Part 5
"Sayang?" pekik Devi, netranya berkaca-kaca, bertemu dengan putri kecilnya tak terduga seperti ini. Sudah lama ia tak melihatnya langsung, sesekali hanya melihatnya lewat foto. Reno, sang suami jarang sekali mau mengangkat panggilan videonya."Tante siapa?" tanya gadis kecil itu lugu. Sekian lama tak bertemu membuatnya kebingungan. Apalagi sekarang, Devi memutuskan untuk memakai jilbab."Ini ibu, Nak. Ini ibu," sahut Devi, tanpa kompromi lagi air matanya jatuh membasahi pipi."Ibu?" tanyanya sembari memperhatikan wajah Devi dengan seksama.Devi mengangguk dan langsung memeluk tubuh kecil itu ke dalam dekapannya."Ibuuuu, aku kangen ibu ..." sahut Silvi, gadis kecil itu membalas pelukan ibunya dengan erat seakan tak mau lepas. Keduanya hanyut dalam rasa rindu yang begitu membuncah, mereka tumpahkan dalam tangis haru."Sayang, kamu kenapa ada disini?" tanya Devi sembari membelai rambut putrinya. "Ini kan jauh dari rumah. Kamu sama siapa? Sama bapak?" tanya Devi lagi.Silvi menggelengkan kepalanya pelan."Maksudmu, kamu sendirian? Kamu gak takut, ini udah hampir malam kenapa pergi dari rumah?""Bapak marah-marah terus, Bu. Huhuhu," jawabnya sambil menangis. Mendengar penuturan anaknya membuat hati Silvi meradang. Kenapa suaminya tega memarahi anaknya sendiri."Tapi sayang, pergi dari rumah juga gak baik. Apalagi sampai malam begini. Kalau ketemu sama orang jahat gimana?"Silvi masih terisak. "Silvi, pulang sama ibu yuk," ajak Devi pada putri kecilnya."Ibu mau pulang ke rumah bapak?"Devi menggeleng pelan."Kita pulang ke rumah tante ya," ajak Rita ikut nimbrung obrolan mereka. Ia merasa prihatin dengan apa yang dialami Silvi. Pergi dari rumah? Bisa jadi karena bapaknya galak, dan anak kecil itu sudah tak kuat menahannya lagi."Emang boleh, Bu?""Boleh dong. Emangnya siapa yang larang?" Rita tersenyum, membuat gadis kecil itu mengangguk. Lantas ia masuk ke dalam toko, menuju ruangan kakaknya."Kak!" panggilnya hingga lelaki itu terlonjak kaget."Ada apaan kamu kesini?""Memangnya kakak gak denger dari tadi ada anak nangis? Harusnya ditolongin kek, kan kasihan," tegur Rita lagi.Reyhan menggeleng. "Memangnya siapa yang nangis?""Kak, jadi orang kok gak peka banget. Kakak lihat sendiri deh."Reyhan beranjak dari duduknya dan melihat keluar dari balik kaca. Devi tengah berpelukan dengan anak kecil."Anak kecil itu menangis dari tadi di depan toko kakak. Dia anaknya Devi, pergi dari rumah karena dimarahi bapaknya."Reyhan menoleh sekilas ke arah adiknya, ia mengikuti adiknya keluar toko."Mas Reyhan? Maaf membuat kegaduhan di depan toko," ucap Devi ia merasa sungkan."Sebaiknya kalian pulang saja dari pada buat ribut disini," tegur Reyhan."Kak!!""Oh iya tunggu sebentar." Reyhan pergi begitu saja meninggalkan mereka."Maafin kakakku, Dev."Devi tersenyum. "Tidak apa-apa, Rita. Aku mau langsung pulang saja ke ruko ya.""Eh jangan dong, kamu kan janji mau nginep dulu. Lagian di ruko tadi masih kosong, belum ada kasurnya, kasihan Silvi."Devi makin mempererat rangkulannya pada gadis kecil itu."Besok aku temani kamu belanja. Okey!"Devi mengangguk. Tak lama Reyhan datang, membawa sebuah bungkusan kresek."Nih buat makan kalian," ucapnya sembari menyerahkan kresek itu pada adiknya."Apaan nih kak?""Buka aja di rumah.""Wah tumben nih, makasih ya kak.""Hmmm," sahut Reyhan kemudian berlalu ke dalam.Setibanya di rumah, Rita langsung membuka bungkusan itu. 3 bungkus nasi padang untuk makan malam, serta 3 bungkus teh manis."Wah ini enak banget, ayo dimakan Silvi. Nih punya Silvi yang gak pedes," ucap Rita."Lauknya ayam goreng, Tante, pasti enak banget.""Iya, ayo dimakan. Silvi pasti lapar kan?"Gadis kecil itu mengangguk antusias dan memakannya dengan lahap."Bu, Silvi baru makan ayam goreng lagi nih, ternyata enak banget," ucapnya disela-sela makan."Memangnya Silvi gak pernah makan ayam goreng?" tanya Rita.Gadis kecil itu menggeleng, membuat Devi dan Rita merasa iba."Nenek masaknya cuma tempe aja sama kecap."Mendengar jawaban putrinya, makin membuat Devi merasa bersalah karena meninggalkannya terlalu lama."Keterlaluan," desisnya. Kristal bening kembali menggenang di pelupuk matanya. Selama ini dia kirim uang untuk keluarga agar mereka tidak kekurangan makan, tapi kenapa untuk mengurus seorang Silvi saja tidak bisa. Uang itu justru digunakan untuk foya-foya dari pada memberi makanan bergizi untuk putri kandungnya sendiri."Mulai sekarang Silvi tinggal sama ibu saja ya, ibu akan penuhi semua kebutuhan Silvi. Makannya Silvi, bajunya Silvi, sekolahnya Silvi. Silvi tinggal bilang mau apa, mau makan ayam goreng atau bakso, apapun itu kalau menyehatkan pasti akan ibu belikan.""Beneran, Bu?""Iya, Sayang. Nanti ibu belikan baju yang bagus buat kamu.""Asyiiiik makasih, Bu. Ibu terbaaaiiik."***Sementara di depan teras rumah, Reno terlihat khawatir. Sudah jam delapan malam, tetapi Silvi belum juga kembali pulang."Bu, gimana? Silvi ketemu?" tanya Reno. Bu Witi baru saja pulang mencari Silvi ke gang sebelah atau teman-teman yang lain tapi tak melihat keberadaan Silvi."Ibu udah cari kemana-mana, tapi gak ketemu itu bocah kemana perginya.""Bu, gimana dong kalau Devi telpon dan Silvi gak ada?""Kamu sih! Emangnya tadi kamu ngapain aja sampai dia pergi?""Silvi minta uang jajan tapi gak kukasih Bu, terus dia lari gitu aja.""Dah kamu tenang aja, kalau laper juga dia pasti pulang.""Kalau gak pulang gimana? Ini kan udah malam, Bu.""Ya dicari, kamu kan bapaknya. Ibu tadi udah nyari tapi gak ada, ibu capek mau istirahat."Reno sudah menghubungi saudara-saudaranya bahkan ke Sinta juga, menanyakan keberadaan Silvi, tapi anak itu tak ada dimanapun, membuat pikirannya dilanda bingung."Aaarghhh! Kemana sih itu anak! Bikin susah orang tua saja. Gak anaknya gak ibunya suka ngilang sendiri!"Reno mengacak-acak rambutnya, seperti orang stress. Tetiba ponselnya berdering. Keningnya berkerut ketika melihat private number tulisan yang tertera di layar ponsel."Halo, siapa ini?" tanya Reno ketus."Halo Mas, ini aku istrimu.""Devi?""Iya. Mas, aku mau bicara sama Silvi," ucap suara di seberang telepon."Silvi?" Mendadak Reno menjadi gugup. "Itu Dev, Silvi sudah tidur.""Tidur? Bangunkan sebentar ya, Mas. Please. Mungkin ini kesempatan terakhirku telepon.""Terakhir? Maksudnya apa?""Tolong Mas, bangunkan Silvi sebentar, aku mau bicara.""Anu Dev, sebenarnya Silvi--""Silvi kenapa?""Silvi pergi dari rumah dan dia belum pulang.""Apa? Kok bisa? Kamu gak cari? Kamu ini gimana sih Mas, anak satu aja kok diterlantarin.""Tadi udah cari tapi gak ada.""Aku gak mau tau ya Mas, Silvi harus ketemu. Atau kalau tidak aku akan tuntut kamu karena sudah menelantarkan anak.""Kamu kan diluar negeri mana bisa, Dev?""Oh, jadi kamu gak ada tanggung jawabnya sama sekali ya! Bisa aja dong, aku kan cerdas, aku bisa minta bantuan sama teman aku!""Jangan dong Dev, aku akan mencarinya lagi nanti.""Cari sampai ketemu, Mas!""Iya, iya!"Reno melayangkan tangannya ke udara sebagai bentuk kekesalannya. 'Harus kemana aku cari Silvi malam-malam begini?'"Halo Mas, kamu masih disitu kan?""Hmmm ...""Aku mau ngomong penting, Mas.""Ada apa?""Oh iya Mas, besok tolong siapin uang 150 juta.""150 juta? banyak banget buat apa?""Mas, aku pengen ikut investasi, kebetulan temanku yang pegang. Katanya kalau kita invest 150 juta kita bakal dapat 3x lipatnya mas.""Hah? Masa sih bisa sebanyak itu?""Iya, namanya juga investasi, Mas. Kan lumayan tuh, gak perlu kerja keras, cuma nanam modal saja udah dapat segitu.""Tapi uang dari mana, Dev. Kemarin aja udah jual motor," sahut Reno bimbang."Mas kan bisa gadaikan sementara sertifikat rumah, nanti kalau modal plus untungnya udah balik langsung lunasin deh utang di Bank-nya. Gimana menurutmu, Mas?""Gimana ya? Aman dan terpercaya gak?""Ya pastilah, Mas. Dia kan teman aku, masa mau tega bohong sih. Sekarang aja dia udah kaya lho, punya kios usaha sendiri, punya mobil, rumah bagus," rayu Devi lagi."Tapi rumah yang kita bangun kan sertifikatnya belum turun, Dev.""Emmh kalau gitu pinjam punya ibu. Sini biar aku yang ngomong.""Nanti deh aku diskusikan dulu.""Tapi Mas berminat 'kan?""Minat sih kalau dapatnya 3x lipat. Tapi--""Tenang aja, lusa temanku akan datang ke rumah, mau jelasin semuanya. Mas bisa pelajari berkas-berkasnya."Reno terdiam."Ya sudah ya Mas, aku tutup dulu teleponnya. Menurutku sih ini kesempatan bagus lho, jarang-jarang ada yang kayak begini. Tapi terserah sih, kalau Mas gak setuju gak apa-apa. Oh iya, jangan lupa cari Silvi. Assalamualaikum."Panggilan itu terputus begitu saja. Reno makin bimbang dibuatnya.Sementara Devi tersenyum sambil merangkul putrinya yang tengah tertidur dalam pangkuannya."Hahaha, kamu cerdas banget Dev. Aku saluuut," ucap Rita."Saatnya besok bermain-main, kamu sudah siap kan?"Part 6"Silviii ...! Silviiii ...!" teriak Reno memanggil putrinya. Ia berharap Silvi keluar dari persembunyiannya. Sudah hampir jam 9 malam, Silvi belum juga pulang. Reno sudah berkeliling ke gang-gang di desanya, tapi tak menemukan gadis kecil itu dimanapun."Aaaarrrgghh! Kalau Silvi gak ketemu bisa gawat! Devi bisa marah dan menuntutku," gerutu Reno. Ia masih berjalan dalam gelapnya malam, hanya lampu penerang jalan yang menerangi langkahnya.Para anak kecil sudah tak terlihat bermain di jalan lagi. Sepi. "Jangan-jangan Silvi diculik, Ren!" ucapan ibunya tadi membuatnya tak berhenti memikirkan Silvi. Segala kemungkinan bisa terjadi. "Aaarghhh!" teriaknya lagi sembari menendang batu kerikil di hadapannya. "Anak kecil menyusahkan saja!" Reno masih berjalan sembari matanya mencari keberadaan Silvi. Entah kenapa langkah kaki justru membawanya ke rumah Sinta. Tanpa dinyana, Sinta tengah berbincang dengan seorang pria di teras rumahnya. "Sin," sapa Reno, ia sedikit cemburu melihat Si
Part 7"Rita, Silvi kenapa bisa ada sama kamu? Aku harus hubungi Mas Reno kalau ternyata anaknya ada sama kamu!" ketus Sinta. Wanita itu mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi calon suaminya. Sementara Rita dan Silvi saling berpandangan. Jantung Rita berdebar-debar, takut kalau nanti Devi dan Sinta bertemu. Bisa gawat kalau rencana Devi tak bisa berjalan. Dengan mulus."Halo, Mas." Sinta tampak berbicara di telepon, ia berjalan menjauh dari keduanya. "Silvi, jangan bilang kalau kamu kesini sama ibumu juga ya, sayang. Kamu gak usah ngomong apa-apa sama mereka, biar Tante yang jelasin. Kamu mengerti kan?" bisik Rita di telinga Silvi.Gadis kecil itu mengangguk. Rita segera mengeluarkan handphone-nya agar Devi membaca dan lekas bersembunyi.[Dev, kamu sembunyi dulu biar aman. Ada Sinta disini. Masalah Silvi biar aku yang beresin]Sudah sepuluh menit, tapi pesan WhatsAppnya belum dibaca. Devi tengah sibuk memilih barang belanjaannya.[Ok] balas Devi. Ia tak menyangka dalam situasi sepe
Part 8Devi dan Rita tengah bersiap-siap, ia memakai kemeja formal. Tangan Devi sudah sibuk menari-nari diatas wajah Rita."Sempurna!" ucap Rita saat melihat hasil riasan sahabatnya itu. "Aku benar-benar seperti orang yang berbeda, amazing tanganmu itu, Dev! Dah macam MUA terkenal aja!""Hahaha bisa aja kamu.""Aku bakal promosi ke orang-orang kalau hasil riasanmu itu, oke banget," ucap Rita lagi sembari mengarahkan handphonenya untuk foto selfie. Kali ini dia menyamarkan penampilannya dengan berhijab."Ternyata aku cantik juga ya pakai jilbab.""Kamu memang cantik, Rita. Hatimu juga baik. Terima kasih karena kamu sudah membantuku.""Tentu saja, kita kan teman."Devi pun tengah melukis wajahnya sendiri, hingga membuat penampilannya berbeda. Ia sengaja menambahkan tanda lahir di bawah matanya sebelah kiri. Hijab pashmina berwarna pink membalut rambutnya, kemeja pink dan blazer warna hitam serta celana bahan warna hitam. Tak lupa sepatu pantofel warna hitam juga. Penampilannya saat ini
Part 9"Lebih baik kucel jadi pembantu, Pak. Dari pada kinclong tapi jadi benalu." "Tunggu-tunggu, kenapa suaramu mirip Devi ya?" tukas Reno. Lelaki itu berjalan mendekat. Ia melihat perempuan itu dari atas ke bawah."Benar, kamu ini mirip Devi. Postur tubuhmu, suaramu, atau jangan-jangan--""Maaf, Pak. Tolong jangan seperti ini, sikap anda membuat saya tidak nyaman," sahut Devi alias Aura sembari mundur beberapa langkah.Jantungnya berdegup kencang, takut jikalau dirinya ketahuan. Ia sudah menyusun rencana ini dengan matang, dirinya gak mau gagal lagi dan terperdaya oleh lelaki tak berhati ini. Rita pun ikut bingung bagaimana caranya agar Devi tak terpojok. "Maaf Pak, kami permisi dulu ya, pekerjaan kami masih banyak. Harus berkeliling menemui para calon investor yang lain," tukas Rita sembari menarik tangan Devi. Keduanya langsung berlalu masuk ke dalam mobil milik Reyhan.Reno hanya menatapnya tanpa berkedip, ia merasa wanita-wanita tadi seperti tak asing lagi baginya. Tapi siapa
Part 10"Eh anu Mas, ini---""Ini sudah zaman modern, kenapa paket kemenyan segala?" tanya Reno lagi."Biar aku jelaskan, Mas. Win, tolong bunganya taruh belakang saja ya.""Baik, Mbak."Reno masih ingin mendengar jawaban dari Sinta. "Mas, bunga-bunga itu buat ritualku mandi. Biar tubuhku wangi, jadi saat malam pengantin nanti kamu gak bakalan kecewa," sahut Sinta sembari memainkan netranya genit. Ia membenarkan krah kemeja Reno yang baik-baik saja.Reno tersenyum."Kalau kemenyan, aku gak tau persis mas, itu disuruh sesepuh disini, katanya sih biar gak ada yang ganggu kita saat pernikahan nanti.""Walah, kirain buat apaan. Zaman udah modern begini masih ada begituan.""Ya kita kan gak mungkin ngilangin adat begitu aja."Reno mengangguk, kemudian mencium pipi Sinta. "Ya sudah Sin, aku pulang dulu ya.""Iya, Masku sayang--"Reno pergi meninggalkan rumah Sinta. Wanita itu bisa bernafas lega, hampir saja topengnya terbongkar, beruntung ia bisa memberikan alibi yang pas untuk calon suamin
Part 11"De-devi?" "Iya, ini aku. Kenapa? Kaget ya?""Kok kamu ada disini, Dev? Kapan kamu pulang dari Taiwan? Bukannya semalam kamu telepon dan--" Ucapan Reno mengambang di udara saat melihat mimik wajah Devi. Ia terkesima, lama tak bertemu istrinya itu bertambah cantik. Wajahnya putih bersih dan begitu terawat. Sayangnya kini penampilannya berbeda, ada hijab pashmina yang membalut rambutnya. Bila dipandang sekilas, ia tak nampak seperti Devi yang dulu. Kali ini istrinya itu tampil begitu sempurna. Naluri kelelakiannya seketika muncul. Ia hendak memeluk Devi, tapi Devi menghindar."Jangan peluk aku!" seru Devi."Tapi, kenapa? Aku kan suamimu, Dev. Kita sudah lama gak ketemu. Masa kamu gak kangen?""Kangen?""Ya. Aku aja rindu sekali padamu, Dev.""Oh ya?"Reno mengangguk. Sementara Devi tersenyum masam, ia berjalan mengitari Reno. Tubuh Reno begitu tegang, apalagi dia belum mandi dan masih bertelanjang dada, hanya celana sebatas lutut yang membalut tubuhnya. Ekor matanya yang berge
Part 12"Memangnya mau kau bawa kemana, Dev? Kita bisa bicarakan ini baik-baik, Sayang.""Sayang? Hahaha, telingaku sampai gatal saat kamu memanggilku sayang!" Devi justru menimpali dengan nada mengejek. Sementara wajah Sinta sudah merah padam, baru saja semalam dia mereguk manisnya cinta bersama Mas Reno, tapi kini suaminya justru memanggil sayang pada wanita lain. Sinta yang awalnya hanya ingin bermain-main dengan Reno, tapi dia justru jatuh hati padanya."Dev, tolong jangan lakukan ini. Kita bisa bicarakan ini baik-baik, Dev. Tolonglah Dev, kita bisa hidup damai bertiga di rumah ini.""Hidup damai bertiga di rumah ini? Serius kamu ngomy gitu, Mas? Kamu suruh aku tinggal seatap dengan wanita itu? Gak level lah yaw! Aku ini bukan perebut suami orang, aku juga bukan benalu. Tidak seperti kalian-kalian ini! Aku yang sibuk bekerja membanting tulang, justru kalian yang menikmati hasilnya! Ckckck!""Cukup bicaramu, Devi!" teriak Bu Witi."Emang gitu kenyataannya kan, Bu? Kenapa gak terima
Part 13 "Bukankah ini tak adil bagiku dan juga bagimu, Dev?" Ini rumah kita! Kita bisa tinggal sama-sama di rumah kita! Kita bisa bicarakan ini baik-baik, Dev! Tolong hentikan ini, Dev. Jangan lakukan ini, aku mohon."Devi bergeming, ia tetap teguh pada pendiriannya. Tak sekalipun terlintas rasa kasihan padanya atau membatalkan pembongkaran rumah ini. Tidak. Amarah dan benci sudah menguasai hatinya. Baginya, dia sudah dikhianati, hatinya sudah hancur. Kalau dia tak bisa memiliki haknya sendiri, maka Reno pun tak bisa memilikinya. Kalau dia hancur, maka suaminya pun harus ikut hancur. Bara api dendam di hati Devi sudah terlanjur menyala dan tak bisa dipadamkan lagi."Kita bisa hidup damai bertiga, Dev. Aku janji akan bersikap adil pada kalian. Tolonglah jangan keras seperti batu. Kita perbaiki ini sama-sama ya, Dev. Jangan hancurkan rumah ini, Dev. Rumah ini tak ada hubungannya dengan masalah kita," lanjut Reno berusaha merayu Devi."Tidak!" sahut Devi singkat, padat dan jelas.Reno m
Satu tahun kemudian .... Devi bangun lebih awal. Ia bersiap membuatkan sarapan dan susu untuk keponakannya yang masih berusia 4 bulan lebih. Bayi mungil perempuan yang diberi nama Mentari oleh Rita itu beberapa hari terakhir dititipkan dan tinggal bersamanya, karena Rita harus melakukan perjalanan dinas ke luar kota selama beberapa hari. Sebagai single parent dan mengalami ujian yang berat, Rita bekerja keras dengan menjadi wanita karir untuk dia dan juga putrinya. Devi dan Reyhan tak merasa keberatan mengasuh bayi lucu yang sedang aktif-aktifnya itu. Kebersamaan mereka justru lebih berwarna dengan kehadiran Mentari. Hari-hari biasanya pun, ketika Rita kerja, Mentari diasuh oleh baby sitter, tapi hampir setiap hari Devi datang menemui Mentari. Hanya saja pagi ini, Devi merasa ada yang berbeda dengan tubuhnya. Ada rasa mual yang tak biasa dan lelah yang sangat. Devi mencoba mengabaikannya, tetapi intuisi seorang wanita seringkali lebih tajam daripada yang lain. "Hueeek ... hueee
Reno duduk di kursi plastik biru di ruang tunggu Rumah Sakit Umum, meremas-remas ujung bajunya. Suara mesin ventilator dan dengung alat-alat medis mengiringi kegelisahannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang, tapi dia masih setia menemani ibunya yang tengah terbaring di ruang ICU. Di sampingnya, seorang dokter tengah memeriksa laporan medis. Sementara itu, perawat terus mondar-mandir membawa alat dan obat-obatan.“Ibu masih bisa sembuh, kan, Dok?” tanya Reno pelan, suaranya serak menahan kekhawatiran.Dokter menatap Reno dengan tatapan penuh empati. “Kami akan berusaha sebaik mungkin, Pak. Tetapi, kita harus bersiap untuk segala kemungkinan.”Reno hanya mengangguk. Kata-kata dokter itu bagai angin lalu, tidak terlalu ia cerna dengan baik. Pikirannya melayang-layang. "Maafkan aku, Ibu. Sungguh aku anak yang tidak berguna karena tak bisa melindungimu, Bu. Kenapa harus ibu yang menanggung semua ini," bisiknya sambil menggenggam tangan ibunya. Butiran bening sudah menitik di pipinya
Di sebuah rumah kecil, ibunda Reno duduk di kursi roda di ruang tamu yang redup. Wajahnya pucat, matanya berkaca-kaca, dan tangannya gemetar. Selembar surat terbuka di pangkuannya, dan isinya membuatnya tak percaya pada apa yang baru saja dia baca."Bagaimana mungkin?" gumamnya, suaranya hampir tidak terdengar di antara keheningan ruangan. Dia mengenang saat-saat indah bersama putrinya, Ristha, yang selalu menjadi anak kebanggaannya.Kenangan masa lalu membawanya pada waktu-waktu ketika Ristha masih kecil, ketika dia memeluknya erat-erat setiap kali dia pulang dari sekolah. Dia selalu bercerita tentang impian masa depannya, tentang bagaimana dia ingin menjadi seseorang yang sukses, memberi kebahagiaan pada ibunya.Namun, kini, semua itu terasa seperti mimpi buruk. Surat di pangkuannya memberitahu bahwa Ristha telah ditangkap karena kasus penipuan. Ibu merasa seolah-olah dunianya runtuh seketika.Pikirannya berkecamuk dengan pertanyaan yang tak terjawab. Apakah dia tidak mendidik Rist
Sore harinya, setelah pemeriksaan lengkap, akhirnya, Rita diperbolehkan pulang oleh dokter dan beristirahat di rumah. Reyhan datang menjemputnya. "Bagaimana kalau pulang ke rumah kami saja?" usul lelaki itu.Rita menggeleng pelan. "Aku ingin istirahat di rumah saja.""Bener kamu gak apa-apa ketemu laki-laki sialan itu?""Aku gak apa-apa, Mas."Reyhan menghela napas. "Ya sudah, kalau itu keinginanmu, tapi kamu harus istirahat yang cukup ya. Jangan diporsir, kamu kan masih dalam tahap pemulihan."Rita mengangguk pasrah.Mobil keluar dari lingkungan rumah sakit, dan pulang menuju rumah. Satu jam lebih waktu yang ditempuh untuk bisa sampai di rumah. Sepanjang jalan, Rita terdiam. Sesekali hanya melihat pemandangan dari jendela mobil. Semangat Rita segera terhenti ketika dia memasuki rumahnya yang sunyi. Suasana yang biasanya hangat dan penuh cinta sekarang terasa dingin dan hampa. ***
"Apa kalian yakin orangnya ada di dalam?""Iya, kami yakin, Pak. Dia gak mugkin kabur lewat belakang, Gak ada akses, pasti sekarang lagi sembunyi."Berkali-kali mereka mencoba bernegoisasi, tapi ternyata tak ada tanggapan apapun dari dalam.***Sementara itu ...Mendengar keributan di luar, Ristha terbangun. Ia mengerjapkan matanya pelan. "Ada apaan sih, ribut banget di luar, ganggu orang tidur aja!" gerutunya lirih. Ya, akibat stress sepanjang malam, dia bahkan telat bangun tidur. Wajahnya agak pucat dan matanya penuh kegelisahan. Entah kenapa, baru saja Ristha bangun dari tidurnya, namun ketegangan merasuk ke dalam setiap selnya. Dia tahu, mulai hari ini adalah hari yang takkan terlupakan baginya. Jordan pergi tanpa mau memberinya kabar lagi. Dan juga masalah lain ya ...."Heeeii buka pintunya dasar penipuuuu!!" teriak seseorang dari luar membuat Ristha berjingkat. Jantungnya berdegup lebih kencang.Ia bangki
Jordan mencoba memegang tangan Rita, tapi Rita menariknya kembali. Dia merasa seperti dunianya hancur berkeping-keping. Selama ini, dia telah memberikan segalanya untuk rumah tangganya, namun sekarang semuanya terasa sia-sia."Mohon Maafkan aku, Rita. Aku tahu aku tidak bisa menghapus kesalahan yang sudah kulakukan, tapi aku ingin memperbaikinya. Aku akan melakukan apa pun untuk memperbaiki hubungan kita," ucap Jordan."Aku ingin bertaubat, Rita. tolong berikan kesempatan untukku. Kau mau kan maafin aku? Aku janji akan mengakhiri semuanya."Rita masih terdiam, sungguh, dia memang terlanjur shock dengan apa yang terjadi dalam hidupnya saat ini. Dia merasa terjebak dalam keputusasaan, tidak tahu harus bagaimana lagi melanjutkan hidupnya. Di saat dia menemukan jodoh di usia yang cukup matang, tapi kenapa jodoh yang dikirimkan padanya justru orang seperti Jordan, orang yang punya hubungan spesial dengan gadis muda sebelumnya. "Maafkan aku,
Rita dan Devi ternganga mendengar pengakuan Ristha. Mereka benar-benar tak percaya."Meskipun hati aku sakit, ditinggal nikah sama pangeranku, tapi aku rela diduakan. Aku gak mau putus dari Mas Jordan, karena-----""Kalian benar-benar tak punya hati!" pekik Rita sambil tergugu. "Yang gak punya hati itu, Mbak! Mbak lah yang merebut Mas Jordan dariku! Kami berhubungan sejak lama, sebelum Mas Jordan kenal dengan Mbak Rita!" teriak Ristha tak mau kalah."RISTHA, DIAMLAH!" Jordan berteriak seketika membuat nyali Ristha menciut. Matanya mendadak berkaca-kaca."Mas, aku mengatakan hal yang sebenarnya. Kita, kita--""Aku tahu, kamu memang datang lebih dulu. Tapi istriku sekarang adalah Rita. Terlebih sekarang, sudah ada buah cintaku dengannya. Dia sedang hamil."Ristha shock mendengar penuturan Jordan, ia bahkan tak pernah menyangka kalau hal ini terjadi. "Apa? Mbak Rita hamil?""Ya, dan aku gak mungkin menin
[Maksudnya gimana, Mas][Nanti kau temani dia datang ke lokasiku saat ini][Kamu di mana, Mas?][Akan kukirim alamatnya menyusul. Aku akan telpon Rita dulu][Ya, baiklah.]Benar saja, usai bertukar pesan dengan sang istri. Reyhan langsung menelepon ke nomor adiknya.Dering ponsel membuat Rita terhenyak. Ia tersenyum tipis melihat nama yang tertera di ponsel."Hallo Mas Reyhan, ada apa? Tenang saja, kakak ipar aman di sini!" seru Rita menggodanya membuat Devi tersenyum."Iya, aku tahu," jawab Reyhan singkat."Terus?""Dek, kamu bisa gak datang ke sini? Minta Mbak Devimu buat nemenin.""Kemana, Mas? Emang ada masalah apa?""Datang saja ya, Dek. Aku gak bisa menjelaskannya di telepon.""Ya, baiklah.""Aku akan share lokasinya ya di WA.""Baik, Mas.""Ya udah nanti hati-hati di jalan.''Panggilan itupun terputus. "Mbak, apa mb
Seketika wajahnya shock dan menegang saat tau di hadapannya adalah .... "Ma, Mas Reyhan? Mas Reyhan kenapa bisa ada di sini?""Kenapa? Kaget ya?"Reyhan tersenyum sinis melihat kegugupan di wajah adik iparnya itu. Apalagi saat melihat ada seorang perempuan di balik selimut. Tanpa basa-basi Reyhan langsung memukul lelaki itu.Buuughht!! Suara pukulan Reyhan membuat Ristha menjerit."Dasar laki-laki brengs*k! jadi ini yang kau lakukan di belakang adikku hah?!""Mas, biarkan aku menjelaskannya dulu!""Jelaskan jelaskan apa, brengs*k! Semua yang kulihat sudah jelas!! Kau tega melakukan ini pada adikku!!"Buuughhtt!! Bugghhtt!! Pukulan-pukulan itu ia layangkan kembali di perut Jordan membuat lelaki itu terhuyung.Jordan berusaha bangkit, sedangkan Ristha yang ada di balik selimut segera membalut tubuhnya dengan selimut itu dan memungut bajunya yang tadi sempat dilepas, lalu berlari ke kamar mandi dan mengun