Mereka bukan hanya sekedar larut dengan air mata Ayana sang gadis malang. Mereka sungguh ingin membuat perlindungan, menciptakan rasa aman untuk gadis sebatang kara itu.Mereka melaju beriringan menuju Light Club. Perjalanan memakan waktu 1 jam lebih dengan laju cepat.Sampai di Light Club. Memasang earphone dan kamera kecil. Mereka turun, berjalan terpisah.Masuk ke dalam. Suara dentuman musik mulai merambat ke telinga, masuk dalam darah. Brox, Robin dan Leo langsung menghentakkan kepala merasakan alunan keras.Mereka menghambur ke beberapa sudut, mulai mencari informasi. Duduk dengan beberapa pelanggan lain.Jovan duduk di meja bartender, dia memesan wine terbaik.Segelas wine disodorkan, Jovan menjentikkan jari pada Bartender itu. Pria itu memajukan wajah, siap mendengarkan."Aku mau cari wanita berkualitas, aku dengar di Febby stay di tempat ini." Jovan tersenyum miring."Hanya untuk pelanggan lama. Hanganya pun cukup mahal, sesuai kualitas."Jovan menyodorkan sejumlah uang. Pria
Wanita itu kini takut. "Saya tidak tahu tempatnya. Mata kami ditutup saat masuk dan keluar tempat itu. Aku hanya tahu, tempat itu jauh dari rumah penduduk.""Tugasmu jangan keluar sampai besok, aku tidak butuh ditemani!" Jovan mengambil uang dari saku jaketnya. Melempar ke meja."Tutup mulutmu, jika masih ingin selamat!" Jovan berdiri.Wanita itu senang melihat tumpukan uang, dia mengambilnya.Bugh. Jovan memukul tengkuk wanita itu, seketika wanita itu tergeletak di sofa.Jovan menghubungi Vincent."Dimana kalian?""Kamar 110, tidak jauh dari kamarmu."Jovan langsung menuju kamar mereka.Jovan masuk. Mereka menyambut dengan tawa dan kekehan."Sang casanova datang!" seru Brox."Aku curiga kamu punya masa lalu di bidang ini. Kamu terlihat tenang dan biasa." Vincent terkekeh geli."Harusnya kamu bawa satu wanita untukku." Robin mendesis."Aku melihatnya sendiri, Jovan sangat menikmati alurnya." Leo membolakan matanya.Jovan duduk. "Hentikan omong kosong kalian, aku gerah. Kita cepat seles
Mata Febby membelalak, nafasnya berat dan bergetar.Jovan melihat ada cambuk tergantung. Dia mengambilnya.Tar. Tar. Tar. Jovan menghempas di lantai.Febby mengeser tubuh mundur.Jovan menatap nyalang Febbh, dia memikirkan Ayana.Tar. Tar. Tar. Mencambuk Febby."Aaaa!! Aaaaa!! Sakit!" terkapar kesakitan. "Ampun!" Memohon."Bukankah kamu sering melakukannya?!" sentak Jovan.Jovan lantas berjongkok, dia menjamb*k rambut Febby. Menghempaskan, lalu menamp*r. Plak. Plak. Plak."Aaakhh!!""Harimu telah berakhir!""Berhenti, kita mundur. Polisi sudah dekat!" ujar vincent, didengar yang lain, lewat earphone.Jovan berbalik meninggalkan Febby, jika dia menuruti gemuruh di hati. Febby tidak akan selamat malam ini. Namun, Jovan sudah banyak mengendalikan diri.Mereka mundur dari tempat itu. Tidak lama, polisi datang atas laporan tempat mucikari menampung wanita pengh*bur.Di dalam mobil."Huff. mereka cantik-cantik." Brox mendesah, lalu melajukan mobil."Benahi pikiranmu, jangan sampai kita nyas
Ayana membuka paksa pintu kamar Jovan. Saat dia lewat, dia mendengar Jovan berteriak."Jo! Ada apa, apa yang terjadi?" Ayana berlari mendekat pada Jovan. Jovan masih harus mengatur kesadaran."Jo, kenapa kamu seperti ini, apa kamu sakit? Keringatmu banyak sekali." cemas Ayana. Dia mengelap kening Jovan dengan baju lengannya.Jovan menarik tangan Ayana, lalu membawanya ke depannya. Ayana duduk di depan Jovan."Aku mendengarmu berteriak tadi."Jovan menggeleng, pikiran belum pulih."Tidak apa-apa, tapi keringatmu mengucur banyak sekali.""Aku lelah," lirih Jovan."Kalau lelah, cepat istirahat!""Temani aku sebentar di sini!" Jovan kembali berbaring.Ayana senang dengan permintaan itu. "Aku tidak akan pergi."Ayana menepuk-nepuk pelan bahu Jovan, sambil menahan tawa, tak hentinya mengulas senyum. 'Dia seperti anak kecil saat tidur. Sangat lucu. Tidak ada wajah garang,' batin Ayana.Tidak lama, Jovan terlelap.Ayana hendak bangun, tapi satu tangannya dipegang Jovan. Terpaksa Ayana bertah
"Dulu pas aku kelas 2 SMA, aku suka sama Kakak kelas, tapi dia malah nembak temanku." Ayana memajukan bibirnya. "Padahal dia selalu membantuku mengerjakan PR.""Cinta monyet, aku tanya saat kamu dewasa ini. Kamu pernah suka sama laki-laki tidak?" tanya Vincent lagi.Ayana bingung. "Aku saat ini hanya bersama kalian, tidak pernah keluar. Bagaimana aku punya target?" Sebenarnya dalam hati Ayana nyaman dengan Jovan, tapi hal itu tidak Ayana utarakan.Jovan mengernyit. "Sekarang pun masih kecil. Tidak usah memikirkan soal pasangan!""Ayana wanita, dia jangan menjadi seperti kita. Hidup tidak ada aturan pola normal. Semoga cerita hidup kita berubah nantinya." Leo mendesah."Setuju, kita juga harus ada planing for love." Brox terkekeh."Kalian pikirkan saja kriteria pacar dari sekarang. Yang tidak akan menolak profesi rahasia kalian!" Jovan menatap semuanya."Katakan saja pada calon mertua, kalau kita pengangguran banyak uang. Ha ha ha ha." Robin tertawa."Kenapa kalian memilih pekerjaan in
Semakin mendekat, waiter berhenti dan menunduk saat iringan Bastian akan melaluinya.Dari arah sana, Vincent mengambil butiran kecil dari kantongnya. Dia bersiap mengarahkan pada belakang lutut sang waiter itu.Saat iringan Bastian sampai di depan sang waiter. Vincent menjentikkan keras pada titik bidikannya. Hingga mengenai tepat sasaran. Tak! Tidak ada yang melihat gerakan Vincent."Aaahhh!!" Waiter terhuyung.Jovan membulatkan mata. Meski jarak agak jauh. Jovan segera melesat cepat.Set. Set. Set! Jovan berhasil menarik, menahan sang waiter tidak terjatuh dan menghalangi minuman itu tumpah di tubuh Bastian.Semua terkejut dengan gerakan cepat dan tepat Jovan.Semua hampir terpaku."Apa kamu baik-baik saja?" tanya Jovan datar pada Bastian."Terima kasih, telah membantu Tuan kami. Gerakan Anda lebih cepat dari kami, dengan jarak yang lebih jauh." Sang bodyguard menunduk.Bastian membulatkan mata kagum pada Jovan. "Kamu sangat luar biasa, kamu sangat pantas menjadi mitra keamananku."
Ayana menatap harap."Kamu belum paham daerah sini!" Jovan menekan."Aku bisa memahaminya, kalau kamu mengijinkan. Sekali aku kesana, aku pasti akan mengingatnya. Kalau aku kesasar, aku bisa menghubungimu."Jovan menarik nafas. Tidak ada yang menyela perdebatan itu."Akan aku pikirkan nanti!" ucap Jovan."Diam di rumah terus apa kamu tidak bosan?" tanya Vincent.Ayana mengangguk. "Namun, lebih baik dari pada aku dikurung saat itu." Melipat bibirnya. "Jovan benar, aku bisa saja dalam bahaya lagi seperti kemarin jika keluar rumah.""Jangan ingat lagi! Sudah kami pastikan jika Febby tidak akan mengusikmu lagi!" Jovan menekan kata."Jangan takut keluar. Kamu harus keluar agar kamu yakin juga sudah tidak ada lagi bayangan ketakutan." Vincent menatap Ayana lalu Jovan."Benar, kamu butuh menghirup udara luar," sahut Leo.Mereka sengaja menggiring pikiran kaku Jovan."Kamu akan cepat stress dan cepat tua, jika hanya terpaku di rumah." Robin terkekeh."Kapan akan tambah berani jika kamu tidak
Kamu akan terbiasa, karna setiap hari Jovan akan membawamu ke tempat ini dengan berlari." Vincent terkekeh.Ayana membuat wajah murung. "Yang benar saja. Aku tidak suka latihan fisik.""Kamu lebih suka gampang ditindas orang maksudmu?" sentak Jovan."Kan, ada kamu Jo." Ayana menatap Jovan harap.Semua jadi terdiam. Jika Ayana tahu rencana Jovan sekarang. Dia pasti akan murung."Kamu harus bisa membela dirimu sendiri. Apa aku akan selalu ada di sisimu!" seru Jovan.Ayana memajukan bibirnya. Dia mengambil rumput lalu melempar ke depan. "Siapa lagi, apa aku harus mencari lagi yang sudi menolongku!" kesal Ayana.Jovan menatap Ayana karena perkataan ini. Dia mendesah, juga tidak suka dengan kata mencari perlindungan orang lain."Kamu juga tidak akan bisa terus mengandalkan orang lain. Akan lebih baik jika kamu bisa memperbaiki diri." Vincent mengulang kalimat Jovan dengan pelan."Aku tahu, aku sangat bodoh. Aku akan menuruti kalian. Akan jadi anak baik, dan penurut."Danau ini terletak dia