“Kang, Kang, Kang, Hudang Kang! (Kang, Kang, Kang bangun Kang!).”
Ada suara yang terdengar di telingaku, juga suara tepukan di bahuku yang membuat aku tersadar.
“Ini sudah sampe di perbatasan Kabupaten Bandung.”
Aku seketika membuka mataku, dan menengok ke sebelah kanan, terlihat seorang supir truk yang membangunkanku, dan memberitahuku bahwa truk yang dia kendarai sudah sampai ke lokasi yang aku tuju.
Aku baru sadar bahwa aku hari ini baru saja keluar dari penjara di kota, penjara yang selama ini menjadi tempat tinggalku selama tiga tahun kebelakang, dan sekarang adalah hari kebebasanku dan selepas aku bebas, aku memutuskan untuk kembali pulang, pulang ke kampung halamanku yang dulu.
“Eh sudah sampai ya Pak?” Jawabku.
Sopir itu mengangguk, aku lalu turun dari truk secara perlahan dan mengambil tas yang aku simpan di jok depan sebelah tempatku duduk tadi.
"Pak, Terima kasih banyak sudah memberikan tumpangan," kataku kepada sopir tersebut.
Setelah mengucapkan terima kasih aku pun mulai melangkah pergi, namun ketika beberapa langkah berjalan.
“Eh Kang tunggu sebentar!" kata sopir tersebut menghentikan langkahku.
“Emang mau ke mana? Bukanya ini hutan lebat ya?” Sopir truk itu bertanya tujuanku.
“Kampungku ada di tengah hutan ini Pak, jadi dari sini harus berjalan kaki menyusuri hutan,” Jawabku.
“Owh,” kata sopir yang merasa keheranan atas jawaban dariku.
“Ya sudah hati-hati dijalan ya Pak, terima kasih sudah memberikanku tumpangan,” kataku sambil melangkahkan kakiku kembali ke jalan setapak yang terlihat di depanku.
Sopir itu kemudian tersenyum kepadaku lalu kemudian melambaikan tangannya.
Bruum bruum
Terdengar suara truk itu melaju kembali, meninggalkan ku sendirian, aku melangkah menyusuri jalan setapak secara perlahan. Tanpa terasa, aku sudah ada di tengah hutan perbatasan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur, namun aku tidak masalah atas hal itu, karena memang jalan setapak ini adalah jalan satu-satunya menuju kampung ku. Yaitu Kampung Halimun, sebuah kampung yang sulit diakses dan letak nya ada di tengah hutan ini.
Aku sudah meninggalkan kampung selama 3 tahun semenjak aku ditangkap dan dipenjara, karena aku dituduh melakukan pencurian emas milik Ibu oleh Bapakku sendiri yang sebenarnya sama sekali tidak aku lakukan.
Aku hanya ditugaskan oleh Ibu untuk menjual emas itu keluar kampung pada waktu itu, namun Bapak menuduhku membawa kabur emas itu dan akan menjualnya keluar kampung untuk berfoya-foya di sana. Aku sudah melakukan pembelaan ketika disidang di Balai Desa, namun para warga kampung lebih percaya pada bapak daripada pembelaanku, sehingga aku ditangkap dan dipenjara selama 3 tahun. Dan hari ini adalah hari pertama kepulanganku setelah 3 tahun keluar dari kampung.
***
Kampung Halimun adalah kampung yang tersembunyi, letaknya tepat berada di perbatasan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur, kampung tersebut hanya bisa dilalui oleh jalan setapak yang melewati hutan, jalan setapak yang biasa digunakan oleh pejalan kaki dan motor trail ini adalah pintu masuk dan pintu keluar satu-satunya ke Kampung Halimun, kampung yang menjadi tempat tinggal sejak aku kecil.
Apabila berjalan dari jalan besar, bisa menempuh waktu selama tiga jam dengan berjalan kaki, dan bisa ditempuh dalam waktu satu jam apabila dilalui dengan motor trail. Jalanan yang masih berupa tanah dan berbatu, serta banyak terdapat kubangan-kubangan air apabila hujan turun, membuat Kampung Halimun sangat sulit diakses, saking sulitnya listrik dari pemerintah hingga saat ini masih belum sampai ke kampung tersebut, namun para warga berinisiatif membeli solar panel untuk penerangan kampung dengan swadaya sendiri.
Namun di tengah kekurangan itu, para warga memenuhi semua kebutuhannya sendiri, mereka sengaja membeli solar panel untuk penerangan kampung, lalu mereka juga membangun beberapa bangunan untuk segala keperluan kampung. Sehingga meskipun Kampung Halimun adalah kampung terpencil, namun fasilitas di dalam kampung sungguh lengkap. Dari mulai pasar, sekolah hingga kantor desa semua ada di sana. Sehingga para warga tidak perlu keluar kampung untuk keperluan sekolah dan keperluan lainnya, kecuali apabila liburan atau mengunjungi kerabatnya yang ada di kota baru mereka keluar kampung melewati jalan setapak ini.
“Sepertinya hujan kabut akan turun,” Pikirku sembari memandang ke atas hutan.
Terasa rintik-rintik hujan membasahi kepalaku sekarang, hujan gerimis yang turun yang dibarengi kabut mulai membasahi di sepanjang perjalananku pada waktu itu, terasa pula rasa dingin di sekujur tubuhku yang membuatku harus memakai jaket tebal yang aku simpan di dalam tas.
Sesuai namanya, Kampung Halimun berarti Kampung Kabut dalam Bahasa Indonesia, karena memang di kampung ini sering sekali turun kabut dan menutupi seluruh kampung, namun karena aku sudah hidup cukup lama di kampung ini, aku sudah terbiasa dengan suasana yang seperti ini.
Dan benar saja, kepulan asap warna putih seketika turun, menutupi pepohonan hutan dan jalan setapak yang aku lewati. Jarak pandang yang tadinya luas kini terbatas, yang kulihat hanya warna putih dari kabut yang turun di jalan setapak itu.
Mungkin bagi orang luar kampung, situasi seperti ini akan membuatnya panik, namun tidak denganku, karena aku sudah hafal dengan rute ini sehingga di tengah kabut tebal pun aku terus melangkahkan kakiku menuju kampung tanpa ada rasa khawatir sama sekali.
“Wah sudah mau magrib, aku harus segera sampai kampung supaya aku tidak kemalaman di jalan,” Pikirku, sembari melihat jam tanganku yang menunjukkan pukul 16:45 sore.
Akhirnya aku mulai mempercepat langkahku, aku menyusuri hutan dengan tergesa-gesa, melewati beberapa kubangan lumpur yang menggenang di jalan setapak tersebut, juga melewati beberapa aliran air yang mengalir ke jalan, sehingga beberapa kali aku harus sedikit melompat untuk menghindari kubangan air itu.
Dan akhirnya aku sampai, sampai di ujung hutan lebat yang baru saja aku lewati, sisanya tinggal menyebrang ke sebuah jembatan bambu yang menjadi pintu masuk Kampung Halimun.
Terlihat di depanku jembatan bambu yang kokoh berdiri sebagai pembatas desa dengan hutan lebat itu. Sebuah pintu masuk desa yang sering dipakai orang-orang sebagai pintu masuk menuju kampung.
Namun seketika ada yang aneh.
Rasa dingin yang kurasakan seketika menghilang, secara tiba-tiba aku merasakan langkah yang berat ketika aku berjalan, aku seperti tidak diperbolehkan untuk melintasi jembatan itu.
Namun aku mencoba memaksakan diri, karena mungkin itu hanyalah perasaanku karena sudah tiga tahun aku meninggalkan kampung sehingga aku merasa takut akan perasaan warga kampung ketika aku kembali pulang.
Namun akhirnya aku memaksakan diri dan melewati jembatan kayu tersebut.
WUSSSSSSSSSS
Ada sensasi aneh ketika aku melintasi jembatan itu kali ini, aku seperti menembus sesuatu yang aku sendiri tidak tahu apa itu. Sesuatu yang tipis yang menyelimuti kampung dan ketika aku menembuskan diriku masuk, aku merasakan tekanan yang tipis yang terasa oleh tubuhku. Namun ketika aku berbalik aku tidak merasakan apa apa.
“Ah mungkin aku berpikir yang aneh-aneh,” Pikirku mencoba untuk tidak peduli dengan apa yang aku rasakan.
Namun tiba-tiba,
Torok tok tok tok tok
Torok tok tok tok tok
Terdengar suara ketukan dari arah kampung, suara ketukan yang terdengar sangat nyaring, seperti ada sesuatu di Kampung Halimun. Seketika aku pun berlari menuju kampung. Dan ketika aku sampai di pintu masuk kampung.
Aku dikagetkan dengan paniknya orang-orang yang ada di luar kampung, mereka berlarian ketika suara itu dibunyikan, para pemuda sembari membawa pentungan berlarian memberitahu warga untuk segera masuk ke dalam rumah sembari membunyikan pentungan berkeliling kampung.
"MASUK....!! CEPAT MASUK RUMAH KALIAN!!!"
Suasana yang awalnya tenang kini berubah menjadi kepanikan, anak-anak yang sedang bermain di luar dengan cepat di gendong oleh orang tuanya untuk masuk ke dalam rumah, para pemuda yang sedang berkumpul di depan motor trailnya sengaja meninggalkan motornya dan masuk ke dalam rumah di dekatnya, lalu para bapak-bapak yang asyik berkumpul di depan pos ronda pun mendadak panik dan bubar ke rumah masing-masing.
“KANGGGGGG, KANGGGGGG!!!”
Di tengah kepanikan itu ada seseorang yang berteriak kepadaku, berteriak dengan lantang dari tengah-tengah kampung.
“CEPETAN PULANG, SEGERA MASUK RUMAH, JANGAN SAMPE ADA DILUAR RUMAH, LIMA MENIT LAGI SEMUANYA BERUBAH!!!” Pemuda itu berteriak sembari menyembunyikan pentungan menjauh berlari ke dalam kampung.
Aku yang tidak mengerti atas kepanikan ini hanya bisa terdiam, teriakan dari seorang pemuda itu juga aku tidak tahu maksudnya apa, dia berlari kesana kemari berkeliling kampung secara berkelompok, dia memberi peringatan kepada semua orang yang sedang beraktifitas di sore itu, semuanya terasa riuh, mereka dengan terburu-buru menyelamatkan dirinya dan masuk ke rumahnya masing-masing. Aku baru kali ini melihat pemandangan seperti ini, pemandangan para warga yang berlarian ketika pertama kali aku pulang ke rumah, aku tidak tahu tentang apa yang terjadi saat ini. Yang aku tahu saat ini adalah aku sudah sampai ke Kampung Halimun dan aku akan segera pulang ke rumah. Tik... Tok... Tik... Tok... Pukul 17:58 dan aku masih berdiri melihat para warga yang berlarian menuju rumahnya masing-masing, aku merasa heran atas perilaku warga sekarang, biasanya di jam segini para warga masih asyik berkumpul di depan rumah sembari mengobrol atau beraktifitas dengan warga lain, namun kali ini seketika be
Aku seketika mengarahkan pandanganku ke atas, tepat disana ku kulihat wanita yang sedang duduk, wanita itu duduk dengan kaki yang menggantung di atas ranting-ranting pohon yang besar itu, dengan rambut yang menutupi wajahnya dia menatap tajam ke arahku yang ada di bawahnya. Hihihihihi.... Tercium aroma bunga melati yang menyeruak tetapi penampilannya tidak seindah wanginya dengan mulutnya seketika terbuka, dengan tertawa yang menyeramkan dia tertawa menertawakanku yang sedang panik di bawah sini. Giginya yang tajam sedikit terlihat dari sela-sela rambut yang terurai dari wajahnya, juga baju putih yang terlihat kotor dan lusuh, juga noda-noda darah merah yang sepertinya sudah mengering terlihat dari bajunya yang putih itu. “Itu kuntilanak kan?” pikirku. Aku mundur beberapa langkah, berusaha menjauh dari pohon di pinggir jurang tempat kuntilanak itu duduk dan menertawakanku malam itu. “Aya korban hiji deui. (Ada korban satu lagi.)” Hihihihihihihi Wussshh Tiba-tiba kuntilanak itu
"Awas itu kepalanya!!" "Geser geser ke kanan sedikit." "Pelan-pelan." Terdengar suara-suara di telingaku banyak sekali suara gaduh yang terdengar, suara dari orang-orang yang seperti sedang sibuk akan sesuatu, aku secara perlahan tersadar dan membuka mataku, terlihat di sana aku seperti sedang di gotong oleh para warga kampung yang berbondong-bondong membawaku dengan tandu yang dibuat secara darurat. “Bawa ke Puskesmas, awas minggir, ada orang yang selamat,” teriak seseorang yang sedang menanduku. Jari-jari tanganku mulai bisa digerakkan dan mataku mulai terbuka sedikit demi sedikit, terlihat cahaya matahari pagi kini menyinari tubuhku, aku menengok ke sebelah kiri dan terlihat rumah-rumah besar yang berjejer dengan mewahnya di kampung tersebut, juga beberapa motor trail yang terparkir berjejer di rumah-rumah tersebut, pemandangan ini adalah pemandangan yang tidak asing bagiku, karena apa yang kulihat ini adalah Kampung Halimun yang aku kenal. Tubuhku sangat lemas, aku belum bisa
Aku terdiam melihat Ibu menangis siang itu, kulihat orang-orang yang berlalu lalang kini tidak sesemangat seperti dahulu. Terlihat dari kepanikan wajah-wajah mereka yang seolah-olah menginginkan hal yang terjadi ini akan segera berakhir. “Ibu tidak tahu kapan persisnya Abdi,” kata Ibuku sembari memegang tanganku. “Ini dimulai sejak empat hari yang lalu, semuanya tampak normal, Ibu dan Bapakmu seperti biasa pergi ke ladang untuk berkebun dan memanen sayuran yang nantinya akan diberikan ke pengepul di jalan besar dekat hutan perbatasan.” Kulihat wajahnya Ibu tampak sedih ketika dia menceritakan tentang hal yang sebenarnya, aku yang masih belum mengerti tentang semua ini hanya bisa terdiam melihat Ibuku bercerita tentang apa yang dia ketahui selama ini. “Ibu tidak tahu bagaimana awalnya terjadi seperti ini, Ibu dan Bapak pulang dari kebun sore hari, dan melihat aktivitas kampung seperti biasa.” “Namun ketika magrib menjelang, tiba-tiba terdengar teriakan orang yang berada dari luar,
Waktu sudah beranjak siang di Kampung Halimun, sinar matahari menyinari Kampung Halimun, sinarnya dengan sangat terang. Juga angin hutan yang sejuk membuat hawa di Kampung Halimun sangat sejuk. Setelah beristirahat cukup dan makan sarapan yang dibuatkan ibu, aku pun mulai menyiapkan diri untuk mengungkap misteri hilangnya Bapak. Aku yang saat itu berdiam diri di kamar mengetahui tempat yang akan Bapak tuju sewaktu menghilang, dan akupun mencoba mencari tahu dengan menggambar peta sederhana di sebuah kertas untuk patokanku mencari Bapak. “Bu!” kataku. “Apabila aku belum pulang ketika sore tiba, kunci pintunya! Jangan menungguku! “ “Aku akan mencari tempat untuk berlindung di dekatku ketika sore tiba.” aku tersenyum kepada Ibu. Ibuku sempat melarang aku untuk berangkat kembali, karena belum satu hari dia bertemu anak satu-satunya. Namun dia akan kembali keluar untuk mencari Bapaknya yang sudah menghilang selama tiga hari ini. Namun aku meyakinkan Ibuku bahwa aku akan baik-baik saj
“Akhirnya aku menemukan pintu masuknya, tapi apa benar Bapak kesini?” Aku masih memikirkan tentang Bapak, Bapak yang bertubuh gemuk pasti akan kesulitan untuk melewati semak-semak ini. Apalagi pintu depan yang seharusnya dimasuki kini tertutup bilik bambu, sehingga aku harus memutar menyusuri dinding hingga sampai di belakang bangunan tersebut. Dan terlihat sebuah pintu belakang yang sudah rusak dan bisa dibuka sehingga aku bisa melangkahkan kakiku ke dalam. Baru kali ini aku melangkahkan kaki di bangunan ini, sedari kecil aku tidak diperbolehkan masuk ke dalam beberapa bangunan yang biasanya dipakai untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu di Kampung Halimun, salah satu nya bangunan ini. Ibu dan Bapak selalu menyuruhku untuk tidak memandangi bangunan ini terlalu lama ketika aku melintas di bangunan ini untuk ke sawah. Dan itu tidak berlaku untukku saja, namun itu juga berlaku untuk anak-anak kecil yang berada di Kampung Halimun. Mereka diingatkan oleh orang tuanya untuk tidak ber
Aku yang sudah tiga tahun berada di luar kampung kini merasakan kebingungan yang luar biasa, apalagi seumur hidupku aku baru pertama kali masuk ke bangunan ini. Namun, aku lebih merasa heran dengan kedua orang tadi yang mengobrol dengan santai bahkan gelagat mereka justru terlihat biasa saja, saat dimana orang lain sedang panik karena mereka tidak bisa keluar kampung dan terjebak disini entah sampai kapan. Aku pun akhirnya menuruni tangga tersebut secara perlahan. Aku sengaja memelankan suara langkahku karena aku takut diketahui oleh mereka berdua, karena aku merasa tempat yang akan mereka tuju mempunyai sesuatu yang disembunyikan yang tidak diketahui oleh warga. Dibawah tangga tersebut terdapat lorong yang sangat panjang, sebuah lorong yang terlihat seperti sebuah gua, seperti gua belanda dengan dinding yang sudah diberi semen sehingga dindingnya terlihat sangat mulus. Juga, ada beberapa lampu lima watt yang menyala di dalam lorong tersebut sehingga tidak menyulitkanku untuk meliha
“Berhentiii!” kata salah satu orang yang mengejarku pada saat itu. Beberapa orang yang ada di depannya mendadak berhenti, tepat ketika langkah kaki mereka akan melewati lorong gelap yang sudah aku lewati sebelumnya pada saat itu. “Sepertinya tidak mungkin lari ke sebelah sini, karena disini ada lorong gelap yang kita sendiri pun tidak tahu ujungnya seperti apa, karena lorong ini sudah ada dari zaman leluhur kita dulu. Kita harus waspada karena banyak sekali tempat yang bisa membahayakan kita di kampung ini.” “Lebih baik kita balik lagi ke belakang dan memberitahu bahwa orang yang menguping pembicaraan kita tidak lewat sini.” Beberapa orang yang mendengar ucapan itu akhirnya mengangguk, mereka akhirnya membalikan badannya dan berjalan kembali ke sebuah ruangan kecil tempat yang menjadi pintu keluar dari lorong ini. Tampak, beberapa orang yang lain sedang duduk dan berdiri sambil menyandarkan tubuhnya ke arah dinding di ruangan kecil tersebut. Mereka terlihat menunggu sambil menghis