KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 74"Nggak perlu Kanda, mungkin ini efek terlalu lelah tadi siang.""Pokoknya Dinda harus periksa ke dokter!""Kanda, ini itu biasa pada orang hamil, tadi aku udah tanya sama Ibu. Ke dokternya besok aja ya kalau masih bengkak. Aku sudah sangat capek mau istirahat." Maaf Kanda aku berbohong, sebenarnya aku tidak menghubungi ibuku, suamiku saja yang terlalu khawatir."Ya sudah, Dinda berbaring ya, biar Kanda lanjut lagi pijit kakinya." Ah, daripada ribet menolak mending aku turuti saja, toh suamiku yang mau. Kutepuk-tepuk bantal empukku, kubaca doa, tak lupa kuelus perut buncitku seraya berkata pada anak-anak dalam perutku agar jangan main bola dulu di dalam perut biar aku bisa tidur nyenyak."Selamat malam Kanda sayang" Tak lupa kuberikan senyum termanis pakai gula alami biar suamiku tak kena diabetes jika aku pakai gula buatan.***"Dinda, ayo bangun! Ini sudah subuh." Suara dari suamiku terdengar samar di telingaku."Ini jam berapa, Kanda?" tanyaku dengan sua
"Kenapa Nyonya?" tanya Bi Ratih yang masih belum sadar tentang keadaanku."I—itu Bi," ucapku tersekat. Aku menunjukkan air yang berada di bawah tubuhku."Loh, Nyonya ngompol?" "Bukan Bi, kalau ngompol saya bisa kendalikan, ini nggak bisa. Airnya keluar begitu saja." Aku yang masih belum paham menjelaskannya pada Bi Ratih."Bukan ngompol berarti—""Huaaaaaaaa, Nyonya pecah ketuban!" Bi Ratih justru berteriak histeris dan mondar mandir di depanku. "Bibi! Jangan disini aja, cepat panggil Tuan!" Aku sebenarnya panik tapi aku berusaha untuk tetap tenang. Bi Ratih akhirnya ke luar kamarku dengan berlari, baju yang tadi sedianya akan dibawa keluar malah dilempar ke sembarang tempat.Tak berselang lama, semua penghuni rumah masuk ke kamar. Aku masih berdiri mematung tak berani bergerak walaupun hanya satu langkah. Aku takut kalau bergerak air yang keluar akan tambah banyak."Dinda …." Suamiku terlihat panik dan memegang lenganku. "Kata Bi Ratih air ketubanku pecah," ucapku sambil melihat k
"Kanda,apa yang terjadi?" Aku yang masih dalam proses operasi tidak bisa melihat apapun hanya suara yang terdengar jelas."Tidak apa-apa Sayang, Dokter pasti melakukan yang terbaik. Dinda yakin kan kalau anak kita kuat?"Tak ada jawaban yang keluar dari bibir ini. Hanya air mata yang terus membasahi pipi, begitu juga dengan suamiku.Nak, kuat ya Nak … bertahanlah, jangan menyerah. Ada kami yang menantimu. "Kanda, apa Kanda tidak mau tau kenapa anak kita tidak menangis? Apa Kanda tidak khawatir dengan anak kita? Apa Kanda—" "Sssst, Kanda hanya yakin anak kita kuat anak kita pasti sehat. Yakin itu!" Dihapusnya air mata di pipiku. Aku yang dalam posisi terlentang dengan peralatan yang menempel di kedua tanganku tak mampu berbuat apapun.Oeeee oeeee"Alhamdulillah."Terdengar kalimat syukur di ruang operasi. Ada secercah harapan yang membuncah saat mendengarkan kalimat itu. Apa itu artinya anakku selamat? "Bu Seva, Alhamdulillah, bayi ibu yang satu selamat." Diletakkannya bayiku di ata
"Va, kok bayinya belum dibawa kesini?" tanya Ibu saat menjelang maghrib bayinya belum juga diantar."Tadi kata perawat masih di inkubator, Bu. Bukannya tadi Ibu sama yang lain ke ruangan bayi ya?" "Apaan orang nggak boleh masuk, ya belum ketemu lah!" Mbak Nisa mencebik, kesal keinginannya bertemu dengan anak-anakku belum terlaksana."Jangankan Mbak Nisa, aku aja baru ketemu sebentar Mbak, rasanya nggak sabar pengen ketemu, tapi mau gimana lagi, kata dokter bayiku lahir prematur jadi butuh waktu di inkubator." "Oh, iya Va, dari tadi aku mau tanya tapi lupa, anak kembar kamu jenis kelaminnya apa?" tanya Riska penasaran."Laki-laki dan perempuan," jawabku singkat."Beneran?" tanya Mbak Nisa tak percaya. Aku menganggukkan kepalaku."Alhamdulillah, langsung sepasang. Pak, kita langsung punya cucu sepasang Pak," ucap Ibu sambil menggenggam tangan Bapak."Va, udah punya nama buat anak kamu belum?" tanya Riska. "Belum. Mungkin Kanda sudah punya?" Aku beralih tanya pada suamiku yang sedang
Wanita itu berjalan menjauh, semakin jauh sampai kulihat dia berpapasan dengan Mbak Nisa.Tampak Mbak Nisa berpelukan dengan wanita bernama Andini. "Yah, kenapa Tante Andini ada disini?" tanya Mbak Nisa setelah berhasil menyusul kami."Nggak tau, Ayah baru saja bertemu.""Kanda, siapa dia?" "Bukan siapa-siapa, Sayang," jawab suamiku. "Kalau bukan siapa-siapa kenapa tadi menampar Kanda?" "Wah, benarkah seorang Bambang Hendromoyo ada yang berani menamparnya?" tanya Mbak Nisa yang berjalan di belakang kursi rodaku."Iya, Mbak Nisa lihat saja pipinya pasti masih ada bekas telapak tangan wanita cantik itu." Aku bilang dia cantik karena memang dia sangat cantik walaupun usianya sudah tak lagi muda tapi aku lihat masih terlihat jelas gurat kecantikannya."Cantik? Usianya sudah lebih dari setengah abad Va," ucap Mbak Nisa."Dengarkan aku Tuan Putri Seva, jangan pikirkan wanita itu. Dia hanya terobsesi dengan Kanda." Suamiku sudah berjongkok di depan kursi rodaku dan meletakkan kedua tanga
Sepuluh hari aku di rumah sakit, akhirnya aku dan kedua bayiku diperbolehkan untuk pulang. Rasanya lega, bisa kembali ke rumah. Malam ini malam perdana anakku tinggal di rumah. "Dinda … istirahat dulu ya, biar Kanda yang jaga anak kita.""Udah, Ayah sama Seva istirahat aja biar Nisa yang jaga," usul Nisa. "ASI aman 'kan Va?" tanya Mbak Nisa."Udah aku stok di freezer Mbak, nanti aku pompa lagi," jawabku. "Ya udah, aku bawa adikku keluar ya biar kalian istirahat. Bi Ratih, tolong bawa yang satu ya.""Oke Non, mau dibawa kemana?" "Ke kamar bayi aja," jawab Mbak Nisa. Hampir jam sepuluh malam ketika aku selesai pompa ASI untuk bayiku. Rumah sudah sepi, mungkin sudah pada tidur. "Kanda, aku keluar dulu ya, mau cek anak-anak sama Mbak Nisa." Suamiku yang sedang berkutat dengan berkas di tangannya hanya tersenyum. Kasihan suamiku, sejak aku di rumah sakit kerjaan menumpuk. Sebenarnya bukan kerjaan hanya meneliti saja, sekarang lebih banyak Mbak Nisa yang ke kantor.Aku kemudian keluar
Gegas aku menutup bagian atas kereta bayiku dan langsung menuju rumah Bude Ratmi.Begitu sampai di teras, keadaan sudah haru biru. Bude Ratmi terlihat wajahnya babak belur dengan rambut yang awut-awutan sedangkan Mbak Susi juga tak kalah miris. Sudut bibirnya mengeluarkan darah, bagian lengan bajunya ada yang koyak. Bude Ratmi terisak di sudut teras bersama Riko, dan Mbak Susi malah memalingkan wajahnya dengan sapu lantai berada di tangannya."Salah apa aku sampai punya anak sepertimu, Susi?" ucap Bude terisak. Mbak Susi mencebik, tetap bergeming diam seribu bahasa."Jawab, Susi!" hardik Bude Ratmi."Bude, ada apa ini?" Mbak Nisa yang dari tadi hanya menyimak kini menghampiri Bude."Non Nisa," ucap Bude Ratmi. Bude terkejut melihat kedatangan Mbak Nisa, namun tak lama Mbak Nisa memeluk Bude Ratmi. Mendapat pelukan dari Mbak Nisa, Bude Ratmi semakin tergugu dan menangis."Va, kira-kira ada apa ini?" bisik Riska."Nggak tau Ris," jawabku."Va, aku bawa si kembar pulang aja ya, hawanya
"Bukalah," titah suamiku.Aku pun membuka amplop coklat itu, kemudian mengeluarkan isinya."Ini? I—ini kita?" tanyaku tak percaya dengan apa yang aku pegang sekarang. Buku kecil berwarna merah dan hijau tua kini aku pegang. Suamiku lantas menganggukan kepalanya.Aku kemudian memeluk erat suamiku, suami sah secara agama ataupun negara."Kenapa aku tidak tau?""Dinda nggak perlu tau, biar Kanda yang mengurusnya." "Terimakasih Kanda.""Sama-sama Nyonya Bambang Hendromoyo," ledek suamiku."Apa aku sudah pantas menyandang gelar itu?"Tangannya yang berada di pinggangku kini beralih memegang pipiku."Dengan bukti apalagi agar Dinda yakin?"Aku menatap manik mata suamiku, bola mata hitam yang sama dengan milik kedua anakku. "Aku yakin, tak perlu ada bukti lagi." Kualihkan tangan di pipiku dan mengembalikannya ke pinggangku. "Aku nyaman jika seperti ini," ucapku seraya meletakkan kepalaku pada dada bidang suamiku dan mempererat pelukanku.***Hari minggu akhirnya tiba, kami tengah bersiap u