“Kang, Kang, Kang, Hudang Kang! (Kang, Kang, Kang bangun Kang!).”
Ada suara yang terdengar di telingaku, juga suara tepukan di bahuku yang membuat aku tersadar.
“Ini sudah sampe di perbatasan Kabupaten Bandung.”
Aku seketika membuka mataku, dan menengok ke sebelah kanan, terlihat seorang supir truk yang membangunkanku, dan memberitahuku bahwa truk yang dia kendarai sudah sampai ke lokasi yang aku tuju.
Aku baru sadar bahwa aku hari ini baru saja keluar dari penjara di kota, penjara yang selama ini menjadi tempat tinggalku selama tiga tahun kebelakang, dan sekarang adalah hari kebebasanku dan selepas aku bebas, aku memutuskan untuk kembali pulang, pulang ke kampung halamanku yang dulu.
“Eh sudah sampai ya Pak?” Jawabku.
Sopir itu mengangguk, aku lalu turun dari truk secara perlahan dan mengambil tas yang aku simpan di jok depan sebelah tempatku duduk tadi.
"Pak, Terima kasih banyak sudah memberikan tumpangan," kataku kepada sopir tersebut.
Setelah mengucapkan terima kasih aku pun mulai melangkah pergi, namun ketika beberapa langkah berjalan.
“Eh Kang tunggu sebentar!" kata sopir tersebut menghentikan langkahku.
“Emang mau ke mana? Bukanya ini hutan lebat ya?” Sopir truk itu bertanya tujuanku.
“Kampungku ada di tengah hutan ini Pak, jadi dari sini harus berjalan kaki menyusuri hutan,” Jawabku.
“Owh,” kata sopir yang merasa keheranan atas jawaban dariku.
“Ya sudah hati-hati dijalan ya Pak, terima kasih sudah memberikanku tumpangan,” kataku sambil melangkahkan kakiku kembali ke jalan setapak yang terlihat di depanku.
Sopir itu kemudian tersenyum kepadaku lalu kemudian melambaikan tangannya.
Bruum bruum
Terdengar suara truk itu melaju kembali, meninggalkan ku sendirian, aku melangkah menyusuri jalan setapak secara perlahan. Tanpa terasa, aku sudah ada di tengah hutan perbatasan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur, namun aku tidak masalah atas hal itu, karena memang jalan setapak ini adalah jalan satu-satunya menuju kampung ku. Yaitu Kampung Halimun, sebuah kampung yang sulit diakses dan letak nya ada di tengah hutan ini.
Aku sudah meninggalkan kampung selama 3 tahun semenjak aku ditangkap dan dipenjara, karena aku dituduh melakukan pencurian emas milik Ibu oleh Bapakku sendiri yang sebenarnya sama sekali tidak aku lakukan.
Aku hanya ditugaskan oleh Ibu untuk menjual emas itu keluar kampung pada waktu itu, namun Bapak menuduhku membawa kabur emas itu dan akan menjualnya keluar kampung untuk berfoya-foya di sana. Aku sudah melakukan pembelaan ketika disidang di Balai Desa, namun para warga kampung lebih percaya pada bapak daripada pembelaanku, sehingga aku ditangkap dan dipenjara selama 3 tahun. Dan hari ini adalah hari pertama kepulanganku setelah 3 tahun keluar dari kampung.
***
Kampung Halimun adalah kampung yang tersembunyi, letaknya tepat berada di perbatasan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur, kampung tersebut hanya bisa dilalui oleh jalan setapak yang melewati hutan, jalan setapak yang biasa digunakan oleh pejalan kaki dan motor trail ini adalah pintu masuk dan pintu keluar satu-satunya ke Kampung Halimun, kampung yang menjadi tempat tinggal sejak aku kecil.
Apabila berjalan dari jalan besar, bisa menempuh waktu selama tiga jam dengan berjalan kaki, dan bisa ditempuh dalam waktu satu jam apabila dilalui dengan motor trail. Jalanan yang masih berupa tanah dan berbatu, serta banyak terdapat kubangan-kubangan air apabila hujan turun, membuat Kampung Halimun sangat sulit diakses, saking sulitnya listrik dari pemerintah hingga saat ini masih belum sampai ke kampung tersebut, namun para warga berinisiatif membeli solar panel untuk penerangan kampung dengan swadaya sendiri.
Namun di tengah kekurangan itu, para warga memenuhi semua kebutuhannya sendiri, mereka sengaja membeli solar panel untuk penerangan kampung, lalu mereka juga membangun beberapa bangunan untuk segala keperluan kampung. Sehingga meskipun Kampung Halimun adalah kampung terpencil, namun fasilitas di dalam kampung sungguh lengkap. Dari mulai pasar, sekolah hingga kantor desa semua ada di sana. Sehingga para warga tidak perlu keluar kampung untuk keperluan sekolah dan keperluan lainnya, kecuali apabila liburan atau mengunjungi kerabatnya yang ada di kota baru mereka keluar kampung melewati jalan setapak ini.
“Sepertinya hujan kabut akan turun,” Pikirku sembari memandang ke atas hutan.
Terasa rintik-rintik hujan membasahi kepalaku sekarang, hujan gerimis yang turun yang dibarengi kabut mulai membasahi di sepanjang perjalananku pada waktu itu, terasa pula rasa dingin di sekujur tubuhku yang membuatku harus memakai jaket tebal yang aku simpan di dalam tas.
Sesuai namanya, Kampung Halimun berarti Kampung Kabut dalam Bahasa Indonesia, karena memang di kampung ini sering sekali turun kabut dan menutupi seluruh kampung, namun karena aku sudah hidup cukup lama di kampung ini, aku sudah terbiasa dengan suasana yang seperti ini.
Dan benar saja, kepulan asap warna putih seketika turun, menutupi pepohonan hutan dan jalan setapak yang aku lewati. Jarak pandang yang tadinya luas kini terbatas, yang kulihat hanya warna putih dari kabut yang turun di jalan setapak itu.
Mungkin bagi orang luar kampung, situasi seperti ini akan membuatnya panik, namun tidak denganku, karena aku sudah hafal dengan rute ini sehingga di tengah kabut tebal pun aku terus melangkahkan kakiku menuju kampung tanpa ada rasa khawatir sama sekali.
“Wah sudah mau magrib, aku harus segera sampai kampung supaya aku tidak kemalaman di jalan,” Pikirku, sembari melihat jam tanganku yang menunjukkan pukul 16:45 sore.
Akhirnya aku mulai mempercepat langkahku, aku menyusuri hutan dengan tergesa-gesa, melewati beberapa kubangan lumpur yang menggenang di jalan setapak tersebut, juga melewati beberapa aliran air yang mengalir ke jalan, sehingga beberapa kali aku harus sedikit melompat untuk menghindari kubangan air itu.
Dan akhirnya aku sampai, sampai di ujung hutan lebat yang baru saja aku lewati, sisanya tinggal menyebrang ke sebuah jembatan bambu yang menjadi pintu masuk Kampung Halimun.
Terlihat di depanku jembatan bambu yang kokoh berdiri sebagai pembatas desa dengan hutan lebat itu. Sebuah pintu masuk desa yang sering dipakai orang-orang sebagai pintu masuk menuju kampung.
Namun seketika ada yang aneh.
Rasa dingin yang kurasakan seketika menghilang, secara tiba-tiba aku merasakan langkah yang berat ketika aku berjalan, aku seperti tidak diperbolehkan untuk melintasi jembatan itu.
Namun aku mencoba memaksakan diri, karena mungkin itu hanyalah perasaanku karena sudah tiga tahun aku meninggalkan kampung sehingga aku merasa takut akan perasaan warga kampung ketika aku kembali pulang.
Namun akhirnya aku memaksakan diri dan melewati jembatan kayu tersebut.
WUSSSSSSSSSS
Ada sensasi aneh ketika aku melintasi jembatan itu kali ini, aku seperti menembus sesuatu yang aku sendiri tidak tahu apa itu. Sesuatu yang tipis yang menyelimuti kampung dan ketika aku menembuskan diriku masuk, aku merasakan tekanan yang tipis yang terasa oleh tubuhku. Namun ketika aku berbalik aku tidak merasakan apa apa.
“Ah mungkin aku berpikir yang aneh-aneh,” Pikirku mencoba untuk tidak peduli dengan apa yang aku rasakan.
Namun tiba-tiba,
Torok tok tok tok tok
Torok tok tok tok tok
Terdengar suara ketukan dari arah kampung, suara ketukan yang terdengar sangat nyaring, seperti ada sesuatu di Kampung Halimun. Seketika aku pun berlari menuju kampung. Dan ketika aku sampai di pintu masuk kampung.
Aku dikagetkan dengan paniknya orang-orang yang ada di luar kampung, mereka berlarian ketika suara itu dibunyikan, para pemuda sembari membawa pentungan berlarian memberitahu warga untuk segera masuk ke dalam rumah sembari membunyikan pentungan berkeliling kampung.
"MASUK....!! CEPAT MASUK RUMAH KALIAN!!!"
Suasana yang awalnya tenang kini berubah menjadi kepanikan, anak-anak yang sedang bermain di luar dengan cepat di gendong oleh orang tuanya untuk masuk ke dalam rumah, para pemuda yang sedang berkumpul di depan motor trailnya sengaja meninggalkan motornya dan masuk ke dalam rumah di dekatnya, lalu para bapak-bapak yang asyik berkumpul di depan pos ronda pun mendadak panik dan bubar ke rumah masing-masing.
“KANGGGGGG, KANGGGGGG!!!”
Di tengah kepanikan itu ada seseorang yang berteriak kepadaku, berteriak dengan lantang dari tengah-tengah kampung.
“CEPETAN PULANG, SEGERA MASUK RUMAH, JANGAN SAMPE ADA DILUAR RUMAH, LIMA MENIT LAGI SEMUANYA BERUBAH!!!” Pemuda itu berteriak sembari menyembunyikan pentungan menjauh berlari ke dalam kampung.
Aku yang tidak mengerti atas kepanikan ini hanya bisa terdiam, teriakan dari seorang pemuda itu juga aku tidak tahu maksudnya apa, dia berlari kesana kemari berkeliling kampung secara berkelompok, dia memberi peringatan kepada semua orang yang sedang beraktifitas di sore itu, semuanya terasa riuh, mereka dengan terburu-buru menyelamatkan dirinya dan masuk ke rumahnya masing-masing. Aku baru kali ini melihat pemandangan seperti ini, pemandangan para warga yang berlarian ketika pertama kali aku pulang ke rumah, aku tidak tahu tentang apa yang terjadi saat ini. Yang aku tahu saat ini adalah aku sudah sampai ke Kampung Halimun dan aku akan segera pulang ke rumah. Tik... Tok... Tik... Tok... Pukul 17:58 dan aku masih berdiri melihat para warga yang berlarian menuju rumahnya masing-masing, aku merasa heran atas perilaku warga sekarang, biasanya di jam segini para warga masih asyik berkumpul di depan rumah sembari mengobrol atau beraktifitas dengan warga lain, namun kali ini seketika be
Aku seketika mengarahkan pandanganku ke atas, tepat disana ku kulihat wanita yang sedang duduk, wanita itu duduk dengan kaki yang menggantung di atas ranting-ranting pohon yang besar itu, dengan rambut yang menutupi wajahnya dia menatap tajam ke arahku yang ada di bawahnya. Hihihihihi.... Tercium aroma bunga melati yang menyeruak tetapi penampilannya tidak seindah wanginya dengan mulutnya seketika terbuka, dengan tertawa yang menyeramkan dia tertawa menertawakanku yang sedang panik di bawah sini. Giginya yang tajam sedikit terlihat dari sela-sela rambut yang terurai dari wajahnya, juga baju putih yang terlihat kotor dan lusuh, juga noda-noda darah merah yang sepertinya sudah mengering terlihat dari bajunya yang putih itu. “Itu kuntilanak kan?” pikirku. Aku mundur beberapa langkah, berusaha menjauh dari pohon di pinggir jurang tempat kuntilanak itu duduk dan menertawakanku malam itu. “Aya korban hiji deui. (Ada korban satu lagi.)” Hihihihihihihi Wussshh Tiba-tiba kuntilanak itu
"Awas itu kepalanya!!" "Geser geser ke kanan sedikit." "Pelan-pelan." Terdengar suara-suara di telingaku banyak sekali suara gaduh yang terdengar, suara dari orang-orang yang seperti sedang sibuk akan sesuatu, aku secara perlahan tersadar dan membuka mataku, terlihat di sana aku seperti sedang di gotong oleh para warga kampung yang berbondong-bondong membawaku dengan tandu yang dibuat secara darurat. “Bawa ke Puskesmas, awas minggir, ada orang yang selamat,” teriak seseorang yang sedang menanduku. Jari-jari tanganku mulai bisa digerakkan dan mataku mulai terbuka sedikit demi sedikit, terlihat cahaya matahari pagi kini menyinari tubuhku, aku menengok ke sebelah kiri dan terlihat rumah-rumah besar yang berjejer dengan mewahnya di kampung tersebut, juga beberapa motor trail yang terparkir berjejer di rumah-rumah tersebut, pemandangan ini adalah pemandangan yang tidak asing bagiku, karena apa yang kulihat ini adalah Kampung Halimun yang aku kenal. Tubuhku sangat lemas, aku belum bisa
Aku terdiam melihat Ibu menangis siang itu, kulihat orang-orang yang berlalu lalang kini tidak sesemangat seperti dahulu. Terlihat dari kepanikan wajah-wajah mereka yang seolah-olah menginginkan hal yang terjadi ini akan segera berakhir. “Ibu tidak tahu kapan persisnya Abdi,” kata Ibuku sembari memegang tanganku. “Ini dimulai sejak empat hari yang lalu, semuanya tampak normal, Ibu dan Bapakmu seperti biasa pergi ke ladang untuk berkebun dan memanen sayuran yang nantinya akan diberikan ke pengepul di jalan besar dekat hutan perbatasan.” Kulihat wajahnya Ibu tampak sedih ketika dia menceritakan tentang hal yang sebenarnya, aku yang masih belum mengerti tentang semua ini hanya bisa terdiam melihat Ibuku bercerita tentang apa yang dia ketahui selama ini. “Ibu tidak tahu bagaimana awalnya terjadi seperti ini, Ibu dan Bapak pulang dari kebun sore hari, dan melihat aktivitas kampung seperti biasa.” “Namun ketika magrib menjelang, tiba-tiba terdengar teriakan orang yang berada dari luar,
Waktu sudah beranjak siang di Kampung Halimun, sinar matahari menyinari Kampung Halimun, sinarnya dengan sangat terang. Juga angin hutan yang sejuk membuat hawa di Kampung Halimun sangat sejuk. Setelah beristirahat cukup dan makan sarapan yang dibuatkan ibu, aku pun mulai menyiapkan diri untuk mengungkap misteri hilangnya Bapak. Aku yang saat itu berdiam diri di kamar mengetahui tempat yang akan Bapak tuju sewaktu menghilang, dan akupun mencoba mencari tahu dengan menggambar peta sederhana di sebuah kertas untuk patokanku mencari Bapak. “Bu!” kataku. “Apabila aku belum pulang ketika sore tiba, kunci pintunya! Jangan menungguku! “ “Aku akan mencari tempat untuk berlindung di dekatku ketika sore tiba.” aku tersenyum kepada Ibu. Ibuku sempat melarang aku untuk berangkat kembali, karena belum satu hari dia bertemu anak satu-satunya. Namun dia akan kembali keluar untuk mencari Bapaknya yang sudah menghilang selama tiga hari ini. Namun aku meyakinkan Ibuku bahwa aku akan baik-baik saj
“Akhirnya aku menemukan pintu masuknya, tapi apa benar Bapak kesini?” Aku masih memikirkan tentang Bapak, Bapak yang bertubuh gemuk pasti akan kesulitan untuk melewati semak-semak ini. Apalagi pintu depan yang seharusnya dimasuki kini tertutup bilik bambu, sehingga aku harus memutar menyusuri dinding hingga sampai di belakang bangunan tersebut. Dan terlihat sebuah pintu belakang yang sudah rusak dan bisa dibuka sehingga aku bisa melangkahkan kakiku ke dalam. Baru kali ini aku melangkahkan kaki di bangunan ini, sedari kecil aku tidak diperbolehkan masuk ke dalam beberapa bangunan yang biasanya dipakai untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu di Kampung Halimun, salah satu nya bangunan ini. Ibu dan Bapak selalu menyuruhku untuk tidak memandangi bangunan ini terlalu lama ketika aku melintas di bangunan ini untuk ke sawah. Dan itu tidak berlaku untukku saja, namun itu juga berlaku untuk anak-anak kecil yang berada di Kampung Halimun. Mereka diingatkan oleh orang tuanya untuk tidak ber
Aku yang sudah tiga tahun berada di luar kampung kini merasakan kebingungan yang luar biasa, apalagi seumur hidupku aku baru pertama kali masuk ke bangunan ini. Namun, aku lebih merasa heran dengan kedua orang tadi yang mengobrol dengan santai bahkan gelagat mereka justru terlihat biasa saja, saat dimana orang lain sedang panik karena mereka tidak bisa keluar kampung dan terjebak disini entah sampai kapan. Aku pun akhirnya menuruni tangga tersebut secara perlahan. Aku sengaja memelankan suara langkahku karena aku takut diketahui oleh mereka berdua, karena aku merasa tempat yang akan mereka tuju mempunyai sesuatu yang disembunyikan yang tidak diketahui oleh warga. Dibawah tangga tersebut terdapat lorong yang sangat panjang, sebuah lorong yang terlihat seperti sebuah gua, seperti gua belanda dengan dinding yang sudah diberi semen sehingga dindingnya terlihat sangat mulus. Juga, ada beberapa lampu lima watt yang menyala di dalam lorong tersebut sehingga tidak menyulitkanku untuk meliha
“Berhentiii!” kata salah satu orang yang mengejarku pada saat itu. Beberapa orang yang ada di depannya mendadak berhenti, tepat ketika langkah kaki mereka akan melewati lorong gelap yang sudah aku lewati sebelumnya pada saat itu. “Sepertinya tidak mungkin lari ke sebelah sini, karena disini ada lorong gelap yang kita sendiri pun tidak tahu ujungnya seperti apa, karena lorong ini sudah ada dari zaman leluhur kita dulu. Kita harus waspada karena banyak sekali tempat yang bisa membahayakan kita di kampung ini.” “Lebih baik kita balik lagi ke belakang dan memberitahu bahwa orang yang menguping pembicaraan kita tidak lewat sini.” Beberapa orang yang mendengar ucapan itu akhirnya mengangguk, mereka akhirnya membalikan badannya dan berjalan kembali ke sebuah ruangan kecil tempat yang menjadi pintu keluar dari lorong ini. Tampak, beberapa orang yang lain sedang duduk dan berdiri sambil menyandarkan tubuhnya ke arah dinding di ruangan kecil tersebut. Mereka terlihat menunggu sambil menghis
Pemandangan yang gelap gulita itu berubah ketika aku merasakan rasa hangat di sekujur tubuhku, rasa hangat yang secara perlahan-lahan muncul disertai dengan semilir angin dan suara kicauan burung yang semakin lama semakin jelas terdengar.Semakin lama pemandangan gelap itu menjadi terang kembali, ketika secara perlahan-lahan aku membuka mataku, dan melihat sinar matahari yang begitu terang dan menyilaukan mata muncul dari pepohonan yang sangat lebat.Apalagi, ketika aku melihat ke sekeliling tempat tersebut, aku melihat beberapa orang yang memakai pakaian lusuh dengan bambu besar yang dia gendong bersamaan dengan beberapa orang yang lainnya yang sedang berada di sekitarku.“Arggh, dimana ini?” kataku.Rupanya, apa yang aku katakan terdengar oleh beberapa orang itu, dan salah seorang dari mereka tiba-tiba berteriak dan memanggil teman-temannya yang berada tak jauh dari sana.“MANGGGGG, IEU JELEMANA GEUS SADAR MANG! (INI ORANGNYA DAH SADAR MANG!)”Dia memanggil beberapa orang dan mendek
Nyi Mas Andini kembali tersenyum, kedua tangannya dia silangkan di atas meja, seperti mengisyaratkan bahwa dirinyalah yang menjadi tuan rumah di tempat ini.“Namun, aku mempunyai suatu kekhawatiran, kekhawatiran atas sesuatu yang tidak aku perkirakan.”“Yaitu pengorbanan hidup bapakmu yang membuka semua gerbang ke tempat ini dari segala penjuru, sehingga makhluk-makhluk yang lebih kuat dariku masuk begitu saja ke tempat ini,” Ucapnya dengan nada yang tenang.“APAAAAA?”“JADI, BAPAK SU, SU, SUDAH MENINGGAL?” kataku dengan nada yang sangat kaget.Nyi Mas Andini hanya bisa mengangguk, dia meyakinkan ku bahwa dirinya berbuat suatu perjanjian kepada para makhluk itu, para makhluk yang kejam yang bisa mengambil alih hutan yang dia tinggali ketika mereka sudah terbebas dari tugasnya yang membelenggu selama ini.“Jadi, aku sekarang sudah tidak butuh kamu lagi, sudah tidak butuh warga Kampung Halimun lagi.”“Aku tidak peduli dengan kalian.”“Tapi dalam perjanjian itu, ada beberapa orang yang s
Sebuah ruangan yang terang tiba-tiba muncul, terang karena lilin-lilin yang menyala sebegitu banyaknya. Ruangan itu seperti sebuah rumah kayu yang entah berada dimana, rumah kayu yang terlihat klasik karena disertai dengan perabotan yang cantik dengan ukiran-ukiran yang khas di semua sudutnya.Aku sedang duduk disana, duduk di sebuah kursi kayu dengan sebuah meja yang penuh akan makanan yang sangat lezat dan menggugah selera.Ikan asin, ayam goreng, tempe goreng, nasi liwet panas yang masih berasap, juga beberapa sayuran seperti tumis pakis, tumis bayam, lalu ada juga sambal terasi dan lalapan seperti jengkol, pete, juga leunca sebagai tambahannya.Sebuah sajian khas dari masyarakat sunda yang paling enak menurutku.Namun, aku bingung, kenapa aku berada disini, kenapa aku tiba-tiba duduk dengan banyak sekali makanan yang ada tepat di depan mataku.Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku beberapa kali, bahkan menggosok-gosokan kedua mataku karena aku tidak percaya atas apa yang aku rasak
“Ke-kenapa ini?” “Tu-tu-tubuhku?” “Mu-mulutku?” “Kenapa bergerak sendiri?” Aku kebingungan, benar-benar heran melihat tubuhku yang diambil alih oleh sesuatu, aku tidak berbicara sekarang, pandanganku juga diatur oleh sesuatu yang menggerakan wajahku. Sepertinya, tanpa sadar, tubuhku diambil alih oleh sesosok wanita yang merupakan anak Pak Kades bernama Neng. Anak yang mayatnya aku temui di dalam gua dengan kondisi wajahnya yang hancur tak tersisa, mayat yang hidup dan berjalan ketika ada suara dan gerakan. Kali ini, jiwanya muncul dan masuk ke dalam tubuhku, karena dia berbicara panjang lebar dengan bapaknya yang ada disana. Sedangkan jiwa-jiwa yang lainnya… Deg Mataku yang digerakan oleh dirinya kini melihat jiwa-jiwa itu berada di antara Pak Kades dan Pak Emen. Mereka berdiri seperti kepulan asap yang tembus pandang. Dan jumlahnya pun bukan satu atau dua, namun banyak. Mereka yang berasal dari beberapa generasi di atasku, bahkan mungkin salah satu dari mereka adalah leluhur
Ritual Babad Raga, itulah yang kini dilakukan Pak Emen dengan Pak Kades sekarang. Ritual yang dulu dijalankan oleh bapak sebagai seseorang yang memimpin ritual setelah caranya diturunkan secara turun-temurun dari kakek dan kakek buyut.Namun, karena suatu hal bapak menghilang hingga saat ini. Sehingga Pak Emen yang awalnya membantu bapak memimpin ritual terakhir untuk menarik jiwaku agar dipersembahkan kepada NU MAHA AGUNG, yang saat ini sedang melayang-layang di sekitar mereka.Biasanya ada dua ritual yang harus dilakukan, yaitu ritual pemanggilan yang mengharuskan para manusia memotong sesajen berupa ayam cemani dan ikan mas, dan yang kedua adalah ritual penarikan yang kini sedang dilakukan oleh Pak Emen.Pak Emen terlihat dengan serius duduk tepat di depanku, kedua tangannya terlihat dirapatkan dan disimpan ke atas kepala seperti sedang menyembah sesuatu. Sebuah dupa panjang yang menyala terlihat menyelip di antara kedua tangan itu sehingga kepalanya terlihat berasap.Dia bergumam
“Pak Rudii, Pakkk!”Tampak seseorang yang sedang memakai helm proyek berwarna kuning memanggil seseorang yang ada di depan sebuah Gedung tinggi yang belum selesai, dia memakai helm berwarna biru dengan banyak sekali kertas-kertas yang dia bawa.Pak Rudi yang sedang sibuk membaca rancangan proyek yang ada disana hanya mengangkat tangannya ke arah orang tersebut, dia mengisyaratkan agar dirinya mendekat kepadanya.“Pak ini rancangan atas gedung setelah konstruksinya selesai, di dalamnya juga sudah ada penambahan saluran udara, juga rancangan saluran air dan AC Pak,” katanya sambil menyodorkan beberapa kertas yang digulung pada saat itu.Pak Rudi yang sedang sibuk membawa kertas lain di tangannya akhirnya mengambil kertas itu dan diselipkan di antara tangan dan tubuhnya.“Nanti akan aku baca sekaligus mengecek semua rancangan saluran udara, air dan AC ini ke dalam ya,” kata Pak Rudi yang tampak berwibawa.Orang itu pun mengangguk, dia akhirnya berlari kembali meninggalkan Pak Rudi dan ke
Kejadian yang terjadi di Kampung Halimun semakin membuat gempar, bahkan hal itu dirasakan oleh salah satu kampung yang letaknya paling dekat dengan Kampung Halimun, sebuah kampung yang bernama Bale Leutik yang tepat berada di sisi hutan selepas perbatasan dari hutan perbatasan yang menjadi penghubung Kabupaten Bandung dan Cianjur.Sebuah kampung yang sangat besar, karena dilalui oleh jalanan provinsi yang menghubungkan kedua kabupaten sehingga masih banyak orang yang berlalu lalang meskipun malam sudah semakin larut.Mereka merasakan bahwa pada malam ini, terasa sangat berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Hawa dingin pegunungan yang biasanya bisa mereka atasi dengan suhu tubuh mereka yang sudah beradaptasi dengan lingkungan sekitar, kini merasa kedinginan. Bahkan mereka melapis tubuh mereka dengan baju dalam dan jaket tebal serta sarung yang mereka kenakan.Apalagi, malam itu terdengar sangat gaduh, suara-suara dari hewan hutan yang tiba-tiba muncul dan berlarian seperti ketakutan o
Mataku benar-benar terbelalak, itu benar-benar Toni yang muncul di antara suara-suara yang sedang menggebrak pintu di tempat ini pada saat ini.Dia hanya berjalan sendirian dan tanpa ada ekspresi apapun pada saat itu. Sehingga membuat semua orang yang ada disana tiba-tiba terdiam dan menoleh ke arah Toni secara bersamaan. Bahkan, Maman yang dari tadi berlari dengan sekuat tenaga pun heran, karena yang muncul dari arah pintu bukanlah para makhluk yang meneror dirinya, melainkan seseorang yang dia kenal.“Bu, bukannya itu anak Pak Ayi?” kata Pak Emen yang tiba-tiba kaget ketika melihat Toni berjalan ke arah mereka.“Kenapa anaknya Pak Ayi berada disini?”Mereka yang berada disana terheran-heran atas apa yang terjadi kepada Toni pada saat itu. Mungkin saja seorang anak kecil yang tiba-tiba datang di hadapan mereka di tengah-tengah teror yang menakutkan yang mengelilingi mereka.Sontak, Para warga yang mengetahui bahwa anak itu adalah Toni, langsung mendekati Toni yang kini berdiri di dek
Teriakan, demi teriakan menggema di seluruh kampung. Mereka sekarang sudah tidak bisa membedakan lagi alam manusia dan alam gaib yang diliputi oleh kabut merah.Para warga yang seharusnya aman ketika bersembunyi di rumah-rumah mereka, kini tidak bisa kabur kemana-mana lagi. Karena para makhluk yang ada di dalam kabut tersebut sekarang bisa masuk ke dalam rumah-rumah warga dan mencabut nyawa mereka.Suasana tampak sangat kacau, suara berisik dan suara cekikikan terdengar di dalam kabut, bahkan anak-anak yang menangis, yang belum sempat hidup lama di kampung ini pun tak luput dari teror mereka.Parah makhluk yang sudah menunggu setelah beratus-ratus tahun lamanya, kini bisa berpesta pora. Meneror semua manusia yang ada di dalamnya, mencabut nyawa mereka satu persatu dengan cara yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya hingga kondisi mereka terlihat sangat mengenaskan.Terlihat, darah-darah merah merona muncul di antara dinding-dinding rumah, darah itu mengucur secara perlahan dari