Vote dan komen cerita ini ya terima kasih
Suasana yang menegangkan itu akhirnya telah usai, lebih dari setengah jam aku kini berada di dalam celah kecil itu bersama seseorang yang menolongku pada saat itu, beberapa kali orang itu menengok ke arah lorong, memastikan bahwa semuanya aman dan tidak ada lagi para mayat yang tertinggal di belakang.“Sepertinya sudah aman, ayo kita segera keluar dari tempat ini!” katanya sambil menarikku.“Bentar, bentar! Aku belum tahu siapa kamu?”“Bisa saja kamu adalah salah satu orang yang ada di belakang pintuuuuu….”Tiba-tiba, aku langsung menutup mulutku. Aku takut dia adalah orang yang sama dengan sekelompok orang yang ada di lorong di bawah bangunan yang tadi aku masuki pada siang hari.Namun, raut wajahnya yang tertutup oleh lumpur merasa heran, dia seperti tidak tahu lorong apa yang aku bicarakan pada saat itu.“Pintu?” katanya dengan sangat heran.“Pintu mana? Disini gak ada pintu, adanya sebuah lubang gua kecil di deket wilayah keluargaku, dan aku dipercaya untuk membetulkan pipa yang b
Kampung Halimun, seperti namanya yang berarti kampung kabut. Yang berarti kampung ini sering tertutup kabut di waktu-waktu tertentu, kabut yang membuat pandangan kita menjadi terbatas bahkan disertai oleh hujan dari kabut yang tebal yang membuat hawa di sekitarnya semakin dingin. Suasana kabut yang datang dan pergi ini adalah hal yang biasa bagiku juga bagi para warga Kampung Halimun yang terdiri dari tiga keluarga besar yang membentuk sebuah wilayah masing-masing yang berkembang selama ratusan tahun. Karena kabut tersebut adalah keberkahan tersendiri bagi kita semua, dan beberapa orang percaya bahwa kabut itu bisa menutupi kampung yang selama ini menutup diri dari dunia luar, karena para warga kampung sendiri yakin mereka bisa hidup mandiri tanpa adanya bantuan dari luar, dan terbukti selama ratusan tahun kita hidup makmur hidup di tempat ini. Rumah-rumah yang berjajar dengan mewahnya, kendaraan-kendaraan seperti motor-motor trail yang bisa melibas hutan hingga ke jalan provinsi ya
Di dalam lemari yang sempit itu, seorang anak yang ikut terjebak di dalam Kampung Halimun ini ketika malam tiba, dia harus melihat sesuatu yang mengerikan di depan matanya.Matanya tak kuasa menahan kengerian yang mendalam ketika atap dari ruangan itu tiba-tiba berlubang, bersamaan dengan munculnya salah satu makhluk yang sangat besar yang muncul dan menangkap bapaknya yang sedang berjaga di ruangan tersebut untuk menjaganya.Dia berusaha tegar, meskipun hatinya ingin sekali berteriak ketika melihat makhluk tersebut muncul dan membawa bapaknya entah kemana.Dia hanya bisa merasakan tubuhnya berkeringat dingin dengan mata yang terbelalak, juga kedua tangannya yang menutupi mulutnya ketika sang bapak hanya tersenyum dan mengangkat salah satu tangannya ke arah mulutnya untuk membuat dirinya tetap diam di dalam sana.Suatu kejadian yang mungkin saja membuat dirinya trauma, apalagi kini dia hanya sendirian di dalam lemari itu di tengah malam. Tanpa ada siapapun yang bisa menolongnya sekara
Beberapa saat yang lalu. “Diaaaan!” aku berteriak memanggilnya ketika aku mendengar teriakan itu. “Aku mendengarkan teriakan di ujung sana, sepertinya ada orang lain yang seperti kita yang terjebak pada malam ini,” kataku. Namun Dian terus-menerus berlari dan seperti tidak peduli atas apa yang aku katakan. “Lebih baik kamu tidak memikirkan orang lain di saat-saat seperti ini, karena keselamatan kita berdua lebih penting sekarang daripada memikirkan orang lain yang akhirnya membuat kita celaka.” Entah mengapa, apa yang dikatakan Dian membuatku ragu. Aku bahkan menghentikan langkahku dan melihat ke asal suara teriakan itu meskipun apa yang aku lihat hanyalah kabut merah yang tebal dan menutupi pandanganku pada malam itu. Namun, “Dian, Dian, Dian!” Tepat aku menoleh lagi ke arah Dian, aku sudah tidak bisa lagi melihatnya. Dia seperti menghilang di antara kabut tebal ketika aku berhenti dalam beberapa saat. “DIAAAAAAAANN!” Aku bahkan berteriak dengan sangat kencang, namun tetap
Kabut merah masih memenuhi seluruh kampung pada malam ini, aku tidak tahu kapan ini akan berakhir. Karena aku sendiri tidak tahu sudah jam berapa sekarang, bahkan aku juga tidak tahu sampai kapan aku bisa bertahan di tempat yang seperti ini. Kali ini, aku menemukan seorang anak, yang juga terjebak sepertiku pada malam ini. Setelah aku menemukan sesuatu yang membuatku bertanya-tanya, aku meyakini bahwa anak ini tidak mengetahui apa-apa tentang apa yang sedang disembunyikan di dalam rumah sebelah. Kertas-kertas yang berserakan di dalam ruangan itu aku ambil dan aku bawa sebelum aku akhirnya menemukan anak ini yang sedang bersembunyi di dalam lemari. Anak ini sepertinya sangat shock ketika pertama kali melihat ku yang membuka lemari itu, wajahnya yang benar-benar ketakutan terlihat dengan jelas pada saat itu. Aku yang datang mencoba untuk menenangkannya, karena aku tahu hal ini akan berat untuknya, apalagi dia sendirian di tempat yang menyeramkan seperti ini. “Jadi, namamu Toni, dan
“Dimana aku?” Aku tiba-tiba berada di satu tempat yang asing, semuanya berkabut seperti halnya Kampung Halimun ketika kabut sedang turun dan menutupi seluruh kampung dengan warna putihnya. Aku melihat ke sekeliling rumah itu, dan melihat banyak sekali rumah-rumah panggung yang tertutup kabut putih di sekelilingku, Rumah-rumah dengan kayu-kayu hutan yang ditempel sedemikian rupa namun rumah itu tampak sangat indah. Karena banyak sekali ukiran-ukiran dari dinding kayu yang telah di serut sehingga menghasilkan kayu yang halus lalu dirangkai hingga membentuk suatu rumah yang sangat cantik seperti rumah-rumah adat zaman dahulu yang kini dilestarikan. Aku merasa terheran-heran, dimanakah aku sekarang berada. Rasanya ini bukanlah Kampung Halimun yang aku kenal. Meskipun terakhir aku mengingatnya bahwa Kampung Halimun berubah ketika malam tiba, tapi aku masih bisa mengenali bangunannya sehingga aku yakin aku masih berada di tempat yang sama. Namun kali ini, tempat aku berdiri sekarang ta
Aku langsung terbangun, tepat ketika Toni membangunkanku di pagi itu. Meskipun kepalaku sedikit pusing dan mulutku yang masih mual-mual hingga saat ini karena mimpi yang aku rasakan terasa sangat nyata bagiku. Namun aku tetap berdiri dan mengikuti Toni ke arah luar untuk melihat keadaan rumah itu yang tidak berubah saat pagi tiba. Tempat yang seharusnya berubah menjadi tempat yang nyaman ketika di huni oleh Toni dan keluarganya, kini masih sama seperti ketika aku memasukinya pada malam hari. Dindingnya masih kusam, bahkan beberapa darinya terasa lapuk ketika aku sentuh. Apalagi masih banyak pintu-pintu yang di dalamnya banyak ruangan kosong seperti ketika aku masuk pertama kali ke rumah ini. Aku mengikuti Toni yang berlari kecil ke arah pintu rumah, dan menunjukan bahwa kini Kampung Halimun dipenuhi oleh kabut putih tebal yang menutupi pandanganku pada saat itu. Kabut itu terasa sangat terang, karena sepertinya sinar matahari pagi sudah muncul sehingga suasana tidak seseram ketika
Kampung Halimun, adalah sebuah kampung yang sudah ada selama beratus-ratus tahun di tengah-tengah hutan ini. Sebenarnya, Kampung Halimun ini adalah kampung yang tidak bernama, namun karena selalu ada kabut yang turun di tengah hutan dan menyelimuti seluruh kampung, maka munculah kata halimun yang mengacu pada kampung tersebut. Alasan mereka mendirikan kampung di tengah hutan seperti ini masih belum diketahui, warganya adalah tiga keluarga besar yang dulunya mempunyai tempat di kerajaan. Namun akhirnya mengungsi ke dalam hutan ini karena sesuatu hal. Budaya akan ritual-ritual leluhur mereka sangatlah kuat. Mereka membangun kampung di tengah hutan tanpa meninggalkan budaya-budaya yang mereka anut selama beratus-ratus tahun. Ritual-ritual itu bertahan dan diturunkan kepada orang-orang yang menjadi keturunan mereka. Bahkan mungkin saja, ritual-ritual itu masih berlaku hingga hari ini, dimana hanya sebagian orang terutama orang-orang yang sudah berumur yang tahu akan ritual tersebut. Sa