Pagi hari ini Mudra terbangun di atas kasur bejana. Tangannya berkata kepada kaki: “kamu percaya hari ini jam 6 sore di permukaan bulan?” Mudra bergegas mengayun kaki ke langit ketujuh.
Barang durjana bernama handphone bertalu-talu mengingatkan sang waktu dengan sederet pesan. “Hari ini jadwalku bersua dengan Vanua.” Tangan Mudra beringsut menimbun kata pada besi titanium: “Kita akan bertemu secepatnya, kak Vanua.”
Vanua baru kali pertama akan bertemu sosok lelaki yang didengarnya berkemampuan seperti Manusia Semut. Ant-Man. Manusia yang mampu membesar dan mengkerut di dalam kubangan masalah Desa. Semut bertengger di atas kelapa pun konon akan mengikuti derap kaki Mudra bila diperintah dengan senyuman.
Laksana pejabat yang tahu cara mengatur tapi alpa dalam mengurus rakyatnya, Mudra mengeja kalimat yang ditulisnya di atas buku agenda. Ratusan pohon telah ditebang menjadi kertas dan didaur ulang menjadi buku agenda kertas buram coklat.
Apabila Mudra jujur kepada luka di kakinya, maka pikiran yang ditulis dengan jemari yang terluka oleh pohon sawit tahun lalu sungguh akan memberi pengertian-pengertian baru tentang kerumunan di Desa. “Kerumunan, neraka bagiku,” tandas Mudra di dalam hati.
Pikirannya tentu sama sekali tidak otentik. Seorang filsuf pada awal abad XX sudah pernah bersabda tentang orang lain adalah neraka baginya. Di tangan Mudra, pikiran filsuf itu dibuang dan dikenang dalam perkara bongkar-muat urusan Desa yang tidak Berdesa.
Vanua dianggapnya sebagai perempuan yang berlumur mantra, membuang duri dari mawar yang konon indah, dan handal sebagai tukang tiup warga yang meyakini ada arwah busuk yang menempel di tubuh. Meskipun Vanua didengarnya tak pernah mengutip uang, tapi semesta perdukunan di lntas-Desa, lintas-kecamatan, lintas-sanitasi, dan lintas-laba rugi, masih menghembuskan kesaktian Vanua.
Mudra bersukacita menumpuk kata demi kata yang bersih dari aroma celengan celeng. Bagi faksi garis keras, untaian pikirannya tidak akan memuaskan hasrat melawan pepesan angin.
Jantungnya berdegup kencang seperti balapan liar antara kuda dan motor RX-King di perbukitan Desa. Isi jantungnya adalah gas. Biaya gas yang tak murah. Senilai dengan Ethereum dan Bitcoin yang milyaran rupiah itu.
Beberapa bulan sabit lalu Vanua mengirimkan surat elektronik kepada Mudra. Sambil menjemur dedaunan sesajen yang telah ia petik dari hutan Desa, hutan yang dikuasai oleh monster berdarah dingin bernama negara.
Isi suratnya membuncahkan perasaan cemas dan khawatir akan pagebluk. Vanua menulis surat yang padat pesan, panjang kata, berlumur garis-garis Times New Roman, dan dibayangi wajah senyum manis Kuntilanak yang tak pernah ia jumpa.
“Dear, Mudra. Salam kenal dari tebing jurang yang menganga di dekat sandal jepit. Saya terjepit persentuhan kulit antara kulit jempol dan kulit kuda. Di masa pagebluk ini pikiran saya risau. Warga Desa kalang kabut dihalau tongkat kayu petugas dari alam ghaib. Setiap kerumunan dibubarkan dengan teriakan megaphone yang dilekati semburan tipis ludah. Kepala Desa kami sibuk mengumpulkan emas dari perut bumi untuk ditukar dengan kenyamanan. Apa kabar Desa tempat tinggalmu? Apakah masih romantis seperti roman picisan yang erotis itu? Apakah erotis dan transgresif seperti Kuntilanak? Saya menjumpai berbagai rangkaian peristiwa di ujung tanduk. Napas kematian sewangi alkohol vodka. Orang mati mendadak. Saham gugur berjatuhan di pojok kursi pemodal. Manusia berjubah alien putih mondar-mandir tanpa henti di hadapan hidungku. Aneh. Unik. Miris. Lucu. Gila. Kapan bisa bertemu? Berkabarlah ketika siap untuk bersua. Tanpa pori-pori yang melebar. Tanpa ingin melumatku dalam dekapan rayuan gombal.”
Mudra tersenyum simpul mengingat isi surat elektronik itu.
Kafe di ujung jalan Desa semakin ramai dikunjungi air hujan. Petir tak malu lagi mengirim anak-anaknya. Awan mengiringi perjalanan motor mahalnya yang dibeli dengan sisa harapan dan tumpukan utang.
Bayangan tentang Vanua mendadak menggiurkan. Demikianlah tangan Mudra bergerak menyentuh celana. Merogoh uang di dekat bagian bawah tubuh, pusat perguliran keturunan.
“Aku harus traktir Vanua, ” kata Mudra kepada air hujan yang mengalir dari atap seng bocor.
Hujan! Kau musuhku nomor satu. Kelak kutebas urat airmu dengan keris tolak angin. Ooo hujan, kau selalu dikutip puisi sastrawan dunia, yang sebasah apa pun, selalu membubarkan kerumunan di tengah jalan, tetapi mengumpulkan rasa dingin untuk saling memagut kehangatan dari neraka.
***
Mencintai itu keputusan. Mudra menggamit tangan Vanua di kafe yang terang benderang. Sesuai janjinya ia tak akan melumat Vanua dengan rayuan gombal.
Lampu kafe semakin temaram. Remang-remang.
“Aku berusia sembilan belas tahun ketika mengenal kartu Tarot. Ini salah satu andalanku untuk membahas larangan kerumunan manusia akhir-akhir ini. Kamu bersedia mendengar kisahku?,” kata Mudra kepada Vanua di bibir kursi.
Vanua memberi isyarat mengiyakan, sambil mempermainkan ujung anak rambut di keningnya.
“Kartu Tarot Biru membuka mataku di pagi hari,” kata Mudra.
Kartu Tarot Biru itu pemberian Neneknya sebagai hadiah ulang tahun. Nenek adalah perempuan pertama yang bersemangat membangkitkan jiwa Mudra dengan ketulusannya dan membawanya ke perjalanan magis. Mudra menyebutnya sebagai awal perjalanan spiritual dan magis. Penuh keajaiban. Buku catatan berwarna merah setia menemani Mudra. Mencatat hasil perburuan kata dan peristiwa.
"Itu melawan agama? Meramal dengan kartu tarot itu kegiatan nista?"
Mudra tidak membantah pernyataan bernada tanya dari Vanua. Kartu Tarot Biru yang dipegang Mudra di tangannya layak dicibir karena menyibakkan rahasia dirinya.
Belasan tahun lalu Sherly adalah anak seumuran Mudra yang pertama kali melantunkan puisi kenistaan Tarot. Meskipun kartu Tarot Biru tak punya nyawa, tak punya rasa, tapi kaya simbol-simbol yang menghubungkan satu jiwa orang dengan lainnya. Hanya dengan tiga buah kartu saja, alam bawah sadar Sherly berhasil ditembus oleh Mudra, seperti Mudra melihat burung gereja bertengger di dahan pohon mangga dari balik kaca. Semudah itu alam bawah sadar menjelma menjadi rangkaian episode sinetron picisan. Setiap pemuda seperti Mudra akan mengingat cinta pertamanya bersama Sherly, lengkap dengan kepahitan puisi nista yang telah digubah oleh Sherly, saat mereka berada di peraduan tumpukan jerami kuda.
Vanua mendengarkan kisah Mudra tentang Sherly dengan seksama. Raut mukanya yang awet dewasa turut menyimak suara kegalauan Mudra.
"Tarot bukan agama, tidak bisa disamakan dengan agama, tapi bisa dipelajari siapa saja dengan ilmu psikologi. Aku begitu asyik dengan pikiranku dan mencoba memahami makna dari ucapan Nenekku tentang psikologi bawah sadar. Buku-buku psikoanalisis yang berat dibaca seperti karya Sigmund Freud, Carl Gustav Jung, dan Jacques Lacan, terasa ringan di telingaku.”
“Apakah Nenekmu menjadi perempuan pertama yang mengesankan hatimu? Seberapa dalam?”
“Ya. Nenekku memang perempuan yang mengesankan dengan segala mistisnya. Ia adalah hawa hatiku yang memenuhi pikiranku dengan rahasia dan keajaiban bawah sadar.”
“Aku pernah menonton Film Inception. Aktornya, Leonardo DiCaprio. Mimpi dalam mimpi. Apakah kita bisa memaknai kesendirian, kesepian, dan sebaliknya, kerumunan itu justru merusak diri kita?”
“Film itu mengajarkan bermimpi dalam mimpi.”
Tak jelas siapa yang memulai, keduanya segera bangkit dari kafe. Pergi ke tempat yang enak untuk bermimpi.
Keduanya saling merengkuh. Jemari bergamit. Kaos terkoyak. Celana tersobek. Tubuh mengkilat. Mereka masuk ke dalam mimpi lapisan pertama. Kasur berbusa dan berisi air terasa empuk mengikuti liukan tubuh.
Tubuh mereka bergetar. Ketika masuk ke dalam alam mimpi, tubuh mereka ringan. Melompat dan tiada lelah berjalan menyusuri gedung bertingkat.
Bedanya, tubuh mereka berpakaian rapi, tak seperti keadaan tidur mereka yang bening mengkilat tanpa sehelai benang.
***
Mudra dan Vanua terhuyung-huyung di tepian tebing Desa Nglanggeran Gunungkidul Yogyakarta. Desa ini terletak di bekas areal Gunung Api Purba yang pernah aktif lebih dari delapan juta tahun lalu. Lembah hijau di bawahnya tampak jelas dilihat dari pucuk bebatuan Kampung Pitu yang hanya dihuni oleh tujuh kepala keluarga.
Mereka masuk ke dimensi lain dari Desa ini. Dimensi mimpi lapis kedua. Berbeda jauh dari kenyataan yang pernah dijumpai oleh Vanua di Desa Nglanggeran.
Terpampang tulisan pada spanduk yang terbuat dari kulit domba: THE FOOL alias Si Polos.
“Siapa yang dimaksud si Polos?”, tanya Mudra.
“Mungkin kita karena tubuh kita berawal dari polos dan kepolosan,” kata Vanua.
Mudra dan Vanua berjalan di sepanjang tepi tebing, menyusuri lembah hijau di bawahnya dan suasana pegunungan nampak angker di balik punggungnya. Entah tidak sadar atau tidak peduli, mereka tidak memikirkan risiko jatuh ke jurang.
Mudra baru sadar ia telah membawa tas kulit yang berisi catatan pengalaman masa lalunya. Tas tertutup rapi. Pengalaman masa lalu itu tersimpan aman dan terjamin penuh oleh keyakinannya.
Kostum bajunya berubah menjadi warna-warni yang cerah. Memberikan tanda bahwa suasana hatinya bahagia dan cerah.
Keberadaan Vanua pada dimensi mimpi ini menambah suasana secerah pagi tanpa hujan. Topi Vanua terdapat bulu merah. Melambangkan semangatnya untuk hidup dan kecintaannya pada perjalanan.
Vanua mengangkat wajahnya ke langit biru cerah. Ia menikmati kebebasan, kegembiraan, dan petualangan dalam perjalanannya.
Kuncup mawar putih hadir manja di tangannya. Melambangkan kepolosan sekaligus ketidakpercayaan atas segala sesuatu. Awal kehidupan yang baru.
Seekor anjing putih menghampiri mereka. Anjing itu nampak akrab dengan Mudra dan Vanua. Berjingkrak bahagia di samping kaki bening Vanua. Anjing itu adalah "West Highland White Terrier" atau "Westies". Anjing yang energik, cerdas dan setia. Teman yang sempurna untuk pelancong pemula.
“Apakah ini jawaban kita atas pagebluk?”
“Ya. Kita terdorong untuk menyendiri. Berdua saja. Mengisolasi diri dalam suatu mimpi dari mimpi level pertama. Mendorong kita untuk lebih berani, lebih berpikiran terbuka, dan menikmati perjalanan. Jangan biarkan diri kita terseret oleh kekhawatiran.”
Vanua memegang kartu yang tergeletak di bawah spanduk The Fool itu. Kartu bergambar sosok pejalan berpakaian warna-warni mirip dengan pakaian Mudra. Sikap tertawa dalam kartu itu seolah membujuk Vanua dan Mudra untuk percaya diri, mengambil kesempatan dan tidak terlalu khawatir tentang masa depan.
Vanua dan Mudra larut dalam dialog seperti orang kesurupan buku filsafat.
“Sebaliknya nikmati saja perjalanan dan lakukan sesuatu hari demi hari.”
“Ya. Sepertinya kita diajak melakukan lompatan keyakinan."
"Ada kemungkinan kita melakukan kesalahan atau terjatuh. Tetapi kita selalu bisa bangkit kembali, membersihkan diri, dan mencoba lagi. Terkadang itulah cara terbaik untuk belajar."
“Berani melakukan sesuatu."
“Hidup di tepian, berpikir di luar kebiasaan. Percaya diri dan berani.”
Seolah ada dunia magis yang luas di luar diri mereka. Pergi menjelajah dimensi mimpi.
Lambat laun terdengar suara tanpa sosok manusia. Hanya kilatan satu meter di hadapan mereka.
“Ikuti kebahagiaan sejatimu. Jelajahi jalur keajaiban baru. Yakini akan lompatan keyakinan."Suara itu terhenti.
Mudra dan Vanua terhentak di kasur. Hujan kian deras mengguyur atap genting rumah warga Desa yang mereka sewa hanya untuk semalam.
Lampu padam. Bayangan berkelebat. Bapak pemilik rumah sedang mengendap-endap menghidupkan Genset. Suara alat penggerak daya listrik itu menderu bersaing dengan suara hujan.
Mereka tarik selimut lagi. Tertidur dalam gejolak alam birahi yang tak mampu dilawan oleh para pejalan muda.
***
Kabut tipis masih menyelimuti desa Gayam saat Mudra terbangun. Di sampingnya, Vanua masih terlelap, wajahnya tenang dalam balutan mimpi. Namun, Mudra tak bisa kembali ke alam mimpi. Ia merasakan getaran aneh, panggilan tak kasat mata yang menariknya dari tempat tidur, keluar dari rumah bambu, menuju hutan bambu yang sunyi dan magis.Di jantung hutan, di bawah kanopi bambu yang menjulang tinggi, berdirilah sosok Penyihir Tarot. Jubah merah dan kuningnya berkibar lembut tertiup angin pagi, pentagram perak melingkari lehernya, dan simbol-simbol okultisme terjalin rumit di kainnya. Ia berdiri di bawah gapura mawar merah yang merekah, simbol harmoni antara manusia dan alam. Di hadapannya, sebuah altar batu kuno berdiri kokoh, lilin-lilin hitam menyala misterius di atasnya. Di atas altar, terdapat perkakas-perkakas sang Penyihir Kuno, juga simbol-simbol dari empat suit Minor Arcana: cawan yang mewakili elemen Air, pedang yang mewakili elemen Udara, tongkat kayu hawthorn yang mewakili elemen
Kabut tipis menyelimuti Desa Gayam, menyamarkan sosok-sosok yang berjalan tergesa-gesa di jalan setapak. Mudra, dengan rambutnya yang sedikit acak-acakan dan mata yang menyimpan rahasia, duduk termenung di beranda rumahnya. Pikirannya melayang kembali ke pertemuannya dengan Penyihir Tarot, seorang wanita tua dengan aura mistis yang kuat. Kata-kata sang penyihir masih terngiang di telinganya, "Masa lalu adalah bayangan, Mudra. Tapi masa depan adalah kanvas kosong yang siap kau lukis."Di tengah keputusasaan yang melanda desa akibat pandemi dan isolasi, Mudra muncul bak cahaya di ujung terowongan. Sebagai direktur BUM Desa yang baru, ia menangani setiap masalah dengan kecerdikan yang mengingatkan Sari pada Profesor Dumbledore. Mudra bukan hanya pemimpin, tapi juga sosok misterius yang membuat jantung Sari berdebar tak menentu.Suatu senja, Mudra menemui Sari di petilasan desa, tempat yang diyakini sebagai gerbang antara dunia nyata dan dunia roh."Sari," Mudra memulai, suaranya selembut
Setelah kepergian Mudra dan Vanua, Sari merasakan kekosongan yang mendalam. Ia kembali ke rumah bambunya, tempat yang dulu terasa hangat kini terasa dingin dan sepi. Pandemi telah merenggut banyak hal darinya: kebebasan, interaksi sosial, dan yang paling menyakitkan, ibunya.Sari teringat akan ibunya, seorang wanita tangguh yang selalu menjadi sumber kekuatannya. Ia adalah sosok Ibu Bumi yang memberikan kasih sayang, perlindungan, dan kebijaksanaan. Namun, pandemi telah merenggutnya, meninggalkan Sari sendirian menghadapi dunia yang kejam.Air mata mengalir di pipi Sari saat ia memandangi foto ibunya. "Ibu," bisiknya lirih, "aku merasa sendiri. Aku rindu pelukanmu, nasihatmu, dan senyummu yang hangat."Kesedihan Sari semakin mendalam saat ia menyadari bahwa ia tidak hanya kehilangan ibunya, tapi juga harapannya akan masa depan. Pandemi telah meluluhlantakkan mimpinya, membuatnya merasa kecil dan tak berdaya."Apa yang harus kulakukan, Ibu?" isaknya. "Aku merasa seperti terjebak dalam k
Pagi itu, kabut tipis masih menyelimuti Kampung Tujuh. Vanua berdiri di depan rumah bambunya, memandangi desa yang telah menjadi rumahnya. Kampung ini penuh dengan kehidupan dan kehangatan, tetapi ancaman baru telah menimbulkan kecemasan di hati setiap penduduknya. Bencana alam yang tak terduga telah membuat tanah di sekitar desa mulai retak, dan wabah penyakit misterius mulai menyebar, mengancam kehidupan di kampung kecil itu.Vanua merasakan beban berat di pundaknya. Dia tahu bahwa penduduk desa bergantung padanya. Sarang lebah yang dia rawat dengan penuh cinta telah menjadi sumber penghidupan bagi banyak orang. Dia juga tahu bahwa sesuatu yang lebih besar dari dirinya sedang dibutuhkan.Sari dan Mudra tiba di Kampung Tujuh setelah menerima pesan dari Vanua. Mereka tahu bahwa ini bukan hanya tentang menyelamatkan desa, tetapi juga tentang menyatukan kekuatan mereka untuk menghadapi ancaman yang lebih besar.“Vanua, kita akan mengatasi ini bersama,” kata Mudra dengan tegas. “Kita tel
Ritual di Kampung Tujuh telah berhasil, tetapi rasa cemas dan ketidakpastian masih menyelimuti hati penduduk desa. Suasana misterius dan melankolis memenuhi udara malam di Kampung Tujuh. Sari, Mudra, dan Vanua duduk di bawah pohon akasia besar, memandang jauh ke dalam diri mereka sendiri, mencari jawaban atas pertanyaan yang belum terjawab.Ki Rajendra, pemimpin spiritual yang bijak, tetap tinggal di desa setelah ritual. Kehadirannya membawa ketenangan, tetapi juga membuka luka-luka yang tersembunyi dalam jiwa setiap penduduk."Ki Rajendra," Sari memulai, suaranya dipenuhi keprihatinan, "meskipun ritual telah selesai, mengapa kita masih merasa terjebak dalam kecemasan dan ketidakpastian?"Ki Rajendra tersenyum lembut. "Karena, anakku, kebebasan sejati bukan hanya tentang menyatukan fisik dan spiritual. Kebebasan sejati juga tentang bagaimana kita memahami dan menerima diri kita sendiri serta orang lain."Mudra, yang biasanya tenang, tampak gelisah. "Apakah ini yang dimaksud ketika sese
Panas. Mentari memancarkan api tanpa kobaran. Bayang-bayang ketidakpercayaan terhadap Mudra dan Vanua masih pekat di Kampung Tujuh. Surya, dengan ambisinya yang membara, berhasil menghasut beberapa warga desa. Ia menyebarkan bisik-bisik keraguan tentang kekuatan mistis yang diduga digunakan Mudra dan Vanua, menanamkan bibit-bibit perselisihan di tengah masyarakat yang mulai rapuh.Surya adalah seorang pria yang cerdas namun licik. Pemikirannya sering kali dangkal dan cepat berubah, sepanjang sebatang korek api. Meskipun aktif mengikuti pertemuan dengan Bu Ros dan penduduk lainnya, ia sering kali menggunakan informasi yang didapatnya untuk keuntungan pribadi. Ketidaktahuannya tentang praktik spiritual membuatnya mudah dipengaruhi oleh rasa takut dan ketidakpastian. Keputusan-keputusannya diwarnai oleh kecenderungan untuk mengambil jalan pintas, tanpa memikirkan konsekuensi jangka panjang."Mereka berdua itu penipu!" seru Surya di tengah kerumunan yang berkumpul di balai desa. "Mereka h
Suasana di Desa Gayam semakin dingin. Langit meredup. Hewan hitam berukuran lima milimeter terbang dengan kecepatan cahaya lampu senter. Angin sepoi-sepoi membawa aroma bunga kamboja, menambah kesan magis malam itu. Di tengah desa, berdiri sebuah rumah bambu yang sederhana namun kokoh. Bagian dari rumah bertembok baja. Di dalamnya, Sari merenung di depan jendela, memandang bintang-bintang yang mulai bermunculan. Pikirannya bercabang, terjebak antara cinta yang dalam dan keputusan sulit yang harus diambil.Sejak kemunculan Mudra, hidup Sari berubah drastis. Mudra bukan hanya pemimpin BUM Desa yang baru, tapi juga sosok yang berhasil menyalakan kembali api semangat di dalam dirinya. Di sisi lain, Vanua, sahabat setianya yang berasal dari Kampung Tujuh, juga menyimpan rasa yang dalam kepada Mudra. Konflik batin ini semakin tajam saat Sari menyadari bahwa Vanua juga mencintai Mudra dengan segenap hatinya.“Bagaimana mungkin aku memilih di antara mereka?” bisik Sari pada dirinya sendiri, sa
Desa Gayam tenggelam dalam keheningan, hanya ditemani suara jangkrik yang bersahutan dan gemericik air sungai kecil yang mengalir di tepi desa. Di bawah langit malam yang berkilauan, bintang gemintang bertaburan bagai permata yang ditaburkan di atas kain beludru hitam. Di dalam rumah bambu yang hangat, Sari, Vanua, dan Mudra masih duduk bersila, dikelilingi cahaya temaram lampu minyak kelapa.Tiba-tiba, suara gemuruh memecah kesunyian malam. Sari terlonjak, jantungnya berdebar kencang. Ia bangkit dari duduknya, melangkah cepat menuju jendela. Matanya membelalak saat melihat bayangan besar mendekat dari kejauhan."Apa itu?" tanyanya dengan suara tercekat, rasa takut menjalari tubuhnya.Mudra, yang sedari tadi merenung, ikut berdiri. Ia mengerutkan kening, mencoba mengidentifikasi suara yang semakin mendekat. "Itu terdengar seperti kereta kuda," katanya dengan nada penuh waspada.Vanua, yang duduk di samping Mudra, ikut merasakan ketegangan. Ia menatap Mudra dengan tatapan cemas. "Tapi s
Desa Gayam tenggelam dalam keheningan, hanya ditemani suara jangkrik yang bersahutan dan gemericik air sungai kecil yang mengalir di tepi desa. Di bawah langit malam yang berkilauan, bintang gemintang bertaburan bagai permata yang ditaburkan di atas kain beludru hitam. Di dalam rumah bambu yang hangat, Sari, Vanua, dan Mudra masih duduk bersila, dikelilingi cahaya temaram lampu minyak kelapa.Tiba-tiba, suara gemuruh memecah kesunyian malam. Sari terlonjak, jantungnya berdebar kencang. Ia bangkit dari duduknya, melangkah cepat menuju jendela. Matanya membelalak saat melihat bayangan besar mendekat dari kejauhan."Apa itu?" tanyanya dengan suara tercekat, rasa takut menjalari tubuhnya.Mudra, yang sedari tadi merenung, ikut berdiri. Ia mengerutkan kening, mencoba mengidentifikasi suara yang semakin mendekat. "Itu terdengar seperti kereta kuda," katanya dengan nada penuh waspada.Vanua, yang duduk di samping Mudra, ikut merasakan ketegangan. Ia menatap Mudra dengan tatapan cemas. "Tapi s
Suasana di Desa Gayam semakin dingin. Langit meredup. Hewan hitam berukuran lima milimeter terbang dengan kecepatan cahaya lampu senter. Angin sepoi-sepoi membawa aroma bunga kamboja, menambah kesan magis malam itu. Di tengah desa, berdiri sebuah rumah bambu yang sederhana namun kokoh. Bagian dari rumah bertembok baja. Di dalamnya, Sari merenung di depan jendela, memandang bintang-bintang yang mulai bermunculan. Pikirannya bercabang, terjebak antara cinta yang dalam dan keputusan sulit yang harus diambil.Sejak kemunculan Mudra, hidup Sari berubah drastis. Mudra bukan hanya pemimpin BUM Desa yang baru, tapi juga sosok yang berhasil menyalakan kembali api semangat di dalam dirinya. Di sisi lain, Vanua, sahabat setianya yang berasal dari Kampung Tujuh, juga menyimpan rasa yang dalam kepada Mudra. Konflik batin ini semakin tajam saat Sari menyadari bahwa Vanua juga mencintai Mudra dengan segenap hatinya.“Bagaimana mungkin aku memilih di antara mereka?” bisik Sari pada dirinya sendiri, sa
Panas. Mentari memancarkan api tanpa kobaran. Bayang-bayang ketidakpercayaan terhadap Mudra dan Vanua masih pekat di Kampung Tujuh. Surya, dengan ambisinya yang membara, berhasil menghasut beberapa warga desa. Ia menyebarkan bisik-bisik keraguan tentang kekuatan mistis yang diduga digunakan Mudra dan Vanua, menanamkan bibit-bibit perselisihan di tengah masyarakat yang mulai rapuh.Surya adalah seorang pria yang cerdas namun licik. Pemikirannya sering kali dangkal dan cepat berubah, sepanjang sebatang korek api. Meskipun aktif mengikuti pertemuan dengan Bu Ros dan penduduk lainnya, ia sering kali menggunakan informasi yang didapatnya untuk keuntungan pribadi. Ketidaktahuannya tentang praktik spiritual membuatnya mudah dipengaruhi oleh rasa takut dan ketidakpastian. Keputusan-keputusannya diwarnai oleh kecenderungan untuk mengambil jalan pintas, tanpa memikirkan konsekuensi jangka panjang."Mereka berdua itu penipu!" seru Surya di tengah kerumunan yang berkumpul di balai desa. "Mereka h
Ritual di Kampung Tujuh telah berhasil, tetapi rasa cemas dan ketidakpastian masih menyelimuti hati penduduk desa. Suasana misterius dan melankolis memenuhi udara malam di Kampung Tujuh. Sari, Mudra, dan Vanua duduk di bawah pohon akasia besar, memandang jauh ke dalam diri mereka sendiri, mencari jawaban atas pertanyaan yang belum terjawab.Ki Rajendra, pemimpin spiritual yang bijak, tetap tinggal di desa setelah ritual. Kehadirannya membawa ketenangan, tetapi juga membuka luka-luka yang tersembunyi dalam jiwa setiap penduduk."Ki Rajendra," Sari memulai, suaranya dipenuhi keprihatinan, "meskipun ritual telah selesai, mengapa kita masih merasa terjebak dalam kecemasan dan ketidakpastian?"Ki Rajendra tersenyum lembut. "Karena, anakku, kebebasan sejati bukan hanya tentang menyatukan fisik dan spiritual. Kebebasan sejati juga tentang bagaimana kita memahami dan menerima diri kita sendiri serta orang lain."Mudra, yang biasanya tenang, tampak gelisah. "Apakah ini yang dimaksud ketika sese
Pagi itu, kabut tipis masih menyelimuti Kampung Tujuh. Vanua berdiri di depan rumah bambunya, memandangi desa yang telah menjadi rumahnya. Kampung ini penuh dengan kehidupan dan kehangatan, tetapi ancaman baru telah menimbulkan kecemasan di hati setiap penduduknya. Bencana alam yang tak terduga telah membuat tanah di sekitar desa mulai retak, dan wabah penyakit misterius mulai menyebar, mengancam kehidupan di kampung kecil itu.Vanua merasakan beban berat di pundaknya. Dia tahu bahwa penduduk desa bergantung padanya. Sarang lebah yang dia rawat dengan penuh cinta telah menjadi sumber penghidupan bagi banyak orang. Dia juga tahu bahwa sesuatu yang lebih besar dari dirinya sedang dibutuhkan.Sari dan Mudra tiba di Kampung Tujuh setelah menerima pesan dari Vanua. Mereka tahu bahwa ini bukan hanya tentang menyelamatkan desa, tetapi juga tentang menyatukan kekuatan mereka untuk menghadapi ancaman yang lebih besar.“Vanua, kita akan mengatasi ini bersama,” kata Mudra dengan tegas. “Kita tel
Setelah kepergian Mudra dan Vanua, Sari merasakan kekosongan yang mendalam. Ia kembali ke rumah bambunya, tempat yang dulu terasa hangat kini terasa dingin dan sepi. Pandemi telah merenggut banyak hal darinya: kebebasan, interaksi sosial, dan yang paling menyakitkan, ibunya.Sari teringat akan ibunya, seorang wanita tangguh yang selalu menjadi sumber kekuatannya. Ia adalah sosok Ibu Bumi yang memberikan kasih sayang, perlindungan, dan kebijaksanaan. Namun, pandemi telah merenggutnya, meninggalkan Sari sendirian menghadapi dunia yang kejam.Air mata mengalir di pipi Sari saat ia memandangi foto ibunya. "Ibu," bisiknya lirih, "aku merasa sendiri. Aku rindu pelukanmu, nasihatmu, dan senyummu yang hangat."Kesedihan Sari semakin mendalam saat ia menyadari bahwa ia tidak hanya kehilangan ibunya, tapi juga harapannya akan masa depan. Pandemi telah meluluhlantakkan mimpinya, membuatnya merasa kecil dan tak berdaya."Apa yang harus kulakukan, Ibu?" isaknya. "Aku merasa seperti terjebak dalam k
Kabut tipis menyelimuti Desa Gayam, menyamarkan sosok-sosok yang berjalan tergesa-gesa di jalan setapak. Mudra, dengan rambutnya yang sedikit acak-acakan dan mata yang menyimpan rahasia, duduk termenung di beranda rumahnya. Pikirannya melayang kembali ke pertemuannya dengan Penyihir Tarot, seorang wanita tua dengan aura mistis yang kuat. Kata-kata sang penyihir masih terngiang di telinganya, "Masa lalu adalah bayangan, Mudra. Tapi masa depan adalah kanvas kosong yang siap kau lukis."Di tengah keputusasaan yang melanda desa akibat pandemi dan isolasi, Mudra muncul bak cahaya di ujung terowongan. Sebagai direktur BUM Desa yang baru, ia menangani setiap masalah dengan kecerdikan yang mengingatkan Sari pada Profesor Dumbledore. Mudra bukan hanya pemimpin, tapi juga sosok misterius yang membuat jantung Sari berdebar tak menentu.Suatu senja, Mudra menemui Sari di petilasan desa, tempat yang diyakini sebagai gerbang antara dunia nyata dan dunia roh."Sari," Mudra memulai, suaranya selembut
Kabut tipis masih menyelimuti desa Gayam saat Mudra terbangun. Di sampingnya, Vanua masih terlelap, wajahnya tenang dalam balutan mimpi. Namun, Mudra tak bisa kembali ke alam mimpi. Ia merasakan getaran aneh, panggilan tak kasat mata yang menariknya dari tempat tidur, keluar dari rumah bambu, menuju hutan bambu yang sunyi dan magis.Di jantung hutan, di bawah kanopi bambu yang menjulang tinggi, berdirilah sosok Penyihir Tarot. Jubah merah dan kuningnya berkibar lembut tertiup angin pagi, pentagram perak melingkari lehernya, dan simbol-simbol okultisme terjalin rumit di kainnya. Ia berdiri di bawah gapura mawar merah yang merekah, simbol harmoni antara manusia dan alam. Di hadapannya, sebuah altar batu kuno berdiri kokoh, lilin-lilin hitam menyala misterius di atasnya. Di atas altar, terdapat perkakas-perkakas sang Penyihir Kuno, juga simbol-simbol dari empat suit Minor Arcana: cawan yang mewakili elemen Air, pedang yang mewakili elemen Udara, tongkat kayu hawthorn yang mewakili elemen
Pagi hari ini Mudra terbangun di atas kasur bejana. Tangannya berkata kepada kaki: “kamu percaya hari ini jam 6 sore di permukaan bulan?” Mudra bergegas mengayun kaki ke langit ketujuh. Barang durjana bernama handphone bertalu-talu mengingatkan sang waktu dengan sederet pesan. “Hari ini jadwalku bersua dengan Vanua.” Tangan Mudra beringsut menimbun kata pada besi titanium: “Kita akan bertemu secepatnya, kak Vanua.” Vanua baru kali pertama akan bertemu sosok lelaki yang didengarnya berkemampuan seperti Manusia Semut. Ant-Man. Manusia yang mampu membesar dan mengkerut di dalam kubangan masalah Desa. Semut bertengger di atas kelapa pun konon akan mengikuti derap kaki Mudra bila diperintah dengan senyuman. Laksana pejabat yang tahu cara mengatur tapi alpa dalam mengurus rakyatnya, Mudra mengeja kalimat yang ditulisnya di atas buku agenda. Ratusan pohon telah ditebang menjadi kertas dan didaur ulang menjadi buku agenda kertas buram coklat. Apabila Mudra jujur kepada luka di kakinya, ma