"Awas itu kepalanya!!"
"Geser geser ke kanan sedikit."
"Pelan-pelan."
Terdengar suara-suara di telingaku banyak sekali suara gaduh yang terdengar, suara dari orang-orang yang seperti sedang sibuk akan sesuatu, aku secara perlahan tersadar dan membuka mataku, terlihat di sana aku seperti sedang di gotong oleh para warga kampung yang berbondong-bondong membawaku dengan tandu yang dibuat secara darurat.
“Bawa ke Puskesmas, awas minggir, ada orang yang selamat,” teriak seseorang yang sedang menanduku.
Jari-jari tanganku mulai bisa digerakkan dan mataku mulai terbuka sedikit demi sedikit, terlihat cahaya matahari pagi kini menyinari tubuhku, aku menengok ke sebelah kiri dan terlihat rumah-rumah besar yang berjejer dengan mewahnya di kampung tersebut, juga beberapa motor trail yang terparkir berjejer di rumah-rumah tersebut, pemandangan ini adalah pemandangan yang tidak asing bagiku, karena apa yang kulihat ini adalah Kampung Halimun yang aku kenal.
Tubuhku sangat lemas, aku belum bisa menggerakan badanku saat ini, namun aku masih bisa melihat dengan mataku bahwa benar ini adalah Kampung Halimun, namun kenapa Kampung Halimun berubah menjadi menyeramkan ketika malam tiba.
Banyak sekali yang aku pikirkan, namun aku tidak menemukan petunjuk apapun tentang hal itu, aku berpikir bahwa kemarin adalah mimpi, seperti mimpiku ketika tertidur di dalam truk, sesaat setelah aku keluar dari penjara.
“Kang, Kang!” Aku berusaha memanggil seseorang yang menanduku pagi itu.
Orang-orang yang menanduku tampak kaget ketika aku memanggil mereka, seketika mereka berhenti, karena mereka tahu bahwa aku sudah sadar.
“Aku mau dibawa kemana Kang?” tanyaku kepada mereka.
“Akang mau dibawa ke Puskesmas,”
Aku secara spontan menggelengkan kepala.
“Bawa aja aku ke rumah Ibu Saidah dari keluarga Wilaga Kang,” kata ku dengan nada yang lemas.
“Owh keluarga Wilaga, pantes aku baru kali melihatmu, tapi kenapa kamu bisa ke wilayah keluarga Mandala?” kata orang yang menanduku.
Aku hanya bisa menggelengkan kepala kembali, karena aku tidak tahu apa yang terjadi semalam, yang aku tahu aku berlari dan tiba dirumah besar dengan lambang keluarga Mandala yang ada di dalam rumah tersebut.
"Baiklah kita antar Akang ke rumah Bu Saidah," kata orang yang memandu ku.
"Terima kasih banyak Kang," Aku pun mencoba untuk bangun tetapi tubuhku masih sangat lemas tidak bisa bangun sama sekali.
"Akang, tidak perlu bangun. Sudah tiduran lagi aja tubuh Akang pasti masih lemas biar kita tandu Akang sampai sana," kata orang yang ikut mengantar.
Akhirnya orang-orang yang menanduku berbelok dan berjalan keluar dari Wilayah keluarga Mandala, menuju ke arah wilayah keluarga Wilaga yang letaknya tepat di depan pintu masuk kampung. Dengan beriringan mereka membawaku yang lemas tak berdaya menuju rumah, rumah yang sudah ku tinggalkan selama tiga tahun ini.
Namun terlihat dari kejauhan beberapa pasang mata yang melihatku, melihatku dari kejauhan tanpa sekalipun mendekat kepadaku, namun aku tidak peduli dengan hal itu, yang aku inginkan saat ini hanyalah pulang ke rumah bertemu keluarga ku dan menanyakan tentang apa yang terjadi kepada keluargaku.
Banyak sekali yang ingin aku tanyakan dari mulai kenapa mereka tidak menolongku sampai aku harus dipenjara, kenapa aku dibiarkan sendirian di penjara tanpa ada kabar dari keluarga juga kenapa kondisi kampung saat ini begitu aneh. Tapi itu semua hanya lah pertanyaan yang ada di benakku yang terpenting saat ini aku sangat merindukan kedua orang tuaku sampai-sampai aku tidak sabar ingin segera bertemu mereka.
***
Seseorang terlihat berlari dari kejauhan, seorang wanita paruh baya dengan wajah yang terlihat tidak asing, setelah sampai di depan tandu ternyata wanita ini merupakan Ibuku berlari menghampiriku yang sedang ditandu oleh beberapa orang dari keluarga Mandala.
"Astaga, ini Abdi kan? Kang ini bagaimana bisa di tandu begini?" Ibuku terdengar begitu khawatir.
"Tenang Bu, lebih baik kita baringkan dahulu Akangnya," kata orang yang mengantar.
"Ah, iya iya silakan bawa ke sebelah sini," Ibu langsung dengan sigap membukakan pintu juga merapikan kasur agar aku bisa nyaman saat dibaringkan.
Aku di gotong ke dalam kamar, kemudian Ibuku berterima kasih kepada orang-orang dari Mandala karena sudah mengantarkanku pulang.
"Terima kasih banyak Akang-akang ini sudah membantu mengantarkan anak saya,"
"Iya Bu, tidak masalah. Kami hanya merasa kasihan Akang ini pingsan di rumah salah satu warga kami. Rencananya kami akan bawa ke Puskesmas tapi Akang ini minta di antar ke rumah Ibu."
Ibu hanya mengangguk.
"Kalau begitu kami permisi ya Bu,"
"Muhun Kang, mangga. (Iya Kang, silakan.)."
Aku berbaring di dalam kamar yang sudah aku tinggalkan selama tiga tahun yang lalu. Kamar yang tidak sedikitpun berubah meskipun aku harus mendekam dipenjara dan tidak tidur di dalam kamar ini selama tiga tahun lamanya. Kondisi kamar ini masih sama dengan terakhir kali aku tinggalkannya, kasur dan furniture tidak ada yang bergeser dari tempatnya semula, bahan buku-bukuku pun masih lengkap berjejer di atas lemari.
"Abdi, badan kamu masih sakit ya? Ibu panggil tukang pijat ke sini ya," Ibu tampak khawatir dengan kondisi badanku.
"Tidak perlu Bu, sebentar lagi juga sembuh," Aku mencoba menenangkan Ibu.
Ibuku kemudian memanggil tukang pijat untuk memastikan keadaanku tidak apa-apa, namun aku menahanya, karena aku bilang aku tidak apa-apa, aku hanya shock aja dengan kejadian yang menurutku aneh ketika aku sampai di kampung ini.
"Bagaimana kabar Ibu?"
Aku mencoba menanyakan kabar Ibu, namun dia tiba-tiba meminta maaf sambil menangis dengan begitu tersedu-sedu kepadaku.
“Hiks... hiks... Abdi, Ibu rindu sekali tapi pertama-tama Ibu minta maaf, seharusnya kemarin di hari kepulanganmu, Ibu dengan Bapak seharusnya menjemputmu, namun Ibu tidak bisa, karena semua orang yang ada disini tidak bisa keluar kampung sekarang,” kata Ibu sembari menangis.
"Eh?"
Aku merasa aneh dengan semua ini, Kampung yang berubah menjadi menyeramkan, jembatan yang hilang, juga ucapan Ibu bahwa dia bilang dia tidak bisa keluar kampung.
Aku ingin bertanya tentang hal ini, namun belum sempat aku bertanya, Ibu kembali berkata.
“Seharusnya kamu tidak masuk kembali ke kampung ini Abdi, kampung ini menjadi kampung terkutuk, kampung yang tidak akan membiarkan siapapun untuk keluar dari kampung ini, sehingga kita semua terjebak, bahkan Bapak sudah tiga hari menghilang, dan belum kembali hingga saat ini hiks hiks....”
Ibu menangis tersedu-sedu, dia tidak henti-hentinya meminta maaf, dan dia mengharapkan aku untuk tidak kembali ke Kampung Halimun, semakin lama Ibu menangis, semakin banyak pertanyaan dalam pikiranku, aku tidak tahu harus darimana aku mulai bertanya, karena semuanya terjadi begitu cepat.
Kemudian Ibu memelukku pada saat itu, dia masih menangis tersedu-sedu, lalu aku pun mencoba menenangkan Ibu, sembari bertanya.
“Aku senang sekali bisa bertemu lagi dengan Ibu, Ibu tenang ya Bu. Masalah Bapak, aku akan mencarinya, namun aku butuh penjelasan yang logis tentang semua ini, karena aku tidak mengerti tentang apa yang saat ini terjadi di kampung ini?”
Aku berusaha menenangkan Ibu yang sedang memelukku saat itu.
“Aku janji, aku akan mencari Bapak, namun tolong kasih tahu apa yang terjadi disini, karena ini bukan seperti kampung yang aku kenal.”
Aku terdiam melihat Ibu menangis siang itu, kulihat orang-orang yang berlalu lalang kini tidak sesemangat seperti dahulu. Terlihat dari kepanikan wajah-wajah mereka yang seolah-olah menginginkan hal yang terjadi ini akan segera berakhir. “Ibu tidak tahu kapan persisnya Abdi,” kata Ibuku sembari memegang tanganku. “Ini dimulai sejak empat hari yang lalu, semuanya tampak normal, Ibu dan Bapakmu seperti biasa pergi ke ladang untuk berkebun dan memanen sayuran yang nantinya akan diberikan ke pengepul di jalan besar dekat hutan perbatasan.” Kulihat wajahnya Ibu tampak sedih ketika dia menceritakan tentang hal yang sebenarnya, aku yang masih belum mengerti tentang semua ini hanya bisa terdiam melihat Ibuku bercerita tentang apa yang dia ketahui selama ini. “Ibu tidak tahu bagaimana awalnya terjadi seperti ini, Ibu dan Bapak pulang dari kebun sore hari, dan melihat aktivitas kampung seperti biasa.” “Namun ketika magrib menjelang, tiba-tiba terdengar teriakan orang yang berada dari luar,
Waktu sudah beranjak siang di Kampung Halimun, sinar matahari menyinari Kampung Halimun, sinarnya dengan sangat terang. Juga angin hutan yang sejuk membuat hawa di Kampung Halimun sangat sejuk. Setelah beristirahat cukup dan makan sarapan yang dibuatkan ibu, aku pun mulai menyiapkan diri untuk mengungkap misteri hilangnya Bapak. Aku yang saat itu berdiam diri di kamar mengetahui tempat yang akan Bapak tuju sewaktu menghilang, dan akupun mencoba mencari tahu dengan menggambar peta sederhana di sebuah kertas untuk patokanku mencari Bapak. “Bu!” kataku. “Apabila aku belum pulang ketika sore tiba, kunci pintunya! Jangan menungguku! “ “Aku akan mencari tempat untuk berlindung di dekatku ketika sore tiba.” aku tersenyum kepada Ibu. Ibuku sempat melarang aku untuk berangkat kembali, karena belum satu hari dia bertemu anak satu-satunya. Namun dia akan kembali keluar untuk mencari Bapaknya yang sudah menghilang selama tiga hari ini. Namun aku meyakinkan Ibuku bahwa aku akan baik-baik saj
“Akhirnya aku menemukan pintu masuknya, tapi apa benar Bapak kesini?” Aku masih memikirkan tentang Bapak, Bapak yang bertubuh gemuk pasti akan kesulitan untuk melewati semak-semak ini. Apalagi pintu depan yang seharusnya dimasuki kini tertutup bilik bambu, sehingga aku harus memutar menyusuri dinding hingga sampai di belakang bangunan tersebut. Dan terlihat sebuah pintu belakang yang sudah rusak dan bisa dibuka sehingga aku bisa melangkahkan kakiku ke dalam. Baru kali ini aku melangkahkan kaki di bangunan ini, sedari kecil aku tidak diperbolehkan masuk ke dalam beberapa bangunan yang biasanya dipakai untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu di Kampung Halimun, salah satu nya bangunan ini. Ibu dan Bapak selalu menyuruhku untuk tidak memandangi bangunan ini terlalu lama ketika aku melintas di bangunan ini untuk ke sawah. Dan itu tidak berlaku untukku saja, namun itu juga berlaku untuk anak-anak kecil yang berada di Kampung Halimun. Mereka diingatkan oleh orang tuanya untuk tidak ber
Aku yang sudah tiga tahun berada di luar kampung kini merasakan kebingungan yang luar biasa, apalagi seumur hidupku aku baru pertama kali masuk ke bangunan ini. Namun, aku lebih merasa heran dengan kedua orang tadi yang mengobrol dengan santai bahkan gelagat mereka justru terlihat biasa saja, saat dimana orang lain sedang panik karena mereka tidak bisa keluar kampung dan terjebak disini entah sampai kapan. Aku pun akhirnya menuruni tangga tersebut secara perlahan. Aku sengaja memelankan suara langkahku karena aku takut diketahui oleh mereka berdua, karena aku merasa tempat yang akan mereka tuju mempunyai sesuatu yang disembunyikan yang tidak diketahui oleh warga. Dibawah tangga tersebut terdapat lorong yang sangat panjang, sebuah lorong yang terlihat seperti sebuah gua, seperti gua belanda dengan dinding yang sudah diberi semen sehingga dindingnya terlihat sangat mulus. Juga, ada beberapa lampu lima watt yang menyala di dalam lorong tersebut sehingga tidak menyulitkanku untuk meliha
“Berhentiii!” kata salah satu orang yang mengejarku pada saat itu. Beberapa orang yang ada di depannya mendadak berhenti, tepat ketika langkah kaki mereka akan melewati lorong gelap yang sudah aku lewati sebelumnya pada saat itu. “Sepertinya tidak mungkin lari ke sebelah sini, karena disini ada lorong gelap yang kita sendiri pun tidak tahu ujungnya seperti apa, karena lorong ini sudah ada dari zaman leluhur kita dulu. Kita harus waspada karena banyak sekali tempat yang bisa membahayakan kita di kampung ini.” “Lebih baik kita balik lagi ke belakang dan memberitahu bahwa orang yang menguping pembicaraan kita tidak lewat sini.” Beberapa orang yang mendengar ucapan itu akhirnya mengangguk, mereka akhirnya membalikan badannya dan berjalan kembali ke sebuah ruangan kecil tempat yang menjadi pintu keluar dari lorong ini. Tampak, beberapa orang yang lain sedang duduk dan berdiri sambil menyandarkan tubuhnya ke arah dinding di ruangan kecil tersebut. Mereka terlihat menunggu sambil menghis
“Arggghhhhh, dimana ini?” Mataku yang awalnya terpejam kini terbuka secara perlahan, tubuhku basah kuyup dengan beberapa luka memar yang aku rasakan sangat pedih ketika aku rasakan. Aku tergeletak tak berdaya dengan tubuhku yang menyentuh tanah yang berpasir pada saat itu, bahkan wajahku sendiri menyentuh pasir sehingga menempel di rambut dan di pipi sebelah kananku pada saat itu. Aku benar-benar tidak ingat ketika aku terjatuh dari lorong yang gelap itu, yang aku ingat hanyalah terjatuh dari atas dan aku baru tersadarkan sekarang dengan baju yang basah kuyup dan beberapa luka memar yang ada di sekitar tubuhku pada saat itu. Zraaaaaaas Aku mencoba mengangkat wajahku, dan aku melihat aliran air yang sangat deras seperti sungai mengalir di belakangku, sepertinya aku jatuh dan terbawa arus sungai bawah tanah hingga akhirnya aku sampai di tempat ini. Sebuah tempat yang sepertinya semacam gua yang gelap, namun kini gua tersebut berubah secara perlahan karena mungkin waktu sudah mulai
Siapa yang akan menyangka, di dalam sebuah lorong panjang dengan lebar sepanjang dua meter dengan dinding yang berwarna merah darah dan memancarkan cahaya redup di beberapa titik. Aku akan menemukan mayat-mayat yang berdiri menghalangiku dengan jumlah yang banyak. Mayat-mayat tersebut kondisinya sangat mengenaskan, sepertinya dia sudah berada disana dalam waktu yang lama, tinggal di lorong yang lembab dan menyeramkan ini. Namun, siapa yang membawa mayat-mayat itu kemari, mereka berdiri tidak beraturan menghadapku dengan tatapan yang kosong. Jujur, aku baru kali ini melihat pemandangan yang seperti ini, sudah cukup aku di kejar-kejar oleh para makhluk yang mengejarku ketika aku pertama kali pulang ke kampung ini, tapi itu tidak sebanding dengan pemandangan yang aku lihat sekarang. Karena mereka terlihat seperti mayat-mayat dari orang-orang yang sudah lama meninggal di kampung ini. Namun semuanya tidak bisa aku kenali karena wajah-wajah mereka terlihat hancur seperti ada benda keras
“Bentar-bentar! Kamu itu siapa?” Aku yang tidak tahu siapa yang menarikku pada saat itu langsung bertanya-tanya. Kenapa ada orang lain di tempat ini, disaat yang lain sedang bersembunyi di dalam rumah-rumah mereka ketika malam tiba. Juga, apa yang dia lakukan di tempat ini. Tempat yang penuh akan mayat wanita yang menyeramkan dengan wajahnya yang tampak hancur dan tidak bisa dikenali lagi. “Stttt!” Tiba-tiba dia melewatiku dan memerintahkanku untuk diam sejenak. Dia sedikit melihat ke arah lorong itu untuk melihat mayat-mayat yang berjalan dan mengejarku pada saat itu. “Kamu bisa diam terlebih dahulu tidak, jangan sampai kita diketahui oleh mereka!” “Lebih baik kita menyender terlebih dahulu di dinding, mencoba bersembunyi dari mayat-mayat itu agar kamu tidak tertangkap oleh mereka,” katanya sambil berbisik. Aku tidak terlalu mengerti kenapa aku dan dirinya harus bersembunyi dengan lumpur yang menutupi seluruh tubuhku pada saat itu. Namun karena situasinya sangatlah genting, seh
Pemandangan yang gelap gulita itu berubah ketika aku merasakan rasa hangat di sekujur tubuhku, rasa hangat yang secara perlahan-lahan muncul disertai dengan semilir angin dan suara kicauan burung yang semakin lama semakin jelas terdengar.Semakin lama pemandangan gelap itu menjadi terang kembali, ketika secara perlahan-lahan aku membuka mataku, dan melihat sinar matahari yang begitu terang dan menyilaukan mata muncul dari pepohonan yang sangat lebat.Apalagi, ketika aku melihat ke sekeliling tempat tersebut, aku melihat beberapa orang yang memakai pakaian lusuh dengan bambu besar yang dia gendong bersamaan dengan beberapa orang yang lainnya yang sedang berada di sekitarku.“Arggh, dimana ini?” kataku.Rupanya, apa yang aku katakan terdengar oleh beberapa orang itu, dan salah seorang dari mereka tiba-tiba berteriak dan memanggil teman-temannya yang berada tak jauh dari sana.“MANGGGGG, IEU JELEMANA GEUS SADAR MANG! (INI ORANGNYA DAH SADAR MANG!)”Dia memanggil beberapa orang dan mendek
Nyi Mas Andini kembali tersenyum, kedua tangannya dia silangkan di atas meja, seperti mengisyaratkan bahwa dirinyalah yang menjadi tuan rumah di tempat ini.“Namun, aku mempunyai suatu kekhawatiran, kekhawatiran atas sesuatu yang tidak aku perkirakan.”“Yaitu pengorbanan hidup bapakmu yang membuka semua gerbang ke tempat ini dari segala penjuru, sehingga makhluk-makhluk yang lebih kuat dariku masuk begitu saja ke tempat ini,” Ucapnya dengan nada yang tenang.“APAAAAA?”“JADI, BAPAK SU, SU, SUDAH MENINGGAL?” kataku dengan nada yang sangat kaget.Nyi Mas Andini hanya bisa mengangguk, dia meyakinkan ku bahwa dirinya berbuat suatu perjanjian kepada para makhluk itu, para makhluk yang kejam yang bisa mengambil alih hutan yang dia tinggali ketika mereka sudah terbebas dari tugasnya yang membelenggu selama ini.“Jadi, aku sekarang sudah tidak butuh kamu lagi, sudah tidak butuh warga Kampung Halimun lagi.”“Aku tidak peduli dengan kalian.”“Tapi dalam perjanjian itu, ada beberapa orang yang s
Sebuah ruangan yang terang tiba-tiba muncul, terang karena lilin-lilin yang menyala sebegitu banyaknya. Ruangan itu seperti sebuah rumah kayu yang entah berada dimana, rumah kayu yang terlihat klasik karena disertai dengan perabotan yang cantik dengan ukiran-ukiran yang khas di semua sudutnya.Aku sedang duduk disana, duduk di sebuah kursi kayu dengan sebuah meja yang penuh akan makanan yang sangat lezat dan menggugah selera.Ikan asin, ayam goreng, tempe goreng, nasi liwet panas yang masih berasap, juga beberapa sayuran seperti tumis pakis, tumis bayam, lalu ada juga sambal terasi dan lalapan seperti jengkol, pete, juga leunca sebagai tambahannya.Sebuah sajian khas dari masyarakat sunda yang paling enak menurutku.Namun, aku bingung, kenapa aku berada disini, kenapa aku tiba-tiba duduk dengan banyak sekali makanan yang ada tepat di depan mataku.Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku beberapa kali, bahkan menggosok-gosokan kedua mataku karena aku tidak percaya atas apa yang aku rasak
“Ke-kenapa ini?” “Tu-tu-tubuhku?” “Mu-mulutku?” “Kenapa bergerak sendiri?” Aku kebingungan, benar-benar heran melihat tubuhku yang diambil alih oleh sesuatu, aku tidak berbicara sekarang, pandanganku juga diatur oleh sesuatu yang menggerakan wajahku. Sepertinya, tanpa sadar, tubuhku diambil alih oleh sesosok wanita yang merupakan anak Pak Kades bernama Neng. Anak yang mayatnya aku temui di dalam gua dengan kondisi wajahnya yang hancur tak tersisa, mayat yang hidup dan berjalan ketika ada suara dan gerakan. Kali ini, jiwanya muncul dan masuk ke dalam tubuhku, karena dia berbicara panjang lebar dengan bapaknya yang ada disana. Sedangkan jiwa-jiwa yang lainnya… Deg Mataku yang digerakan oleh dirinya kini melihat jiwa-jiwa itu berada di antara Pak Kades dan Pak Emen. Mereka berdiri seperti kepulan asap yang tembus pandang. Dan jumlahnya pun bukan satu atau dua, namun banyak. Mereka yang berasal dari beberapa generasi di atasku, bahkan mungkin salah satu dari mereka adalah leluhur
Ritual Babad Raga, itulah yang kini dilakukan Pak Emen dengan Pak Kades sekarang. Ritual yang dulu dijalankan oleh bapak sebagai seseorang yang memimpin ritual setelah caranya diturunkan secara turun-temurun dari kakek dan kakek buyut.Namun, karena suatu hal bapak menghilang hingga saat ini. Sehingga Pak Emen yang awalnya membantu bapak memimpin ritual terakhir untuk menarik jiwaku agar dipersembahkan kepada NU MAHA AGUNG, yang saat ini sedang melayang-layang di sekitar mereka.Biasanya ada dua ritual yang harus dilakukan, yaitu ritual pemanggilan yang mengharuskan para manusia memotong sesajen berupa ayam cemani dan ikan mas, dan yang kedua adalah ritual penarikan yang kini sedang dilakukan oleh Pak Emen.Pak Emen terlihat dengan serius duduk tepat di depanku, kedua tangannya terlihat dirapatkan dan disimpan ke atas kepala seperti sedang menyembah sesuatu. Sebuah dupa panjang yang menyala terlihat menyelip di antara kedua tangan itu sehingga kepalanya terlihat berasap.Dia bergumam
“Pak Rudii, Pakkk!”Tampak seseorang yang sedang memakai helm proyek berwarna kuning memanggil seseorang yang ada di depan sebuah Gedung tinggi yang belum selesai, dia memakai helm berwarna biru dengan banyak sekali kertas-kertas yang dia bawa.Pak Rudi yang sedang sibuk membaca rancangan proyek yang ada disana hanya mengangkat tangannya ke arah orang tersebut, dia mengisyaratkan agar dirinya mendekat kepadanya.“Pak ini rancangan atas gedung setelah konstruksinya selesai, di dalamnya juga sudah ada penambahan saluran udara, juga rancangan saluran air dan AC Pak,” katanya sambil menyodorkan beberapa kertas yang digulung pada saat itu.Pak Rudi yang sedang sibuk membawa kertas lain di tangannya akhirnya mengambil kertas itu dan diselipkan di antara tangan dan tubuhnya.“Nanti akan aku baca sekaligus mengecek semua rancangan saluran udara, air dan AC ini ke dalam ya,” kata Pak Rudi yang tampak berwibawa.Orang itu pun mengangguk, dia akhirnya berlari kembali meninggalkan Pak Rudi dan ke
Kejadian yang terjadi di Kampung Halimun semakin membuat gempar, bahkan hal itu dirasakan oleh salah satu kampung yang letaknya paling dekat dengan Kampung Halimun, sebuah kampung yang bernama Bale Leutik yang tepat berada di sisi hutan selepas perbatasan dari hutan perbatasan yang menjadi penghubung Kabupaten Bandung dan Cianjur.Sebuah kampung yang sangat besar, karena dilalui oleh jalanan provinsi yang menghubungkan kedua kabupaten sehingga masih banyak orang yang berlalu lalang meskipun malam sudah semakin larut.Mereka merasakan bahwa pada malam ini, terasa sangat berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Hawa dingin pegunungan yang biasanya bisa mereka atasi dengan suhu tubuh mereka yang sudah beradaptasi dengan lingkungan sekitar, kini merasa kedinginan. Bahkan mereka melapis tubuh mereka dengan baju dalam dan jaket tebal serta sarung yang mereka kenakan.Apalagi, malam itu terdengar sangat gaduh, suara-suara dari hewan hutan yang tiba-tiba muncul dan berlarian seperti ketakutan o
Mataku benar-benar terbelalak, itu benar-benar Toni yang muncul di antara suara-suara yang sedang menggebrak pintu di tempat ini pada saat ini.Dia hanya berjalan sendirian dan tanpa ada ekspresi apapun pada saat itu. Sehingga membuat semua orang yang ada disana tiba-tiba terdiam dan menoleh ke arah Toni secara bersamaan. Bahkan, Maman yang dari tadi berlari dengan sekuat tenaga pun heran, karena yang muncul dari arah pintu bukanlah para makhluk yang meneror dirinya, melainkan seseorang yang dia kenal.“Bu, bukannya itu anak Pak Ayi?” kata Pak Emen yang tiba-tiba kaget ketika melihat Toni berjalan ke arah mereka.“Kenapa anaknya Pak Ayi berada disini?”Mereka yang berada disana terheran-heran atas apa yang terjadi kepada Toni pada saat itu. Mungkin saja seorang anak kecil yang tiba-tiba datang di hadapan mereka di tengah-tengah teror yang menakutkan yang mengelilingi mereka.Sontak, Para warga yang mengetahui bahwa anak itu adalah Toni, langsung mendekati Toni yang kini berdiri di dek
Teriakan, demi teriakan menggema di seluruh kampung. Mereka sekarang sudah tidak bisa membedakan lagi alam manusia dan alam gaib yang diliputi oleh kabut merah.Para warga yang seharusnya aman ketika bersembunyi di rumah-rumah mereka, kini tidak bisa kabur kemana-mana lagi. Karena para makhluk yang ada di dalam kabut tersebut sekarang bisa masuk ke dalam rumah-rumah warga dan mencabut nyawa mereka.Suasana tampak sangat kacau, suara berisik dan suara cekikikan terdengar di dalam kabut, bahkan anak-anak yang menangis, yang belum sempat hidup lama di kampung ini pun tak luput dari teror mereka.Parah makhluk yang sudah menunggu setelah beratus-ratus tahun lamanya, kini bisa berpesta pora. Meneror semua manusia yang ada di dalamnya, mencabut nyawa mereka satu persatu dengan cara yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya hingga kondisi mereka terlihat sangat mengenaskan.Terlihat, darah-darah merah merona muncul di antara dinding-dinding rumah, darah itu mengucur secara perlahan dari