"Awas itu kepalanya!!"
"Geser geser ke kanan sedikit."
"Pelan-pelan."
Terdengar suara-suara di telingaku banyak sekali suara gaduh yang terdengar, suara dari orang-orang yang seperti sedang sibuk akan sesuatu, aku secara perlahan tersadar dan membuka mataku, terlihat di sana aku seperti sedang di gotong oleh para warga kampung yang berbondong-bondong membawaku dengan tandu yang dibuat secara darurat.
“Bawa ke Puskesmas, awas minggir, ada orang yang selamat,” teriak seseorang yang sedang menanduku.
Jari-jari tanganku mulai bisa digerakkan dan mataku mulai terbuka sedikit demi sedikit, terlihat cahaya matahari pagi kini menyinari tubuhku, aku menengok ke sebelah kiri dan terlihat rumah-rumah besar yang berjejer dengan mewahnya di kampung tersebut, juga beberapa motor trail yang terparkir berjejer di rumah-rumah tersebut, pemandangan ini adalah pemandangan yang tidak asing bagiku, karena apa yang kulihat ini adalah Kampung Halimun yang aku kenal.
Tubuhku sangat lemas, aku belum bisa menggerakan badanku saat ini, namun aku masih bisa melihat dengan mataku bahwa benar ini adalah Kampung Halimun, namun kenapa Kampung Halimun berubah menjadi menyeramkan ketika malam tiba.
Banyak sekali yang aku pikirkan, namun aku tidak menemukan petunjuk apapun tentang hal itu, aku berpikir bahwa kemarin adalah mimpi, seperti mimpiku ketika tertidur di dalam truk, sesaat setelah aku keluar dari penjara.
“Kang, Kang!” Aku berusaha memanggil seseorang yang menanduku pagi itu.
Orang-orang yang menanduku tampak kaget ketika aku memanggil mereka, seketika mereka berhenti, karena mereka tahu bahwa aku sudah sadar.
“Aku mau dibawa kemana Kang?” tanyaku kepada mereka.
“Akang mau dibawa ke Puskesmas,”
Aku secara spontan menggelengkan kepala.
“Bawa aja aku ke rumah Ibu Saidah dari keluarga Wilaga Kang,” kata ku dengan nada yang lemas.
“Owh keluarga Wilaga, pantes aku baru kali melihatmu, tapi kenapa kamu bisa ke wilayah keluarga Mandala?” kata orang yang menanduku.
Aku hanya bisa menggelengkan kepala kembali, karena aku tidak tahu apa yang terjadi semalam, yang aku tahu aku berlari dan tiba dirumah besar dengan lambang keluarga Mandala yang ada di dalam rumah tersebut.
"Baiklah kita antar Akang ke rumah Bu Saidah," kata orang yang memandu ku.
"Terima kasih banyak Kang," Aku pun mencoba untuk bangun tetapi tubuhku masih sangat lemas tidak bisa bangun sama sekali.
"Akang, tidak perlu bangun. Sudah tiduran lagi aja tubuh Akang pasti masih lemas biar kita tandu Akang sampai sana," kata orang yang ikut mengantar.
Akhirnya orang-orang yang menanduku berbelok dan berjalan keluar dari Wilayah keluarga Mandala, menuju ke arah wilayah keluarga Wilaga yang letaknya tepat di depan pintu masuk kampung. Dengan beriringan mereka membawaku yang lemas tak berdaya menuju rumah, rumah yang sudah ku tinggalkan selama tiga tahun ini.
Namun terlihat dari kejauhan beberapa pasang mata yang melihatku, melihatku dari kejauhan tanpa sekalipun mendekat kepadaku, namun aku tidak peduli dengan hal itu, yang aku inginkan saat ini hanyalah pulang ke rumah bertemu keluarga ku dan menanyakan tentang apa yang terjadi kepada keluargaku.
Banyak sekali yang ingin aku tanyakan dari mulai kenapa mereka tidak menolongku sampai aku harus dipenjara, kenapa aku dibiarkan sendirian di penjara tanpa ada kabar dari keluarga juga kenapa kondisi kampung saat ini begitu aneh. Tapi itu semua hanya lah pertanyaan yang ada di benakku yang terpenting saat ini aku sangat merindukan kedua orang tuaku sampai-sampai aku tidak sabar ingin segera bertemu mereka.
***
Seseorang terlihat berlari dari kejauhan, seorang wanita paruh baya dengan wajah yang terlihat tidak asing, setelah sampai di depan tandu ternyata wanita ini merupakan Ibuku berlari menghampiriku yang sedang ditandu oleh beberapa orang dari keluarga Mandala.
"Astaga, ini Abdi kan? Kang ini bagaimana bisa di tandu begini?" Ibuku terdengar begitu khawatir.
"Tenang Bu, lebih baik kita baringkan dahulu Akangnya," kata orang yang mengantar.
"Ah, iya iya silakan bawa ke sebelah sini," Ibu langsung dengan sigap membukakan pintu juga merapikan kasur agar aku bisa nyaman saat dibaringkan.
Aku di gotong ke dalam kamar, kemudian Ibuku berterima kasih kepada orang-orang dari Mandala karena sudah mengantarkanku pulang.
"Terima kasih banyak Akang-akang ini sudah membantu mengantarkan anak saya,"
"Iya Bu, tidak masalah. Kami hanya merasa kasihan Akang ini pingsan di rumah salah satu warga kami. Rencananya kami akan bawa ke Puskesmas tapi Akang ini minta di antar ke rumah Ibu."
Ibu hanya mengangguk.
"Kalau begitu kami permisi ya Bu,"
"Muhun Kang, mangga. (Iya Kang, silakan.)."
Aku berbaring di dalam kamar yang sudah aku tinggalkan selama tiga tahun yang lalu. Kamar yang tidak sedikitpun berubah meskipun aku harus mendekam dipenjara dan tidak tidur di dalam kamar ini selama tiga tahun lamanya. Kondisi kamar ini masih sama dengan terakhir kali aku tinggalkannya, kasur dan furniture tidak ada yang bergeser dari tempatnya semula, bahan buku-bukuku pun masih lengkap berjejer di atas lemari.
"Abdi, badan kamu masih sakit ya? Ibu panggil tukang pijat ke sini ya," Ibu tampak khawatir dengan kondisi badanku.
"Tidak perlu Bu, sebentar lagi juga sembuh," Aku mencoba menenangkan Ibu.
Ibuku kemudian memanggil tukang pijat untuk memastikan keadaanku tidak apa-apa, namun aku menahanya, karena aku bilang aku tidak apa-apa, aku hanya shock aja dengan kejadian yang menurutku aneh ketika aku sampai di kampung ini.
"Bagaimana kabar Ibu?"
Aku mencoba menanyakan kabar Ibu, namun dia tiba-tiba meminta maaf sambil menangis dengan begitu tersedu-sedu kepadaku.
“Hiks... hiks... Abdi, Ibu rindu sekali tapi pertama-tama Ibu minta maaf, seharusnya kemarin di hari kepulanganmu, Ibu dengan Bapak seharusnya menjemputmu, namun Ibu tidak bisa, karena semua orang yang ada disini tidak bisa keluar kampung sekarang,” kata Ibu sembari menangis.
"Eh?"
Aku merasa aneh dengan semua ini, Kampung yang berubah menjadi menyeramkan, jembatan yang hilang, juga ucapan Ibu bahwa dia bilang dia tidak bisa keluar kampung.
Aku ingin bertanya tentang hal ini, namun belum sempat aku bertanya, Ibu kembali berkata.
“Seharusnya kamu tidak masuk kembali ke kampung ini Abdi, kampung ini menjadi kampung terkutuk, kampung yang tidak akan membiarkan siapapun untuk keluar dari kampung ini, sehingga kita semua terjebak, bahkan Bapak sudah tiga hari menghilang, dan belum kembali hingga saat ini hiks hiks....”
Ibu menangis tersedu-sedu, dia tidak henti-hentinya meminta maaf, dan dia mengharapkan aku untuk tidak kembali ke Kampung Halimun, semakin lama Ibu menangis, semakin banyak pertanyaan dalam pikiranku, aku tidak tahu harus darimana aku mulai bertanya, karena semuanya terjadi begitu cepat.
Kemudian Ibu memelukku pada saat itu, dia masih menangis tersedu-sedu, lalu aku pun mencoba menenangkan Ibu, sembari bertanya.
“Aku senang sekali bisa bertemu lagi dengan Ibu, Ibu tenang ya Bu. Masalah Bapak, aku akan mencarinya, namun aku butuh penjelasan yang logis tentang semua ini, karena aku tidak mengerti tentang apa yang saat ini terjadi di kampung ini?”
Aku berusaha menenangkan Ibu yang sedang memelukku saat itu.
“Aku janji, aku akan mencari Bapak, namun tolong kasih tahu apa yang terjadi disini, karena ini bukan seperti kampung yang aku kenal.”
Aku terdiam melihat Ibu menangis siang itu, kulihat orang-orang yang berlalu lalang kini tidak sesemangat seperti dahulu. Terlihat dari kepanikan wajah-wajah mereka yang seolah-olah menginginkan hal yang terjadi ini akan segera berakhir. “Ibu tidak tahu kapan persisnya Abdi,” kata Ibuku sembari memegang tanganku. “Ini dimulai sejak empat hari yang lalu, semuanya tampak normal, Ibu dan Bapakmu seperti biasa pergi ke ladang untuk berkebun dan memanen sayuran yang nantinya akan diberikan ke pengepul di jalan besar dekat hutan perbatasan.” Kulihat wajahnya Ibu tampak sedih ketika dia menceritakan tentang hal yang sebenarnya, aku yang masih belum mengerti tentang semua ini hanya bisa terdiam melihat Ibuku bercerita tentang apa yang dia ketahui selama ini. “Ibu tidak tahu bagaimana awalnya terjadi seperti ini, Ibu dan Bapak pulang dari kebun sore hari, dan melihat aktivitas kampung seperti biasa.” “Namun ketika magrib menjelang, tiba-tiba terdengar teriakan orang yang berada dari luar,
Waktu sudah beranjak siang di Kampung Halimun, sinar matahari menyinari Kampung Halimun, sinarnya dengan sangat terang. Juga angin hutan yang sejuk membuat hawa di Kampung Halimun sangat sejuk. Setelah beristirahat cukup dan makan sarapan yang dibuatkan ibu, aku pun mulai menyiapkan diri untuk mengungkap misteri hilangnya Bapak. Aku yang saat itu berdiam diri di kamar mengetahui tempat yang akan Bapak tuju sewaktu menghilang, dan akupun mencoba mencari tahu dengan menggambar peta sederhana di sebuah kertas untuk patokanku mencari Bapak. “Bu!” kataku. “Apabila aku belum pulang ketika sore tiba, kunci pintunya! Jangan menungguku! “ “Aku akan mencari tempat untuk berlindung di dekatku ketika sore tiba.” aku tersenyum kepada Ibu. Ibuku sempat melarang aku untuk berangkat kembali, karena belum satu hari dia bertemu anak satu-satunya. Namun dia akan kembali keluar untuk mencari Bapaknya yang sudah menghilang selama tiga hari ini. Namun aku meyakinkan Ibuku bahwa aku akan baik-baik saj
“Akhirnya aku menemukan pintu masuknya, tapi apa benar Bapak kesini?” Aku masih memikirkan tentang Bapak, Bapak yang bertubuh gemuk pasti akan kesulitan untuk melewati semak-semak ini. Apalagi pintu depan yang seharusnya dimasuki kini tertutup bilik bambu, sehingga aku harus memutar menyusuri dinding hingga sampai di belakang bangunan tersebut. Dan terlihat sebuah pintu belakang yang sudah rusak dan bisa dibuka sehingga aku bisa melangkahkan kakiku ke dalam. Baru kali ini aku melangkahkan kaki di bangunan ini, sedari kecil aku tidak diperbolehkan masuk ke dalam beberapa bangunan yang biasanya dipakai untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu di Kampung Halimun, salah satu nya bangunan ini. Ibu dan Bapak selalu menyuruhku untuk tidak memandangi bangunan ini terlalu lama ketika aku melintas di bangunan ini untuk ke sawah. Dan itu tidak berlaku untukku saja, namun itu juga berlaku untuk anak-anak kecil yang berada di Kampung Halimun. Mereka diingatkan oleh orang tuanya untuk tidak ber
Aku yang sudah tiga tahun berada di luar kampung kini merasakan kebingungan yang luar biasa, apalagi seumur hidupku aku baru pertama kali masuk ke bangunan ini. Namun, aku lebih merasa heran dengan kedua orang tadi yang mengobrol dengan santai bahkan gelagat mereka justru terlihat biasa saja, saat dimana orang lain sedang panik karena mereka tidak bisa keluar kampung dan terjebak disini entah sampai kapan. Aku pun akhirnya menuruni tangga tersebut secara perlahan. Aku sengaja memelankan suara langkahku karena aku takut diketahui oleh mereka berdua, karena aku merasa tempat yang akan mereka tuju mempunyai sesuatu yang disembunyikan yang tidak diketahui oleh warga. Dibawah tangga tersebut terdapat lorong yang sangat panjang, sebuah lorong yang terlihat seperti sebuah gua, seperti gua belanda dengan dinding yang sudah diberi semen sehingga dindingnya terlihat sangat mulus. Juga, ada beberapa lampu lima watt yang menyala di dalam lorong tersebut sehingga tidak menyulitkanku untuk meliha
“Berhentiii!” kata salah satu orang yang mengejarku pada saat itu. Beberapa orang yang ada di depannya mendadak berhenti, tepat ketika langkah kaki mereka akan melewati lorong gelap yang sudah aku lewati sebelumnya pada saat itu. “Sepertinya tidak mungkin lari ke sebelah sini, karena disini ada lorong gelap yang kita sendiri pun tidak tahu ujungnya seperti apa, karena lorong ini sudah ada dari zaman leluhur kita dulu. Kita harus waspada karena banyak sekali tempat yang bisa membahayakan kita di kampung ini.” “Lebih baik kita balik lagi ke belakang dan memberitahu bahwa orang yang menguping pembicaraan kita tidak lewat sini.” Beberapa orang yang mendengar ucapan itu akhirnya mengangguk, mereka akhirnya membalikan badannya dan berjalan kembali ke sebuah ruangan kecil tempat yang menjadi pintu keluar dari lorong ini. Tampak, beberapa orang yang lain sedang duduk dan berdiri sambil menyandarkan tubuhnya ke arah dinding di ruangan kecil tersebut. Mereka terlihat menunggu sambil menghis
“Arggghhhhh, dimana ini?” Mataku yang awalnya terpejam kini terbuka secara perlahan, tubuhku basah kuyup dengan beberapa luka memar yang aku rasakan sangat pedih ketika aku rasakan. Aku tergeletak tak berdaya dengan tubuhku yang menyentuh tanah yang berpasir pada saat itu, bahkan wajahku sendiri menyentuh pasir sehingga menempel di rambut dan di pipi sebelah kananku pada saat itu. Aku benar-benar tidak ingat ketika aku terjatuh dari lorong yang gelap itu, yang aku ingat hanyalah terjatuh dari atas dan aku baru tersadarkan sekarang dengan baju yang basah kuyup dan beberapa luka memar yang ada di sekitar tubuhku pada saat itu. Zraaaaaaas Aku mencoba mengangkat wajahku, dan aku melihat aliran air yang sangat deras seperti sungai mengalir di belakangku, sepertinya aku jatuh dan terbawa arus sungai bawah tanah hingga akhirnya aku sampai di tempat ini. Sebuah tempat yang sepertinya semacam gua yang gelap, namun kini gua tersebut berubah secara perlahan karena mungkin waktu sudah mulai
Siapa yang akan menyangka, di dalam sebuah lorong panjang dengan lebar sepanjang dua meter dengan dinding yang berwarna merah darah dan memancarkan cahaya redup di beberapa titik. Aku akan menemukan mayat-mayat yang berdiri menghalangiku dengan jumlah yang banyak. Mayat-mayat tersebut kondisinya sangat mengenaskan, sepertinya dia sudah berada disana dalam waktu yang lama, tinggal di lorong yang lembab dan menyeramkan ini. Namun, siapa yang membawa mayat-mayat itu kemari, mereka berdiri tidak beraturan menghadapku dengan tatapan yang kosong. Jujur, aku baru kali ini melihat pemandangan yang seperti ini, sudah cukup aku di kejar-kejar oleh para makhluk yang mengejarku ketika aku pertama kali pulang ke kampung ini, tapi itu tidak sebanding dengan pemandangan yang aku lihat sekarang. Karena mereka terlihat seperti mayat-mayat dari orang-orang yang sudah lama meninggal di kampung ini. Namun semuanya tidak bisa aku kenali karena wajah-wajah mereka terlihat hancur seperti ada benda keras
“Bentar-bentar! Kamu itu siapa?” Aku yang tidak tahu siapa yang menarikku pada saat itu langsung bertanya-tanya. Kenapa ada orang lain di tempat ini, disaat yang lain sedang bersembunyi di dalam rumah-rumah mereka ketika malam tiba. Juga, apa yang dia lakukan di tempat ini. Tempat yang penuh akan mayat wanita yang menyeramkan dengan wajahnya yang tampak hancur dan tidak bisa dikenali lagi. “Stttt!” Tiba-tiba dia melewatiku dan memerintahkanku untuk diam sejenak. Dia sedikit melihat ke arah lorong itu untuk melihat mayat-mayat yang berjalan dan mengejarku pada saat itu. “Kamu bisa diam terlebih dahulu tidak, jangan sampai kita diketahui oleh mereka!” “Lebih baik kita menyender terlebih dahulu di dinding, mencoba bersembunyi dari mayat-mayat itu agar kamu tidak tertangkap oleh mereka,” katanya sambil berbisik. Aku tidak terlalu mengerti kenapa aku dan dirinya harus bersembunyi dengan lumpur yang menutupi seluruh tubuhku pada saat itu. Namun karena situasinya sangatlah genting, seh