Kabut tipis masih menyelimuti desa Gayam saat Mudra terbangun. Di sampingnya, Vanua masih terlelap, wajahnya tenang dalam balutan mimpi. Namun, Mudra tak bisa kembali ke alam mimpi. Ia merasakan getaran aneh, panggilan tak kasat mata yang menariknya dari tempat tidur, keluar dari rumah bambu, menuju hutan bambu yang sunyi dan magis.
Di jantung hutan, di bawah kanopi bambu yang menjulang tinggi, berdirilah sosok Penyihir Tarot. Jubah merah dan kuningnya berkibar lembut tertiup angin pagi, pentagram perak melingkari lehernya, dan simbol-simbol okultisme terjalin rumit di kainnya. Ia berdiri di bawah gapura mawar merah yang merekah, simbol harmoni antara manusia dan alam. Di hadapannya, sebuah altar batu kuno berdiri kokoh, lilin-lilin hitam menyala misterius di atasnya. Di atas altar, terdapat perkakas-perkakas sang Penyihir Kuno, juga simbol-simbol dari empat suit Minor Arcana: cawan yang mewakili elemen Air, pedang yang mewakili elemen Udara, tongkat kayu hawthorn yang mewakili elemen Api, dan pentacle emas yang mewakili elemen Tanah. Empat bunga lili putih mekar di kaki altar, melambangkan kemurnian hubungan sang Penyihir dengan Sang Pencipta dan ciptaan-Nya.
"Mudra," suara Penyihir Tarot menggema, dalam namun lembut, seperti bisikan angin yang membawa petunjuk dari dunia lain. "Kau telah dipanggil oleh takdir."
Mudra mendekat, setiap langkahnya dipenuhi rasa kagum dan keingintahuan. Energi mistis yang kuat memancar dari sosok di hadapannya, mengisi udara dengan getaran yang tak terlihat. Sang Penyihir mengangkat tongkatnya, ujungnya berpendar dengan cahaya keemasan. Dengan gerakan anggun, ia menggambar angka delapan di udara, simbol ketakterhinggaan yang bercahaya terang.
"Seperti Yang Di Atas, Terjadi Pula Di Bawah," Penyihir Tarot mengucapkan mantra kuno, suaranya bergema di antara pepohonan bambu, menggetarkan setiap daun dan ranting. "Dunia atas dan bawah, langit dan bumi, semua terhubung dalam satu kesatuan. Ini adalah Hukum Korespondensi, Mudra. Apa yang terjadi di alam semesta, tercermin dalam dirimu, dan sebaliknya."
Mudra terpaku, pikirannya dipenuhi pertanyaan. Namun, sebelum ia sempat bertanya, sang Penyihir melanjutkan, "Keris Pasopati, pusaka yang kau lepaskan, kini berada di tangan yang tepat. Ia akan menjadi kunci untuk mengatasi pagebluk yang melanda."
Mudra teringat akan keris pusaka itu, simbol kekuatan dan persatuan desanya. Ia merasakan energi keris itu beresonansi dengan energinya sendiri, seolah memanggilnya untuk bertindak.
"Tapi bagaimana caranya?" tanya Mudra, bingung.
Sang Penyihir tersenyum misterius. "Kau adalah The Magician, Mudra. Kau memiliki kekuatan untuk mewujudkan keinginanmu. Kau adalah pengendali empat elemen alam. Gunakanlah pengetahuanmu, gunakanlah mantranya, dan satukanlah dunia atas dan bawah. Carilah keajaiban di sekitarmu, di alam, di dalam dirimu. Kau memiliki semua yang kau butuhkan."
Empat sosok peri kecil muncul dari balik altar, mengepakkan sayap mereka yang berwarna-warni. Peri hijau mewakili Bumi, peri merah mewakili Api, peri biru mewakili Air, dan peri kuning mewakili Udara. Mereka menari mengelilingi altar, menunjukkan hubungan erat sang Penyihir dengan elemen-elemen alam dan sumber daya dunia.
Cahaya keemasan dari angka delapan semakin terang, menyelimuti Mudra dalam kehangatan yang menenangkan. Ia merasakan kekuatan baru mengalir dalam dirinya, kekuatan yang berasal dari keyakinan dan tekadnya untuk melindungi desanya. Ia melihat postur Penyihir Tarot yang tegap, satu tangan menjulang ke langit, satu tangan menunjuk ke bumi, menyalurkan energi kosmik. Mudra menyadari, ia adalah sang penyalur, jembatan antara dunia atas dan bawah.
"Kekuatan The Magician terletak pada keberaniannya untuk bertindak," sang Penyihir menjelaskan. "Ia percaya pada dirinya sendiri dan berani mengambil risiko. Ia tahu apa yang diinginkannya dan mengapa ia menginginkannya. Ia tidak ragu karena ia memahami situasinya dengan jelas. Ia fokus pada satu tujuan, menjadi saluran bagi keajaiban."
Sang Penyihir menatap Mudra dengan tatapan tajam. "Kau juga memiliki kekuatan itu, Mudra. Kekuatan untuk menciptakan perubahan, baik dalam hidupmu maupun di dunia. Kau hanya perlu memanfaatkan kekuatanmu dan bertindak dengan kesadaran dan fokus. Ini adalah saatnya bagimu untuk melangkah maju, Mudra. Wujudkan keinginanmu, dan jadilah keajaiban itu sendiri."
"The Magician adalah kartu nomor satu dalam Major Arcana, Mudra," lanjut sang Penyihir. "Ia melambangkan permulaan, potensi tak terbatas, dan kekuatan untuk mewujudkan impian. Ia adalah simbol dari hubungan antara bumi dan langit, menyatukan energi alam semesta dan bumi. Ia adalah penguasa pikiran, emosi, tubuh, dan jiwa. Kemunculannya menandakan bahwa kau memiliki energi dan kreativitas untuk memulai babak baru dalam hidupmu. Kau sedang mencapai potensi penuhmu, dan pencapaianmu akan tampak seperti keajaiban."
"Ingatlah, Mudra," sang Penyihir menambahkan, "The Magician dan The Sun bersama-sama menandakan energi besar yang bisa digunakan untuk mencapai tujuan besar. The Fool melengkapi The Magician dengan cara yang positif. Bakatmu akan membantumu bergerak cepat dalam menjalankan rencanamu, dan rekan-rekanmu akan semakin percaya padamu dan ide-idemu. Kombinasi The Magician dan Three of Wands sangatlah kuat. Semua usahamu akan sukses besar."
"Dalam pekerjaan, ini adalah waktu yang tepat untuk mencari pekerjaan baru atau meminta promosi. Dalam cinta, ini adalah waktu yang tepat untuk memulai hubungan baru atau memperdalam hubungan yang sudah ada. Dalam keuangan, sumber keuanganmu akan meningkat. Dan dalam kesehatan, jika kau sedang sakit, kau akan segera sembuh."
"Lebih dari itu, Mudra," sang Penyihir melanjutkan, "ini adalah waktu yang tepat untukmu melakukan penelitian spiritual yang selama ini kau pikirkan. Bergabunglah dengan kelompok diskusi spiritual, carilah guru spiritual yang bisa membimbingmu. Kau akan melihat hidup dari perspektif yang berbeda."
Sang Penyihir menatap Mudra dengan tatapan penuh arti. "Namun, ingatlah Mudra, The Magician yang terbalik bisa berarti keraguan dan ketakutan. Jangan biarkan itu menghalangimu untuk berubah dan menggunakan kekuatanmu secara efektif. Jangan abaikan tanda-tanda dan sinkronisitas yang menuntunmu ke jalan yang seharusnya kau tempuh. Ketahuilah, keraguanmu hanya akan merugikan dirimu dan orang-orang di sekitarmu. Jadilah dirimu yang sebenarnya, Mudra. Jangan takut akan penilaian orang lain. Kau memiliki potensi yang luar biasa, dan dunia menanti keajaiban yang akan kau ciptakan."
"Dan ingatlah, Mudra," sang Penyihir menambahkan dengan suara yang lebih berat, "kerumunan yang kau anggap neraka, sebenarnya adalah sumber kekuatan. Di dalam kerumunan itu terdapat energi kolektif yang besar, energi yang bisa kau manfaatkan untuk kebaikan. Jangan takut pada kerumunan, Mudra. Peluklah mereka, satukan mereka, dan pimpinlah mereka menuju masa depan yang lebih baik."
Mudra mengangguk, hatinya dipenuhi tekad. Ia akan kembali ke desanya, menyatukan kekuatan spiritual dan duniawi, dan menggunakan semua sumber daya yang ada untuk melawan pagebluk. Ia akan menjadi The Magician yang sesungguhnya, sang pembawa perubahan dan harapan bagi desanya. Ia akan mengubah "kerumunan adalah neraka" menjadi "kerumunan adalah kekuatan".
Kabut tipis menyelimuti Desa Gayam, menyamarkan sosok-sosok yang berjalan tergesa-gesa di jalan setapak. Mudra, dengan rambutnya yang sedikit acak-acakan dan mata yang menyimpan rahasia, duduk termenung di beranda rumahnya. Pikirannya melayang kembali ke pertemuannya dengan Penyihir Tarot, seorang wanita tua dengan aura mistis yang kuat. Kata-kata sang penyihir masih terngiang di telinganya, "Masa lalu adalah bayangan, Mudra. Tapi masa depan adalah kanvas kosong yang siap kau lukis."Di tengah keputusasaan yang melanda desa akibat pandemi dan isolasi, Mudra muncul bak cahaya di ujung terowongan. Sebagai direktur BUM Desa yang baru, ia menangani setiap masalah dengan kecerdikan yang mengingatkan Sari pada Profesor Dumbledore. Mudra bukan hanya pemimpin, tapi juga sosok misterius yang membuat jantung Sari berdebar tak menentu.Suatu senja, Mudra menemui Sari di petilasan desa, tempat yang diyakini sebagai gerbang antara dunia nyata dan dunia roh."Sari," Mudra memulai, suaranya selembut
Setelah kepergian Mudra dan Vanua, Sari merasakan kekosongan yang mendalam. Ia kembali ke rumah bambunya, tempat yang dulu terasa hangat kini terasa dingin dan sepi. Pandemi telah merenggut banyak hal darinya: kebebasan, interaksi sosial, dan yang paling menyakitkan, ibunya.Sari teringat akan ibunya, seorang wanita tangguh yang selalu menjadi sumber kekuatannya. Ia adalah sosok Ibu Bumi yang memberikan kasih sayang, perlindungan, dan kebijaksanaan. Namun, pandemi telah merenggutnya, meninggalkan Sari sendirian menghadapi dunia yang kejam.Air mata mengalir di pipi Sari saat ia memandangi foto ibunya. "Ibu," bisiknya lirih, "aku merasa sendiri. Aku rindu pelukanmu, nasihatmu, dan senyummu yang hangat."Kesedihan Sari semakin mendalam saat ia menyadari bahwa ia tidak hanya kehilangan ibunya, tapi juga harapannya akan masa depan. Pandemi telah meluluhlantakkan mimpinya, membuatnya merasa kecil dan tak berdaya."Apa yang harus kulakukan, Ibu?" isaknya. "Aku merasa seperti terjebak dalam k
Pagi itu, kabut tipis masih menyelimuti Kampung Tujuh. Vanua berdiri di depan rumah bambunya, memandangi desa yang telah menjadi rumahnya. Kampung ini penuh dengan kehidupan dan kehangatan, tetapi ancaman baru telah menimbulkan kecemasan di hati setiap penduduknya. Bencana alam yang tak terduga telah membuat tanah di sekitar desa mulai retak, dan wabah penyakit misterius mulai menyebar, mengancam kehidupan di kampung kecil itu.Vanua merasakan beban berat di pundaknya. Dia tahu bahwa penduduk desa bergantung padanya. Sarang lebah yang dia rawat dengan penuh cinta telah menjadi sumber penghidupan bagi banyak orang. Dia juga tahu bahwa sesuatu yang lebih besar dari dirinya sedang dibutuhkan.Sari dan Mudra tiba di Kampung Tujuh setelah menerima pesan dari Vanua. Mereka tahu bahwa ini bukan hanya tentang menyelamatkan desa, tetapi juga tentang menyatukan kekuatan mereka untuk menghadapi ancaman yang lebih besar.“Vanua, kita akan mengatasi ini bersama,” kata Mudra dengan tegas. “Kita tel
Ritual di Kampung Tujuh telah berhasil, tetapi rasa cemas dan ketidakpastian masih menyelimuti hati penduduk desa. Suasana misterius dan melankolis memenuhi udara malam di Kampung Tujuh. Sari, Mudra, dan Vanua duduk di bawah pohon akasia besar, memandang jauh ke dalam diri mereka sendiri, mencari jawaban atas pertanyaan yang belum terjawab.Ki Rajendra, pemimpin spiritual yang bijak, tetap tinggal di desa setelah ritual. Kehadirannya membawa ketenangan, tetapi juga membuka luka-luka yang tersembunyi dalam jiwa setiap penduduk."Ki Rajendra," Sari memulai, suaranya dipenuhi keprihatinan, "meskipun ritual telah selesai, mengapa kita masih merasa terjebak dalam kecemasan dan ketidakpastian?"Ki Rajendra tersenyum lembut. "Karena, anakku, kebebasan sejati bukan hanya tentang menyatukan fisik dan spiritual. Kebebasan sejati juga tentang bagaimana kita memahami dan menerima diri kita sendiri serta orang lain."Mudra, yang biasanya tenang, tampak gelisah. "Apakah ini yang dimaksud ketika sese
Panas. Mentari memancarkan api tanpa kobaran. Bayang-bayang ketidakpercayaan terhadap Mudra dan Vanua masih pekat di Kampung Tujuh. Surya, dengan ambisinya yang membara, berhasil menghasut beberapa warga desa. Ia menyebarkan bisik-bisik keraguan tentang kekuatan mistis yang diduga digunakan Mudra dan Vanua, menanamkan bibit-bibit perselisihan di tengah masyarakat yang mulai rapuh.Surya adalah seorang pria yang cerdas namun licik. Pemikirannya sering kali dangkal dan cepat berubah, sepanjang sebatang korek api. Meskipun aktif mengikuti pertemuan dengan Bu Ros dan penduduk lainnya, ia sering kali menggunakan informasi yang didapatnya untuk keuntungan pribadi. Ketidaktahuannya tentang praktik spiritual membuatnya mudah dipengaruhi oleh rasa takut dan ketidakpastian. Keputusan-keputusannya diwarnai oleh kecenderungan untuk mengambil jalan pintas, tanpa memikirkan konsekuensi jangka panjang."Mereka berdua itu penipu!" seru Surya di tengah kerumunan yang berkumpul di balai desa. "Mereka h
Suasana di Desa Gayam semakin dingin. Langit meredup. Hewan hitam berukuran lima milimeter terbang dengan kecepatan cahaya lampu senter. Angin sepoi-sepoi membawa aroma bunga kamboja, menambah kesan magis malam itu. Di tengah desa, berdiri sebuah rumah bambu yang sederhana namun kokoh. Bagian dari rumah bertembok baja. Di dalamnya, Sari merenung di depan jendela, memandang bintang-bintang yang mulai bermunculan. Pikirannya bercabang, terjebak antara cinta yang dalam dan keputusan sulit yang harus diambil.Sejak kemunculan Mudra, hidup Sari berubah drastis. Mudra bukan hanya pemimpin BUM Desa yang baru, tapi juga sosok yang berhasil menyalakan kembali api semangat di dalam dirinya. Di sisi lain, Vanua, sahabat setianya yang berasal dari Kampung Tujuh, juga menyimpan rasa yang dalam kepada Mudra. Konflik batin ini semakin tajam saat Sari menyadari bahwa Vanua juga mencintai Mudra dengan segenap hatinya.“Bagaimana mungkin aku memilih di antara mereka?” bisik Sari pada dirinya sendiri, sa
Desa Gayam tenggelam dalam keheningan, hanya ditemani suara jangkrik yang bersahutan dan gemericik air sungai kecil yang mengalir di tepi desa. Di bawah langit malam yang berkilauan, bintang gemintang bertaburan bagai permata yang ditaburkan di atas kain beludru hitam. Di dalam rumah bambu yang hangat, Sari, Vanua, dan Mudra masih duduk bersila, dikelilingi cahaya temaram lampu minyak kelapa.Tiba-tiba, suara gemuruh memecah kesunyian malam. Sari terlonjak, jantungnya berdebar kencang. Ia bangkit dari duduknya, melangkah cepat menuju jendela. Matanya membelalak saat melihat bayangan besar mendekat dari kejauhan."Apa itu?" tanyanya dengan suara tercekat, rasa takut menjalari tubuhnya.Mudra, yang sedari tadi merenung, ikut berdiri. Ia mengerutkan kening, mencoba mengidentifikasi suara yang semakin mendekat. "Itu terdengar seperti kereta kuda," katanya dengan nada penuh waspada.Vanua, yang duduk di samping Mudra, ikut merasakan ketegangan. Ia menatap Mudra dengan tatapan cemas. "Tapi s
Perempuan berumur tiga puluh lima tahun itu berjalan pelan di depan Balai Desa Gayam. Ia seorang pegiat literasi yang menerima kuasa untuk memegang keris Desa Gayam berjuluk Pasopati.Sejak pagi hingga senja ia menatap benda purbakala itu untuk menemukan kedamaian dalam diri. Tak ada guna mengharap kedamaian di luar dirinya.Dan malam itu ia meninggalkan Balai Desa dengan rasa galau tak berujung. Sambil mengapit buku kumpulan cerita, Sadajiwa. Bibirnya komat-kamit membaca kalimat pada sampul buku tipis berwarna hitam itu: “karena hidup adalah keindahan imajinasi, sedangkan kematian adalah kenyataan yang nestapa.” Anak lelaki semata wayangnya baru kembali dari kota. Anak muda yang kalah dari pertempuran nafkah ojek online. Di rumah kos anaknya sudah ada orang tua yang tetiba sesak napas, mati, terbujur kaku dan akhirnya dikubur dengan protokol kafan plastik.Jarak antara ia dan anaknya hanya satu meter, tanpa pelukan. Terhijab oleh benda laknat bernama plastik isolasi.Jeritan mengge
Desa Gayam tenggelam dalam keheningan, hanya ditemani suara jangkrik yang bersahutan dan gemericik air sungai kecil yang mengalir di tepi desa. Di bawah langit malam yang berkilauan, bintang gemintang bertaburan bagai permata yang ditaburkan di atas kain beludru hitam. Di dalam rumah bambu yang hangat, Sari, Vanua, dan Mudra masih duduk bersila, dikelilingi cahaya temaram lampu minyak kelapa.Tiba-tiba, suara gemuruh memecah kesunyian malam. Sari terlonjak, jantungnya berdebar kencang. Ia bangkit dari duduknya, melangkah cepat menuju jendela. Matanya membelalak saat melihat bayangan besar mendekat dari kejauhan."Apa itu?" tanyanya dengan suara tercekat, rasa takut menjalari tubuhnya.Mudra, yang sedari tadi merenung, ikut berdiri. Ia mengerutkan kening, mencoba mengidentifikasi suara yang semakin mendekat. "Itu terdengar seperti kereta kuda," katanya dengan nada penuh waspada.Vanua, yang duduk di samping Mudra, ikut merasakan ketegangan. Ia menatap Mudra dengan tatapan cemas. "Tapi s
Suasana di Desa Gayam semakin dingin. Langit meredup. Hewan hitam berukuran lima milimeter terbang dengan kecepatan cahaya lampu senter. Angin sepoi-sepoi membawa aroma bunga kamboja, menambah kesan magis malam itu. Di tengah desa, berdiri sebuah rumah bambu yang sederhana namun kokoh. Bagian dari rumah bertembok baja. Di dalamnya, Sari merenung di depan jendela, memandang bintang-bintang yang mulai bermunculan. Pikirannya bercabang, terjebak antara cinta yang dalam dan keputusan sulit yang harus diambil.Sejak kemunculan Mudra, hidup Sari berubah drastis. Mudra bukan hanya pemimpin BUM Desa yang baru, tapi juga sosok yang berhasil menyalakan kembali api semangat di dalam dirinya. Di sisi lain, Vanua, sahabat setianya yang berasal dari Kampung Tujuh, juga menyimpan rasa yang dalam kepada Mudra. Konflik batin ini semakin tajam saat Sari menyadari bahwa Vanua juga mencintai Mudra dengan segenap hatinya.“Bagaimana mungkin aku memilih di antara mereka?” bisik Sari pada dirinya sendiri, sa
Panas. Mentari memancarkan api tanpa kobaran. Bayang-bayang ketidakpercayaan terhadap Mudra dan Vanua masih pekat di Kampung Tujuh. Surya, dengan ambisinya yang membara, berhasil menghasut beberapa warga desa. Ia menyebarkan bisik-bisik keraguan tentang kekuatan mistis yang diduga digunakan Mudra dan Vanua, menanamkan bibit-bibit perselisihan di tengah masyarakat yang mulai rapuh.Surya adalah seorang pria yang cerdas namun licik. Pemikirannya sering kali dangkal dan cepat berubah, sepanjang sebatang korek api. Meskipun aktif mengikuti pertemuan dengan Bu Ros dan penduduk lainnya, ia sering kali menggunakan informasi yang didapatnya untuk keuntungan pribadi. Ketidaktahuannya tentang praktik spiritual membuatnya mudah dipengaruhi oleh rasa takut dan ketidakpastian. Keputusan-keputusannya diwarnai oleh kecenderungan untuk mengambil jalan pintas, tanpa memikirkan konsekuensi jangka panjang."Mereka berdua itu penipu!" seru Surya di tengah kerumunan yang berkumpul di balai desa. "Mereka h
Ritual di Kampung Tujuh telah berhasil, tetapi rasa cemas dan ketidakpastian masih menyelimuti hati penduduk desa. Suasana misterius dan melankolis memenuhi udara malam di Kampung Tujuh. Sari, Mudra, dan Vanua duduk di bawah pohon akasia besar, memandang jauh ke dalam diri mereka sendiri, mencari jawaban atas pertanyaan yang belum terjawab.Ki Rajendra, pemimpin spiritual yang bijak, tetap tinggal di desa setelah ritual. Kehadirannya membawa ketenangan, tetapi juga membuka luka-luka yang tersembunyi dalam jiwa setiap penduduk."Ki Rajendra," Sari memulai, suaranya dipenuhi keprihatinan, "meskipun ritual telah selesai, mengapa kita masih merasa terjebak dalam kecemasan dan ketidakpastian?"Ki Rajendra tersenyum lembut. "Karena, anakku, kebebasan sejati bukan hanya tentang menyatukan fisik dan spiritual. Kebebasan sejati juga tentang bagaimana kita memahami dan menerima diri kita sendiri serta orang lain."Mudra, yang biasanya tenang, tampak gelisah. "Apakah ini yang dimaksud ketika sese
Pagi itu, kabut tipis masih menyelimuti Kampung Tujuh. Vanua berdiri di depan rumah bambunya, memandangi desa yang telah menjadi rumahnya. Kampung ini penuh dengan kehidupan dan kehangatan, tetapi ancaman baru telah menimbulkan kecemasan di hati setiap penduduknya. Bencana alam yang tak terduga telah membuat tanah di sekitar desa mulai retak, dan wabah penyakit misterius mulai menyebar, mengancam kehidupan di kampung kecil itu.Vanua merasakan beban berat di pundaknya. Dia tahu bahwa penduduk desa bergantung padanya. Sarang lebah yang dia rawat dengan penuh cinta telah menjadi sumber penghidupan bagi banyak orang. Dia juga tahu bahwa sesuatu yang lebih besar dari dirinya sedang dibutuhkan.Sari dan Mudra tiba di Kampung Tujuh setelah menerima pesan dari Vanua. Mereka tahu bahwa ini bukan hanya tentang menyelamatkan desa, tetapi juga tentang menyatukan kekuatan mereka untuk menghadapi ancaman yang lebih besar.“Vanua, kita akan mengatasi ini bersama,” kata Mudra dengan tegas. “Kita tel
Setelah kepergian Mudra dan Vanua, Sari merasakan kekosongan yang mendalam. Ia kembali ke rumah bambunya, tempat yang dulu terasa hangat kini terasa dingin dan sepi. Pandemi telah merenggut banyak hal darinya: kebebasan, interaksi sosial, dan yang paling menyakitkan, ibunya.Sari teringat akan ibunya, seorang wanita tangguh yang selalu menjadi sumber kekuatannya. Ia adalah sosok Ibu Bumi yang memberikan kasih sayang, perlindungan, dan kebijaksanaan. Namun, pandemi telah merenggutnya, meninggalkan Sari sendirian menghadapi dunia yang kejam.Air mata mengalir di pipi Sari saat ia memandangi foto ibunya. "Ibu," bisiknya lirih, "aku merasa sendiri. Aku rindu pelukanmu, nasihatmu, dan senyummu yang hangat."Kesedihan Sari semakin mendalam saat ia menyadari bahwa ia tidak hanya kehilangan ibunya, tapi juga harapannya akan masa depan. Pandemi telah meluluhlantakkan mimpinya, membuatnya merasa kecil dan tak berdaya."Apa yang harus kulakukan, Ibu?" isaknya. "Aku merasa seperti terjebak dalam k
Kabut tipis menyelimuti Desa Gayam, menyamarkan sosok-sosok yang berjalan tergesa-gesa di jalan setapak. Mudra, dengan rambutnya yang sedikit acak-acakan dan mata yang menyimpan rahasia, duduk termenung di beranda rumahnya. Pikirannya melayang kembali ke pertemuannya dengan Penyihir Tarot, seorang wanita tua dengan aura mistis yang kuat. Kata-kata sang penyihir masih terngiang di telinganya, "Masa lalu adalah bayangan, Mudra. Tapi masa depan adalah kanvas kosong yang siap kau lukis."Di tengah keputusasaan yang melanda desa akibat pandemi dan isolasi, Mudra muncul bak cahaya di ujung terowongan. Sebagai direktur BUM Desa yang baru, ia menangani setiap masalah dengan kecerdikan yang mengingatkan Sari pada Profesor Dumbledore. Mudra bukan hanya pemimpin, tapi juga sosok misterius yang membuat jantung Sari berdebar tak menentu.Suatu senja, Mudra menemui Sari di petilasan desa, tempat yang diyakini sebagai gerbang antara dunia nyata dan dunia roh."Sari," Mudra memulai, suaranya selembut
Kabut tipis masih menyelimuti desa Gayam saat Mudra terbangun. Di sampingnya, Vanua masih terlelap, wajahnya tenang dalam balutan mimpi. Namun, Mudra tak bisa kembali ke alam mimpi. Ia merasakan getaran aneh, panggilan tak kasat mata yang menariknya dari tempat tidur, keluar dari rumah bambu, menuju hutan bambu yang sunyi dan magis.Di jantung hutan, di bawah kanopi bambu yang menjulang tinggi, berdirilah sosok Penyihir Tarot. Jubah merah dan kuningnya berkibar lembut tertiup angin pagi, pentagram perak melingkari lehernya, dan simbol-simbol okultisme terjalin rumit di kainnya. Ia berdiri di bawah gapura mawar merah yang merekah, simbol harmoni antara manusia dan alam. Di hadapannya, sebuah altar batu kuno berdiri kokoh, lilin-lilin hitam menyala misterius di atasnya. Di atas altar, terdapat perkakas-perkakas sang Penyihir Kuno, juga simbol-simbol dari empat suit Minor Arcana: cawan yang mewakili elemen Air, pedang yang mewakili elemen Udara, tongkat kayu hawthorn yang mewakili elemen
Pagi hari ini Mudra terbangun di atas kasur bejana. Tangannya berkata kepada kaki: “kamu percaya hari ini jam 6 sore di permukaan bulan?” Mudra bergegas mengayun kaki ke langit ketujuh. Barang durjana bernama handphone bertalu-talu mengingatkan sang waktu dengan sederet pesan. “Hari ini jadwalku bersua dengan Vanua.” Tangan Mudra beringsut menimbun kata pada besi titanium: “Kita akan bertemu secepatnya, kak Vanua.” Vanua baru kali pertama akan bertemu sosok lelaki yang didengarnya berkemampuan seperti Manusia Semut. Ant-Man. Manusia yang mampu membesar dan mengkerut di dalam kubangan masalah Desa. Semut bertengger di atas kelapa pun konon akan mengikuti derap kaki Mudra bila diperintah dengan senyuman. Laksana pejabat yang tahu cara mengatur tapi alpa dalam mengurus rakyatnya, Mudra mengeja kalimat yang ditulisnya di atas buku agenda. Ratusan pohon telah ditebang menjadi kertas dan didaur ulang menjadi buku agenda kertas buram coklat. Apabila Mudra jujur kepada luka di kakinya, ma