Share

BAB 5 - BERTEMU

"Awas itu kepalanya!!"

"Geser geser ke kanan sedikit."

"Pelan-pelan."

Terdengar suara-suara di telingaku banyak sekali suara gaduh yang terdengar, suara dari orang-orang yang seperti sedang sibuk akan sesuatu, aku secara perlahan tersadar dan membuka mataku, terlihat di sana aku seperti sedang di gotong oleh para warga kampung yang berbondong-bondong membawaku dengan tandu yang dibuat secara darurat.

“Bawa ke Puskesmas, awas minggir, ada orang yang selamat,” teriak seseorang yang sedang menanduku.

Jari-jari tanganku mulai bisa digerakkan dan mataku mulai terbuka sedikit demi sedikit, terlihat cahaya matahari pagi kini menyinari tubuhku, aku menengok ke sebelah kiri dan terlihat rumah-rumah besar yang berjejer dengan mewahnya di kampung tersebut, juga beberapa motor trail yang terparkir berjejer di rumah-rumah tersebut, pemandangan ini adalah pemandangan yang tidak asing bagiku, karena apa yang kulihat ini adalah Kampung Halimun yang aku kenal.

Tubuhku sangat lemas, aku belum bisa menggerakan badanku saat ini, namun aku masih bisa melihat dengan mataku bahwa benar ini adalah Kampung Halimun, namun kenapa Kampung Halimun berubah menjadi menyeramkan ketika malam tiba.

Banyak sekali yang aku pikirkan, namun aku tidak menemukan petunjuk apapun tentang hal itu, aku berpikir bahwa kemarin adalah mimpi, seperti mimpiku ketika tertidur di dalam truk, sesaat setelah aku keluar dari penjara.

 “Kang, Kang!” Aku berusaha memanggil seseorang yang menanduku pagi itu.

Orang-orang yang menanduku tampak kaget ketika aku memanggil mereka, seketika mereka berhenti, karena mereka tahu bahwa aku sudah sadar.

“Aku mau dibawa kemana Kang?” tanyaku kepada mereka.

“Akang mau dibawa ke Puskesmas,”

Aku secara spontan menggelengkan kepala.

“Bawa aja aku ke rumah Ibu Saidah dari keluarga Wilaga Kang,” kata ku dengan nada yang lemas.

“Owh keluarga Wilaga, pantes aku baru kali melihatmu, tapi kenapa kamu bisa ke wilayah keluarga Mandala?” kata orang yang menanduku.

Aku hanya bisa menggelengkan kepala kembali, karena aku tidak tahu apa yang terjadi semalam, yang aku tahu aku berlari dan tiba dirumah besar dengan lambang keluarga Mandala yang ada di dalam rumah tersebut.

"Baiklah kita antar Akang ke rumah Bu Saidah," kata orang yang memandu ku.

"Terima kasih banyak Kang," Aku pun mencoba untuk bangun tetapi tubuhku masih sangat lemas tidak bisa bangun sama sekali.

"Akang, tidak perlu bangun. Sudah tiduran lagi aja tubuh Akang pasti masih lemas biar kita tandu Akang sampai sana," kata orang yang ikut mengantar.

Akhirnya orang-orang yang menanduku berbelok dan berjalan keluar dari Wilayah keluarga Mandala, menuju ke arah wilayah keluarga Wilaga yang letaknya tepat di depan pintu masuk kampung. Dengan beriringan mereka membawaku yang lemas tak berdaya menuju rumah, rumah yang sudah ku tinggalkan selama tiga tahun ini.

Namun terlihat dari kejauhan beberapa pasang mata yang melihatku, melihatku dari kejauhan tanpa sekalipun mendekat kepadaku, namun aku tidak peduli dengan hal itu, yang aku inginkan saat ini hanyalah pulang ke rumah bertemu keluarga ku dan menanyakan tentang apa yang terjadi kepada keluargaku.

Banyak sekali yang ingin aku tanyakan dari mulai kenapa mereka tidak menolongku sampai aku harus dipenjara, kenapa aku dibiarkan sendirian di penjara tanpa ada kabar dari keluarga juga kenapa kondisi kampung saat ini begitu aneh. Tapi itu semua hanya lah pertanyaan yang ada di benakku yang terpenting saat ini aku sangat merindukan kedua orang tuaku sampai-sampai aku tidak sabar ingin segera bertemu mereka.

***

Seseorang terlihat berlari dari kejauhan, seorang wanita paruh baya dengan wajah yang terlihat tidak asing, setelah sampai di depan tandu ternyata wanita ini merupakan Ibuku berlari menghampiriku yang sedang ditandu oleh beberapa orang dari keluarga Mandala.

"Astaga, ini Abdi kan? Kang ini bagaimana bisa di tandu begini?" Ibuku terdengar begitu khawatir.

"Tenang Bu, lebih baik kita baringkan dahulu Akangnya," kata orang yang mengantar.

"Ah, iya iya silakan bawa ke sebelah sini," Ibu langsung dengan sigap membukakan pintu juga merapikan kasur agar aku bisa nyaman saat dibaringkan.

Aku di gotong ke dalam kamar, kemudian Ibuku berterima kasih kepada orang-orang dari Mandala karena sudah mengantarkanku pulang.

"Terima kasih banyak Akang-akang ini sudah membantu mengantarkan anak saya,"

"Iya Bu, tidak masalah. Kami hanya merasa kasihan Akang ini pingsan di rumah salah satu warga kami. Rencananya kami akan bawa ke Puskesmas tapi Akang ini minta di antar ke rumah Ibu."

Ibu hanya mengangguk.

"Kalau begitu kami permisi ya Bu,"

"Muhun Kang, mangga. (Iya Kang, silakan.)."

Aku berbaring di dalam kamar yang sudah aku tinggalkan selama tiga tahun yang lalu. Kamar yang tidak sedikitpun berubah meskipun aku harus mendekam dipenjara dan tidak tidur di dalam kamar ini selama tiga tahun lamanya. Kondisi kamar ini masih sama dengan terakhir kali aku tinggalkannya, kasur dan furniture tidak ada yang bergeser dari tempatnya semula, bahan buku-bukuku pun masih lengkap berjejer di atas lemari.

"Abdi, badan kamu masih sakit ya? Ibu panggil tukang pijat ke sini ya," Ibu tampak khawatir dengan kondisi badanku.

"Tidak perlu Bu, sebentar lagi juga sembuh," Aku mencoba menenangkan Ibu.

Ibuku kemudian memanggil tukang pijat untuk memastikan keadaanku tidak apa-apa, namun aku menahanya, karena aku bilang aku tidak apa-apa, aku hanya shock aja dengan kejadian yang menurutku aneh ketika aku sampai di kampung ini.

"Bagaimana kabar Ibu?"

Aku mencoba menanyakan kabar Ibu, namun dia tiba-tiba meminta maaf sambil menangis dengan begitu tersedu-sedu kepadaku.

“Hiks... hiks... Abdi, Ibu rindu sekali tapi pertama-tama Ibu minta maaf, seharusnya kemarin di hari kepulanganmu, Ibu dengan Bapak seharusnya menjemputmu, namun Ibu tidak bisa, karena semua orang yang ada disini tidak bisa keluar kampung sekarang,” kata Ibu sembari menangis.

"Eh?"

Aku merasa aneh dengan semua ini, Kampung yang berubah menjadi menyeramkan, jembatan yang hilang, juga ucapan Ibu bahwa dia bilang dia tidak bisa keluar kampung.

Aku ingin bertanya tentang hal ini, namun belum sempat aku bertanya, Ibu kembali berkata.

“Seharusnya kamu tidak masuk kembali ke kampung ini Abdi, kampung ini menjadi kampung terkutuk, kampung yang tidak akan membiarkan siapapun untuk keluar dari kampung ini, sehingga kita semua terjebak, bahkan Bapak sudah tiga hari menghilang, dan belum kembali hingga saat ini hiks hiks....”

Ibu menangis tersedu-sedu, dia tidak henti-hentinya meminta maaf, dan dia mengharapkan aku untuk tidak kembali ke Kampung Halimun, semakin lama Ibu menangis, semakin banyak pertanyaan dalam pikiranku, aku tidak tahu harus darimana aku mulai bertanya, karena semuanya terjadi begitu cepat.

Kemudian Ibu memelukku pada saat itu, dia masih menangis tersedu-sedu, lalu aku pun mencoba menenangkan Ibu, sembari bertanya.

“Aku senang sekali bisa bertemu lagi dengan Ibu, Ibu tenang ya Bu. Masalah Bapak, aku akan mencarinya, namun aku butuh penjelasan yang logis tentang semua ini, karena aku tidak mengerti tentang apa yang saat ini terjadi di kampung ini?”

Aku berusaha menenangkan Ibu yang sedang memelukku saat itu.

“Aku janji, aku akan mencari Bapak, namun tolong kasih tahu apa yang terjadi disini, karena ini bukan seperti kampung yang aku kenal.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status