Kampung Halimun, seperti namanya yang berarti kampung kabut. Yang berarti kampung ini sering tertutup kabut di waktu-waktu tertentu, kabut yang membuat pandangan kita menjadi terbatas bahkan disertai oleh hujan dari kabut yang tebal yang membuat hawa di sekitarnya semakin dingin. Suasana kabut yang datang dan pergi ini adalah hal yang biasa bagiku juga bagi para warga Kampung Halimun yang terdiri dari tiga keluarga besar yang membentuk sebuah wilayah masing-masing yang berkembang selama ratusan tahun. Karena kabut tersebut adalah keberkahan tersendiri bagi kita semua, dan beberapa orang percaya bahwa kabut itu bisa menutupi kampung yang selama ini menutup diri dari dunia luar, karena para warga kampung sendiri yakin mereka bisa hidup mandiri tanpa adanya bantuan dari luar, dan terbukti selama ratusan tahun kita hidup makmur hidup di tempat ini. Rumah-rumah yang berjajar dengan mewahnya, kendaraan-kendaraan seperti motor-motor trail yang bisa melibas hutan hingga ke jalan provinsi ya
Di dalam lemari yang sempit itu, seorang anak yang ikut terjebak di dalam Kampung Halimun ini ketika malam tiba, dia harus melihat sesuatu yang mengerikan di depan matanya.Matanya tak kuasa menahan kengerian yang mendalam ketika atap dari ruangan itu tiba-tiba berlubang, bersamaan dengan munculnya salah satu makhluk yang sangat besar yang muncul dan menangkap bapaknya yang sedang berjaga di ruangan tersebut untuk menjaganya.Dia berusaha tegar, meskipun hatinya ingin sekali berteriak ketika melihat makhluk tersebut muncul dan membawa bapaknya entah kemana.Dia hanya bisa merasakan tubuhnya berkeringat dingin dengan mata yang terbelalak, juga kedua tangannya yang menutupi mulutnya ketika sang bapak hanya tersenyum dan mengangkat salah satu tangannya ke arah mulutnya untuk membuat dirinya tetap diam di dalam sana.Suatu kejadian yang mungkin saja membuat dirinya trauma, apalagi kini dia hanya sendirian di dalam lemari itu di tengah malam. Tanpa ada siapapun yang bisa menolongnya sekara
Beberapa saat yang lalu. “Diaaaan!” aku berteriak memanggilnya ketika aku mendengar teriakan itu. “Aku mendengarkan teriakan di ujung sana, sepertinya ada orang lain yang seperti kita yang terjebak pada malam ini,” kataku. Namun Dian terus-menerus berlari dan seperti tidak peduli atas apa yang aku katakan. “Lebih baik kamu tidak memikirkan orang lain di saat-saat seperti ini, karena keselamatan kita berdua lebih penting sekarang daripada memikirkan orang lain yang akhirnya membuat kita celaka.” Entah mengapa, apa yang dikatakan Dian membuatku ragu. Aku bahkan menghentikan langkahku dan melihat ke asal suara teriakan itu meskipun apa yang aku lihat hanyalah kabut merah yang tebal dan menutupi pandanganku pada malam itu. Namun, “Dian, Dian, Dian!” Tepat aku menoleh lagi ke arah Dian, aku sudah tidak bisa lagi melihatnya. Dia seperti menghilang di antara kabut tebal ketika aku berhenti dalam beberapa saat. “DIAAAAAAAANN!” Aku bahkan berteriak dengan sangat kencang, namun tetap
Kabut merah masih memenuhi seluruh kampung pada malam ini, aku tidak tahu kapan ini akan berakhir. Karena aku sendiri tidak tahu sudah jam berapa sekarang, bahkan aku juga tidak tahu sampai kapan aku bisa bertahan di tempat yang seperti ini. Kali ini, aku menemukan seorang anak, yang juga terjebak sepertiku pada malam ini. Setelah aku menemukan sesuatu yang membuatku bertanya-tanya, aku meyakini bahwa anak ini tidak mengetahui apa-apa tentang apa yang sedang disembunyikan di dalam rumah sebelah. Kertas-kertas yang berserakan di dalam ruangan itu aku ambil dan aku bawa sebelum aku akhirnya menemukan anak ini yang sedang bersembunyi di dalam lemari. Anak ini sepertinya sangat shock ketika pertama kali melihat ku yang membuka lemari itu, wajahnya yang benar-benar ketakutan terlihat dengan jelas pada saat itu. Aku yang datang mencoba untuk menenangkannya, karena aku tahu hal ini akan berat untuknya, apalagi dia sendirian di tempat yang menyeramkan seperti ini. “Jadi, namamu Toni, dan
“Dimana aku?” Aku tiba-tiba berada di satu tempat yang asing, semuanya berkabut seperti halnya Kampung Halimun ketika kabut sedang turun dan menutupi seluruh kampung dengan warna putihnya. Aku melihat ke sekeliling rumah itu, dan melihat banyak sekali rumah-rumah panggung yang tertutup kabut putih di sekelilingku, Rumah-rumah dengan kayu-kayu hutan yang ditempel sedemikian rupa namun rumah itu tampak sangat indah. Karena banyak sekali ukiran-ukiran dari dinding kayu yang telah di serut sehingga menghasilkan kayu yang halus lalu dirangkai hingga membentuk suatu rumah yang sangat cantik seperti rumah-rumah adat zaman dahulu yang kini dilestarikan. Aku merasa terheran-heran, dimanakah aku sekarang berada. Rasanya ini bukanlah Kampung Halimun yang aku kenal. Meskipun terakhir aku mengingatnya bahwa Kampung Halimun berubah ketika malam tiba, tapi aku masih bisa mengenali bangunannya sehingga aku yakin aku masih berada di tempat yang sama. Namun kali ini, tempat aku berdiri sekarang ta
Aku langsung terbangun, tepat ketika Toni membangunkanku di pagi itu. Meskipun kepalaku sedikit pusing dan mulutku yang masih mual-mual hingga saat ini karena mimpi yang aku rasakan terasa sangat nyata bagiku. Namun aku tetap berdiri dan mengikuti Toni ke arah luar untuk melihat keadaan rumah itu yang tidak berubah saat pagi tiba. Tempat yang seharusnya berubah menjadi tempat yang nyaman ketika di huni oleh Toni dan keluarganya, kini masih sama seperti ketika aku memasukinya pada malam hari. Dindingnya masih kusam, bahkan beberapa darinya terasa lapuk ketika aku sentuh. Apalagi masih banyak pintu-pintu yang di dalamnya banyak ruangan kosong seperti ketika aku masuk pertama kali ke rumah ini. Aku mengikuti Toni yang berlari kecil ke arah pintu rumah, dan menunjukan bahwa kini Kampung Halimun dipenuhi oleh kabut putih tebal yang menutupi pandanganku pada saat itu. Kabut itu terasa sangat terang, karena sepertinya sinar matahari pagi sudah muncul sehingga suasana tidak seseram ketika
Kampung Halimun, adalah sebuah kampung yang sudah ada selama beratus-ratus tahun di tengah-tengah hutan ini. Sebenarnya, Kampung Halimun ini adalah kampung yang tidak bernama, namun karena selalu ada kabut yang turun di tengah hutan dan menyelimuti seluruh kampung, maka munculah kata halimun yang mengacu pada kampung tersebut. Alasan mereka mendirikan kampung di tengah hutan seperti ini masih belum diketahui, warganya adalah tiga keluarga besar yang dulunya mempunyai tempat di kerajaan. Namun akhirnya mengungsi ke dalam hutan ini karena sesuatu hal. Budaya akan ritual-ritual leluhur mereka sangatlah kuat. Mereka membangun kampung di tengah hutan tanpa meninggalkan budaya-budaya yang mereka anut selama beratus-ratus tahun. Ritual-ritual itu bertahan dan diturunkan kepada orang-orang yang menjadi keturunan mereka. Bahkan mungkin saja, ritual-ritual itu masih berlaku hingga hari ini, dimana hanya sebagian orang terutama orang-orang yang sudah berumur yang tahu akan ritual tersebut. Sa
Tempat yang awalnya Dian masuki untuk bersembunyi pada malam itu, kini tampak hancur berantakan. Sebuah lorong seperti gua dengan ruangan besar di dalamnya dan pintu besi yang kokoh untuk bersembunyi kini terbuka dengan lebar, dengan banyaknya mayat yang bergelimpangan dimana-mana. Banyak darah yang bercucuran, di dinding, di lantai, bahkan di langit-langit tempat itu. mereka seperti merasakan sesuatu yang sangat menakutkan sehingga tidak bisa berbuat apa-apa. Pintu masuk tersebut hanyalah satu-satunya jalan bagi mereka untuk masuk dan keluar dari tempat itu. Dan kini, mereka harus merasakan sesuatu yang sangat mencekam, karena ada sesuatu yang datang ke hadapan mereka secara tiba-tiba dan membuat mereka meregang nyawa di tempat itu. Kini, hanya beberapa saja yang masih bertahan, mereka yang masih selamat lebih memilih bersembunyi di suatu tempat atau di dalam benda yang bisa menyembunyikan diri mereka hingga teror itu selesai, dan itu yang dilakukan Dian di dalam sana. Dia bersemb
Pemandangan yang gelap gulita itu berubah ketika aku merasakan rasa hangat di sekujur tubuhku, rasa hangat yang secara perlahan-lahan muncul disertai dengan semilir angin dan suara kicauan burung yang semakin lama semakin jelas terdengar.Semakin lama pemandangan gelap itu menjadi terang kembali, ketika secara perlahan-lahan aku membuka mataku, dan melihat sinar matahari yang begitu terang dan menyilaukan mata muncul dari pepohonan yang sangat lebat.Apalagi, ketika aku melihat ke sekeliling tempat tersebut, aku melihat beberapa orang yang memakai pakaian lusuh dengan bambu besar yang dia gendong bersamaan dengan beberapa orang yang lainnya yang sedang berada di sekitarku.“Arggh, dimana ini?” kataku.Rupanya, apa yang aku katakan terdengar oleh beberapa orang itu, dan salah seorang dari mereka tiba-tiba berteriak dan memanggil teman-temannya yang berada tak jauh dari sana.“MANGGGGG, IEU JELEMANA GEUS SADAR MANG! (INI ORANGNYA DAH SADAR MANG!)”Dia memanggil beberapa orang dan mendek
Nyi Mas Andini kembali tersenyum, kedua tangannya dia silangkan di atas meja, seperti mengisyaratkan bahwa dirinyalah yang menjadi tuan rumah di tempat ini.“Namun, aku mempunyai suatu kekhawatiran, kekhawatiran atas sesuatu yang tidak aku perkirakan.”“Yaitu pengorbanan hidup bapakmu yang membuka semua gerbang ke tempat ini dari segala penjuru, sehingga makhluk-makhluk yang lebih kuat dariku masuk begitu saja ke tempat ini,” Ucapnya dengan nada yang tenang.“APAAAAA?”“JADI, BAPAK SU, SU, SUDAH MENINGGAL?” kataku dengan nada yang sangat kaget.Nyi Mas Andini hanya bisa mengangguk, dia meyakinkan ku bahwa dirinya berbuat suatu perjanjian kepada para makhluk itu, para makhluk yang kejam yang bisa mengambil alih hutan yang dia tinggali ketika mereka sudah terbebas dari tugasnya yang membelenggu selama ini.“Jadi, aku sekarang sudah tidak butuh kamu lagi, sudah tidak butuh warga Kampung Halimun lagi.”“Aku tidak peduli dengan kalian.”“Tapi dalam perjanjian itu, ada beberapa orang yang s
Sebuah ruangan yang terang tiba-tiba muncul, terang karena lilin-lilin yang menyala sebegitu banyaknya. Ruangan itu seperti sebuah rumah kayu yang entah berada dimana, rumah kayu yang terlihat klasik karena disertai dengan perabotan yang cantik dengan ukiran-ukiran yang khas di semua sudutnya.Aku sedang duduk disana, duduk di sebuah kursi kayu dengan sebuah meja yang penuh akan makanan yang sangat lezat dan menggugah selera.Ikan asin, ayam goreng, tempe goreng, nasi liwet panas yang masih berasap, juga beberapa sayuran seperti tumis pakis, tumis bayam, lalu ada juga sambal terasi dan lalapan seperti jengkol, pete, juga leunca sebagai tambahannya.Sebuah sajian khas dari masyarakat sunda yang paling enak menurutku.Namun, aku bingung, kenapa aku berada disini, kenapa aku tiba-tiba duduk dengan banyak sekali makanan yang ada tepat di depan mataku.Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku beberapa kali, bahkan menggosok-gosokan kedua mataku karena aku tidak percaya atas apa yang aku rasak
“Ke-kenapa ini?” “Tu-tu-tubuhku?” “Mu-mulutku?” “Kenapa bergerak sendiri?” Aku kebingungan, benar-benar heran melihat tubuhku yang diambil alih oleh sesuatu, aku tidak berbicara sekarang, pandanganku juga diatur oleh sesuatu yang menggerakan wajahku. Sepertinya, tanpa sadar, tubuhku diambil alih oleh sesosok wanita yang merupakan anak Pak Kades bernama Neng. Anak yang mayatnya aku temui di dalam gua dengan kondisi wajahnya yang hancur tak tersisa, mayat yang hidup dan berjalan ketika ada suara dan gerakan. Kali ini, jiwanya muncul dan masuk ke dalam tubuhku, karena dia berbicara panjang lebar dengan bapaknya yang ada disana. Sedangkan jiwa-jiwa yang lainnya… Deg Mataku yang digerakan oleh dirinya kini melihat jiwa-jiwa itu berada di antara Pak Kades dan Pak Emen. Mereka berdiri seperti kepulan asap yang tembus pandang. Dan jumlahnya pun bukan satu atau dua, namun banyak. Mereka yang berasal dari beberapa generasi di atasku, bahkan mungkin salah satu dari mereka adalah leluhur
Ritual Babad Raga, itulah yang kini dilakukan Pak Emen dengan Pak Kades sekarang. Ritual yang dulu dijalankan oleh bapak sebagai seseorang yang memimpin ritual setelah caranya diturunkan secara turun-temurun dari kakek dan kakek buyut.Namun, karena suatu hal bapak menghilang hingga saat ini. Sehingga Pak Emen yang awalnya membantu bapak memimpin ritual terakhir untuk menarik jiwaku agar dipersembahkan kepada NU MAHA AGUNG, yang saat ini sedang melayang-layang di sekitar mereka.Biasanya ada dua ritual yang harus dilakukan, yaitu ritual pemanggilan yang mengharuskan para manusia memotong sesajen berupa ayam cemani dan ikan mas, dan yang kedua adalah ritual penarikan yang kini sedang dilakukan oleh Pak Emen.Pak Emen terlihat dengan serius duduk tepat di depanku, kedua tangannya terlihat dirapatkan dan disimpan ke atas kepala seperti sedang menyembah sesuatu. Sebuah dupa panjang yang menyala terlihat menyelip di antara kedua tangan itu sehingga kepalanya terlihat berasap.Dia bergumam
“Pak Rudii, Pakkk!”Tampak seseorang yang sedang memakai helm proyek berwarna kuning memanggil seseorang yang ada di depan sebuah Gedung tinggi yang belum selesai, dia memakai helm berwarna biru dengan banyak sekali kertas-kertas yang dia bawa.Pak Rudi yang sedang sibuk membaca rancangan proyek yang ada disana hanya mengangkat tangannya ke arah orang tersebut, dia mengisyaratkan agar dirinya mendekat kepadanya.“Pak ini rancangan atas gedung setelah konstruksinya selesai, di dalamnya juga sudah ada penambahan saluran udara, juga rancangan saluran air dan AC Pak,” katanya sambil menyodorkan beberapa kertas yang digulung pada saat itu.Pak Rudi yang sedang sibuk membawa kertas lain di tangannya akhirnya mengambil kertas itu dan diselipkan di antara tangan dan tubuhnya.“Nanti akan aku baca sekaligus mengecek semua rancangan saluran udara, air dan AC ini ke dalam ya,” kata Pak Rudi yang tampak berwibawa.Orang itu pun mengangguk, dia akhirnya berlari kembali meninggalkan Pak Rudi dan ke
Kejadian yang terjadi di Kampung Halimun semakin membuat gempar, bahkan hal itu dirasakan oleh salah satu kampung yang letaknya paling dekat dengan Kampung Halimun, sebuah kampung yang bernama Bale Leutik yang tepat berada di sisi hutan selepas perbatasan dari hutan perbatasan yang menjadi penghubung Kabupaten Bandung dan Cianjur.Sebuah kampung yang sangat besar, karena dilalui oleh jalanan provinsi yang menghubungkan kedua kabupaten sehingga masih banyak orang yang berlalu lalang meskipun malam sudah semakin larut.Mereka merasakan bahwa pada malam ini, terasa sangat berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Hawa dingin pegunungan yang biasanya bisa mereka atasi dengan suhu tubuh mereka yang sudah beradaptasi dengan lingkungan sekitar, kini merasa kedinginan. Bahkan mereka melapis tubuh mereka dengan baju dalam dan jaket tebal serta sarung yang mereka kenakan.Apalagi, malam itu terdengar sangat gaduh, suara-suara dari hewan hutan yang tiba-tiba muncul dan berlarian seperti ketakutan o
Mataku benar-benar terbelalak, itu benar-benar Toni yang muncul di antara suara-suara yang sedang menggebrak pintu di tempat ini pada saat ini.Dia hanya berjalan sendirian dan tanpa ada ekspresi apapun pada saat itu. Sehingga membuat semua orang yang ada disana tiba-tiba terdiam dan menoleh ke arah Toni secara bersamaan. Bahkan, Maman yang dari tadi berlari dengan sekuat tenaga pun heran, karena yang muncul dari arah pintu bukanlah para makhluk yang meneror dirinya, melainkan seseorang yang dia kenal.“Bu, bukannya itu anak Pak Ayi?” kata Pak Emen yang tiba-tiba kaget ketika melihat Toni berjalan ke arah mereka.“Kenapa anaknya Pak Ayi berada disini?”Mereka yang berada disana terheran-heran atas apa yang terjadi kepada Toni pada saat itu. Mungkin saja seorang anak kecil yang tiba-tiba datang di hadapan mereka di tengah-tengah teror yang menakutkan yang mengelilingi mereka.Sontak, Para warga yang mengetahui bahwa anak itu adalah Toni, langsung mendekati Toni yang kini berdiri di dek
Teriakan, demi teriakan menggema di seluruh kampung. Mereka sekarang sudah tidak bisa membedakan lagi alam manusia dan alam gaib yang diliputi oleh kabut merah.Para warga yang seharusnya aman ketika bersembunyi di rumah-rumah mereka, kini tidak bisa kabur kemana-mana lagi. Karena para makhluk yang ada di dalam kabut tersebut sekarang bisa masuk ke dalam rumah-rumah warga dan mencabut nyawa mereka.Suasana tampak sangat kacau, suara berisik dan suara cekikikan terdengar di dalam kabut, bahkan anak-anak yang menangis, yang belum sempat hidup lama di kampung ini pun tak luput dari teror mereka.Parah makhluk yang sudah menunggu setelah beratus-ratus tahun lamanya, kini bisa berpesta pora. Meneror semua manusia yang ada di dalamnya, mencabut nyawa mereka satu persatu dengan cara yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya hingga kondisi mereka terlihat sangat mengenaskan.Terlihat, darah-darah merah merona muncul di antara dinding-dinding rumah, darah itu mengucur secara perlahan dari