Aku yang tidak mengerti atas kepanikan ini hanya bisa terdiam, teriakan dari seorang pemuda itu juga aku tidak tahu maksudnya apa, dia berlari kesana kemari berkeliling kampung secara berkelompok, dia memberi peringatan kepada semua orang yang sedang beraktifitas di sore itu, semuanya terasa riuh, mereka dengan terburu-buru menyelamatkan dirinya dan masuk ke rumahnya masing-masing.
Aku baru kali ini melihat pemandangan seperti ini, pemandangan para warga yang berlarian ketika pertama kali aku pulang ke rumah, aku tidak tahu tentang apa yang terjadi saat ini. Yang aku tahu saat ini adalah aku sudah sampai ke Kampung Halimun dan aku akan segera pulang ke rumah.
Tik...
Tok...
Tik...
Tok...
Pukul 17:58 dan aku masih berdiri melihat para warga yang berlarian menuju rumahnya masing-masing, aku merasa heran atas perilaku warga sekarang, biasanya di jam segini para warga masih asyik berkumpul di depan rumah sembari mengobrol atau beraktifitas dengan warga lain, namun kali ini seketika berubah.
Brak... Brak.. Brak.. Suara pintu-pintu mulai tertutup satu persatu.
Dalam sekejap semua rumah tampak sepi. Terlihat kini Kampung Halimun tampak kosong, rumah-rumah terkunci rapat, tidak ada seorangpun yang berada diluar, suara pentungan dari beberapa pemuda yang berlarian juga kini tidak terdengar lagi. Kebingungan masih dirasakan olehku, karena sebelum aku dipenjara suasana kampung ketika magrib tidak seperti ini.
Namun baru saja aku berpikir seperti itu, tiba-tiba secara mengejutkan aku merasakan hawa yang kuat datang dan membuat tubuhku merinding, sebuah cahaya merah tiba-tiba muncul dari atas, menutupi bintang dan bulan yang akan muncul ketika malam tiba, cahaya merah redup yang menyinari Kampung Halimun.
Lalu perlahan-lahan kabut muncul, kabut di malam hari yang menutupi seluruh kampung, namun kali ini kabut yang seharusnya putih justru berwarna merah.
Aku bergidik melihat pemandangan tersebut, karena baru kali ini aku melihat kejadian yang seperti ini. Baru kali ini aku melihat kabut merah di Kampung Halimun, karena biasanya apabila Kampung Halimun tertutup kabut biasanya hanya kabut putih tipis yang menutupi keseluruhan kampung.
Aku hanya bisa terdiam, kakiku sangat berat untuk melangkah ke dalam kampung, aku hanya berdiri di depan gerbang kampung yang terbuat dari batu yang dibentuk sedemikian rupa, sebagai penanda bahwa itu adalah pintu masuk Kampung Halimun.
"Ini benar Kampung Halimun, tapi kenapa..... "
Trang
Trak
Trak
Trak
Trak
"Astaga apalagi ini? "
Aku tiba-tiba terkejut atas apa yang kulihat. Suara-suara retakan kini terdengar, suara-suara itu datangnya dari dalam kampung. Aku samar-samar melihat kampung yang tertutup kabut itu dari depan gerbang, namun aku seakan tidak percaya atas apa yang kulihat, Kampung yang selama ini aku lihat secara perlahan-lahan mulai berubah.
“Kenapa ini?” kataku seakan-akan aku tidak percaya dengan apa yang kulihat.
Trak
Trak
Trak
Aku secara spontan mundur beberapa langkah, tiba-tiba tanah yang ada di depanku tiba-tiba retak, retakan itu menjadi beberapa retakan kecil dan menjalar ke tengah kampung, tiba-tiba dari dalam retakan itu keluar asap.
“Uhhhh bau belerang," kataku sembari menutup hidungku dengan tanganku saat itu.
Aku sama sekali tidak percaya dengan apa yang kulihat, semua yang ada di depanku berubah, pohon-pohon yang ada di pekarangan rumah kini mendadak layu, daun-daun nya tiba-tiba terbakar dengan sendirinya menyisakan batang pohon yang mengering, lalu rumah-rumah yang ada di kampung itu pun perlahan-lahan terkelupas, dinding yang kokoh tersebut seketika terkelupas secara perlahan, lampu yang ada di halaman rumah tiba-tiba memancarkan warna yang berbeda, menjadi warna merah yang redup yang membuatnya semakin mengerikan, juga ditambah dinding yang terkelupas yang kini berubah berwarna merah darah yang menyeramkan.
Aku panik dengan apa yang kulihat, aku sempat berpikir sepertinya kabut tebal yang ada di dalam hutan itu membuatku tersesat, sehingga membuatku memasuki kampung bunian, kampung yang selama ini dipercaya oleh beberapa orang, terutama orang-orang yang tinggal di Jawa Barat. Sebuah kampung hantu yang biasanya muncul di tengah hutan ketika malam tiba, dan sepertinya aku salah memasuki kampung, karena Kampung Halimun tidak menyeramkan seperti ini.
Namun aku masih tidak mengerti, jembatan penghubung kampung, gerbang masuk kampung, hingga rumah-rumah yang aku lihat tadi sama persis dengan Kampung Halimun tempat di mana aku tinggal, bahkan orang-orang yang berkumpul di depan motor trail tadi, adalah teman-temanku sewaktu sekolah dulu.
“Kenapa Kampung Halimun, jadi seperti ini?”
Arghhh
Aku seketika merasakan pusing akibat memikirkan tentang kejadian ini terlalu jauh.
“Ini tidak benar, aku harus keluar dari kampung untuk sementara waktu,” Pikirku.
Aku mencoba berbalik, mencoba menjauhi kampung yang berubah menjadi sesuatu yang mengerikan di depan mataku. Dengan sedikit berlari, aku kembali turun ke arah jembatan, berusaha menyeberang kembali.
Trak
Trak
Trak
Trak
Trang
Kini suara retakan-retakan itu hilang, namun aku tidak ingin memasuki kampung terlebih dahulu sebelum mengetahui apa yang terjadi, aku lebih baik melintasi jembatan dan kembali ke hutan, mencoba berdiam diri di dalam hutan hingga pagi tiba, karena mungkin ketika pagi hari kampungnya akan kembali seperti semula, dan akan banyak warga kampung yang keluar untuk berdagang ataupun bekerja, sehingga aku bisa memastikan bahwa yang kulihat ini adalah Kampung Halimun atau bukan.
Drap drap drap.......
Aku terus-menerus berlari, hingga akhirnya aku sampai di jembatan yang menjadi perbatasan kampung dengan hutan.
Namun,
Aku seketika berhenti, karena jembatan itu mendadak tidak ada di sana, yang ada hanya ada jurang yang sangat dalam, yang menganga mengelilingi kampung. Jurang yang sangat luas, hingga aku tidak melihat ujung dari jurang itu. Di seberang pun tidak terlihat hutan yang aku lewati tadi.
"Bagaimana ini? Aku tidak mungkin kembali ke dalam kampung yang mengerikan itu tapi jika aku tetap di sini juga seperti nya tidak akan aman."
Aku hanya bisa terdiam melihat jurang itu, aku yakin, tadi ada jembatan di sini, namun semuanya hilang seketika. Pikiranku tiba-tiba buntu, aku tidak bisa kembali melintasi jembatan. Aku terjebak, aku semakin tidak mengerti tentang semua ini, kenapa tiba-tiba kampungku berubah menjadi seperti ini.
Aku yang sedang berpikir dalam keadaan panik tiba-tiba mendengar suara dari atas, seperti suara wanita yang sedang tertawa kepadaku, tertawa yang menyeramkan, dia seperti menertawakanku yang sedang kebingungan.
Hihihihi...
“Aya jelema anu masih diluar imah peuting ieu. (Ada manusia yang masih diluar rumah malam ini.)”
Aku seketika mengarahkan pandanganku ke atas, tepat disana ku kulihat wanita yang sedang duduk, wanita itu duduk dengan kaki yang menggantung di atas ranting-ranting pohon yang besar itu, dengan rambut yang menutupi wajahnya dia menatap tajam ke arahku yang ada di bawahnya. Hihihihihi.... Tercium aroma bunga melati yang menyeruak tetapi penampilannya tidak seindah wanginya dengan mulutnya seketika terbuka, dengan tertawa yang menyeramkan dia tertawa menertawakanku yang sedang panik di bawah sini. Giginya yang tajam sedikit terlihat dari sela-sela rambut yang terurai dari wajahnya, juga baju putih yang terlihat kotor dan lusuh, juga noda-noda darah merah yang sepertinya sudah mengering terlihat dari bajunya yang putih itu. “Itu kuntilanak kan?” pikirku. Aku mundur beberapa langkah, berusaha menjauh dari pohon di pinggir jurang tempat kuntilanak itu duduk dan menertawakanku malam itu. “Aya korban hiji deui. (Ada korban satu lagi.)” Hihihihihihihi Wussshh Tiba-tiba kuntilanak itu
"Awas itu kepalanya!!" "Geser geser ke kanan sedikit." "Pelan-pelan." Terdengar suara-suara di telingaku banyak sekali suara gaduh yang terdengar, suara dari orang-orang yang seperti sedang sibuk akan sesuatu, aku secara perlahan tersadar dan membuka mataku, terlihat di sana aku seperti sedang di gotong oleh para warga kampung yang berbondong-bondong membawaku dengan tandu yang dibuat secara darurat. “Bawa ke Puskesmas, awas minggir, ada orang yang selamat,” teriak seseorang yang sedang menanduku. Jari-jari tanganku mulai bisa digerakkan dan mataku mulai terbuka sedikit demi sedikit, terlihat cahaya matahari pagi kini menyinari tubuhku, aku menengok ke sebelah kiri dan terlihat rumah-rumah besar yang berjejer dengan mewahnya di kampung tersebut, juga beberapa motor trail yang terparkir berjejer di rumah-rumah tersebut, pemandangan ini adalah pemandangan yang tidak asing bagiku, karena apa yang kulihat ini adalah Kampung Halimun yang aku kenal. Tubuhku sangat lemas, aku belum bisa
Aku terdiam melihat Ibu menangis siang itu, kulihat orang-orang yang berlalu lalang kini tidak sesemangat seperti dahulu. Terlihat dari kepanikan wajah-wajah mereka yang seolah-olah menginginkan hal yang terjadi ini akan segera berakhir. “Ibu tidak tahu kapan persisnya Abdi,” kata Ibuku sembari memegang tanganku. “Ini dimulai sejak empat hari yang lalu, semuanya tampak normal, Ibu dan Bapakmu seperti biasa pergi ke ladang untuk berkebun dan memanen sayuran yang nantinya akan diberikan ke pengepul di jalan besar dekat hutan perbatasan.” Kulihat wajahnya Ibu tampak sedih ketika dia menceritakan tentang hal yang sebenarnya, aku yang masih belum mengerti tentang semua ini hanya bisa terdiam melihat Ibuku bercerita tentang apa yang dia ketahui selama ini. “Ibu tidak tahu bagaimana awalnya terjadi seperti ini, Ibu dan Bapak pulang dari kebun sore hari, dan melihat aktivitas kampung seperti biasa.” “Namun ketika magrib menjelang, tiba-tiba terdengar teriakan orang yang berada dari luar,
Waktu sudah beranjak siang di Kampung Halimun, sinar matahari menyinari Kampung Halimun, sinarnya dengan sangat terang. Juga angin hutan yang sejuk membuat hawa di Kampung Halimun sangat sejuk. Setelah beristirahat cukup dan makan sarapan yang dibuatkan ibu, aku pun mulai menyiapkan diri untuk mengungkap misteri hilangnya Bapak. Aku yang saat itu berdiam diri di kamar mengetahui tempat yang akan Bapak tuju sewaktu menghilang, dan akupun mencoba mencari tahu dengan menggambar peta sederhana di sebuah kertas untuk patokanku mencari Bapak. “Bu!” kataku. “Apabila aku belum pulang ketika sore tiba, kunci pintunya! Jangan menungguku! “ “Aku akan mencari tempat untuk berlindung di dekatku ketika sore tiba.” aku tersenyum kepada Ibu. Ibuku sempat melarang aku untuk berangkat kembali, karena belum satu hari dia bertemu anak satu-satunya. Namun dia akan kembali keluar untuk mencari Bapaknya yang sudah menghilang selama tiga hari ini. Namun aku meyakinkan Ibuku bahwa aku akan baik-baik saj
“Akhirnya aku menemukan pintu masuknya, tapi apa benar Bapak kesini?” Aku masih memikirkan tentang Bapak, Bapak yang bertubuh gemuk pasti akan kesulitan untuk melewati semak-semak ini. Apalagi pintu depan yang seharusnya dimasuki kini tertutup bilik bambu, sehingga aku harus memutar menyusuri dinding hingga sampai di belakang bangunan tersebut. Dan terlihat sebuah pintu belakang yang sudah rusak dan bisa dibuka sehingga aku bisa melangkahkan kakiku ke dalam. Baru kali ini aku melangkahkan kaki di bangunan ini, sedari kecil aku tidak diperbolehkan masuk ke dalam beberapa bangunan yang biasanya dipakai untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu di Kampung Halimun, salah satu nya bangunan ini. Ibu dan Bapak selalu menyuruhku untuk tidak memandangi bangunan ini terlalu lama ketika aku melintas di bangunan ini untuk ke sawah. Dan itu tidak berlaku untukku saja, namun itu juga berlaku untuk anak-anak kecil yang berada di Kampung Halimun. Mereka diingatkan oleh orang tuanya untuk tidak ber
Aku yang sudah tiga tahun berada di luar kampung kini merasakan kebingungan yang luar biasa, apalagi seumur hidupku aku baru pertama kali masuk ke bangunan ini. Namun, aku lebih merasa heran dengan kedua orang tadi yang mengobrol dengan santai bahkan gelagat mereka justru terlihat biasa saja, saat dimana orang lain sedang panik karena mereka tidak bisa keluar kampung dan terjebak disini entah sampai kapan. Aku pun akhirnya menuruni tangga tersebut secara perlahan. Aku sengaja memelankan suara langkahku karena aku takut diketahui oleh mereka berdua, karena aku merasa tempat yang akan mereka tuju mempunyai sesuatu yang disembunyikan yang tidak diketahui oleh warga. Dibawah tangga tersebut terdapat lorong yang sangat panjang, sebuah lorong yang terlihat seperti sebuah gua, seperti gua belanda dengan dinding yang sudah diberi semen sehingga dindingnya terlihat sangat mulus. Juga, ada beberapa lampu lima watt yang menyala di dalam lorong tersebut sehingga tidak menyulitkanku untuk meliha
“Berhentiii!” kata salah satu orang yang mengejarku pada saat itu. Beberapa orang yang ada di depannya mendadak berhenti, tepat ketika langkah kaki mereka akan melewati lorong gelap yang sudah aku lewati sebelumnya pada saat itu. “Sepertinya tidak mungkin lari ke sebelah sini, karena disini ada lorong gelap yang kita sendiri pun tidak tahu ujungnya seperti apa, karena lorong ini sudah ada dari zaman leluhur kita dulu. Kita harus waspada karena banyak sekali tempat yang bisa membahayakan kita di kampung ini.” “Lebih baik kita balik lagi ke belakang dan memberitahu bahwa orang yang menguping pembicaraan kita tidak lewat sini.” Beberapa orang yang mendengar ucapan itu akhirnya mengangguk, mereka akhirnya membalikan badannya dan berjalan kembali ke sebuah ruangan kecil tempat yang menjadi pintu keluar dari lorong ini. Tampak, beberapa orang yang lain sedang duduk dan berdiri sambil menyandarkan tubuhnya ke arah dinding di ruangan kecil tersebut. Mereka terlihat menunggu sambil menghis
“Arggghhhhh, dimana ini?” Mataku yang awalnya terpejam kini terbuka secara perlahan, tubuhku basah kuyup dengan beberapa luka memar yang aku rasakan sangat pedih ketika aku rasakan. Aku tergeletak tak berdaya dengan tubuhku yang menyentuh tanah yang berpasir pada saat itu, bahkan wajahku sendiri menyentuh pasir sehingga menempel di rambut dan di pipi sebelah kananku pada saat itu. Aku benar-benar tidak ingat ketika aku terjatuh dari lorong yang gelap itu, yang aku ingat hanyalah terjatuh dari atas dan aku baru tersadarkan sekarang dengan baju yang basah kuyup dan beberapa luka memar yang ada di sekitar tubuhku pada saat itu. Zraaaaaaas Aku mencoba mengangkat wajahku, dan aku melihat aliran air yang sangat deras seperti sungai mengalir di belakangku, sepertinya aku jatuh dan terbawa arus sungai bawah tanah hingga akhirnya aku sampai di tempat ini. Sebuah tempat yang sepertinya semacam gua yang gelap, namun kini gua tersebut berubah secara perlahan karena mungkin waktu sudah mulai
Pemandangan yang gelap gulita itu berubah ketika aku merasakan rasa hangat di sekujur tubuhku, rasa hangat yang secara perlahan-lahan muncul disertai dengan semilir angin dan suara kicauan burung yang semakin lama semakin jelas terdengar.Semakin lama pemandangan gelap itu menjadi terang kembali, ketika secara perlahan-lahan aku membuka mataku, dan melihat sinar matahari yang begitu terang dan menyilaukan mata muncul dari pepohonan yang sangat lebat.Apalagi, ketika aku melihat ke sekeliling tempat tersebut, aku melihat beberapa orang yang memakai pakaian lusuh dengan bambu besar yang dia gendong bersamaan dengan beberapa orang yang lainnya yang sedang berada di sekitarku.“Arggh, dimana ini?” kataku.Rupanya, apa yang aku katakan terdengar oleh beberapa orang itu, dan salah seorang dari mereka tiba-tiba berteriak dan memanggil teman-temannya yang berada tak jauh dari sana.“MANGGGGG, IEU JELEMANA GEUS SADAR MANG! (INI ORANGNYA DAH SADAR MANG!)”Dia memanggil beberapa orang dan mendek
Nyi Mas Andini kembali tersenyum, kedua tangannya dia silangkan di atas meja, seperti mengisyaratkan bahwa dirinyalah yang menjadi tuan rumah di tempat ini.“Namun, aku mempunyai suatu kekhawatiran, kekhawatiran atas sesuatu yang tidak aku perkirakan.”“Yaitu pengorbanan hidup bapakmu yang membuka semua gerbang ke tempat ini dari segala penjuru, sehingga makhluk-makhluk yang lebih kuat dariku masuk begitu saja ke tempat ini,” Ucapnya dengan nada yang tenang.“APAAAAA?”“JADI, BAPAK SU, SU, SUDAH MENINGGAL?” kataku dengan nada yang sangat kaget.Nyi Mas Andini hanya bisa mengangguk, dia meyakinkan ku bahwa dirinya berbuat suatu perjanjian kepada para makhluk itu, para makhluk yang kejam yang bisa mengambil alih hutan yang dia tinggali ketika mereka sudah terbebas dari tugasnya yang membelenggu selama ini.“Jadi, aku sekarang sudah tidak butuh kamu lagi, sudah tidak butuh warga Kampung Halimun lagi.”“Aku tidak peduli dengan kalian.”“Tapi dalam perjanjian itu, ada beberapa orang yang s
Sebuah ruangan yang terang tiba-tiba muncul, terang karena lilin-lilin yang menyala sebegitu banyaknya. Ruangan itu seperti sebuah rumah kayu yang entah berada dimana, rumah kayu yang terlihat klasik karena disertai dengan perabotan yang cantik dengan ukiran-ukiran yang khas di semua sudutnya.Aku sedang duduk disana, duduk di sebuah kursi kayu dengan sebuah meja yang penuh akan makanan yang sangat lezat dan menggugah selera.Ikan asin, ayam goreng, tempe goreng, nasi liwet panas yang masih berasap, juga beberapa sayuran seperti tumis pakis, tumis bayam, lalu ada juga sambal terasi dan lalapan seperti jengkol, pete, juga leunca sebagai tambahannya.Sebuah sajian khas dari masyarakat sunda yang paling enak menurutku.Namun, aku bingung, kenapa aku berada disini, kenapa aku tiba-tiba duduk dengan banyak sekali makanan yang ada tepat di depan mataku.Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku beberapa kali, bahkan menggosok-gosokan kedua mataku karena aku tidak percaya atas apa yang aku rasak
“Ke-kenapa ini?” “Tu-tu-tubuhku?” “Mu-mulutku?” “Kenapa bergerak sendiri?” Aku kebingungan, benar-benar heran melihat tubuhku yang diambil alih oleh sesuatu, aku tidak berbicara sekarang, pandanganku juga diatur oleh sesuatu yang menggerakan wajahku. Sepertinya, tanpa sadar, tubuhku diambil alih oleh sesosok wanita yang merupakan anak Pak Kades bernama Neng. Anak yang mayatnya aku temui di dalam gua dengan kondisi wajahnya yang hancur tak tersisa, mayat yang hidup dan berjalan ketika ada suara dan gerakan. Kali ini, jiwanya muncul dan masuk ke dalam tubuhku, karena dia berbicara panjang lebar dengan bapaknya yang ada disana. Sedangkan jiwa-jiwa yang lainnya… Deg Mataku yang digerakan oleh dirinya kini melihat jiwa-jiwa itu berada di antara Pak Kades dan Pak Emen. Mereka berdiri seperti kepulan asap yang tembus pandang. Dan jumlahnya pun bukan satu atau dua, namun banyak. Mereka yang berasal dari beberapa generasi di atasku, bahkan mungkin salah satu dari mereka adalah leluhur
Ritual Babad Raga, itulah yang kini dilakukan Pak Emen dengan Pak Kades sekarang. Ritual yang dulu dijalankan oleh bapak sebagai seseorang yang memimpin ritual setelah caranya diturunkan secara turun-temurun dari kakek dan kakek buyut.Namun, karena suatu hal bapak menghilang hingga saat ini. Sehingga Pak Emen yang awalnya membantu bapak memimpin ritual terakhir untuk menarik jiwaku agar dipersembahkan kepada NU MAHA AGUNG, yang saat ini sedang melayang-layang di sekitar mereka.Biasanya ada dua ritual yang harus dilakukan, yaitu ritual pemanggilan yang mengharuskan para manusia memotong sesajen berupa ayam cemani dan ikan mas, dan yang kedua adalah ritual penarikan yang kini sedang dilakukan oleh Pak Emen.Pak Emen terlihat dengan serius duduk tepat di depanku, kedua tangannya terlihat dirapatkan dan disimpan ke atas kepala seperti sedang menyembah sesuatu. Sebuah dupa panjang yang menyala terlihat menyelip di antara kedua tangan itu sehingga kepalanya terlihat berasap.Dia bergumam
“Pak Rudii, Pakkk!”Tampak seseorang yang sedang memakai helm proyek berwarna kuning memanggil seseorang yang ada di depan sebuah Gedung tinggi yang belum selesai, dia memakai helm berwarna biru dengan banyak sekali kertas-kertas yang dia bawa.Pak Rudi yang sedang sibuk membaca rancangan proyek yang ada disana hanya mengangkat tangannya ke arah orang tersebut, dia mengisyaratkan agar dirinya mendekat kepadanya.“Pak ini rancangan atas gedung setelah konstruksinya selesai, di dalamnya juga sudah ada penambahan saluran udara, juga rancangan saluran air dan AC Pak,” katanya sambil menyodorkan beberapa kertas yang digulung pada saat itu.Pak Rudi yang sedang sibuk membawa kertas lain di tangannya akhirnya mengambil kertas itu dan diselipkan di antara tangan dan tubuhnya.“Nanti akan aku baca sekaligus mengecek semua rancangan saluran udara, air dan AC ini ke dalam ya,” kata Pak Rudi yang tampak berwibawa.Orang itu pun mengangguk, dia akhirnya berlari kembali meninggalkan Pak Rudi dan ke
Kejadian yang terjadi di Kampung Halimun semakin membuat gempar, bahkan hal itu dirasakan oleh salah satu kampung yang letaknya paling dekat dengan Kampung Halimun, sebuah kampung yang bernama Bale Leutik yang tepat berada di sisi hutan selepas perbatasan dari hutan perbatasan yang menjadi penghubung Kabupaten Bandung dan Cianjur.Sebuah kampung yang sangat besar, karena dilalui oleh jalanan provinsi yang menghubungkan kedua kabupaten sehingga masih banyak orang yang berlalu lalang meskipun malam sudah semakin larut.Mereka merasakan bahwa pada malam ini, terasa sangat berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Hawa dingin pegunungan yang biasanya bisa mereka atasi dengan suhu tubuh mereka yang sudah beradaptasi dengan lingkungan sekitar, kini merasa kedinginan. Bahkan mereka melapis tubuh mereka dengan baju dalam dan jaket tebal serta sarung yang mereka kenakan.Apalagi, malam itu terdengar sangat gaduh, suara-suara dari hewan hutan yang tiba-tiba muncul dan berlarian seperti ketakutan o
Mataku benar-benar terbelalak, itu benar-benar Toni yang muncul di antara suara-suara yang sedang menggebrak pintu di tempat ini pada saat ini.Dia hanya berjalan sendirian dan tanpa ada ekspresi apapun pada saat itu. Sehingga membuat semua orang yang ada disana tiba-tiba terdiam dan menoleh ke arah Toni secara bersamaan. Bahkan, Maman yang dari tadi berlari dengan sekuat tenaga pun heran, karena yang muncul dari arah pintu bukanlah para makhluk yang meneror dirinya, melainkan seseorang yang dia kenal.“Bu, bukannya itu anak Pak Ayi?” kata Pak Emen yang tiba-tiba kaget ketika melihat Toni berjalan ke arah mereka.“Kenapa anaknya Pak Ayi berada disini?”Mereka yang berada disana terheran-heran atas apa yang terjadi kepada Toni pada saat itu. Mungkin saja seorang anak kecil yang tiba-tiba datang di hadapan mereka di tengah-tengah teror yang menakutkan yang mengelilingi mereka.Sontak, Para warga yang mengetahui bahwa anak itu adalah Toni, langsung mendekati Toni yang kini berdiri di dek
Teriakan, demi teriakan menggema di seluruh kampung. Mereka sekarang sudah tidak bisa membedakan lagi alam manusia dan alam gaib yang diliputi oleh kabut merah.Para warga yang seharusnya aman ketika bersembunyi di rumah-rumah mereka, kini tidak bisa kabur kemana-mana lagi. Karena para makhluk yang ada di dalam kabut tersebut sekarang bisa masuk ke dalam rumah-rumah warga dan mencabut nyawa mereka.Suasana tampak sangat kacau, suara berisik dan suara cekikikan terdengar di dalam kabut, bahkan anak-anak yang menangis, yang belum sempat hidup lama di kampung ini pun tak luput dari teror mereka.Parah makhluk yang sudah menunggu setelah beratus-ratus tahun lamanya, kini bisa berpesta pora. Meneror semua manusia yang ada di dalamnya, mencabut nyawa mereka satu persatu dengan cara yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya hingga kondisi mereka terlihat sangat mengenaskan.Terlihat, darah-darah merah merona muncul di antara dinding-dinding rumah, darah itu mengucur secara perlahan dari