Desa Gayam kini terasa seperti kota yang dilanda teror, namun bukan teror dari invasi alien atau serangan robot canggih seperti yang dihadapi para pahlawan super dalam film-film. Teror yang mencengkeram desa ini jauh lebih kuno, lebih dalam, dan lebih merasuk ke dalam hati serta pikiran penghuninya. Ketakutan mereka bukan datang dari luar, melainkan dari bayang-bayang di dalam diri sendiri.
Bisik-bisik tentang dedemit semakin menjadi-jadi. Kuntilanak, dengan tawa melengkingnya, bukan sekadar sosok hantu perempuan biasa. Ia menjadi perwujudan dari ketakutan mendalam akan kehilangan dan penyesalan. Pocong, dengan kain kafannya yang membalut tubuh, bukan sekadar simbol kematian yang menakutkan, tetapi juga representasi dari masa lalu yang belum selesai. Genderuwo, dengan tubuhnya yang raksasa, melambangkan kekuatan liar yang tak terkendali, sementara Wewe Gombel menjadi personifikasi dari naluri keibuan yang terdistorsi.
Bagi sebagian warga desa, makhluk-makhluk ini bukan hanya cerita turun-temurun, tetapi kenyataan yang semakin nyata di tengah pandemi. Mereka percaya bahwa yang terjadi di desa bukan hanya wabah penyakit, tetapi juga kutukan yang menguji keimanan dan keberanian mereka.
Vanua, dengan pikiran rasionalnya, melihat fenomena ini sebagai manifestasi dari ketakutan yang berkembang liar. Baginya, ini bukan soal keberadaan makhluk halus, melainkan tentang bagaimana ketakutan menguasai dan membentuk persepsi manusia. Desa ini, seperti kota-kota yang telah ditinggalkannya, sedang menghadapi musuh yang sama—kepanikan dan kehilangan akal sehat.
Ia ingin membuktikan bahwa semua ini hanyalah hasil dari ketidakpastian dan desas-desus yang semakin membesar. Namun, berbeda dengan di kota, yang mana informasi tersebar dengan cepat melalui media sosial dan berita, di desa, ketakutan itu berkembang melalui bisikan, dari mulut ke mulut, dari mimpi yang diceritakan sebelum subuh hingga bayangan yang terlihat di sudut mata.
Sementara itu, Mudra, yang lebih memahami cara berpikir warga desa, melihat fenomena ini dari sudut yang berbeda. Ia tidak ingin membantah kepercayaan mereka secara langsung. Baginya, ketakutan itu harus dikelola, bukan disangkal. Ia memahami bahwa dalam situasi seperti ini, menolak keyakinan warga desa hanya akan membuat mereka semakin defensif dan semakin dalam terperangkap dalam ketakutan mereka sendiri.
Mudra percaya bahwa ketakutan harus dihadapi bersama. Jika dedemit adalah bagian dari cerita rakyat yang diwariskan secara turun-temurun, maka mereka juga bisa menjadi alat untuk membangun kembali solidaritas yang mulai pudar. Ia ingin menunjukkan bahwa mereka tidak harus takut sendirian, bahwa gotong royong bisa menjadi kekuatan untuk melawan ketakutan, baik itu nyata maupun yang lahir dari pikiran mereka sendiri.
Suatu pagi, di warung Bu Minah, ketegangan mulai terasa. Percakapan yang dulu dipenuhi canda dan obrolan ringan kini berubah menjadi diskusi tentang kejadian-kejadian aneh yang semakin sering terjadi.
"Kamu lihat sendiri, kan? Tadi malam ada yang terbang di atas genteng rumahku!" seru Pak Karto kepada Vanua, matanya membelalak.
"Pak Karto, mungkin itu burung hantu," jawab Vanua tenang, sambil menyeruput kopinya.
"Burung hantu? Yang sebesar itu? Dengan mata merah menyala?" Pak Karto menggeleng. "Itu kuntilanak, Nak! Saya tahu betul!"
Vanua menghela napas. "Pak Karto, sejauh ini belum ada bukti ilmiah tentang keberadaan kuntilanak atau makhluk halus lainnya. Apa Bapak melihatnya sendiri?"
Pak Karto terdiam sejenak, lalu berkata, "Saya tidak melihat langsung, tapi anak saya yang melihat. Dia sampai pingsan!"
"Mungkin anak Bapak terlalu lelah, atau terpengaruh cerita-cerita yang beredar," kata Vanua dengan nada hati-hati. Ia tahu bahwa menyangkal langsung hanya akan memperkeruh suasana.
"Ilmiah, ilmiah... Sekarang ini, logika sudah tidak mempan! Ini zaman kegelapan!" Pak Karto menggebrak meja, membuat cangkir kopi Vanua bergetar.
Bu Minah yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara. "Pak Karto, jangan begitu. Nanti malah dedemitnya marah."
"Marah? Biar saja marah! Saya sudah tidak takut!" Pak Karto beranjak dari duduknya, wajahnya merah padam. "Saya akan buktikan, dedemit itu ada!"
Vanua menghela napas panjang, merasa prihatin dengan ketakutan yang mencengkeram warga desa. Bayang-bayang ketakutan itu telah meracuni pikiran mereka, mengubah mereka menjadi sesuatu yang bahkan mereka sendiri tidak kenali.
"Kamu tidak percaya, Nak?" tanya Bu Minah, menatap Vanua dengan tatapan curiga.
"Saya percaya pada apa yang saya lihat," jawab Vanua tenang, berusaha menjaga nada suaranya tetap ramah. "Dan sejujurnya, saya belum melihat bukti keberadaan makhluk halus yang kalian bicarakan."
Bu Minah tersenyum kecut. "Nanti juga kamu percaya," katanya pelan. "Di desa ini, banyak hal yang tidak bisa dijelaskan dengan logika. Ada kekuatan lain yang bekerja di sini."
Tiba-tiba, suara teriakan memekik memecah keheningan warung. Teriakan itu datang dari luar, membuat semua orang terlonjak kaget. Tanpa berpikir panjang, mereka bertiga—Vanua, Bu Minah, dan Pak Karto—berlari keluar dan mendapati kerumunan warga telah berkumpul di depan rumah Pak RT. Suasana panik dan tegang menyelimuti mereka.
"Ada apa ini?" tanya Vanua, suaranya meninggi berusaha mengalahkan kebisingan.
"Anak Pak RT melihat kuntilanak lagi!" jawab salah seorang warga dengan suara gemetar, matanya membulat penuh ketakutan. "Dia sampai pingsan lagi!"
Vanua menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ini bukan pertama kalinya ia mendengar cerita serupa.
Mudra tiba di lokasi, menatap Vanua dengan penuh arti. "Sepertinya kita punya pekerjaan besar di depan kita," katanya.
Vanua menatap kerumunan, lalu beralih menatap Mudra. Dalam hatinya, ia tahu bahwa ini bukan sekadar tentang membuktikan atau membantah keberadaan dedemit. Ini adalah tentang bagaimana mereka bisa menghadapi ketakutan bersama. Dan mungkin, hanya mungkin, di sinilah letak harapan yang selama ini ia cari.
Kejadian-kejadian aneh di Desa Gayam semakin sering terjadi, tidak lagi sekadar desas-desus yang beredar dari mulut ke mulut. Kini, warga desa menyaksikan sendiri fenomena-fenomena yang sulit dijelaskan dengan akal sehat, menambah lapisan ketakutan yang telah lama mengendap di hati mereka.Salah satu kejadian paling menghebohkan adalah penampakan jejak kaki raksasa di sawah Pak Karto. Jejak itu tampak jelas di tanah yang lembap, bentuknya menyerupai jejak kaki manusia, tetapi ukurannya tiga kali lipat dari ukuran kaki orang dewasa."Saya melihatnya sendiri, Nak," cerita Pak Karto kepada Mudra dan Vanua. "Jejak kaki itu muncul semalam, saat saya sedang ronda di sawah. Saya sempat menyorotnya dengan senter, tapi tidak ada siapa-siapa.""Apa mungkin ini ulah seseorang yang memakai sepatu bot besar?" tanya Vanua, mencoba mencari penjelasan logis.Pak Karto menggeleng. "Tidak ada orang di desa ini yang punya sepatu sebesar itu. Dan jejaknya… terlalu dalam, seperti ditinggalkan oleh sesuatu
Desa Gayam, yang sudah dilanda ketakutan dan misteri, kini diguncang oleh peristiwa yang lebih mengerikan: kematian. Pak Slamet, salah satu warga desa yang aktif dalam ronda malam, ditemukan tewas di pematang sawah. Kematian itu terasa ganjil—tidak ada tanda-tanda penyakit atau serangan binatang buas, tetapi wajahnya membeku dalam ekspresi ketakutan yang mengerikan."Saya menemukannya pagi ini, saat hendak ke sawah," cerita Pak Karto kepada Mudra dan Vanua, suaranya bergetar. "Dia tergeletak di pematang, tubuhnya kaku, wajahnya pucat pasi.""Apakah ada tanda-tanda kekerasan?" tanya Vanua sambil memeriksa jenazah Pak Slamet.Pak Karto menggeleng. "Tidak ada, Nak. Tapi... wajahnya tampak seperti seseorang yang melihat sesuatu yang sangat menakutkan sebelum mati."Kematian Pak Slamet membuat warga desa semakin panik. Mereka yakin bahwa desa mereka telah dikutuk, bahwa makhluk halus kini mulai mengambil nyawa mereka satu per satu."Ini pasti ulah kuntilanak!" seru seorang ibu dengan suara
Mudra dan Vanua mulai mempersiapkan diri untuk memasuki hutan keramat yang menyimpan sejuta misteri. Mereka membawa senter dengan cahaya paling terang, kompas untuk menavigasi belantara yang bisa menyesatkan, serta beberapa peralatan sederhana yang sekiranya bisa membantu jika terjadi hal-hal tak terduga. Sebelum berangkat, mereka menghadap Kepala Desa, meminta izin dan restu."Hati-hati, Mudra, Vanua," pesan Kepala Desa dengan nada berat. "Hutan itu bukan tempat biasa. Sudah terlalu banyak orang yang masuk dan tidak pernah kembali. Jangan sampai kalian menjadi bagian dari cerita seram berikutnya."Mudra dan Vanua saling bertukar pandang, membaca tekad di mata masing-masing. Mereka memahami betul risiko yang akan mereka hadapi, tetapi kebenaran harus diungkap. Dengan langkah mantap, mereka melangkah ke dalam hutan keramat, memasuki dunia yang bagi warga desa adalah wilayah terlarang.Langkah pertama mereka disambut oleh kesunyian yang pekat. Udara di dalam hutan terasa lebih dingin, le
Setelah keluar dari hutan keramat dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban, Mudra dan Vanua mendapati Desa Gayam terperosok dalam kekacauan yang lebih dalam. Kematian Pak Slamet telah menyulut gelombang ketakutan baru, seperti api yang menjalar di ladang kering. Penampakan-penampakan aneh semakin sering dilaporkan, seolah makhluk-makhluk gaib sengaja menampakkan diri untuk menebar teror.Di pasar desa, seorang ibu bercerita dengan suara bergetar kepada tetangga-tetangganya, "Tadi malam, saya melihat sosok putih melayang di atas rumah Pak RT! Suaranya mengerikan, seperti tertawa mengejek!"Seorang pemuda menimpali dengan wajah pucat, "Saya juga mendengar suara gemuruh dari hutan. Seperti langkah kaki sesuatu yang sangat besar."Penampakan-penampakan ini, ditambah dengan kematian misterius Pak Slamet, membuat warga semakin yakin bahwa kutukan telah menimpa desa mereka. Rasa aman lenyap, bahkan di siang hari sekalipun ketakutan tetap mencengkeram. Tidak ada lagi suasana desa yang a
"Dukun itu pasti memiliki kekuatan gaib yang sangat besar," kata Vanua. "Dia mungkin dalang di balik semua kejadian aneh dan kematian misterius di desa ini.""Kita harus menemukan dukun itu," kata Mudra. "Kita harus menghentikannya sebelum dia melakukan lebih banyak kerusakan."Mereka pun mempersiapkan diri untuk memasuki hutan keramat sekali lagi, kali ini dengan tujuan untuk menemukan gua dukun. Mereka membawa senter, jimat pelindung, dan tekad yang lebih kuat. Aura hutan terasa berbeda dari sebelumnya—lebih pekat, lebih menekan, seakan menyadari kehadiran mereka dan tidak menginginkannya.Setelah perjalanan yang panjang dan melelahkan, akhirnya Mudra dan Vanua menemukan gua yang tersembunyi di balik air terjun deras. Tebing curam mengapit pintu masuk gua, seolah alam sendiri enggan membiarkan siapa pun masuk tanpa izin. Mereka melangkah masuk, disambut udara lembab dan bau dupa yang menyengat.Di dalam gua, mereka melihatnya—dukun itu. Seorang pria tua dengan jubah kumal, duduk bers
Mudra dan Vanua duduk di tepi api unggun, mengamati warga desa yang untuk pertama kalinya dalam waktu lama bisa tersenyum kembali. Namun, di balik kegembiraan itu, mereka berdua merasakan kegelisahan yang sulit dijelaskan."Kita telah mengalahkan dukun itu," kata Vanua, menatap api unggun yang berkedip-kedip. "Tapi, apakah ini benar-benar akhir dari segalanya?"Mudra menghela napas, matanya menatap gelapnya hutan keramat di kejauhan. "Aku juga tidak yakin. Ada sesuatu yang masih mengintai di sana. Aku bisa merasakannya.""Mungkin kita hanya paranoid," kata Vanua, mencoba merasionalisasi perasaannya sendiri. "Mungkin kita sudah terlalu lama menghadapi kekuatan gaib.""Mungkin," jawab Mudra. "Tapi aku tidak bisa mengabaikan firasat ini. Rasanya seperti ada sesuatu yang menunggu—sesuatu yang lebih besar dari dukun itu."Saat itu juga, suara tangisan melengking terdengar dari arah hutan. Tangisan itu bukan suara manusia biasa, melainkan sesuatu yang lebih tajam, lebih menusuk, membuat bulu
Setelah serangkaian kejadian mengerikan dan terungkapnya kebenaran di balik semua misteri yang menghantui Desa Gayam, Mudra dan Vanua mendapati diri mereka di persimpangan jalan. Mereka memiliki tujuan yang sama: mengembalikan kedamaian dan kesejahteraan di desa mereka. Namun, cara yang mereka lihat untuk mencapai tujuan itu tampak berlawanan, bagai dua jalur yang menuju arah berbeda.Mudra, dengan keyakinannya pada kekuatan komunitas, melihat solusi dalam persatuan. Ia percaya bahwa warga desa harus kembali merajut kebersamaan, saling mendukung, dan bahu-membahu membangun kembali desa mereka. Tradisi gotong royong, kearifan lokal yang diwariskan leluhur, adalah pilar-pilar yang ia yakini mampu menopang desa ini kembali berdiri tegak. Baginya, kerumunan adalah perwujudan dari kekuatan masyarakat. Setiap individu merasa memiliki tanggung jawab atas kemajuan bersama.Sebaliknya, Vanua, yang membawa pengalaman pahit dari kota-kota besar saat pandemi, melihat kerumunan sebagai ancaman. Ia
Desa Gayam, meskipun telah terbebas dari ancaman dedemit dan dukun yang menghantui, masih dilanda ketegangan yang kental. Perbedaan pandangan antara Mudra dan Vanua semakin tajam, menciptakan atmosfer yang penuh dengan ketidakpercayaan dan konflik yang tersembunyi di balik senyum dan sapaan.Vanua, yang semakin terobsesi dengan gagasan eksistensialisme Sartre, terutama konsep "neraka adalah orang lain," melihat setiap interaksi dengan warga desa sebagai sumber penderitaan dan penghalang bagi kebebasannya. Ia merasa terjebak dalam "neraka" yang diciptakan oleh kehadiran orang lain, oleh tatapan dan penilaian mereka yang seolah tak pernah lepas darinya, mengikatnya dalam jaring ekspektasi dan norma sosial."Lihat mereka," kata Vanua kepada Mudra, dengan nada getir yang menyiratkan kepahitan, menunjuk ke arah sekelompok warga desa yang sedang bergotong royong membangun kembali rumah yang rusak. "Mereka selalu mengawasi, menilai, dan mencoba mengontrol kita. Mereka ingin kita menjadi seper
Seratus purnama berlalu. Malam Jum’at Legi. Senja merayap di Desa Gayam, menyelimuti hamparan sawah dengan kabut tipis. Ki Rajendra, Mudra, Vanua dan Sari tiba di sebuah rumah tua di pinggir desa, seolah dipanggil oleh bisikan angin yang tak terlihat.Ki Rajendra, berdiri di depan gerbang rumah, menatapnya dengan tatapan penuh arti. "Tempat ini... seolah memanggilku," gumamnya, lebih pada diri sendiri.Mudra, dengan kotak kayu di tangannya, datang dengan langkah ragu. "Aku tidak tahu mengapa aku di sini," katanya pada Ki Rajendra, alisnya berkerut. "Tapi ada dorongan kuat yang menarikku."Vanua, dengan mobil mewah yang terparkir di pinggir jalan, tampak gelisah. "Aku mendapat pesan aneh, sebuah undangan yang tidak jelas," katanya sambil melirik jam tangannya. "Aku harus segera pergi, tapi... sesuatu menahanku."Sari, dengan gaun putihnya yang lusuh dan bunga layu di tangan, tiba dengan tatapan kosong. "Aku hanya mengikuti jalan ini," katanya dengan suara pelan, seolah berbicara pada a
Setelah pertemuan terakhir dengan Victor dan para pemegang kekuasaan lainnya, Mudra, Vanua, Sari, dan Ki Rajendra merasa ada sedikit angin segar. Keputusan dari kelompok pedagang kecil untuk bersatu dan mendukung mereka bukan hanya sebuah kemenengan kecil, tetapi juga sebuah tanda bahwa harapan masih ada di tengah dunia bisnis yang gelap dan penuh perlawanan ini.Ini baru permulaan. Kerumunan yang mereka hadapi jauh lebih besar dan lebih berbahaya daripada yang pernah mereka bayangkan. Setiap langkah mereka akan dipantau dengan cermat oleh para pesaing besar yang berusaha mengendalikan pasar ini.“Ini bukan hanya tentang produk kita,” kata Sari, menatap layar laptop yang menunjukkan grafik distribusi dan proyeksi pasar. “Ini adalah tentang menciptakan ruang baru di pasar yang sudah padat. Tentang memberi kesempatan bagi mereka yang selama ini terabaikan.”Vanua yang masih terombang-ambing antara harapan dan keraguan, menatapnya dengan tatapan penuh pertanyaan. “Tapi bagaimana kita bis
Malam itu, mereka berkumpul di sebuah warung kopi sederhana. Seorang pedagang kopi, Pak Anton, yang sudah lama berjuang melawan kekuatan besar, berbicara dengan mereka tentang perjuangannya. “Kalian mungkin tidak tahu apa yang kalian hadapi. Para pemilik perusahaan besar ini mengendalikan semuanya—dari pasokan hingga distribusi. Mereka bisa menghilangkan kita hanya dengan satu pergerakan. Jika kalian tidak siap, kalian akan menjadi bagian dari kerumunan yang tak terhindarkan itu.”Mudra menghela napas. “Kami tahu persis tantangan yang ada. Tapi kita harus tetap berpegang pada prinsip kita. Jika kita bisa membangun jaringan distribusi berbasis komunitas, kita bisa menawarkan alternatif yang lebih adil.”Ki Rajendra mengangguk. “Keberanian bukan hanya tentang melawan, tetapi tentang memilih jalan yang benar meski ada kerumunan yang menghalangi kita. Ini adalah saatnya untuk melihat lebih jauh dari kerumunan ini, untuk menemukan jalan keluar yang kita butuhkan.”Mereka menghabiskan malam
Sinar pagi merayap perlahan melalui celah-celah jendela besar di hotel pusat bisnis Surabaya. Suasana di dalam ruangan konferensi terasa tegang, dengan udara yang berat dan penuh ketidakpastian. Di meja panjang yang dikelilingi oleh eksekutif-eksekutif besar, Mudra, Vanua, Sari, dan Ki Rajendra berdiri, mempersiapkan diri untuk presentasi yang bisa menentukan masa depan mereka. Di luar sana, kerumunan pasar Surabaya mulai bergerak, menciptakan dunia yang penuh dengan peluang dan ancaman.Mereka berada di titik yang lebih jauh dari sekadar kompetisi pasar. Keputusan yang akan diambil di sini bukan hanya tentang air minum kemasan, tetapi juga tentang apakah mereka dapat menembus jaringan kekuasaan besar yang telah lama berakar.Seorang pria bertubuh tegap, mengenakan jas hitam dengan dasi merah, memasuki ruangan dengan langkah percaya diri. Namanya Victor, CEO dari perusahaan air minum multinasional yang sudah mendominasi pasar di Surabaya dan sekitarnya. Dengan pandangan yang tajam, di
Surabaya, kota yang tak pernah tidur, kini menjadi medan pertempuran yang lebih kompleks dan lebih sulit dipahami. Semakin mereka menyelami dunia pasar yang dipenuhi kerumunan yang keras dan penuh persaingan, semakin mereka merasa semakin jauh dari akar mereka. Namun di sisi lain, mereka juga mulai merasakan api yang membara di dalam diri mereka. Api yang menyala di dalam diri mereka adalah hasrat, semangat, dan tekad untuk meraih sesuatu yang lebih besar."Ini bukan hanya tentang air," kata Mudra dengan suara penuh tekad, menyeringai. "Ini adalah tentang perubahan, untuk menciptakan sesuatu yang lebih dari sekadar bisnis. Kami datang untuk membangun sistem distribusi yang berbasis komunitas, dan bukan hanya sekadar keuntungan."Namun, semakin mereka melangkah lebih dalam, semakin terasa bahwa ini bukan hanya sebuah persaingan bisnis. Mereka merasakan adanya kekuatan yang lebih besar, yang terhubung pada sistem yang mengikat mereka dalam kerumunan yang sama.Di malam hari yang penuh k
Keesokan harinya, mereka kembali berkumpul untuk membahas langkah selanjutnya. Ki Rajendra menatap mereka dengan tatapan serius, dan tanpa berkata-kata langsung membuka kartu tarot yang telah menjadi bagian penting dari perjalanan mereka. “Apa yang kita hadapi bukan sekadar masalah bisnis. Kita berada di persimpangan jalan yang penuh kabut dan bayangan. Seperti kartu The Moon, kita harus mencari kebenaran dalam kegelapan.”Mudra merenung, melihat ke luar jendela yang memantulkan cahaya redup dari matahari yang terbenam. “Bayangan... Begitu banyak yang tersembunyi di balik setiap keputusan. Kita hanya bisa melihat bagian luar dari masalah ini, tetapi ada kekuatan besar yang menggerakkan semuanya di balik layar.”Sari, yang semakin paham akan peran mereka, menambahkan, “Kita harus menggali lebih dalam. Menyelesaikan masalah ini tidak hanya soal mengalahkan kompetisi, tetapi mengungkap siapa yang sebenarnya menarik tali di balik semua ini.”Vanua, yang sebelumnya lebih memilih menghinda
Sore itu, mereka diundang ke sebuah acara diskusi ekonomi di salah satu kampus ternama di Depok. Topiknya adalah tantangan dan peluang bagi bisnis berbasis komunitas. Awalnya, mereka hanya berniat menjadi pendengar, tetapi suasana berubah ketika seorang panelis mencemooh usaha desa sebagai sesuatu yang “tidak relevan di dunia modern.”“Model seperti ini hanya bisa bertahan di desa. Kota besar punya dinamika yang berbeda,” kata panelis itu dengan nada meremehkan.Sari spontan berdiri. “Dengan segala hormat, kota besar pun bergantung pada desa-desa seperti kami. Jika pasokan makanan, air, dan sumber daya lain dari desa terhenti, kota ini akan lumpuh.”Ruangan menjadi hening. Ki Rajendra tersenyum tipis, melihat bagaimana murid-muridnya mulai mengambil inisiatif dalam menghadapi tantangan sosial.“Apa yang kami bawa bukan sekadar produk desa,” lanjut Mudra. “Kami membawa sistem baru yang bisa memberikan keseimbangan antara kota dan desa. Jika Depok bersedia bekerja sama dengan kami, kita
Pagi itu, suasana Desa Gayam dipenuhi dengan kehangatan perpisahan. Mudra, Vanua, Sari, dan Ki Rajendra bersiap untuk perjalanan panjang mereka ke kota Depok. Mudra mengemban amanat dari Pak Banyu agar membuka jalan distribusi air kemasan dari Desa Gayam. Perjalanan ini bukan sekadar perjalanan biasa—mereka akan menghadapi bentuk kerumunan baru yang berbeda dari yang mereka temui di desa. Kota besar adalah dunia yang penuh dengan dinamika sosial yang lebih kompleks, tantangan yang lebih tajam, dan godaan yang lebih besar.“Di sana nanti, kalian akan melihat bagaimana ‘kerumunan adalah neraka’ dalam bentuk yang lebih ekstrem,” ujar Ki Rajendra sebelum mereka berangkat. “Namun, ingatlah bahwa setiap kerumunan memiliki celah untuk dipahami dan dikendalikan.”Dengan semangat yang bercampur dengan sedikit kegelisahan, mereka meninggalkan Desa Gayam dan memasuki perjalanan menuju dunia baru.Sesampainya di Depok, mereka segera menyadari bahwa kota ini bukan sekadar lebih besar—ia juga lebih
Desa Gayam kini resmi memiliki perusahaan air minum kemasan sendiri. Setelah melalui berbagai pertimbangan, musyawarah desa memutuskan untuk menunjuk seorang CEO yang akan memimpin perusahaan ini. Sosok yang dipilih adalah Pak Banyu, seorang mantan pengusaha sukses yang memilih kembali ke kampung halamannya setelah bertahun-tahun berkarier di kota besar.Di balai desa, seluruh warga berkumpul untuk menyaksikan peresmian tersebut. Ki Rajendra, yang selalu membawa dek tarotnya, menarik satu kartu sebelum acara dimulai. Kartu Karma.“Karma adalah hukum sebab akibat,” ujar Ki Rajendra. “Apa yang kita lakukan hari ini akan membentuk masa depan desa ini. Pak Banyu, Anda telah diberi kepercayaan, dan keputusan yang Anda buat akan menjadi takdir bagi Desa Gayam.”Pak Banyu mengangguk hormat. “Saya menerima tanggung jawab ini dengan sepenuh hati. Tapi ini bukan hanya tugas saya seorang, ini adalah usaha kita bersama. Saya ingin membangun perusahaan ini dengan prinsip keadilan, kesejahteraan, d