Reno duduk di kursi plastik biru di ruang tunggu Rumah Sakit Umum, meremas-remas ujung bajunya. Suara mesin ventilator dan dengung alat-alat medis mengiringi kegelisahannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang, tapi dia masih setia menemani ibunya yang tengah terbaring di ruang ICU. Di sampingnya, seorang dokter tengah memeriksa laporan medis. Sementara itu, perawat terus mondar-mandir membawa alat dan obat-obatan.“Ibu masih bisa sembuh, kan, Dok?” tanya Reno pelan, suaranya serak menahan kekhawatiran.Dokter menatap Reno dengan tatapan penuh empati. “Kami akan berusaha sebaik mungkin, Pak. Tetapi, kita harus bersiap untuk segala kemungkinan.”Reno hanya mengangguk. Kata-kata dokter itu bagai angin lalu, tidak terlalu ia cerna dengan baik. Pikirannya melayang-layang. "Maafkan aku, Ibu. Sungguh aku anak yang tidak berguna karena tak bisa melindungimu, Bu. Kenapa harus ibu yang menanggung semua ini," bisiknya sambil menggenggam tangan ibunya. Butiran bening sudah menitik di pipinya
Satu tahun kemudian .... Devi bangun lebih awal. Ia bersiap membuatkan sarapan dan susu untuk keponakannya yang masih berusia 4 bulan lebih. Bayi mungil perempuan yang diberi nama Mentari oleh Rita itu beberapa hari terakhir dititipkan dan tinggal bersamanya, karena Rita harus melakukan perjalanan dinas ke luar kota selama beberapa hari. Sebagai single parent dan mengalami ujian yang berat, Rita bekerja keras dengan menjadi wanita karir untuk dia dan juga putrinya. Devi dan Reyhan tak merasa keberatan mengasuh bayi lucu yang sedang aktif-aktifnya itu. Kebersamaan mereka justru lebih berwarna dengan kehadiran Mentari. Hari-hari biasanya pun, ketika Rita kerja, Mentari diasuh oleh baby sitter, tapi hampir setiap hari Devi datang menemui Mentari. Hanya saja pagi ini, Devi merasa ada yang berbeda dengan tubuhnya. Ada rasa mual yang tak biasa dan lelah yang sangat. Devi mencoba mengabaikannya, tetapi intuisi seorang wanita seringkali lebih tajam daripada yang lain. "Hueeek ... hueee
Ting!Sebuah notifikasi masuk ke gawai Reno, notifikasi transferan dan chat dari istrinya.[Mas, aku sudah kirim ya 3 juta untuk kebutuhan makan sehari-hari kalian]Senyuman Reno berubah masam, melihat nominal yang dikirimkan oleh Devi. [Kok jatahnya berkurang, sayang? Biasanya kirim 7 juta] balas Reno.[Iya Mas, aku ada banyak keperluan disini]Reno berusaha menelepon, tapi Devi tak menyahut.Padahal biasanya, Devi mengirimkan uang 7 juta tiap bulan. Istrinya itu bilang, 3 juta untuk makan sehari-hari, 1 juta untuk keperluan tak terduga dan 3 juta lagi ditabung untuk pembangunan rumah. Tak sia-sia istrinya bekerja diluar negeri. Ia tak perlu susah payah lagi menjadi kuli panggul di pasar. Hanya okang-okang kaki di rumah. Menikmati jerih payah sang istri. Memang hidupnya sekarang sangat menyenangkan. Tidak seperti dulu lagi, yang harus kekurangan uang dan beras tiap hari.[Makasih ya sayang, kamu memang istri yang terbaik. Mmuach mmuach] --balas Reno disertai emoticon cium. Ia berpur
Part 2Reno mengacak-acak rambutnya dengan kesal. Uang di rekening hanya tersisa dua juta saja. Belum buat makan dan yang lainnya. Kemarin pun ia berbohong pada Sinta kalau satu set perhiasannya sudah siap. Lalu bagaimana? "Kamu kenapa pagi-pagi dah kayak orang stress?" tegur sang ibu.Reno hanya terdiam. Hatinya sungguh dibuat bingung."Reno?""Eh i-iya Bu," jawabnya gugup."Kamu kenapa sih? Kamu udah ambil uang kan? Sini ibu minta buat beli perhiasan.""Belum, Bu.""Kamu ini gimana sih?!"Tak menanggapi ucapan ibunya, Reno pergi begitu saja. Ia tak mau mendengar suara ibunya yang merepet tiada henti.Kepalanya terasa begitu cenat-cenut, karena semalam semenjak Reno mentransfer kembali uang Devi, istrinya itu tidak bisa dihubungi. Ponselnya tidak aktif. Apakah wanita itu baik-baik saja? Atau tetap ditangkap polisi?Haaaah! Ia mengembuskan nafas panjangnya, tak tahu kepada siapa dia harus bicara tentang keadaan Devi. Ibunya sendiri saja tak mau mengerti apalagi orang lain.Ia mengend
Part 3"Apaa? Dasar istri tidak berguna, bisanya nyusahin suami aja!!""Sudahlah Bu, selama ini kan Devi yang menjamin kebutuhan kita. Sekarang dia lagi ada masalah, kalau kita tidak membantunya siapa lagi? Lagian kalau dia ditangkap siapa yang akan mengirimi kita uang lagi?"Bu Witi terdiam, ia pun membenarkan ucapan anaknya."Bu, aku pinjam uangnya lima juta. Ibu ada kan?""Hah? Ibu gak punya. Uang aja kan kamu yang kasih.""Kalau gitu aku pinjam perhiasan ibu, mau aku jual dulu. Nanti kalau Devi udah transfer lagi aku ganti, Bu.""Perhiasan yang tadi pagi kamu kasih?""Oh jangan yang itu Bu, sayang masih baru, yang udah lama aja.""Tapi kan ...""Bu, Reno mohon Bu.""Ya sudah, tunggu disini. Ibu ambilkan dulu. Baru tadi pagi ibu lepas, sekarang mau kamu jual. Hmmmhh," gerutu ibu kesal. "Nanti kamu yang jual sendiri ya. Tapi janji, kalau Devi transfer kamu harus ganti!""Iya, iya Bu. Bawel!"Reno pergi ke toko Mas, menjual perhiasan ibunya. Beruntung totalnya empat juta delapan ratu
Part 4"Apa rencanamu?""Aku ingin sewa ruko buat memulai usahaku.""Wah, bagus dong. Kamu mau usaha apaan, Dev?""Pengennya sih salon rias pengantin. Aku memang belum punya perlengkapan yang banyak, tapi aku ingin mencobanya. Selama di luar negeri aku ikut kursus makeup dan ingin kusalurkan ketika pulang. Jadi ilmuku tidak sia-sia. Dan aku juga ingin punya penghasilan sendiri saat di Indonesia, tidak melulu harus pergi jadi TKW.""Wah, keren banget. Jadi sekarang kamu jago dandan dong. Nanti kalau aku nikah, kamu yang jadi MUA-nya ya!""Bereeeeess, siapa takut."Lalu keduanya tertawa tanpa ada beban. Sekian lama baru bertemu lagi, membuatnya ingin sekali melepas rindu, ngobrol santai dan mengingat masa sekolah yang seru dulu."Apa kamu tidak akan menggugat cerai suamimu itu?" tanya Rita dengan nada serius."Ya pasti aku akan menggugat cerai. Tapi itu nanti, aku masih belum puas untuk bermain-main dengannya. Aku ingin mengambil hakku kembali.""Jadi kau akan membuat dia dan keluargan
Part 5"Sayang?" pekik Devi, netranya berkaca-kaca, bertemu dengan putri kecilnya tak terduga seperti ini. Sudah lama ia tak melihatnya langsung, sesekali hanya melihatnya lewat foto. Reno, sang suami jarang sekali mau mengangkat panggilan videonya."Tante siapa?" tanya gadis kecil itu lugu. Sekian lama tak bertemu membuatnya kebingungan. Apalagi sekarang, Devi memutuskan untuk memakai jilbab."Ini ibu, Nak. Ini ibu," sahut Devi, tanpa kompromi lagi air matanya jatuh membasahi pipi."Ibu?" tanyanya sembari memperhatikan wajah Devi dengan seksama.Devi mengangguk dan langsung memeluk tubuh kecil itu ke dalam dekapannya. "Ibuuuu, aku kangen ibu ..." sahut Silvi, gadis kecil itu membalas pelukan ibunya dengan erat seakan tak mau lepas. Keduanya hanyut dalam rasa rindu yang begitu membuncah, mereka tumpahkan dalam tangis haru."Sayang, kamu kenapa ada disini?" tanya Devi sembari membelai rambut putrinya. "Ini kan jauh dari rumah. Kamu sama siapa? Sama bapak?" tanya Devi lagi.Silvi mengg
Part 6"Silviii ...! Silviiii ...!" teriak Reno memanggil putrinya. Ia berharap Silvi keluar dari persembunyiannya. Sudah hampir jam 9 malam, Silvi belum juga pulang. Reno sudah berkeliling ke gang-gang di desanya, tapi tak menemukan gadis kecil itu dimanapun."Aaaarrrgghh! Kalau Silvi gak ketemu bisa gawat! Devi bisa marah dan menuntutku," gerutu Reno. Ia masih berjalan dalam gelapnya malam, hanya lampu penerang jalan yang menerangi langkahnya.Para anak kecil sudah tak terlihat bermain di jalan lagi. Sepi. "Jangan-jangan Silvi diculik, Ren!" ucapan ibunya tadi membuatnya tak berhenti memikirkan Silvi. Segala kemungkinan bisa terjadi. "Aaarghhh!" teriaknya lagi sembari menendang batu kerikil di hadapannya. "Anak kecil menyusahkan saja!" Reno masih berjalan sembari matanya mencari keberadaan Silvi. Entah kenapa langkah kaki justru membawanya ke rumah Sinta. Tanpa dinyana, Sinta tengah berbincang dengan seorang pria di teras rumahnya. "Sin," sapa Reno, ia sedikit cemburu melihat Si
Satu tahun kemudian .... Devi bangun lebih awal. Ia bersiap membuatkan sarapan dan susu untuk keponakannya yang masih berusia 4 bulan lebih. Bayi mungil perempuan yang diberi nama Mentari oleh Rita itu beberapa hari terakhir dititipkan dan tinggal bersamanya, karena Rita harus melakukan perjalanan dinas ke luar kota selama beberapa hari. Sebagai single parent dan mengalami ujian yang berat, Rita bekerja keras dengan menjadi wanita karir untuk dia dan juga putrinya. Devi dan Reyhan tak merasa keberatan mengasuh bayi lucu yang sedang aktif-aktifnya itu. Kebersamaan mereka justru lebih berwarna dengan kehadiran Mentari. Hari-hari biasanya pun, ketika Rita kerja, Mentari diasuh oleh baby sitter, tapi hampir setiap hari Devi datang menemui Mentari. Hanya saja pagi ini, Devi merasa ada yang berbeda dengan tubuhnya. Ada rasa mual yang tak biasa dan lelah yang sangat. Devi mencoba mengabaikannya, tetapi intuisi seorang wanita seringkali lebih tajam daripada yang lain. "Hueeek ... hueee
Reno duduk di kursi plastik biru di ruang tunggu Rumah Sakit Umum, meremas-remas ujung bajunya. Suara mesin ventilator dan dengung alat-alat medis mengiringi kegelisahannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang, tapi dia masih setia menemani ibunya yang tengah terbaring di ruang ICU. Di sampingnya, seorang dokter tengah memeriksa laporan medis. Sementara itu, perawat terus mondar-mandir membawa alat dan obat-obatan.“Ibu masih bisa sembuh, kan, Dok?” tanya Reno pelan, suaranya serak menahan kekhawatiran.Dokter menatap Reno dengan tatapan penuh empati. “Kami akan berusaha sebaik mungkin, Pak. Tetapi, kita harus bersiap untuk segala kemungkinan.”Reno hanya mengangguk. Kata-kata dokter itu bagai angin lalu, tidak terlalu ia cerna dengan baik. Pikirannya melayang-layang. "Maafkan aku, Ibu. Sungguh aku anak yang tidak berguna karena tak bisa melindungimu, Bu. Kenapa harus ibu yang menanggung semua ini," bisiknya sambil menggenggam tangan ibunya. Butiran bening sudah menitik di pipinya
Di sebuah rumah kecil, ibunda Reno duduk di kursi roda di ruang tamu yang redup. Wajahnya pucat, matanya berkaca-kaca, dan tangannya gemetar. Selembar surat terbuka di pangkuannya, dan isinya membuatnya tak percaya pada apa yang baru saja dia baca."Bagaimana mungkin?" gumamnya, suaranya hampir tidak terdengar di antara keheningan ruangan. Dia mengenang saat-saat indah bersama putrinya, Ristha, yang selalu menjadi anak kebanggaannya.Kenangan masa lalu membawanya pada waktu-waktu ketika Ristha masih kecil, ketika dia memeluknya erat-erat setiap kali dia pulang dari sekolah. Dia selalu bercerita tentang impian masa depannya, tentang bagaimana dia ingin menjadi seseorang yang sukses, memberi kebahagiaan pada ibunya.Namun, kini, semua itu terasa seperti mimpi buruk. Surat di pangkuannya memberitahu bahwa Ristha telah ditangkap karena kasus penipuan. Ibu merasa seolah-olah dunianya runtuh seketika.Pikirannya berkecamuk dengan pertanyaan yang tak terjawab. Apakah dia tidak mendidik Rist
Sore harinya, setelah pemeriksaan lengkap, akhirnya, Rita diperbolehkan pulang oleh dokter dan beristirahat di rumah. Reyhan datang menjemputnya. "Bagaimana kalau pulang ke rumah kami saja?" usul lelaki itu.Rita menggeleng pelan. "Aku ingin istirahat di rumah saja.""Bener kamu gak apa-apa ketemu laki-laki sialan itu?""Aku gak apa-apa, Mas."Reyhan menghela napas. "Ya sudah, kalau itu keinginanmu, tapi kamu harus istirahat yang cukup ya. Jangan diporsir, kamu kan masih dalam tahap pemulihan."Rita mengangguk pasrah.Mobil keluar dari lingkungan rumah sakit, dan pulang menuju rumah. Satu jam lebih waktu yang ditempuh untuk bisa sampai di rumah. Sepanjang jalan, Rita terdiam. Sesekali hanya melihat pemandangan dari jendela mobil. Semangat Rita segera terhenti ketika dia memasuki rumahnya yang sunyi. Suasana yang biasanya hangat dan penuh cinta sekarang terasa dingin dan hampa. ***
"Apa kalian yakin orangnya ada di dalam?""Iya, kami yakin, Pak. Dia gak mugkin kabur lewat belakang, Gak ada akses, pasti sekarang lagi sembunyi."Berkali-kali mereka mencoba bernegoisasi, tapi ternyata tak ada tanggapan apapun dari dalam.***Sementara itu ...Mendengar keributan di luar, Ristha terbangun. Ia mengerjapkan matanya pelan. "Ada apaan sih, ribut banget di luar, ganggu orang tidur aja!" gerutunya lirih. Ya, akibat stress sepanjang malam, dia bahkan telat bangun tidur. Wajahnya agak pucat dan matanya penuh kegelisahan. Entah kenapa, baru saja Ristha bangun dari tidurnya, namun ketegangan merasuk ke dalam setiap selnya. Dia tahu, mulai hari ini adalah hari yang takkan terlupakan baginya. Jordan pergi tanpa mau memberinya kabar lagi. Dan juga masalah lain ya ...."Heeeii buka pintunya dasar penipuuuu!!" teriak seseorang dari luar membuat Ristha berjingkat. Jantungnya berdegup lebih kencang.Ia bangki
Jordan mencoba memegang tangan Rita, tapi Rita menariknya kembali. Dia merasa seperti dunianya hancur berkeping-keping. Selama ini, dia telah memberikan segalanya untuk rumah tangganya, namun sekarang semuanya terasa sia-sia."Mohon Maafkan aku, Rita. Aku tahu aku tidak bisa menghapus kesalahan yang sudah kulakukan, tapi aku ingin memperbaikinya. Aku akan melakukan apa pun untuk memperbaiki hubungan kita," ucap Jordan."Aku ingin bertaubat, Rita. tolong berikan kesempatan untukku. Kau mau kan maafin aku? Aku janji akan mengakhiri semuanya."Rita masih terdiam, sungguh, dia memang terlanjur shock dengan apa yang terjadi dalam hidupnya saat ini. Dia merasa terjebak dalam keputusasaan, tidak tahu harus bagaimana lagi melanjutkan hidupnya. Di saat dia menemukan jodoh di usia yang cukup matang, tapi kenapa jodoh yang dikirimkan padanya justru orang seperti Jordan, orang yang punya hubungan spesial dengan gadis muda sebelumnya. "Maafkan aku,
Rita dan Devi ternganga mendengar pengakuan Ristha. Mereka benar-benar tak percaya."Meskipun hati aku sakit, ditinggal nikah sama pangeranku, tapi aku rela diduakan. Aku gak mau putus dari Mas Jordan, karena-----""Kalian benar-benar tak punya hati!" pekik Rita sambil tergugu. "Yang gak punya hati itu, Mbak! Mbak lah yang merebut Mas Jordan dariku! Kami berhubungan sejak lama, sebelum Mas Jordan kenal dengan Mbak Rita!" teriak Ristha tak mau kalah."RISTHA, DIAMLAH!" Jordan berteriak seketika membuat nyali Ristha menciut. Matanya mendadak berkaca-kaca."Mas, aku mengatakan hal yang sebenarnya. Kita, kita--""Aku tahu, kamu memang datang lebih dulu. Tapi istriku sekarang adalah Rita. Terlebih sekarang, sudah ada buah cintaku dengannya. Dia sedang hamil."Ristha shock mendengar penuturan Jordan, ia bahkan tak pernah menyangka kalau hal ini terjadi. "Apa? Mbak Rita hamil?""Ya, dan aku gak mungkin menin
[Maksudnya gimana, Mas][Nanti kau temani dia datang ke lokasiku saat ini][Kamu di mana, Mas?][Akan kukirim alamatnya menyusul. Aku akan telpon Rita dulu][Ya, baiklah.]Benar saja, usai bertukar pesan dengan sang istri. Reyhan langsung menelepon ke nomor adiknya.Dering ponsel membuat Rita terhenyak. Ia tersenyum tipis melihat nama yang tertera di ponsel."Hallo Mas Reyhan, ada apa? Tenang saja, kakak ipar aman di sini!" seru Rita menggodanya membuat Devi tersenyum."Iya, aku tahu," jawab Reyhan singkat."Terus?""Dek, kamu bisa gak datang ke sini? Minta Mbak Devimu buat nemenin.""Kemana, Mas? Emang ada masalah apa?""Datang saja ya, Dek. Aku gak bisa menjelaskannya di telepon.""Ya, baiklah.""Aku akan share lokasinya ya di WA.""Baik, Mas.""Ya udah nanti hati-hati di jalan.''Panggilan itupun terputus. "Mbak, apa mb
Seketika wajahnya shock dan menegang saat tau di hadapannya adalah .... "Ma, Mas Reyhan? Mas Reyhan kenapa bisa ada di sini?""Kenapa? Kaget ya?"Reyhan tersenyum sinis melihat kegugupan di wajah adik iparnya itu. Apalagi saat melihat ada seorang perempuan di balik selimut. Tanpa basa-basi Reyhan langsung memukul lelaki itu.Buuughht!! Suara pukulan Reyhan membuat Ristha menjerit."Dasar laki-laki brengs*k! jadi ini yang kau lakukan di belakang adikku hah?!""Mas, biarkan aku menjelaskannya dulu!""Jelaskan jelaskan apa, brengs*k! Semua yang kulihat sudah jelas!! Kau tega melakukan ini pada adikku!!"Buuughhtt!! Bugghhtt!! Pukulan-pukulan itu ia layangkan kembali di perut Jordan membuat lelaki itu terhuyung.Jordan berusaha bangkit, sedangkan Ristha yang ada di balik selimut segera membalut tubuhnya dengan selimut itu dan memungut bajunya yang tadi sempat dilepas, lalu berlari ke kamar mandi dan mengun