Ting!
Sebuah notifikasi masuk ke gawai Reno, notifikasi transferan dan chat dari istrinya.[Mas, aku sudah kirim ya 3 juta untuk kebutuhan makan sehari-hari kalian]Senyuman Reno berubah masam, melihat nominal yang dikirimkan oleh Devi.[Kok jatahnya berkurang, sayang? Biasanya kirim 7 juta] balas Reno.[Iya Mas, aku ada banyak keperluan disini]Reno berusaha menelepon, tapi Devi tak menyahut.Padahal biasanya, Devi mengirimkan uang 7 juta tiap bulan. Istrinya itu bilang, 3 juta untuk makan sehari-hari, 1 juta untuk keperluan tak terduga dan 3 juta lagi ditabung untuk pembangunan rumah. Tak sia-sia istrinya bekerja diluar negeri. Ia tak perlu susah payah lagi menjadi kuli panggul di pasar. Hanya okang-okang kaki di rumah. Menikmati jerih payah sang istri. Memang hidupnya sekarang sangat menyenangkan. Tidak seperti dulu lagi, yang harus kekurangan uang dan beras tiap hari.[Makasih ya sayang, kamu memang istri yang terbaik. Mmuach mmuach] --balas Reno disertai emoticon cium. Ia berpura-pura agar Devi tak curiga walau hati agak dongkol.Reno bersiul-siul santai, membuat orang-orang yang berada disekitarnya menoleh. Tak apalah 3 juta masih ada tabungan di rekening."Cieee, kayaknya habis dapat transferan nih dari Devi. Sini dong ibu bagi. Ibu mau beli gelang, buat dipamerin ke ibu-ibu kompleks. Habisnya mereka selalu mencibir ibu, menantu kerja di luar negeri, gak punya apa-apa. Padahal bulan kemarin ibu habis beli kalung sama cincin iya kan? Mereka aja yang gak percaya, bikin dongkol aja di hati."Reno menoleh sekilas ke arah ibunya, kemudian tersenyum malas. "Maaf Bu, tidak bisa.""Lho kenapa tidak bisa?""Devi hanya mengirimku ti--""Kalau kamu gak beliin, ibu akan laporkan semuanya pada Devi kalau kamu punya wanita lain!" ancam ibunya dengan raut wajah sinis. Padahal itu hanya gertakan saja."Iya-iya Bu, tenang dulu, nanti ya kalau aku ke ATM, aku kasih jatah buat ibu.""Makasih ya, Ren.""Aku juga dong, Mas. Pengen handphone baru. Handphone ini layarnya udah gak bagus nih, buram." Ristha, sang adik ikut merengek."Hmmm," jawab Reno malas.Laki-laki itu berjalan ke arah motor yang terparkir di halaman rumah ibunya. Motor itu baru dibelinya seminggu yang lalu, pakai uang tabungan Devi tentu saja.Ting![Mas, aku minta foto pembangunan rumah dong sampai dimana?]Reno terbelalak kaget saat melihat chat dari istrinya.'Tumben, tak biasanya Devi kepo dengan segala hal yang ada di rumah, kecuali menanyakan kabar Silvi,' gumam Reno dalam hatinya.[Iya, nanti ya sayang. Mas lagi ada di luar, nanti kalau dah sampai di rumah, aku fotoin][Ok]Reno tersenyum lagi, istrinya gampang sekali dibodohi. Devi memang benar-benar polos, mudah percaya sama orang sehingga mudah sekali dibohongi oleh orang-orang yang curang.Reno menoleh ke arah samping rumah ibunya. Sudah berdiri dengan kokoh rumah ber-cat hijau pupus itu. Meskipun bagian dalamnya masih bertembok bata. Ya, baru dibagian luar saja yang sudah halus dan dicat warna hijau, bagian dalam, belakangan saja.Reno memang sengaja membangun rumah diatas tanah orang tuanya, tak seperti permintaan dari sang istri, yang menghendaki membangun rumah di tanah kavling yang sudah ia beli waktu masih tahun pertama Devi jadi TKW di Taiwan.Tidak, itu tidak Reno lakukan. Tanah kavling itu justru dijual. Dan uangnya digunakan untuk membangun rumah di samping rumah ibu. Tentu saja ide itu tercetus dari sang ibu, katanya ngapain jauh-jauh bangun rumahnya disini saja masih luas. Reno membenarkan ucapan ibunya. Benar, Devi juga gak bakalan nolak kalau sudah jadi bangunan yang bagus.Ah tidak, lebih tepatnya itu trik dari Reno agar semua harta dari Devi jatuh ke tangannya. Devi istri penurut, tidak akan memberontak walaupun ia dimadu. Karena Reno paham, Devi bucin sekali padanya.Terbayang kembali wajah Sinta, calon istri mudanya. Wanita yang akan dia nikahi minggu depan. Tentu saja, uang lamaran dan uang mahar diambil dari tabungan Devi, toh Devi tidak tahu kan?Reno berboncengan dengan Sinta, makan di cafe langganannya."Hmmm, kayaknya habis dapat transferan nih," ucap Sinta. Ia tahu Reno sudah beristri, tapi dia mau saja menjadi istri mudanya. Asalkan kebutuhan dan keinginannya terpenuhi. Tak peduli uang itu dapatkan dari mana."Kamu tahu aja, sayang!" cetus Reno sembari menjapit hidung pesek Sinta."Hmmm maaas!" cebiknya lalu mereka tertawa bersama-sama."Mas pokoknya aku mau satu set perhiasan, gelang, cincin, kalung, anting!""Iya, sudah mas siapin untuk mas kawin kita nanti.""Bener?""Iya dong, kamu gak usah khawatir.""Kalau gitu aku mau uang, buat biaya ke salon, perawatan tubuh, wajah dan yang lain. Aku juga mau baju baru!""Iya sayang. Nanti kita ke belanja sepuasnya. Aku anterin kamu.""Beneran ya mas?""Iya."Selesai makan siang di kafe akhirnya mereka bertolak ke pusat perbelanjaan. Dengan antusias Sinta memilih baju-baju yang diinginkan. Usai memilih baju, gegas mereka menuju salon."Mas, kalau kita sudah menikah, kita akan tinggal dimana?" tanya Sinta seraya menggamit lengan Reno dengan manja."Rumahku lah sayang.""Rumah yang dibangun Devi?"Reno mengangguk."Kalau Devi pulang dan dia marah gimana?"Dah tenang aja, dia gak bisa berbuat apa-apa. Rumah itu kan dibangun diatas tanah ibu, dia gak bakalan berani macam-macam."Sinta tersenyum, melengkungkan bibir merah delimanya, membuat Reno gemas ingin mengecupnya.Reno baru pulang ke rumah malam hari. Lelaki itu mengantarkan Sinta terlebih dahulu ke rumahnya. Ia bahkan tak peduli dengan Silvi, anak gadisnya yang sekarang sudah berumur enam tahun. Ya, sejak usia Silvi satu tahun, dia ditinggal pergi ibunya merantau ke luar negeri menjadi pahlawan devisa. Tapi sehari-harinya Silvi seperti tak terurus, main sendiri dan lain sebagainya. Tubuhnya begitu kurus seolah tak ada perhatian dari orang tuanya. Tapi kalau istrinya menelepon, Reno selalu beralasan kalau Silvi tak mau makan, maunya main sendiri, ia memutarbalikkan fakta agar tak disalahkan kalau selama ini dia lalai menjaga anaknya sendiri.Saat ia tengah berbaring diatas springbed, seseorang meneleponnya. Nama Devi yang tertera di layar handphone. Tumben malam-malam Devi telepon? Apa tak dimarahi oleh majikannya?"Halo sayang, tumben malam-malam telepon?""Halo Mas, huhuhu ..." Suara tangis di seberang telepon membuat Reno makin bingung."Kamu kenapa, Devi? Kenapa nangis?""Mas tolong aku""Iya kamu kenapa?""Mas, aku ditangkap polisi""Hah? Apa? Kok bisa? Memangnya kamu melakukan kesalahan apa sampai ditangkap polisi.""Ceritanya panjang Mas, aku tak bisa ceritakan lewat telepon. Tolong aku sekarang, Mas!" rengeknya diseberang telepon."Bagaimana caranya aku menolongmu?""Tolong kirimi aku uang, Mas!""Apa?" Reno mulai bimbang, uang tabungan Devi sebenarnya akan dipakai untuk biaya pernikahannya dengan Sinta."Mas, kamu dengar aku? Tolong aku Mas! Ini darurat. Kalau aku ditangkap aku tak bisa bekerja lagi dan mengirimi kalian uang.""Berapa?""Lima puluh juta saja Mas, untuk jaminanku bebas.""Apaaa?" Reno makin shock mendengar nominal yang disebutkan oleh Devi. Tapi bila ia tak mentransfernya uang, bagaimana dengan nasib sang istri ke depannya? Batinnya mulai berperang antara setuju atau tidak."Mas, tolong aku. Huhuhu."Suara sirine di belakang Devi terdengar makin nyaring."Kalau 50 juta tidak ada. Ditabungan hanya sisa 30 juta. Kan uangnya sebagian udah dipakai untuk pembangunan rumah.""Tidak apa-apa Mas, seadanya. Yang penting ada jaminannya. Tolong aku Mas, aku mohon.""Baiklah aku akan transfer.""Tolong sekarang Mas, aku tak bisa menunggunya lagi.""Iya, iya. Tolong sabar sedikit.""Makasih Mas."Panggilan itu terputus. Jantung Reno berdetak kencang. Pikirannya berkecamuk, bagaimana ini? Uang di rekening tersisa 32 juta saja. Kalau ditransfer dia tak bisa menggelar pernikahan dengan Sinta dan juga memenuhi permintaan ibu. Tapi mendengar tangisan Devi, ia merasa tak tega. Benar juga ucapannya kalau dia sampai ditangkap siapa yang akan menghidupi keluarganya lagi untuk hari-hari selanjutnya?Beruntung ada kemudahan teknologi saat ini, transfer ke luar negeri begitu mudah, pakai mobile banking pun bisa. Ia mengetik sejumlah nominal yang akan dikirimkan.[Sayang, sudah aku transfer ya] Reno segera mengirimkan SMS ke nomor istrinya sembari menghela nafas panjangnya.Sementara di suatu tempat, Devi tengah tersenyum senang. Suara sirine yang berbunyi itu hanyalah rekaman."Aku tidak bodoh, Mas!"Part 2Reno mengacak-acak rambutnya dengan kesal. Uang di rekening hanya tersisa dua juta saja. Belum buat makan dan yang lainnya. Kemarin pun ia berbohong pada Sinta kalau satu set perhiasannya sudah siap. Lalu bagaimana? "Kamu kenapa pagi-pagi dah kayak orang stress?" tegur sang ibu.Reno hanya terdiam. Hatinya sungguh dibuat bingung."Reno?""Eh i-iya Bu," jawabnya gugup."Kamu kenapa sih? Kamu udah ambil uang kan? Sini ibu minta buat beli perhiasan.""Belum, Bu.""Kamu ini gimana sih?!"Tak menanggapi ucapan ibunya, Reno pergi begitu saja. Ia tak mau mendengar suara ibunya yang merepet tiada henti.Kepalanya terasa begitu cenat-cenut, karena semalam semenjak Reno mentransfer kembali uang Devi, istrinya itu tidak bisa dihubungi. Ponselnya tidak aktif. Apakah wanita itu baik-baik saja? Atau tetap ditangkap polisi?Haaaah! Ia mengembuskan nafas panjangnya, tak tahu kepada siapa dia harus bicara tentang keadaan Devi. Ibunya sendiri saja tak mau mengerti apalagi orang lain.Ia mengend
Part 3"Apaa? Dasar istri tidak berguna, bisanya nyusahin suami aja!!""Sudahlah Bu, selama ini kan Devi yang menjamin kebutuhan kita. Sekarang dia lagi ada masalah, kalau kita tidak membantunya siapa lagi? Lagian kalau dia ditangkap siapa yang akan mengirimi kita uang lagi?"Bu Witi terdiam, ia pun membenarkan ucapan anaknya."Bu, aku pinjam uangnya lima juta. Ibu ada kan?""Hah? Ibu gak punya. Uang aja kan kamu yang kasih.""Kalau gitu aku pinjam perhiasan ibu, mau aku jual dulu. Nanti kalau Devi udah transfer lagi aku ganti, Bu.""Perhiasan yang tadi pagi kamu kasih?""Oh jangan yang itu Bu, sayang masih baru, yang udah lama aja.""Tapi kan ...""Bu, Reno mohon Bu.""Ya sudah, tunggu disini. Ibu ambilkan dulu. Baru tadi pagi ibu lepas, sekarang mau kamu jual. Hmmmhh," gerutu ibu kesal. "Nanti kamu yang jual sendiri ya. Tapi janji, kalau Devi transfer kamu harus ganti!""Iya, iya Bu. Bawel!"Reno pergi ke toko Mas, menjual perhiasan ibunya. Beruntung totalnya empat juta delapan ratu
Part 4"Apa rencanamu?""Aku ingin sewa ruko buat memulai usahaku.""Wah, bagus dong. Kamu mau usaha apaan, Dev?""Pengennya sih salon rias pengantin. Aku memang belum punya perlengkapan yang banyak, tapi aku ingin mencobanya. Selama di luar negeri aku ikut kursus makeup dan ingin kusalurkan ketika pulang. Jadi ilmuku tidak sia-sia. Dan aku juga ingin punya penghasilan sendiri saat di Indonesia, tidak melulu harus pergi jadi TKW.""Wah, keren banget. Jadi sekarang kamu jago dandan dong. Nanti kalau aku nikah, kamu yang jadi MUA-nya ya!""Bereeeeess, siapa takut."Lalu keduanya tertawa tanpa ada beban. Sekian lama baru bertemu lagi, membuatnya ingin sekali melepas rindu, ngobrol santai dan mengingat masa sekolah yang seru dulu."Apa kamu tidak akan menggugat cerai suamimu itu?" tanya Rita dengan nada serius."Ya pasti aku akan menggugat cerai. Tapi itu nanti, aku masih belum puas untuk bermain-main dengannya. Aku ingin mengambil hakku kembali.""Jadi kau akan membuat dia dan keluargan
Part 5"Sayang?" pekik Devi, netranya berkaca-kaca, bertemu dengan putri kecilnya tak terduga seperti ini. Sudah lama ia tak melihatnya langsung, sesekali hanya melihatnya lewat foto. Reno, sang suami jarang sekali mau mengangkat panggilan videonya."Tante siapa?" tanya gadis kecil itu lugu. Sekian lama tak bertemu membuatnya kebingungan. Apalagi sekarang, Devi memutuskan untuk memakai jilbab."Ini ibu, Nak. Ini ibu," sahut Devi, tanpa kompromi lagi air matanya jatuh membasahi pipi."Ibu?" tanyanya sembari memperhatikan wajah Devi dengan seksama.Devi mengangguk dan langsung memeluk tubuh kecil itu ke dalam dekapannya. "Ibuuuu, aku kangen ibu ..." sahut Silvi, gadis kecil itu membalas pelukan ibunya dengan erat seakan tak mau lepas. Keduanya hanyut dalam rasa rindu yang begitu membuncah, mereka tumpahkan dalam tangis haru."Sayang, kamu kenapa ada disini?" tanya Devi sembari membelai rambut putrinya. "Ini kan jauh dari rumah. Kamu sama siapa? Sama bapak?" tanya Devi lagi.Silvi mengg
Part 6"Silviii ...! Silviiii ...!" teriak Reno memanggil putrinya. Ia berharap Silvi keluar dari persembunyiannya. Sudah hampir jam 9 malam, Silvi belum juga pulang. Reno sudah berkeliling ke gang-gang di desanya, tapi tak menemukan gadis kecil itu dimanapun."Aaaarrrgghh! Kalau Silvi gak ketemu bisa gawat! Devi bisa marah dan menuntutku," gerutu Reno. Ia masih berjalan dalam gelapnya malam, hanya lampu penerang jalan yang menerangi langkahnya.Para anak kecil sudah tak terlihat bermain di jalan lagi. Sepi. "Jangan-jangan Silvi diculik, Ren!" ucapan ibunya tadi membuatnya tak berhenti memikirkan Silvi. Segala kemungkinan bisa terjadi. "Aaarghhh!" teriaknya lagi sembari menendang batu kerikil di hadapannya. "Anak kecil menyusahkan saja!" Reno masih berjalan sembari matanya mencari keberadaan Silvi. Entah kenapa langkah kaki justru membawanya ke rumah Sinta. Tanpa dinyana, Sinta tengah berbincang dengan seorang pria di teras rumahnya. "Sin," sapa Reno, ia sedikit cemburu melihat Si
Part 7"Rita, Silvi kenapa bisa ada sama kamu? Aku harus hubungi Mas Reno kalau ternyata anaknya ada sama kamu!" ketus Sinta. Wanita itu mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi calon suaminya. Sementara Rita dan Silvi saling berpandangan. Jantung Rita berdebar-debar, takut kalau nanti Devi dan Sinta bertemu. Bisa gawat kalau rencana Devi tak bisa berjalan. Dengan mulus."Halo, Mas." Sinta tampak berbicara di telepon, ia berjalan menjauh dari keduanya. "Silvi, jangan bilang kalau kamu kesini sama ibumu juga ya, sayang. Kamu gak usah ngomong apa-apa sama mereka, biar Tante yang jelasin. Kamu mengerti kan?" bisik Rita di telinga Silvi.Gadis kecil itu mengangguk. Rita segera mengeluarkan handphone-nya agar Devi membaca dan lekas bersembunyi.[Dev, kamu sembunyi dulu biar aman. Ada Sinta disini. Masalah Silvi biar aku yang beresin]Sudah sepuluh menit, tapi pesan WhatsAppnya belum dibaca. Devi tengah sibuk memilih barang belanjaannya.[Ok] balas Devi. Ia tak menyangka dalam situasi sepe
Part 8Devi dan Rita tengah bersiap-siap, ia memakai kemeja formal. Tangan Devi sudah sibuk menari-nari diatas wajah Rita."Sempurna!" ucap Rita saat melihat hasil riasan sahabatnya itu. "Aku benar-benar seperti orang yang berbeda, amazing tanganmu itu, Dev! Dah macam MUA terkenal aja!""Hahaha bisa aja kamu.""Aku bakal promosi ke orang-orang kalau hasil riasanmu itu, oke banget," ucap Rita lagi sembari mengarahkan handphonenya untuk foto selfie. Kali ini dia menyamarkan penampilannya dengan berhijab."Ternyata aku cantik juga ya pakai jilbab.""Kamu memang cantik, Rita. Hatimu juga baik. Terima kasih karena kamu sudah membantuku.""Tentu saja, kita kan teman."Devi pun tengah melukis wajahnya sendiri, hingga membuat penampilannya berbeda. Ia sengaja menambahkan tanda lahir di bawah matanya sebelah kiri. Hijab pashmina berwarna pink membalut rambutnya, kemeja pink dan blazer warna hitam serta celana bahan warna hitam. Tak lupa sepatu pantofel warna hitam juga. Penampilannya saat ini
Part 9"Lebih baik kucel jadi pembantu, Pak. Dari pada kinclong tapi jadi benalu." "Tunggu-tunggu, kenapa suaramu mirip Devi ya?" tukas Reno. Lelaki itu berjalan mendekat. Ia melihat perempuan itu dari atas ke bawah."Benar, kamu ini mirip Devi. Postur tubuhmu, suaramu, atau jangan-jangan--""Maaf, Pak. Tolong jangan seperti ini, sikap anda membuat saya tidak nyaman," sahut Devi alias Aura sembari mundur beberapa langkah.Jantungnya berdegup kencang, takut jikalau dirinya ketahuan. Ia sudah menyusun rencana ini dengan matang, dirinya gak mau gagal lagi dan terperdaya oleh lelaki tak berhati ini. Rita pun ikut bingung bagaimana caranya agar Devi tak terpojok. "Maaf Pak, kami permisi dulu ya, pekerjaan kami masih banyak. Harus berkeliling menemui para calon investor yang lain," tukas Rita sembari menarik tangan Devi. Keduanya langsung berlalu masuk ke dalam mobil milik Reyhan.Reno hanya menatapnya tanpa berkedip, ia merasa wanita-wanita tadi seperti tak asing lagi baginya. Tapi siapa
Satu tahun kemudian .... Devi bangun lebih awal. Ia bersiap membuatkan sarapan dan susu untuk keponakannya yang masih berusia 4 bulan lebih. Bayi mungil perempuan yang diberi nama Mentari oleh Rita itu beberapa hari terakhir dititipkan dan tinggal bersamanya, karena Rita harus melakukan perjalanan dinas ke luar kota selama beberapa hari. Sebagai single parent dan mengalami ujian yang berat, Rita bekerja keras dengan menjadi wanita karir untuk dia dan juga putrinya. Devi dan Reyhan tak merasa keberatan mengasuh bayi lucu yang sedang aktif-aktifnya itu. Kebersamaan mereka justru lebih berwarna dengan kehadiran Mentari. Hari-hari biasanya pun, ketika Rita kerja, Mentari diasuh oleh baby sitter, tapi hampir setiap hari Devi datang menemui Mentari. Hanya saja pagi ini, Devi merasa ada yang berbeda dengan tubuhnya. Ada rasa mual yang tak biasa dan lelah yang sangat. Devi mencoba mengabaikannya, tetapi intuisi seorang wanita seringkali lebih tajam daripada yang lain. "Hueeek ... hueee
Reno duduk di kursi plastik biru di ruang tunggu Rumah Sakit Umum, meremas-remas ujung bajunya. Suara mesin ventilator dan dengung alat-alat medis mengiringi kegelisahannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang, tapi dia masih setia menemani ibunya yang tengah terbaring di ruang ICU. Di sampingnya, seorang dokter tengah memeriksa laporan medis. Sementara itu, perawat terus mondar-mandir membawa alat dan obat-obatan.“Ibu masih bisa sembuh, kan, Dok?” tanya Reno pelan, suaranya serak menahan kekhawatiran.Dokter menatap Reno dengan tatapan penuh empati. “Kami akan berusaha sebaik mungkin, Pak. Tetapi, kita harus bersiap untuk segala kemungkinan.”Reno hanya mengangguk. Kata-kata dokter itu bagai angin lalu, tidak terlalu ia cerna dengan baik. Pikirannya melayang-layang. "Maafkan aku, Ibu. Sungguh aku anak yang tidak berguna karena tak bisa melindungimu, Bu. Kenapa harus ibu yang menanggung semua ini," bisiknya sambil menggenggam tangan ibunya. Butiran bening sudah menitik di pipinya
Di sebuah rumah kecil, ibunda Reno duduk di kursi roda di ruang tamu yang redup. Wajahnya pucat, matanya berkaca-kaca, dan tangannya gemetar. Selembar surat terbuka di pangkuannya, dan isinya membuatnya tak percaya pada apa yang baru saja dia baca."Bagaimana mungkin?" gumamnya, suaranya hampir tidak terdengar di antara keheningan ruangan. Dia mengenang saat-saat indah bersama putrinya, Ristha, yang selalu menjadi anak kebanggaannya.Kenangan masa lalu membawanya pada waktu-waktu ketika Ristha masih kecil, ketika dia memeluknya erat-erat setiap kali dia pulang dari sekolah. Dia selalu bercerita tentang impian masa depannya, tentang bagaimana dia ingin menjadi seseorang yang sukses, memberi kebahagiaan pada ibunya.Namun, kini, semua itu terasa seperti mimpi buruk. Surat di pangkuannya memberitahu bahwa Ristha telah ditangkap karena kasus penipuan. Ibu merasa seolah-olah dunianya runtuh seketika.Pikirannya berkecamuk dengan pertanyaan yang tak terjawab. Apakah dia tidak mendidik Rist
Sore harinya, setelah pemeriksaan lengkap, akhirnya, Rita diperbolehkan pulang oleh dokter dan beristirahat di rumah. Reyhan datang menjemputnya. "Bagaimana kalau pulang ke rumah kami saja?" usul lelaki itu.Rita menggeleng pelan. "Aku ingin istirahat di rumah saja.""Bener kamu gak apa-apa ketemu laki-laki sialan itu?""Aku gak apa-apa, Mas."Reyhan menghela napas. "Ya sudah, kalau itu keinginanmu, tapi kamu harus istirahat yang cukup ya. Jangan diporsir, kamu kan masih dalam tahap pemulihan."Rita mengangguk pasrah.Mobil keluar dari lingkungan rumah sakit, dan pulang menuju rumah. Satu jam lebih waktu yang ditempuh untuk bisa sampai di rumah. Sepanjang jalan, Rita terdiam. Sesekali hanya melihat pemandangan dari jendela mobil. Semangat Rita segera terhenti ketika dia memasuki rumahnya yang sunyi. Suasana yang biasanya hangat dan penuh cinta sekarang terasa dingin dan hampa. ***
"Apa kalian yakin orangnya ada di dalam?""Iya, kami yakin, Pak. Dia gak mugkin kabur lewat belakang, Gak ada akses, pasti sekarang lagi sembunyi."Berkali-kali mereka mencoba bernegoisasi, tapi ternyata tak ada tanggapan apapun dari dalam.***Sementara itu ...Mendengar keributan di luar, Ristha terbangun. Ia mengerjapkan matanya pelan. "Ada apaan sih, ribut banget di luar, ganggu orang tidur aja!" gerutunya lirih. Ya, akibat stress sepanjang malam, dia bahkan telat bangun tidur. Wajahnya agak pucat dan matanya penuh kegelisahan. Entah kenapa, baru saja Ristha bangun dari tidurnya, namun ketegangan merasuk ke dalam setiap selnya. Dia tahu, mulai hari ini adalah hari yang takkan terlupakan baginya. Jordan pergi tanpa mau memberinya kabar lagi. Dan juga masalah lain ya ...."Heeeii buka pintunya dasar penipuuuu!!" teriak seseorang dari luar membuat Ristha berjingkat. Jantungnya berdegup lebih kencang.Ia bangki
Jordan mencoba memegang tangan Rita, tapi Rita menariknya kembali. Dia merasa seperti dunianya hancur berkeping-keping. Selama ini, dia telah memberikan segalanya untuk rumah tangganya, namun sekarang semuanya terasa sia-sia."Mohon Maafkan aku, Rita. Aku tahu aku tidak bisa menghapus kesalahan yang sudah kulakukan, tapi aku ingin memperbaikinya. Aku akan melakukan apa pun untuk memperbaiki hubungan kita," ucap Jordan."Aku ingin bertaubat, Rita. tolong berikan kesempatan untukku. Kau mau kan maafin aku? Aku janji akan mengakhiri semuanya."Rita masih terdiam, sungguh, dia memang terlanjur shock dengan apa yang terjadi dalam hidupnya saat ini. Dia merasa terjebak dalam keputusasaan, tidak tahu harus bagaimana lagi melanjutkan hidupnya. Di saat dia menemukan jodoh di usia yang cukup matang, tapi kenapa jodoh yang dikirimkan padanya justru orang seperti Jordan, orang yang punya hubungan spesial dengan gadis muda sebelumnya. "Maafkan aku,
Rita dan Devi ternganga mendengar pengakuan Ristha. Mereka benar-benar tak percaya."Meskipun hati aku sakit, ditinggal nikah sama pangeranku, tapi aku rela diduakan. Aku gak mau putus dari Mas Jordan, karena-----""Kalian benar-benar tak punya hati!" pekik Rita sambil tergugu. "Yang gak punya hati itu, Mbak! Mbak lah yang merebut Mas Jordan dariku! Kami berhubungan sejak lama, sebelum Mas Jordan kenal dengan Mbak Rita!" teriak Ristha tak mau kalah."RISTHA, DIAMLAH!" Jordan berteriak seketika membuat nyali Ristha menciut. Matanya mendadak berkaca-kaca."Mas, aku mengatakan hal yang sebenarnya. Kita, kita--""Aku tahu, kamu memang datang lebih dulu. Tapi istriku sekarang adalah Rita. Terlebih sekarang, sudah ada buah cintaku dengannya. Dia sedang hamil."Ristha shock mendengar penuturan Jordan, ia bahkan tak pernah menyangka kalau hal ini terjadi. "Apa? Mbak Rita hamil?""Ya, dan aku gak mungkin menin
[Maksudnya gimana, Mas][Nanti kau temani dia datang ke lokasiku saat ini][Kamu di mana, Mas?][Akan kukirim alamatnya menyusul. Aku akan telpon Rita dulu][Ya, baiklah.]Benar saja, usai bertukar pesan dengan sang istri. Reyhan langsung menelepon ke nomor adiknya.Dering ponsel membuat Rita terhenyak. Ia tersenyum tipis melihat nama yang tertera di ponsel."Hallo Mas Reyhan, ada apa? Tenang saja, kakak ipar aman di sini!" seru Rita menggodanya membuat Devi tersenyum."Iya, aku tahu," jawab Reyhan singkat."Terus?""Dek, kamu bisa gak datang ke sini? Minta Mbak Devimu buat nemenin.""Kemana, Mas? Emang ada masalah apa?""Datang saja ya, Dek. Aku gak bisa menjelaskannya di telepon.""Ya, baiklah.""Aku akan share lokasinya ya di WA.""Baik, Mas.""Ya udah nanti hati-hati di jalan.''Panggilan itupun terputus. "Mbak, apa mb
Seketika wajahnya shock dan menegang saat tau di hadapannya adalah .... "Ma, Mas Reyhan? Mas Reyhan kenapa bisa ada di sini?""Kenapa? Kaget ya?"Reyhan tersenyum sinis melihat kegugupan di wajah adik iparnya itu. Apalagi saat melihat ada seorang perempuan di balik selimut. Tanpa basa-basi Reyhan langsung memukul lelaki itu.Buuughht!! Suara pukulan Reyhan membuat Ristha menjerit."Dasar laki-laki brengs*k! jadi ini yang kau lakukan di belakang adikku hah?!""Mas, biarkan aku menjelaskannya dulu!""Jelaskan jelaskan apa, brengs*k! Semua yang kulihat sudah jelas!! Kau tega melakukan ini pada adikku!!"Buuughhtt!! Bugghhtt!! Pukulan-pukulan itu ia layangkan kembali di perut Jordan membuat lelaki itu terhuyung.Jordan berusaha bangkit, sedangkan Ristha yang ada di balik selimut segera membalut tubuhnya dengan selimut itu dan memungut bajunya yang tadi sempat dilepas, lalu berlari ke kamar mandi dan mengun