“Akhirnya aku menemukan pintu masuknya, tapi apa benar Bapak kesini?” Aku masih memikirkan tentang Bapak, Bapak yang bertubuh gemuk pasti akan kesulitan untuk melewati semak-semak ini. Apalagi pintu depan yang seharusnya dimasuki kini tertutup bilik bambu, sehingga aku harus memutar menyusuri dinding hingga sampai di belakang bangunan tersebut. Dan terlihat sebuah pintu belakang yang sudah rusak dan bisa dibuka sehingga aku bisa melangkahkan kakiku ke dalam. Baru kali ini aku melangkahkan kaki di bangunan ini, sedari kecil aku tidak diperbolehkan masuk ke dalam beberapa bangunan yang biasanya dipakai untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu di Kampung Halimun, salah satu nya bangunan ini. Ibu dan Bapak selalu menyuruhku untuk tidak memandangi bangunan ini terlalu lama ketika aku melintas di bangunan ini untuk ke sawah. Dan itu tidak berlaku untukku saja, namun itu juga berlaku untuk anak-anak kecil yang berada di Kampung Halimun. Mereka diingatkan oleh orang tuanya untuk tidak ber
Aku yang sudah tiga tahun berada di luar kampung kini merasakan kebingungan yang luar biasa, apalagi seumur hidupku aku baru pertama kali masuk ke bangunan ini. Namun, aku lebih merasa heran dengan kedua orang tadi yang mengobrol dengan santai bahkan gelagat mereka justru terlihat biasa saja, saat dimana orang lain sedang panik karena mereka tidak bisa keluar kampung dan terjebak disini entah sampai kapan. Aku pun akhirnya menuruni tangga tersebut secara perlahan. Aku sengaja memelankan suara langkahku karena aku takut diketahui oleh mereka berdua, karena aku merasa tempat yang akan mereka tuju mempunyai sesuatu yang disembunyikan yang tidak diketahui oleh warga. Dibawah tangga tersebut terdapat lorong yang sangat panjang, sebuah lorong yang terlihat seperti sebuah gua, seperti gua belanda dengan dinding yang sudah diberi semen sehingga dindingnya terlihat sangat mulus. Juga, ada beberapa lampu lima watt yang menyala di dalam lorong tersebut sehingga tidak menyulitkanku untuk meliha
“Berhentiii!” kata salah satu orang yang mengejarku pada saat itu. Beberapa orang yang ada di depannya mendadak berhenti, tepat ketika langkah kaki mereka akan melewati lorong gelap yang sudah aku lewati sebelumnya pada saat itu. “Sepertinya tidak mungkin lari ke sebelah sini, karena disini ada lorong gelap yang kita sendiri pun tidak tahu ujungnya seperti apa, karena lorong ini sudah ada dari zaman leluhur kita dulu. Kita harus waspada karena banyak sekali tempat yang bisa membahayakan kita di kampung ini.” “Lebih baik kita balik lagi ke belakang dan memberitahu bahwa orang yang menguping pembicaraan kita tidak lewat sini.” Beberapa orang yang mendengar ucapan itu akhirnya mengangguk, mereka akhirnya membalikan badannya dan berjalan kembali ke sebuah ruangan kecil tempat yang menjadi pintu keluar dari lorong ini. Tampak, beberapa orang yang lain sedang duduk dan berdiri sambil menyandarkan tubuhnya ke arah dinding di ruangan kecil tersebut. Mereka terlihat menunggu sambil menghis
“Arggghhhhh, dimana ini?” Mataku yang awalnya terpejam kini terbuka secara perlahan, tubuhku basah kuyup dengan beberapa luka memar yang aku rasakan sangat pedih ketika aku rasakan. Aku tergeletak tak berdaya dengan tubuhku yang menyentuh tanah yang berpasir pada saat itu, bahkan wajahku sendiri menyentuh pasir sehingga menempel di rambut dan di pipi sebelah kananku pada saat itu. Aku benar-benar tidak ingat ketika aku terjatuh dari lorong yang gelap itu, yang aku ingat hanyalah terjatuh dari atas dan aku baru tersadarkan sekarang dengan baju yang basah kuyup dan beberapa luka memar yang ada di sekitar tubuhku pada saat itu. Zraaaaaaas Aku mencoba mengangkat wajahku, dan aku melihat aliran air yang sangat deras seperti sungai mengalir di belakangku, sepertinya aku jatuh dan terbawa arus sungai bawah tanah hingga akhirnya aku sampai di tempat ini. Sebuah tempat yang sepertinya semacam gua yang gelap, namun kini gua tersebut berubah secara perlahan karena mungkin waktu sudah mulai
Siapa yang akan menyangka, di dalam sebuah lorong panjang dengan lebar sepanjang dua meter dengan dinding yang berwarna merah darah dan memancarkan cahaya redup di beberapa titik. Aku akan menemukan mayat-mayat yang berdiri menghalangiku dengan jumlah yang banyak. Mayat-mayat tersebut kondisinya sangat mengenaskan, sepertinya dia sudah berada disana dalam waktu yang lama, tinggal di lorong yang lembab dan menyeramkan ini. Namun, siapa yang membawa mayat-mayat itu kemari, mereka berdiri tidak beraturan menghadapku dengan tatapan yang kosong. Jujur, aku baru kali ini melihat pemandangan yang seperti ini, sudah cukup aku di kejar-kejar oleh para makhluk yang mengejarku ketika aku pertama kali pulang ke kampung ini, tapi itu tidak sebanding dengan pemandangan yang aku lihat sekarang. Karena mereka terlihat seperti mayat-mayat dari orang-orang yang sudah lama meninggal di kampung ini. Namun semuanya tidak bisa aku kenali karena wajah-wajah mereka terlihat hancur seperti ada benda keras
“Bentar-bentar! Kamu itu siapa?” Aku yang tidak tahu siapa yang menarikku pada saat itu langsung bertanya-tanya. Kenapa ada orang lain di tempat ini, disaat yang lain sedang bersembunyi di dalam rumah-rumah mereka ketika malam tiba. Juga, apa yang dia lakukan di tempat ini. Tempat yang penuh akan mayat wanita yang menyeramkan dengan wajahnya yang tampak hancur dan tidak bisa dikenali lagi. “Stttt!” Tiba-tiba dia melewatiku dan memerintahkanku untuk diam sejenak. Dia sedikit melihat ke arah lorong itu untuk melihat mayat-mayat yang berjalan dan mengejarku pada saat itu. “Kamu bisa diam terlebih dahulu tidak, jangan sampai kita diketahui oleh mereka!” “Lebih baik kita menyender terlebih dahulu di dinding, mencoba bersembunyi dari mayat-mayat itu agar kamu tidak tertangkap oleh mereka,” katanya sambil berbisik. Aku tidak terlalu mengerti kenapa aku dan dirinya harus bersembunyi dengan lumpur yang menutupi seluruh tubuhku pada saat itu. Namun karena situasinya sangatlah genting, seh
Suasana yang menegangkan itu akhirnya telah usai, lebih dari setengah jam aku kini berada di dalam celah kecil itu bersama seseorang yang menolongku pada saat itu, beberapa kali orang itu menengok ke arah lorong, memastikan bahwa semuanya aman dan tidak ada lagi para mayat yang tertinggal di belakang.“Sepertinya sudah aman, ayo kita segera keluar dari tempat ini!” katanya sambil menarikku.“Bentar, bentar! Aku belum tahu siapa kamu?”“Bisa saja kamu adalah salah satu orang yang ada di belakang pintuuuuu….”Tiba-tiba, aku langsung menutup mulutku. Aku takut dia adalah orang yang sama dengan sekelompok orang yang ada di lorong di bawah bangunan yang tadi aku masuki pada siang hari.Namun, raut wajahnya yang tertutup oleh lumpur merasa heran, dia seperti tidak tahu lorong apa yang aku bicarakan pada saat itu.“Pintu?” katanya dengan sangat heran.“Pintu mana? Disini gak ada pintu, adanya sebuah lubang gua kecil di deket wilayah keluargaku, dan aku dipercaya untuk membetulkan pipa yang b
Kampung Halimun, seperti namanya yang berarti kampung kabut. Yang berarti kampung ini sering tertutup kabut di waktu-waktu tertentu, kabut yang membuat pandangan kita menjadi terbatas bahkan disertai oleh hujan dari kabut yang tebal yang membuat hawa di sekitarnya semakin dingin. Suasana kabut yang datang dan pergi ini adalah hal yang biasa bagiku juga bagi para warga Kampung Halimun yang terdiri dari tiga keluarga besar yang membentuk sebuah wilayah masing-masing yang berkembang selama ratusan tahun. Karena kabut tersebut adalah keberkahan tersendiri bagi kita semua, dan beberapa orang percaya bahwa kabut itu bisa menutupi kampung yang selama ini menutup diri dari dunia luar, karena para warga kampung sendiri yakin mereka bisa hidup mandiri tanpa adanya bantuan dari luar, dan terbukti selama ratusan tahun kita hidup makmur hidup di tempat ini. Rumah-rumah yang berjajar dengan mewahnya, kendaraan-kendaraan seperti motor-motor trail yang bisa melibas hutan hingga ke jalan provinsi ya