kota.
Semua pesan para filsuf begitu terang benderang, kita sedang mengalami masa yang tidak dikenal selama empat ratus tahun terakhir. Prediksi apa pun hanya membuang usia, waktu dan tenaga. Carilah jawabannya di petilasan Desa. Hutan gayam.
Gelap gulita tempat petilasan ini. Beruntung cahaya dari telepon cerdas memberinya keberanian untuk berjalan kaki sendirian. Pohon gayam berbaris rapi menemaninya dalam sepi. Burung pungguk kembali bertengger di pucuk pohon gayam setelah sekian lama berkelana ke Desa Penari.
Selewat pukul nol dan tanpa menunggu teguran dari burung pungguk, Sari bergegas mencari pusat komunikasi tanpa batas dengan semesta.
Kakinya tersandung batu vulkanik berukuran dua kali dua meter. Tempat keramat berpola segi empat. Petilasan Ni Grenjeng di hutan gayam yang angker. Tiap malam Selasa Kliwon, petilasan ini biasanya beraroma kembang dan dupa. Kali ini aroma itu tumbang.
“Bau sekali tempat ini. Bau alkohol, antiseptik, dan sabun.” Gugus tugas bencana pagebluk menyemprot tanpa ampun semua tempat dengan campuran vodka. Maklum, alkohol murni sudah ludes dari toko Desa.
Sari duduk berkhidmat. Bersila teratai. Menata jari manis bertemu jempol, sikap mudra yang paling ia sukai untuk memudahkan fokus batin. Wajahnya semakin berkilau. Kepalanya menengadah ke langit. Seperti sikap para leluhur Desa tatkala mencari jawaban atas bencana pagebluk.
Langit di Desa tampak bersih. Bulan sedang tiarap. Awan menyingkir ke bagian timur, menjulang tinggi seperti buncahan erupsi Merapi.
Ritual dimulai. Sambil mengucap mantram konsolidasi dedemit, Sari meletakkan keris Pasopati di sebelah kanan dengkulnya.
Telepon cerdas ia taruh tepat di sisi kiri keris Pasopati.
“Apuranen sun angetang, dedemit ing tanah Jawi…” Berdesis bibir tipis Sari. Mengeluarkan getaran yang melayukan hasrat.
Samar-samar, ia merasa melihat hologram perjudian antara rakyat jelita dengan rakyat jelata. Rakyat jelita berebut tempat persembunyian. Menimbun aset dan menyekapnya di ruang bawah tanah.
Sekian ratus detik berikutnya mereka memasang status di media sosial, “Kerja di rumah.” Sedangkan rakyat jelata berebut cabe, mie goreng dan telur di pasar becek.
Mereka bergegas menyimpan makanan di bawah kasur. Berlanjut dengan adegan berlari menjauh dari kenyataan sambil berteriak di jalanan, “Aku dirumahkan.”
Perasaan Sari campur aduk. Ia berusaha menangkap makna yang lugas, tapi selalu gagal. Suara rakyat jelita dan rakyat jelata bersahut-sahutan. Lelucon tak lagi bernada canda.
Gerak kelebatan sinar hologram semakin cepat. Kini berganti dengan pusaran deras dari mata air purba. Angin puting beliung mengangkat ribuan debit mata air purba itu setinggi pohon kelapa. Dan menghempasnya kembali ke bumi tanpa tumpah meruah ke jalanan. Hujan abu turun dari langit, turut merawat keheningan.
Kedua tangan Sari bergerak sendiri dan menyentuh keris Pasopati. Meraba lurusnya keris itu dari sisi pinggirnya yang tajam. Bilah keris beralih warna. Hitam kebiru-biruan.
Sinar hijau kebiru-biruan memelesat ke atas pohon gayam.
Gelap gulita.
***
Terdengar ketukan tiga kali berturut-turut pada pintu kamar. Nada ketukannya seperti Symphony No. 5 karya Beethoven. “Tok, tok, tok, tokkkkk……”
Terlampau akrab dikenali oleh Sari untuk mengetahui siapa yang bertamu tanpa harus mengintip lewat lubang kunci. Kepala Desa datang bersama sosok yang muda belia.
“Silahkan masuk, Bu Raisa.”
“Perkenalkan, ini Mudra, Direktur Badan Usaha Milik Desa yang baru,” kata Bu Raisa, Kepala Desa.
Sari tidak berucap untuk mengenal wajah dan tubuh Mudra. Sosok pemimpin organisasi bisnis Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa). Sebab kepalanya masih susah mengingat nama orang, setelah ia pingsan selama empat belas hari. Pedagang bebek goreng menemukannya pingsan di hutan gayam. Malam itu ia terbebas dari kerumitan pagebluk, tapi melihat jiwa-jiwa yang terperangkap di dalam mata air purba dan tanah liat hutan gayam.
“Kelihatannya ada kabar penting, Bu Raisa?
“Anakmu sudah sehat. Esok ia pulang ke rumah. Paru-parunya berisi kepulan asap, tapi virus pagebluk hilang dari tubuhnya.”
Mudra buru-buru mengambil telpon cerdasnya dan menunjukkan foto anak itu. Lalu memusatkan perhatiannya kepada keris yang berada di meja ruang tamu. Keris dengan perabot yang indah. Berlapis emas pada bagian pendhok, sisi luar warangka. Berlian yang menempel pada bagian selut.
Bagian paling bawah didekat pegangan pusaka. “Sungguh bernilai tinggi dan pasti mahal,” batin Mudra.
Wajah Sari berubah cerah melihat foto anaknya tapi abai dengan ekspresi Mudra atas kerisnya.
“Kali ini saya mesti berbuat apa?”
“Kamu harus bantu kami mencari hutang untuk membayar gaji staf BUM Desa selama tiga bulan.”
“Berapa juta, bu?”
“Tiga ratus juta,” sahut Mudra.
Tak lebih dari satu jam mereka bertiga larut dalam siasat mengatasi pagebluk. Kemiskinan ratusan warga sudah dihitung dengan cermat. Usaha apa pun hasilnya tetaplah sama. Keluar modal seratus ribu, tapi keuntungan per hari hanya seribu rupiah.
***
Syukurlah, Bu Raisa Kepala Desa bergerak cepat. Anggaran pemerintahan Desa sudah beres.
Tiga bulan berikutnya terhitung cukup untuk membuat dapur umum dan bangunan isolasi. Desa akan tampak gagah mengikuti protokol kehidupan yang penuh marabahaya ini.
Bagi sebagian warga pemudik, seperti anaknya Sari, akan diberi fasilitas untuk mengasingkan diri di pojok kesunyian dan mendengarkan suara sesak napasnya sendiri.
Memang gaya kepemimpinan Bu Raisa ini mirip Presiden Eropa Timur. “Selama pagebluk di Desa, saya kontrol semua rumah warga, tidak boleh ada yang bahagia. Yang merasa bahagia itu orang yang tidak tahu misi hidupnya. Misi hidup kita itu jelas. Terlahir untuk berjuang, bukan liburan.”
Kelompok oposisi di Desa pun mundur sesaat sambil tetap mengintai kesalahannya.
Bertolakbelakang dengan Mudra yang enggan bergosip politis. Ia hobi main gitar dan penggila instrumentalia rock. Lebih suka mencintai seseorang dalam diam daripada menyatakannya.
Sari teringat suatu peristiwa yang kebetulan bersamaan dengan jatuhnya cicak dan meteor di tempat sakral. Kurang lebih berjarak seribu langkah anak kecil dari pintu rumahnya.
“Bu Lurah ingat tidak, waktu utusan istana syuting vlog di rumah saya? Bukankah ada adegan mereka menaksir pamor keris Desa yang saya rawat itu? Nah, setelah syuting vlog, utusan istana ingin memberi mahar untuk keris Pasopati. Tapi rupanya kesibukan utusan istana dan saya sama-sama lupa soal mahar ini.”
Pamor keris Pasopati itu memang luar biasa. Pamor Adeg dengan ornamen bersulur-sulur tegas ke atas. Konon keris itu buatan Mpu Singkir. Energinya aktif untuk mengatasi bencana angin, bencana air, bencana api, pagebluk, tapi kurang dahsyat untuk menjaga stabilitas berebut pendapatan.
“Lho, kejadian itu sudah lama sekali, kan?”
“Benar, Bu Raisa. Seingat saya sekitar tiga tahun yang lalu. Tapi terus terang, utusan istana itu bilang, kalau saya membutuhkan sesuatu dan rela melepas keris itu, ia siap mengirim uang secepatnya. Gaji staf BUM Desa selama tiga bulan akan terpenuhi. Tidak perlu hutang. Toh, keris Pasopati ini kan aset Desa.”
Bu Raisa dan Mudra tidak langsung menjawab. Dari wajah mereka terkesan seolah begitu banyak syarat untuk melangkah pada masa pagebluk. Mereka merasa hidup pada saat takut untuk hidup.
Di sekeliling mereka hanya ada marabahaya.
Kegilaan mereka berdua mengurusi pagebluk di Desa bagaikan hujan, tapi mereka sungguh lemah seperti dedaunan pohon gayam.
“Dan sebelum saya pingsan di petilasan hutan gayam, ada bisikan agar kita melepas keris Pasopati untuk kepentingan yang lebih agung. Jika istana menginginkan mawar, mereka tidak mungkin lari dari duri tajam. Sekarang kita menepi di rumah masing-masing dalam penderitaan, tapi itulah usaha terbesar kita. Ketika saya terbangun dari pingsan, Ratu Vanua dari alam lain menitip pesan melalui mimpi. Hutan gayam, mata air purba, dan gelandangan adalah sebuah harapan.”
***
Maka pada hari yang telah dihitung dan direncanakan, tepat pada minggu (wuku) Sungsang, hari Kamis Wage, rombongan istana pun datang ke Balai Desa dan disambut meriah oleh anak-anak muda pemain Mobile Legend. Semua pihak merasa lega dan bergembira karena kemiskinan mereka akan teratasi.
Tiba saatnya malam serah terima keris Pasopati.
Menjelang dimulainya acara, Sari menebarkan pandangan matanya ke sekitar Balai Desa.
Ia melihat para dedemit tetap bersalam-salaman tanpa antiseptik pembersih tangan. Mereka masih punya kesabaran dan harapan. Di sebelah para dedemit tampak Bu Raisa yang berwibawa dengan memakai baju adat. Didampingi oleh Mudra yang memakai jas rapi buatan BUM Desa.
“Saya harus membagi ketentraman hati dan ketenangan jiwa ini pada jiwa yang satu. Siapa? Warga Desaku!,” tegas Bu Kepala Desa kepada hadirin. Ia menahan napas, terdiam lima detik. Utusan istana saling berpandangan.
“Rakyat jelata terbiasa dekat dengan kelaparan dan kematian! Tapi kita harus Kill Streak, lawan pagebluk!”
Tepuk tangan dari warga Desa tim pemain Mobile Legend kian keras memenuhi ruangan. Situasi kerumunan menjadi savage. Antar tubuh berhimpitan dan menginjak kursi.
Gelas plastik berisi kopi tumpah ruah di sembarang meja. Tikar terciprat cairan pekatnya kopi.
Riuhnya kerumunan itu tak berlangsung lama.
Sesi berjalan kaki tanpa bicara, saatnya dimulai. Ayunan kaki yang bergesekan dengan tanah di Desa menyatu dengan napas masing-masing tubuh yang berkerumun itu.
Dan seusai tradisi kirab dengan jalan kaki tanpa bicara, utusan istana menyerahkan satu tas berisi lima ratus juta kepada Sari, Bu Raisa Kepala Desa, dan Mudra. Bertubi-tubi Mudra menerima ucapan selamat dan swafoto dari delapan puluhan staf BUM Desa yang sudah terbiasa kelaparan.
Sari kembali termangu sambil berjalan pulang ke rumah. Sementara adegan perpisahan warga Desa dengan utusan istana masih terngiang-ngiang di pelupuk mata, langkah kakinya tertahan tiga langkah menjelang pintu masuk rumah.
“Ada apa, teh?”, tanya Sari kepada perempuan muda berwajah Sunda tapi mirip artis drama korea Seo Ji-hye.
“Mendekatlah! Agar kita saling tahu dan tidak saling memandang. Namaku, Vanua.”
Lalu perempuan itu menambahkan, “Lihat dua hari lagi, keris Pasopati itu akan ada di meja Presiden. Atas kuasanya, konsolidasi dedemit disatukan dengan teknologi meteorit untuk memindah pagebluk ke lorong waktu Abad XXX.”
Sari menyahut, “Berarti, mulai saat ini Desa kami tidak perlu berpikir masa depan. Kami pikirkan hari ini apa yang bisa dilakukan, sampai tertidur. Aku pernah pingsan di hutan gayam. Itulah Lockdown. Permainan yang aku ikuti dengan iming-iming energi besar dari para dedemit. Nyata, kami mendapat hadiah uang ratusan juta dari utusan istana.”
Sari merasa bersukacita betemu dengan sosok yang pernah menyapanya di petilasan. Kedua perempuan itu saling berangkulan dan moksa. Menyatunya mereka berdua ini sebagai tanda perjudian semesta telah dimulai.
Istana dikelilingi oleh kematian yang mengintai. Rakyat jelita kembali berbelanja online dengan ceria. Rakyat jelata menempuh jalan sunyi ketiadaan.
Moksa bukan berarti mati. Hanya pergi sesaat untuk kembali lagi. Menuntaskan misi jiwa yang belum selesai.
***
Vanua sedang perjalanan pulang dari Kampung Tujuh. Dia berjalan kaki sejak matahari belum bangun dari tidurnya menuju kampung yang hanya dihuni tujuh kepala keluarga itu.Ketika Vanua berumur dua puluh tahun, ia meninggalkan kampung kelahirannya di kota Jakarta. Belasan tahun tiada jemu ia menikmati tembok di depan rumah. Kampung sempit dengan jalanan yang hanya bisa dilewati dua orang bertubuh ceking.Suatu hari, ia terbangun bersama matahari yang meninggi, ”Engkau tak bosan memanaskan tembok depan rumahku, memancarkan sinarmu tanpa peduli kegelapan kamar dan kesunyianku.”Saat itu awal bulan April. Berangkatlah ia menuju desa pegunungan Kampung Tujuh Yogyakarta. ”Apakah matahari di kampung sempit masih bahagia, jika aku tidak menikmati sinarnya lagi?” Vanua meyakinkan dirinya sendiri.Setiap pagi ia menatap matahari di pucuk gunung Kampung Tujuh. Jalan berbatu sudah menjadi sarapan paginya. Ia membangun rumah bambu, tepat tujuh meter di atas lahan kompleks makam desa. Dekat rerimbu
Tidak ada kata menyerah bagi Mudra. Bagaimanapun, Mudra harus menagih cicilan utang pada lelaki di Desa yang punya ilmu kebal: Rontek. Senja yang menawan tak berarti lagi baginya. Cahaya keemasan di ujung senja menimbulkan nyeri di ulu hati. Tiga bulan lebih Mudra tidak memegang uang karena perputaran dana bergulir mengalami kemacetan. Satu orang saja dalam kelompok pemanfaat dana bergulir gagal bayar, maka bisa dipastikan kelompok itu harus tanggung renteng membayar atau terhenti kegiatan produksinya. Apalagi di masa pagebluk seperti ini, nasib kelompok usaha di Desa sedang jatuh ke dasar mata air. Berteriak dari kedalaman pun tak ada guna.“Aku mau menagih cicilannya tetapi wajahnya kalau ditagih pasti bermuka masam. Berbeda sekali kalau mengajukan pinjaman, wajahnya secerah matahari, dan memelas seperti kelinci,” keluh Mudra pada Bu Raisa Kepala Desa. “Ketika aku menagihnya, disuguhi air putih di gelas kecil seukuran mainan anak PAUD, itu sudah lumayan. Pernah, aku dibawakan par
Pagi hari ini Mudra terbangun di atas kasur bejana. Tangannya berkata kepada kaki: “kamu percaya hari ini jam 6 sore di permukaan bulan?” Mudra bergegas mengayun kaki ke langit ketujuh. Barang durjana bernama handphone bertalu-talu mengingatkan sang waktu dengan sederet pesan. “Hari ini jadwalku bersua dengan Vanua.” Tangan Mudra beringsut menimbun kata pada besi titanium: “Kita akan bertemu secepatnya, kak Vanua.” Vanua baru kali pertama akan bertemu sosok lelaki yang didengarnya berkemampuan seperti Manusia Semut. Ant-Man. Manusia yang mampu membesar dan mengkerut di dalam kubangan masalah Desa. Semut bertengger di atas kelapa pun konon akan mengikuti derap kaki Mudra bila diperintah dengan senyuman. Laksana pejabat yang tahu cara mengatur tapi alpa dalam mengurus rakyatnya, Mudra mengeja kalimat yang ditulisnya di atas buku agenda. Ratusan pohon telah ditebang menjadi kertas dan didaur ulang menjadi buku agenda kertas buram coklat. Apabila Mudra jujur kepada luka di kakinya, ma
Kabut tipis masih menyelimuti desa Gayam saat Mudra terbangun. Di sampingnya, Vanua masih terlelap, wajahnya tenang dalam balutan mimpi. Namun, Mudra tak bisa kembali ke alam mimpi. Ia merasakan getaran aneh, panggilan tak kasat mata yang menariknya dari tempat tidur, keluar dari rumah bambu, menuju hutan bambu yang sunyi dan magis.Di jantung hutan, di bawah kanopi bambu yang menjulang tinggi, berdirilah sosok Penyihir Tarot. Jubah merah dan kuningnya berkibar lembut tertiup angin pagi, pentagram perak melingkari lehernya, dan simbol-simbol okultisme terjalin rumit di kainnya. Ia berdiri di bawah gapura mawar merah yang merekah, simbol harmoni antara manusia dan alam. Di hadapannya, sebuah altar batu kuno berdiri kokoh, lilin-lilin hitam menyala misterius di atasnya. Di atas altar, terdapat perkakas-perkakas sang Penyihir Kuno, juga simbol-simbol dari empat suit Minor Arcana: cawan yang mewakili elemen Air, pedang yang mewakili elemen Udara, tongkat kayu hawthorn yang mewakili elemen
Kabut tipis menyelimuti Desa Gayam, menyamarkan sosok-sosok yang berjalan tergesa-gesa di jalan setapak. Mudra, dengan rambutnya yang sedikit acak-acakan dan mata yang menyimpan rahasia, duduk termenung di beranda rumahnya. Pikirannya melayang kembali ke pertemuannya dengan Penyihir Tarot, seorang wanita tua dengan aura mistis yang kuat. Kata-kata sang penyihir masih terngiang di telinganya, "Masa lalu adalah bayangan, Mudra. Tapi masa depan adalah kanvas kosong yang siap kau lukis."Di tengah keputusasaan yang melanda desa akibat pandemi dan isolasi, Mudra muncul bak cahaya di ujung terowongan. Sebagai direktur BUM Desa yang baru, ia menangani setiap masalah dengan kecerdikan yang mengingatkan Sari pada Profesor Dumbledore. Mudra bukan hanya pemimpin, tapi juga sosok misterius yang membuat jantung Sari berdebar tak menentu.Suatu senja, Mudra menemui Sari di petilasan desa, tempat yang diyakini sebagai gerbang antara dunia nyata dan dunia roh."Sari," Mudra memulai, suaranya selembut
Setelah kepergian Mudra dan Vanua, Sari merasakan kekosongan yang mendalam. Ia kembali ke rumah bambunya, tempat yang dulu terasa hangat kini terasa dingin dan sepi. Pandemi telah merenggut banyak hal darinya: kebebasan, interaksi sosial, dan yang paling menyakitkan, ibunya.Sari teringat akan ibunya, seorang wanita tangguh yang selalu menjadi sumber kekuatannya. Ia adalah sosok Ibu Bumi yang memberikan kasih sayang, perlindungan, dan kebijaksanaan. Namun, pandemi telah merenggutnya, meninggalkan Sari sendirian menghadapi dunia yang kejam.Air mata mengalir di pipi Sari saat ia memandangi foto ibunya. "Ibu," bisiknya lirih, "aku merasa sendiri. Aku rindu pelukanmu, nasihatmu, dan senyummu yang hangat."Kesedihan Sari semakin mendalam saat ia menyadari bahwa ia tidak hanya kehilangan ibunya, tapi juga harapannya akan masa depan. Pandemi telah meluluhlantakkan mimpinya, membuatnya merasa kecil dan tak berdaya."Apa yang harus kulakukan, Ibu?" isaknya. "Aku merasa seperti terjebak dalam k
Pagi itu, kabut tipis masih menyelimuti Kampung Tujuh. Vanua berdiri di depan rumah bambunya, memandangi desa yang telah menjadi rumahnya. Kampung ini penuh dengan kehidupan dan kehangatan, tetapi ancaman baru telah menimbulkan kecemasan di hati setiap penduduknya. Bencana alam yang tak terduga telah membuat tanah di sekitar desa mulai retak, dan wabah penyakit misterius mulai menyebar, mengancam kehidupan di kampung kecil itu.Vanua merasakan beban berat di pundaknya. Dia tahu bahwa penduduk desa bergantung padanya. Sarang lebah yang dia rawat dengan penuh cinta telah menjadi sumber penghidupan bagi banyak orang. Dia juga tahu bahwa sesuatu yang lebih besar dari dirinya sedang dibutuhkan.Sari dan Mudra tiba di Kampung Tujuh setelah menerima pesan dari Vanua. Mereka tahu bahwa ini bukan hanya tentang menyelamatkan desa, tetapi juga tentang menyatukan kekuatan mereka untuk menghadapi ancaman yang lebih besar.“Vanua, kita akan mengatasi ini bersama,” kata Mudra dengan tegas. “Kita tel
Ritual di Kampung Tujuh telah berhasil, tetapi rasa cemas dan ketidakpastian masih menyelimuti hati penduduk desa. Suasana misterius dan melankolis memenuhi udara malam di Kampung Tujuh. Sari, Mudra, dan Vanua duduk di bawah pohon akasia besar, memandang jauh ke dalam diri mereka sendiri, mencari jawaban atas pertanyaan yang belum terjawab.Ki Rajendra, pemimpin spiritual yang bijak, tetap tinggal di desa setelah ritual. Kehadirannya membawa ketenangan, tetapi juga membuka luka-luka yang tersembunyi dalam jiwa setiap penduduk."Ki Rajendra," Sari memulai, suaranya dipenuhi keprihatinan, "meskipun ritual telah selesai, mengapa kita masih merasa terjebak dalam kecemasan dan ketidakpastian?"Ki Rajendra tersenyum lembut. "Karena, anakku, kebebasan sejati bukan hanya tentang menyatukan fisik dan spiritual. Kebebasan sejati juga tentang bagaimana kita memahami dan menerima diri kita sendiri serta orang lain."Mudra, yang biasanya tenang, tampak gelisah. "Apakah ini yang dimaksud ketika sese
Desa Gayam tenggelam dalam keheningan, hanya ditemani suara jangkrik yang bersahutan dan gemericik air sungai kecil yang mengalir di tepi desa. Di bawah langit malam yang berkilauan, bintang gemintang bertaburan bagai permata yang ditaburkan di atas kain beludru hitam. Di dalam rumah bambu yang hangat, Sari, Vanua, dan Mudra masih duduk bersila, dikelilingi cahaya temaram lampu minyak kelapa.Tiba-tiba, suara gemuruh memecah kesunyian malam. Sari terlonjak, jantungnya berdebar kencang. Ia bangkit dari duduknya, melangkah cepat menuju jendela. Matanya membelalak saat melihat bayangan besar mendekat dari kejauhan."Apa itu?" tanyanya dengan suara tercekat, rasa takut menjalari tubuhnya.Mudra, yang sedari tadi merenung, ikut berdiri. Ia mengerutkan kening, mencoba mengidentifikasi suara yang semakin mendekat. "Itu terdengar seperti kereta kuda," katanya dengan nada penuh waspada.Vanua, yang duduk di samping Mudra, ikut merasakan ketegangan. Ia menatap Mudra dengan tatapan cemas. "Tapi s
Suasana di Desa Gayam semakin dingin. Langit meredup. Hewan hitam berukuran lima milimeter terbang dengan kecepatan cahaya lampu senter. Angin sepoi-sepoi membawa aroma bunga kamboja, menambah kesan magis malam itu. Di tengah desa, berdiri sebuah rumah bambu yang sederhana namun kokoh. Bagian dari rumah bertembok baja. Di dalamnya, Sari merenung di depan jendela, memandang bintang-bintang yang mulai bermunculan. Pikirannya bercabang, terjebak antara cinta yang dalam dan keputusan sulit yang harus diambil.Sejak kemunculan Mudra, hidup Sari berubah drastis. Mudra bukan hanya pemimpin BUM Desa yang baru, tapi juga sosok yang berhasil menyalakan kembali api semangat di dalam dirinya. Di sisi lain, Vanua, sahabat setianya yang berasal dari Kampung Tujuh, juga menyimpan rasa yang dalam kepada Mudra. Konflik batin ini semakin tajam saat Sari menyadari bahwa Vanua juga mencintai Mudra dengan segenap hatinya.“Bagaimana mungkin aku memilih di antara mereka?” bisik Sari pada dirinya sendiri, sa
Panas. Mentari memancarkan api tanpa kobaran. Bayang-bayang ketidakpercayaan terhadap Mudra dan Vanua masih pekat di Kampung Tujuh. Surya, dengan ambisinya yang membara, berhasil menghasut beberapa warga desa. Ia menyebarkan bisik-bisik keraguan tentang kekuatan mistis yang diduga digunakan Mudra dan Vanua, menanamkan bibit-bibit perselisihan di tengah masyarakat yang mulai rapuh.Surya adalah seorang pria yang cerdas namun licik. Pemikirannya sering kali dangkal dan cepat berubah, sepanjang sebatang korek api. Meskipun aktif mengikuti pertemuan dengan Bu Ros dan penduduk lainnya, ia sering kali menggunakan informasi yang didapatnya untuk keuntungan pribadi. Ketidaktahuannya tentang praktik spiritual membuatnya mudah dipengaruhi oleh rasa takut dan ketidakpastian. Keputusan-keputusannya diwarnai oleh kecenderungan untuk mengambil jalan pintas, tanpa memikirkan konsekuensi jangka panjang."Mereka berdua itu penipu!" seru Surya di tengah kerumunan yang berkumpul di balai desa. "Mereka h
Ritual di Kampung Tujuh telah berhasil, tetapi rasa cemas dan ketidakpastian masih menyelimuti hati penduduk desa. Suasana misterius dan melankolis memenuhi udara malam di Kampung Tujuh. Sari, Mudra, dan Vanua duduk di bawah pohon akasia besar, memandang jauh ke dalam diri mereka sendiri, mencari jawaban atas pertanyaan yang belum terjawab.Ki Rajendra, pemimpin spiritual yang bijak, tetap tinggal di desa setelah ritual. Kehadirannya membawa ketenangan, tetapi juga membuka luka-luka yang tersembunyi dalam jiwa setiap penduduk."Ki Rajendra," Sari memulai, suaranya dipenuhi keprihatinan, "meskipun ritual telah selesai, mengapa kita masih merasa terjebak dalam kecemasan dan ketidakpastian?"Ki Rajendra tersenyum lembut. "Karena, anakku, kebebasan sejati bukan hanya tentang menyatukan fisik dan spiritual. Kebebasan sejati juga tentang bagaimana kita memahami dan menerima diri kita sendiri serta orang lain."Mudra, yang biasanya tenang, tampak gelisah. "Apakah ini yang dimaksud ketika sese
Pagi itu, kabut tipis masih menyelimuti Kampung Tujuh. Vanua berdiri di depan rumah bambunya, memandangi desa yang telah menjadi rumahnya. Kampung ini penuh dengan kehidupan dan kehangatan, tetapi ancaman baru telah menimbulkan kecemasan di hati setiap penduduknya. Bencana alam yang tak terduga telah membuat tanah di sekitar desa mulai retak, dan wabah penyakit misterius mulai menyebar, mengancam kehidupan di kampung kecil itu.Vanua merasakan beban berat di pundaknya. Dia tahu bahwa penduduk desa bergantung padanya. Sarang lebah yang dia rawat dengan penuh cinta telah menjadi sumber penghidupan bagi banyak orang. Dia juga tahu bahwa sesuatu yang lebih besar dari dirinya sedang dibutuhkan.Sari dan Mudra tiba di Kampung Tujuh setelah menerima pesan dari Vanua. Mereka tahu bahwa ini bukan hanya tentang menyelamatkan desa, tetapi juga tentang menyatukan kekuatan mereka untuk menghadapi ancaman yang lebih besar.“Vanua, kita akan mengatasi ini bersama,” kata Mudra dengan tegas. “Kita tel
Setelah kepergian Mudra dan Vanua, Sari merasakan kekosongan yang mendalam. Ia kembali ke rumah bambunya, tempat yang dulu terasa hangat kini terasa dingin dan sepi. Pandemi telah merenggut banyak hal darinya: kebebasan, interaksi sosial, dan yang paling menyakitkan, ibunya.Sari teringat akan ibunya, seorang wanita tangguh yang selalu menjadi sumber kekuatannya. Ia adalah sosok Ibu Bumi yang memberikan kasih sayang, perlindungan, dan kebijaksanaan. Namun, pandemi telah merenggutnya, meninggalkan Sari sendirian menghadapi dunia yang kejam.Air mata mengalir di pipi Sari saat ia memandangi foto ibunya. "Ibu," bisiknya lirih, "aku merasa sendiri. Aku rindu pelukanmu, nasihatmu, dan senyummu yang hangat."Kesedihan Sari semakin mendalam saat ia menyadari bahwa ia tidak hanya kehilangan ibunya, tapi juga harapannya akan masa depan. Pandemi telah meluluhlantakkan mimpinya, membuatnya merasa kecil dan tak berdaya."Apa yang harus kulakukan, Ibu?" isaknya. "Aku merasa seperti terjebak dalam k
Kabut tipis menyelimuti Desa Gayam, menyamarkan sosok-sosok yang berjalan tergesa-gesa di jalan setapak. Mudra, dengan rambutnya yang sedikit acak-acakan dan mata yang menyimpan rahasia, duduk termenung di beranda rumahnya. Pikirannya melayang kembali ke pertemuannya dengan Penyihir Tarot, seorang wanita tua dengan aura mistis yang kuat. Kata-kata sang penyihir masih terngiang di telinganya, "Masa lalu adalah bayangan, Mudra. Tapi masa depan adalah kanvas kosong yang siap kau lukis."Di tengah keputusasaan yang melanda desa akibat pandemi dan isolasi, Mudra muncul bak cahaya di ujung terowongan. Sebagai direktur BUM Desa yang baru, ia menangani setiap masalah dengan kecerdikan yang mengingatkan Sari pada Profesor Dumbledore. Mudra bukan hanya pemimpin, tapi juga sosok misterius yang membuat jantung Sari berdebar tak menentu.Suatu senja, Mudra menemui Sari di petilasan desa, tempat yang diyakini sebagai gerbang antara dunia nyata dan dunia roh."Sari," Mudra memulai, suaranya selembut
Kabut tipis masih menyelimuti desa Gayam saat Mudra terbangun. Di sampingnya, Vanua masih terlelap, wajahnya tenang dalam balutan mimpi. Namun, Mudra tak bisa kembali ke alam mimpi. Ia merasakan getaran aneh, panggilan tak kasat mata yang menariknya dari tempat tidur, keluar dari rumah bambu, menuju hutan bambu yang sunyi dan magis.Di jantung hutan, di bawah kanopi bambu yang menjulang tinggi, berdirilah sosok Penyihir Tarot. Jubah merah dan kuningnya berkibar lembut tertiup angin pagi, pentagram perak melingkari lehernya, dan simbol-simbol okultisme terjalin rumit di kainnya. Ia berdiri di bawah gapura mawar merah yang merekah, simbol harmoni antara manusia dan alam. Di hadapannya, sebuah altar batu kuno berdiri kokoh, lilin-lilin hitam menyala misterius di atasnya. Di atas altar, terdapat perkakas-perkakas sang Penyihir Kuno, juga simbol-simbol dari empat suit Minor Arcana: cawan yang mewakili elemen Air, pedang yang mewakili elemen Udara, tongkat kayu hawthorn yang mewakili elemen
Pagi hari ini Mudra terbangun di atas kasur bejana. Tangannya berkata kepada kaki: “kamu percaya hari ini jam 6 sore di permukaan bulan?” Mudra bergegas mengayun kaki ke langit ketujuh. Barang durjana bernama handphone bertalu-talu mengingatkan sang waktu dengan sederet pesan. “Hari ini jadwalku bersua dengan Vanua.” Tangan Mudra beringsut menimbun kata pada besi titanium: “Kita akan bertemu secepatnya, kak Vanua.” Vanua baru kali pertama akan bertemu sosok lelaki yang didengarnya berkemampuan seperti Manusia Semut. Ant-Man. Manusia yang mampu membesar dan mengkerut di dalam kubangan masalah Desa. Semut bertengger di atas kelapa pun konon akan mengikuti derap kaki Mudra bila diperintah dengan senyuman. Laksana pejabat yang tahu cara mengatur tapi alpa dalam mengurus rakyatnya, Mudra mengeja kalimat yang ditulisnya di atas buku agenda. Ratusan pohon telah ditebang menjadi kertas dan didaur ulang menjadi buku agenda kertas buram coklat. Apabila Mudra jujur kepada luka di kakinya, ma