Aku terdiam melihat Ibu menangis siang itu, kulihat orang-orang yang berlalu lalang kini tidak sesemangat seperti dahulu. Terlihat dari kepanikan wajah-wajah mereka yang seolah-olah menginginkan hal yang terjadi ini akan segera berakhir.
“Ibu tidak tahu kapan persisnya Abdi,” kata Ibuku sembari memegang tanganku.
“Ini dimulai sejak empat hari yang lalu, semuanya tampak normal, Ibu dan Bapakmu seperti biasa pergi ke ladang untuk berkebun dan memanen sayuran yang nantinya akan diberikan ke pengepul di jalan besar dekat hutan perbatasan.”
Kulihat wajahnya Ibu tampak sedih ketika dia menceritakan tentang hal yang sebenarnya, aku yang masih belum mengerti tentang semua ini hanya bisa terdiam melihat Ibuku bercerita tentang apa yang dia ketahui selama ini.
“Ibu tidak tahu bagaimana awalnya terjadi seperti ini, Ibu dan Bapak pulang dari kebun sore hari, dan melihat aktivitas kampung seperti biasa.”
“Namun ketika magrib menjelang, tiba-tiba terdengar teriakan orang yang berada dari luar, semuanya sungguh kacau. Banyak yang tidak percaya dengan kampung yang tiba-tiba berubah, Ibu yang saat itu ada di rumah berusaha menyelamatkan diri dengan bersembunyi di dalam lemari. Sedangkan Bapak berjaga di dalam rumah hingga pagi menjelang.”
Aku seakan tidak percaya atas apa yang Ibu ceritakan, seakan-akan cerita ini adalah cerita dongeng ataupun cerita dari film-film fantasi yang sering aku tonton. Namun aku juga tidak menepis hal itu, karena aku sendiri mengalami hal yang sama ketika pertama kali datang ke kampung ini.
“Ibu tidak sanggup lagi apabila mengingat kembali kejadian itu, di dalam lemari Ibu ketakutan, badan Ibumu ini tidak henti-hentinya bergetar, bahkan semalaman Ibu tidak tidur. Begitupun juga Bapak, Abdi. Dia menjaga Ibu hingga pagi tiba."
Kacau, sungguh kacau. Ibu menceritakan hal yang sangat mengerikan yang terjadi empat hari yang lalu di Kampung Halimun, sesuatu yang tidak akan disangka-sangka oleh seluruh warga Kampung Halimun pada waktu itu.
Suatu kampung yang asri dan sejahtera, dan terkenal damai karena sistem yang dikerjakan secara mandiri tanpa bantuan dari pihak luar. Kini keadaanya sangat mengenaskan.
Dalam satu malam Kampung Halimun mengalami teror yang menakutkan, beruntung Ibu dan Bapak sudah ada di rumah pada malam itu, namun untuk orang-orang yang biasanya nongkrong di luar rumah dengan motor trailnya, juga penjaga warung yang buka hingga waktu malam, mereka menjadi sasaran empuk untuk para makhluk yang datang di malam itu. Karena mereka tidak menyangka kampung yang dihuni oleh mereka, seketika berubah menjadi menyeramkan. Dan mereka terjebak di sana sepanjang malam.
Kampung Halimun tiba-tiba berubah dengan sendirinya. Kampung yang asri itu didatangi makhluk yang menyeramkan datang ke kampung setiap malam, sehingga setiap malam Kampung Halimun menjadi kampung yang dihuni oleh para makhluk yang menyeramkan, dan hal itu sudah berlangsung beberapa hari.
Muncul banyak teriakan dan suara menyeramkan di kampung tersebut setiap malam. Suara tertawa yang melengking terdengar dari luar, juga suara geraman seperti hewan buas dan ketukan pintu yang mengetuk setiap rumah terdengar setiap malam, para warga tidak berani membuka pintu mereka. Bahkan jendela-jendela mereka tertutup sangat rapat, beberapa warga bahkan sengaja menutup pintu dan jendela mereka dengan lemari atau meja, karena khawatir para makhluk itu akan merangkak masuk ke dalam rumah dan meneror mereka.
Mereka tidak mengerti kenapa hal ini terjadi, hal yang mereka sendiri tidak tahu penyebabnya seperti apa. Namun teror itu berlangsung setiap malam dan berakhir dengan sendirinya ketika sinar matahari pagi muncul dari sela-sela pepohonan di Kampung Halimun.
Hanya rumah-rumah warga yang menjadi tempat berlindung paling aman apabila malam tiba. Sungguh aneh memang, karena para makhluk itu hanya menggedor pintu rumah atau membuat suara di tembok-tembok rumah, tanpa sekalipun sengaja masuk dan tidak mengganggu rumah-rumah warga. Mereka hanya mengganggu dan berdiam diri di bangunan-bangunan yang bukan berbentuk rumah, seperti gedung olahraga, gedung pertemuan, Puskesmas dan yang lainnya.
“Tapi Bu,” aku mencoba memotong pembicaraan Ibuku yang sedang bercerita mengenai kejadian tersebut ketika aku tidak ada.
“Ketika aku terjebak di sana, aku bersembunyi di dalam rumah, namun makhluk itu merangkak masuk ke rumah tersebut hingga aku tidak sadarkan diri di sana,” kataku kepada Ibu.
Namun Ibu hanya menggelengkan kepala, karena situasi yang aku ceritakan dengan hal yang Ibu ketahui sungguh berbeda, dia bilang bahwa aku bersembunyi di dalam rumah keluarga Mandala dan tidak mungkin tidak ada orang di rumah tersebut. Apalagi keluarga Mandala mempunyai tradisi untuk membuat rumahnya menjadi tempat tinggal yang bisa dihuni oleh beberapa keluarga.
Jadi sangat tidak mungkin apabila aku masuk ke rumah tersebut tanpa sekalipun melihat keluarga mereka yang ada di dalam rumah.
Aku semakin bingung dengan penjelasan Ibu, karena aku melihat sendiri bahwa rumah itu kosong. Namun akhirnya aku tidak terlalu memperdulikan hal itu, karena aku tidak mempunyai bukti yang cukup kuat untuk menyakinkan Ibuku saat itu.
“Lalu orang-orang yang terjebak di malam hari apakah banyak yang selamat sepertiku Bu?” kataku.
Ibu sejenak terdiam, dia seperti mencoba menyusun kata sebelum berbicara kepadaku.
“Hanya beberapa yang bisa selamat Abdi, sisanya hilang entah ke mana," kata Ibuku.
Menurut Ibu, hampir seperempat warga kampung kini menghilang entah kemana, tua, muda, laki-laki, perempuan mereka menghilang secara misterius dan belum ditemukan hingga sekarang.
Biasanya mereka hilang karena belum sempat menyelamatkan diri ketika sore hari, sehingga mereka terjebak dan hilang ketika pagi hari.
“Lalu kenapa Bapak bisa menghilang juga Bu? bukannya Bapak ada di rumah bersama Ibu?” kataku kepada Ibu.
Ibu kemudian menunduk, wajahnya terlihat sedih. Dia seperti tidak ingin membicarakan hal tersebut, namun akhirnya dia menguatkan dirinya dan berkata kepadaku.
“Bapak dan beberapa orang berniat untuk mencari para warga yang hilang Abdi, atas perintah tetua kampung mereka membentuk tim yang terdiri dari beberapa perwakilan dari tiga keluarga yang ada di Kampung Halimun.”
“Sebagai orang yang dituakan dari keluarga Wilaga, Bapak ikut mencari bersamaan dengan orang-orang dari keluarga Tarmana dan Mandala.”
“Tim pertama dibentuk untuk memberitahukan apabila waktu malam hampir tiba, mereka bekerja berkeliling kampung setiap sore untuk memberitahukan warga bahwa waktu malam sudah tiba, dan tim kedua yang bertugas mencari para warga yang hilang. Namun naas, tim kedua yang didalamnya ada Bapak tak kunjung kembali Abdi. ”
Ibu kembali menangis, air matanya terlihat jatuh di depanku. Aku tidak tega melihat Ibu menangis tersedu-sedu di depanku, karena dia kehilangan suaminya akibat kondisi kampung yang seperti ini.
“Kita terjebak Abdi, satu hari setelah kejadian itu, warga kampung berbondong-bondong keluar kampung. Namun seperti yang kamu lihat, jembatan penghubung kampung tiba-tiba berubah menjadi jurang yang sangat dalam sehingga kita terjebak di kampung ini dengan teror yang seperti ini setiap malam.”
Aku seketika memeluk Ibuku saat itu, aku tak kuasa menahan air mata atas kesedihan yang dialami orang tuaku, muncul banyak pertanyaan sepulangnya aku dari penjara. Kampung tempat aku hidup kini berubah sepenuhnya menjadi kampung yang menakutkan.
“Ada sesuatu yang salah,” aku bergumam sendiri.
“Ibu tidak usah khawatir, Ibu diam aja dirumah, biar aku aja yang mencari Bapak, karena aku juga tidak tahu kondisi kampung saat ini, jadi aku harus berkeliling kampung terlebih dahulu. Semoga hal itu bisa memberikan aku petunjuk.”
“Udah, udah Ibu jangan menangis lagi ya. Bapak pasti pulang kok,” kataku menyemangati Ibu.
Aku pun menyuruh Ibu beristirahat, aku juga berpikir untuk mengetahui sesuatu yang ada dibalik peristiwa ini. Karena pasti ada sesuatu yang salah yang mengakibatkan Kampung Halimun menjadi seperti ini.
Dan akhirnya ketika Ibu beranjak dari kamarku, aku bertanya.
“Bu apakah Ibu tahu ke mana pertama kali Bapak pergi untuk mencari warga yang hilang?"
Terima kasih akhirnya novel ini bisa muncul di Aplikasi Jangan lupa vote dan komen supaya bisa tetap semangat uploab bab-bab terbaru ya Terima kasih
Waktu sudah beranjak siang di Kampung Halimun, sinar matahari menyinari Kampung Halimun, sinarnya dengan sangat terang. Juga angin hutan yang sejuk membuat hawa di Kampung Halimun sangat sejuk. Setelah beristirahat cukup dan makan sarapan yang dibuatkan ibu, aku pun mulai menyiapkan diri untuk mengungkap misteri hilangnya Bapak. Aku yang saat itu berdiam diri di kamar mengetahui tempat yang akan Bapak tuju sewaktu menghilang, dan akupun mencoba mencari tahu dengan menggambar peta sederhana di sebuah kertas untuk patokanku mencari Bapak. “Bu!” kataku. “Apabila aku belum pulang ketika sore tiba, kunci pintunya! Jangan menungguku! “ “Aku akan mencari tempat untuk berlindung di dekatku ketika sore tiba.” aku tersenyum kepada Ibu. Ibuku sempat melarang aku untuk berangkat kembali, karena belum satu hari dia bertemu anak satu-satunya. Namun dia akan kembali keluar untuk mencari Bapaknya yang sudah menghilang selama tiga hari ini. Namun aku meyakinkan Ibuku bahwa aku akan baik-baik saj
“Akhirnya aku menemukan pintu masuknya, tapi apa benar Bapak kesini?” Aku masih memikirkan tentang Bapak, Bapak yang bertubuh gemuk pasti akan kesulitan untuk melewati semak-semak ini. Apalagi pintu depan yang seharusnya dimasuki kini tertutup bilik bambu, sehingga aku harus memutar menyusuri dinding hingga sampai di belakang bangunan tersebut. Dan terlihat sebuah pintu belakang yang sudah rusak dan bisa dibuka sehingga aku bisa melangkahkan kakiku ke dalam. Baru kali ini aku melangkahkan kaki di bangunan ini, sedari kecil aku tidak diperbolehkan masuk ke dalam beberapa bangunan yang biasanya dipakai untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu di Kampung Halimun, salah satu nya bangunan ini. Ibu dan Bapak selalu menyuruhku untuk tidak memandangi bangunan ini terlalu lama ketika aku melintas di bangunan ini untuk ke sawah. Dan itu tidak berlaku untukku saja, namun itu juga berlaku untuk anak-anak kecil yang berada di Kampung Halimun. Mereka diingatkan oleh orang tuanya untuk tidak ber
Aku yang sudah tiga tahun berada di luar kampung kini merasakan kebingungan yang luar biasa, apalagi seumur hidupku aku baru pertama kali masuk ke bangunan ini. Namun, aku lebih merasa heran dengan kedua orang tadi yang mengobrol dengan santai bahkan gelagat mereka justru terlihat biasa saja, saat dimana orang lain sedang panik karena mereka tidak bisa keluar kampung dan terjebak disini entah sampai kapan. Aku pun akhirnya menuruni tangga tersebut secara perlahan. Aku sengaja memelankan suara langkahku karena aku takut diketahui oleh mereka berdua, karena aku merasa tempat yang akan mereka tuju mempunyai sesuatu yang disembunyikan yang tidak diketahui oleh warga. Dibawah tangga tersebut terdapat lorong yang sangat panjang, sebuah lorong yang terlihat seperti sebuah gua, seperti gua belanda dengan dinding yang sudah diberi semen sehingga dindingnya terlihat sangat mulus. Juga, ada beberapa lampu lima watt yang menyala di dalam lorong tersebut sehingga tidak menyulitkanku untuk meliha
“Berhentiii!” kata salah satu orang yang mengejarku pada saat itu. Beberapa orang yang ada di depannya mendadak berhenti, tepat ketika langkah kaki mereka akan melewati lorong gelap yang sudah aku lewati sebelumnya pada saat itu. “Sepertinya tidak mungkin lari ke sebelah sini, karena disini ada lorong gelap yang kita sendiri pun tidak tahu ujungnya seperti apa, karena lorong ini sudah ada dari zaman leluhur kita dulu. Kita harus waspada karena banyak sekali tempat yang bisa membahayakan kita di kampung ini.” “Lebih baik kita balik lagi ke belakang dan memberitahu bahwa orang yang menguping pembicaraan kita tidak lewat sini.” Beberapa orang yang mendengar ucapan itu akhirnya mengangguk, mereka akhirnya membalikan badannya dan berjalan kembali ke sebuah ruangan kecil tempat yang menjadi pintu keluar dari lorong ini. Tampak, beberapa orang yang lain sedang duduk dan berdiri sambil menyandarkan tubuhnya ke arah dinding di ruangan kecil tersebut. Mereka terlihat menunggu sambil menghis
“Arggghhhhh, dimana ini?” Mataku yang awalnya terpejam kini terbuka secara perlahan, tubuhku basah kuyup dengan beberapa luka memar yang aku rasakan sangat pedih ketika aku rasakan. Aku tergeletak tak berdaya dengan tubuhku yang menyentuh tanah yang berpasir pada saat itu, bahkan wajahku sendiri menyentuh pasir sehingga menempel di rambut dan di pipi sebelah kananku pada saat itu. Aku benar-benar tidak ingat ketika aku terjatuh dari lorong yang gelap itu, yang aku ingat hanyalah terjatuh dari atas dan aku baru tersadarkan sekarang dengan baju yang basah kuyup dan beberapa luka memar yang ada di sekitar tubuhku pada saat itu. Zraaaaaaas Aku mencoba mengangkat wajahku, dan aku melihat aliran air yang sangat deras seperti sungai mengalir di belakangku, sepertinya aku jatuh dan terbawa arus sungai bawah tanah hingga akhirnya aku sampai di tempat ini. Sebuah tempat yang sepertinya semacam gua yang gelap, namun kini gua tersebut berubah secara perlahan karena mungkin waktu sudah mulai
Siapa yang akan menyangka, di dalam sebuah lorong panjang dengan lebar sepanjang dua meter dengan dinding yang berwarna merah darah dan memancarkan cahaya redup di beberapa titik. Aku akan menemukan mayat-mayat yang berdiri menghalangiku dengan jumlah yang banyak. Mayat-mayat tersebut kondisinya sangat mengenaskan, sepertinya dia sudah berada disana dalam waktu yang lama, tinggal di lorong yang lembab dan menyeramkan ini. Namun, siapa yang membawa mayat-mayat itu kemari, mereka berdiri tidak beraturan menghadapku dengan tatapan yang kosong. Jujur, aku baru kali ini melihat pemandangan yang seperti ini, sudah cukup aku di kejar-kejar oleh para makhluk yang mengejarku ketika aku pertama kali pulang ke kampung ini, tapi itu tidak sebanding dengan pemandangan yang aku lihat sekarang. Karena mereka terlihat seperti mayat-mayat dari orang-orang yang sudah lama meninggal di kampung ini. Namun semuanya tidak bisa aku kenali karena wajah-wajah mereka terlihat hancur seperti ada benda keras
“Bentar-bentar! Kamu itu siapa?” Aku yang tidak tahu siapa yang menarikku pada saat itu langsung bertanya-tanya. Kenapa ada orang lain di tempat ini, disaat yang lain sedang bersembunyi di dalam rumah-rumah mereka ketika malam tiba. Juga, apa yang dia lakukan di tempat ini. Tempat yang penuh akan mayat wanita yang menyeramkan dengan wajahnya yang tampak hancur dan tidak bisa dikenali lagi. “Stttt!” Tiba-tiba dia melewatiku dan memerintahkanku untuk diam sejenak. Dia sedikit melihat ke arah lorong itu untuk melihat mayat-mayat yang berjalan dan mengejarku pada saat itu. “Kamu bisa diam terlebih dahulu tidak, jangan sampai kita diketahui oleh mereka!” “Lebih baik kita menyender terlebih dahulu di dinding, mencoba bersembunyi dari mayat-mayat itu agar kamu tidak tertangkap oleh mereka,” katanya sambil berbisik. Aku tidak terlalu mengerti kenapa aku dan dirinya harus bersembunyi dengan lumpur yang menutupi seluruh tubuhku pada saat itu. Namun karena situasinya sangatlah genting, seh
Suasana yang menegangkan itu akhirnya telah usai, lebih dari setengah jam aku kini berada di dalam celah kecil itu bersama seseorang yang menolongku pada saat itu, beberapa kali orang itu menengok ke arah lorong, memastikan bahwa semuanya aman dan tidak ada lagi para mayat yang tertinggal di belakang.“Sepertinya sudah aman, ayo kita segera keluar dari tempat ini!” katanya sambil menarikku.“Bentar, bentar! Aku belum tahu siapa kamu?”“Bisa saja kamu adalah salah satu orang yang ada di belakang pintuuuuu….”Tiba-tiba, aku langsung menutup mulutku. Aku takut dia adalah orang yang sama dengan sekelompok orang yang ada di lorong di bawah bangunan yang tadi aku masuki pada siang hari.Namun, raut wajahnya yang tertutup oleh lumpur merasa heran, dia seperti tidak tahu lorong apa yang aku bicarakan pada saat itu.“Pintu?” katanya dengan sangat heran.“Pintu mana? Disini gak ada pintu, adanya sebuah lubang gua kecil di deket wilayah keluargaku, dan aku dipercaya untuk membetulkan pipa yang b
Pemandangan yang gelap gulita itu berubah ketika aku merasakan rasa hangat di sekujur tubuhku, rasa hangat yang secara perlahan-lahan muncul disertai dengan semilir angin dan suara kicauan burung yang semakin lama semakin jelas terdengar.Semakin lama pemandangan gelap itu menjadi terang kembali, ketika secara perlahan-lahan aku membuka mataku, dan melihat sinar matahari yang begitu terang dan menyilaukan mata muncul dari pepohonan yang sangat lebat.Apalagi, ketika aku melihat ke sekeliling tempat tersebut, aku melihat beberapa orang yang memakai pakaian lusuh dengan bambu besar yang dia gendong bersamaan dengan beberapa orang yang lainnya yang sedang berada di sekitarku.“Arggh, dimana ini?” kataku.Rupanya, apa yang aku katakan terdengar oleh beberapa orang itu, dan salah seorang dari mereka tiba-tiba berteriak dan memanggil teman-temannya yang berada tak jauh dari sana.“MANGGGGG, IEU JELEMANA GEUS SADAR MANG! (INI ORANGNYA DAH SADAR MANG!)”Dia memanggil beberapa orang dan mendek
Nyi Mas Andini kembali tersenyum, kedua tangannya dia silangkan di atas meja, seperti mengisyaratkan bahwa dirinyalah yang menjadi tuan rumah di tempat ini.“Namun, aku mempunyai suatu kekhawatiran, kekhawatiran atas sesuatu yang tidak aku perkirakan.”“Yaitu pengorbanan hidup bapakmu yang membuka semua gerbang ke tempat ini dari segala penjuru, sehingga makhluk-makhluk yang lebih kuat dariku masuk begitu saja ke tempat ini,” Ucapnya dengan nada yang tenang.“APAAAAA?”“JADI, BAPAK SU, SU, SUDAH MENINGGAL?” kataku dengan nada yang sangat kaget.Nyi Mas Andini hanya bisa mengangguk, dia meyakinkan ku bahwa dirinya berbuat suatu perjanjian kepada para makhluk itu, para makhluk yang kejam yang bisa mengambil alih hutan yang dia tinggali ketika mereka sudah terbebas dari tugasnya yang membelenggu selama ini.“Jadi, aku sekarang sudah tidak butuh kamu lagi, sudah tidak butuh warga Kampung Halimun lagi.”“Aku tidak peduli dengan kalian.”“Tapi dalam perjanjian itu, ada beberapa orang yang s
Sebuah ruangan yang terang tiba-tiba muncul, terang karena lilin-lilin yang menyala sebegitu banyaknya. Ruangan itu seperti sebuah rumah kayu yang entah berada dimana, rumah kayu yang terlihat klasik karena disertai dengan perabotan yang cantik dengan ukiran-ukiran yang khas di semua sudutnya.Aku sedang duduk disana, duduk di sebuah kursi kayu dengan sebuah meja yang penuh akan makanan yang sangat lezat dan menggugah selera.Ikan asin, ayam goreng, tempe goreng, nasi liwet panas yang masih berasap, juga beberapa sayuran seperti tumis pakis, tumis bayam, lalu ada juga sambal terasi dan lalapan seperti jengkol, pete, juga leunca sebagai tambahannya.Sebuah sajian khas dari masyarakat sunda yang paling enak menurutku.Namun, aku bingung, kenapa aku berada disini, kenapa aku tiba-tiba duduk dengan banyak sekali makanan yang ada tepat di depan mataku.Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku beberapa kali, bahkan menggosok-gosokan kedua mataku karena aku tidak percaya atas apa yang aku rasak
“Ke-kenapa ini?” “Tu-tu-tubuhku?” “Mu-mulutku?” “Kenapa bergerak sendiri?” Aku kebingungan, benar-benar heran melihat tubuhku yang diambil alih oleh sesuatu, aku tidak berbicara sekarang, pandanganku juga diatur oleh sesuatu yang menggerakan wajahku. Sepertinya, tanpa sadar, tubuhku diambil alih oleh sesosok wanita yang merupakan anak Pak Kades bernama Neng. Anak yang mayatnya aku temui di dalam gua dengan kondisi wajahnya yang hancur tak tersisa, mayat yang hidup dan berjalan ketika ada suara dan gerakan. Kali ini, jiwanya muncul dan masuk ke dalam tubuhku, karena dia berbicara panjang lebar dengan bapaknya yang ada disana. Sedangkan jiwa-jiwa yang lainnya… Deg Mataku yang digerakan oleh dirinya kini melihat jiwa-jiwa itu berada di antara Pak Kades dan Pak Emen. Mereka berdiri seperti kepulan asap yang tembus pandang. Dan jumlahnya pun bukan satu atau dua, namun banyak. Mereka yang berasal dari beberapa generasi di atasku, bahkan mungkin salah satu dari mereka adalah leluhur
Ritual Babad Raga, itulah yang kini dilakukan Pak Emen dengan Pak Kades sekarang. Ritual yang dulu dijalankan oleh bapak sebagai seseorang yang memimpin ritual setelah caranya diturunkan secara turun-temurun dari kakek dan kakek buyut.Namun, karena suatu hal bapak menghilang hingga saat ini. Sehingga Pak Emen yang awalnya membantu bapak memimpin ritual terakhir untuk menarik jiwaku agar dipersembahkan kepada NU MAHA AGUNG, yang saat ini sedang melayang-layang di sekitar mereka.Biasanya ada dua ritual yang harus dilakukan, yaitu ritual pemanggilan yang mengharuskan para manusia memotong sesajen berupa ayam cemani dan ikan mas, dan yang kedua adalah ritual penarikan yang kini sedang dilakukan oleh Pak Emen.Pak Emen terlihat dengan serius duduk tepat di depanku, kedua tangannya terlihat dirapatkan dan disimpan ke atas kepala seperti sedang menyembah sesuatu. Sebuah dupa panjang yang menyala terlihat menyelip di antara kedua tangan itu sehingga kepalanya terlihat berasap.Dia bergumam
“Pak Rudii, Pakkk!”Tampak seseorang yang sedang memakai helm proyek berwarna kuning memanggil seseorang yang ada di depan sebuah Gedung tinggi yang belum selesai, dia memakai helm berwarna biru dengan banyak sekali kertas-kertas yang dia bawa.Pak Rudi yang sedang sibuk membaca rancangan proyek yang ada disana hanya mengangkat tangannya ke arah orang tersebut, dia mengisyaratkan agar dirinya mendekat kepadanya.“Pak ini rancangan atas gedung setelah konstruksinya selesai, di dalamnya juga sudah ada penambahan saluran udara, juga rancangan saluran air dan AC Pak,” katanya sambil menyodorkan beberapa kertas yang digulung pada saat itu.Pak Rudi yang sedang sibuk membawa kertas lain di tangannya akhirnya mengambil kertas itu dan diselipkan di antara tangan dan tubuhnya.“Nanti akan aku baca sekaligus mengecek semua rancangan saluran udara, air dan AC ini ke dalam ya,” kata Pak Rudi yang tampak berwibawa.Orang itu pun mengangguk, dia akhirnya berlari kembali meninggalkan Pak Rudi dan ke
Kejadian yang terjadi di Kampung Halimun semakin membuat gempar, bahkan hal itu dirasakan oleh salah satu kampung yang letaknya paling dekat dengan Kampung Halimun, sebuah kampung yang bernama Bale Leutik yang tepat berada di sisi hutan selepas perbatasan dari hutan perbatasan yang menjadi penghubung Kabupaten Bandung dan Cianjur.Sebuah kampung yang sangat besar, karena dilalui oleh jalanan provinsi yang menghubungkan kedua kabupaten sehingga masih banyak orang yang berlalu lalang meskipun malam sudah semakin larut.Mereka merasakan bahwa pada malam ini, terasa sangat berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Hawa dingin pegunungan yang biasanya bisa mereka atasi dengan suhu tubuh mereka yang sudah beradaptasi dengan lingkungan sekitar, kini merasa kedinginan. Bahkan mereka melapis tubuh mereka dengan baju dalam dan jaket tebal serta sarung yang mereka kenakan.Apalagi, malam itu terdengar sangat gaduh, suara-suara dari hewan hutan yang tiba-tiba muncul dan berlarian seperti ketakutan o
Mataku benar-benar terbelalak, itu benar-benar Toni yang muncul di antara suara-suara yang sedang menggebrak pintu di tempat ini pada saat ini.Dia hanya berjalan sendirian dan tanpa ada ekspresi apapun pada saat itu. Sehingga membuat semua orang yang ada disana tiba-tiba terdiam dan menoleh ke arah Toni secara bersamaan. Bahkan, Maman yang dari tadi berlari dengan sekuat tenaga pun heran, karena yang muncul dari arah pintu bukanlah para makhluk yang meneror dirinya, melainkan seseorang yang dia kenal.“Bu, bukannya itu anak Pak Ayi?” kata Pak Emen yang tiba-tiba kaget ketika melihat Toni berjalan ke arah mereka.“Kenapa anaknya Pak Ayi berada disini?”Mereka yang berada disana terheran-heran atas apa yang terjadi kepada Toni pada saat itu. Mungkin saja seorang anak kecil yang tiba-tiba datang di hadapan mereka di tengah-tengah teror yang menakutkan yang mengelilingi mereka.Sontak, Para warga yang mengetahui bahwa anak itu adalah Toni, langsung mendekati Toni yang kini berdiri di dek
Teriakan, demi teriakan menggema di seluruh kampung. Mereka sekarang sudah tidak bisa membedakan lagi alam manusia dan alam gaib yang diliputi oleh kabut merah.Para warga yang seharusnya aman ketika bersembunyi di rumah-rumah mereka, kini tidak bisa kabur kemana-mana lagi. Karena para makhluk yang ada di dalam kabut tersebut sekarang bisa masuk ke dalam rumah-rumah warga dan mencabut nyawa mereka.Suasana tampak sangat kacau, suara berisik dan suara cekikikan terdengar di dalam kabut, bahkan anak-anak yang menangis, yang belum sempat hidup lama di kampung ini pun tak luput dari teror mereka.Parah makhluk yang sudah menunggu setelah beratus-ratus tahun lamanya, kini bisa berpesta pora. Meneror semua manusia yang ada di dalamnya, mencabut nyawa mereka satu persatu dengan cara yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya hingga kondisi mereka terlihat sangat mengenaskan.Terlihat, darah-darah merah merona muncul di antara dinding-dinding rumah, darah itu mengucur secara perlahan dari