Sepuluh hari aku di rumah sakit, akhirnya aku dan kedua bayiku diperbolehkan untuk pulang. Rasanya lega, bisa kembali ke rumah. Malam ini malam perdana anakku tinggal di rumah. "Dinda … istirahat dulu ya, biar Kanda yang jaga anak kita.""Udah, Ayah sama Seva istirahat aja biar Nisa yang jaga," usul Nisa. "ASI aman 'kan Va?" tanya Mbak Nisa."Udah aku stok di freezer Mbak, nanti aku pompa lagi," jawabku. "Ya udah, aku bawa adikku keluar ya biar kalian istirahat. Bi Ratih, tolong bawa yang satu ya.""Oke Non, mau dibawa kemana?" "Ke kamar bayi aja," jawab Mbak Nisa. Hampir jam sepuluh malam ketika aku selesai pompa ASI untuk bayiku. Rumah sudah sepi, mungkin sudah pada tidur. "Kanda, aku keluar dulu ya, mau cek anak-anak sama Mbak Nisa." Suamiku yang sedang berkutat dengan berkas di tangannya hanya tersenyum. Kasihan suamiku, sejak aku di rumah sakit kerjaan menumpuk. Sebenarnya bukan kerjaan hanya meneliti saja, sekarang lebih banyak Mbak Nisa yang ke kantor.Aku kemudian keluar
Gegas aku menutup bagian atas kereta bayiku dan langsung menuju rumah Bude Ratmi.Begitu sampai di teras, keadaan sudah haru biru. Bude Ratmi terlihat wajahnya babak belur dengan rambut yang awut-awutan sedangkan Mbak Susi juga tak kalah miris. Sudut bibirnya mengeluarkan darah, bagian lengan bajunya ada yang koyak. Bude Ratmi terisak di sudut teras bersama Riko, dan Mbak Susi malah memalingkan wajahnya dengan sapu lantai berada di tangannya."Salah apa aku sampai punya anak sepertimu, Susi?" ucap Bude terisak. Mbak Susi mencebik, tetap bergeming diam seribu bahasa."Jawab, Susi!" hardik Bude Ratmi."Bude, ada apa ini?" Mbak Nisa yang dari tadi hanya menyimak kini menghampiri Bude."Non Nisa," ucap Bude Ratmi. Bude terkejut melihat kedatangan Mbak Nisa, namun tak lama Mbak Nisa memeluk Bude Ratmi. Mendapat pelukan dari Mbak Nisa, Bude Ratmi semakin tergugu dan menangis."Va, kira-kira ada apa ini?" bisik Riska."Nggak tau Ris," jawabku."Va, aku bawa si kembar pulang aja ya, hawanya
"Bukalah," titah suamiku.Aku pun membuka amplop coklat itu, kemudian mengeluarkan isinya."Ini? I—ini kita?" tanyaku tak percaya dengan apa yang aku pegang sekarang. Buku kecil berwarna merah dan hijau tua kini aku pegang. Suamiku lantas menganggukan kepalanya.Aku kemudian memeluk erat suamiku, suami sah secara agama ataupun negara."Kenapa aku tidak tau?""Dinda nggak perlu tau, biar Kanda yang mengurusnya." "Terimakasih Kanda.""Sama-sama Nyonya Bambang Hendromoyo," ledek suamiku."Apa aku sudah pantas menyandang gelar itu?"Tangannya yang berada di pinggangku kini beralih memegang pipiku."Dengan bukti apalagi agar Dinda yakin?"Aku menatap manik mata suamiku, bola mata hitam yang sama dengan milik kedua anakku. "Aku yakin, tak perlu ada bukti lagi." Kualihkan tangan di pipiku dan mengembalikannya ke pinggangku. "Aku nyaman jika seperti ini," ucapku seraya meletakkan kepalaku pada dada bidang suamiku dan mempererat pelukanku.***Hari minggu akhirnya tiba, kami tengah bersiap u
Reaksi suamiku setelah dicium sungguh sangat diluar dugaan. Dia mendorong wanita itu sampai hampir saja jatuh jika dia tidak segera menyeimbangkan tubuhnya."Mirip adegan di film Va," ucap Riska."Judulnya apa?" "Beranak dalam kubur.""Nggak nyambung!""Jangan diem aja Va, ayo gerak!" Diseretnya tanganku oleh Riska."Sudah belum adegan ciumannya?" tanyaku saat berada di belakang mereka."Dinda …!" ucap suamiku dengan ekspresi kaget."" Iya, Sayang … " jawabku dengan nada mesra Aku menatap tajam wajah suamiku, wajah yang baru saja ternoda oleh wanita itu. Wajah yang tak lagi suci, wajah yang … Ah, ingin aku segera mengelap bekas lipstik merah cabe di pipi suamiku. Sementara wanita itu… wanita itu justru sedang tersenyum dengan penuh arti. "Dinda nggak salah paham, 'kan?" "Nggak lah, masa sama ulat bulu ubanan harus salah paham?" Kutampilkan senyum semanis mungkin di hadapan wanita itu. Sejujurnya hatiku sangat sakit, tapi jika aku langsung memarahi suamiku, wanita itu akan bersorak g
Hari ini, hari yang dinanti olehku. Hari pertama aku mulai menjadi seorang mahasiswi kembali.Sebelum berangkat aku sudah persiapkan makanan untuk si kembar juga stok ASI selama aku tinggalkan. Ya, si kembar sudah tujuh bulan sudah mulai MPASI. Beruntung mereka berdua tidak menolak dengan makanan yang aku buat."Dinda, mau bawa mobil sendiri atau diantar sama sopir?" tanya suamiku."Dijemput Riska nanti," jawabku sambil merapikan pakaianku. "Kanda nggak ke kantor?" "Nggak, kalau Dinda kuliah biar Kanda sama anak-anak. Udah ada Nisa yang ke kantor. Besok-besok Dinda juga mulai aktif ke kantor ya," pinta suamiku."Harus?""Iya, harus! Buat pengganti Kanda.""Apaan sih?! Nggak ada yang namanya pengganti. Seribu tahun Kanda akan terus bersamaku. Titik! Nggak pakai koma!"Tak berselang lama terdengar suara klakson mobil, kode dari Riska kalau sudah sampai."Aku berangkat ya, doain biar kuliah hari pertamanya lancar.""Iya Sayang, tanpa diminta juga selalu di doain." Aku masih saja berdiri
"Ada apa?" tanyaku penasaran. Namun Riska malah terdiam"I—itu Va," ucap Riska terbata."Iya itu apa? Jangan bikin orang penasaran donk?! Katakan Riska!" Aku mulai panik, karena Riska justru celingukan ke kanan dan ke kiri serta air mata sudah turun dari pipinya.Aku dan Riska kini sudah jadi pusat perhatian pengunjung kantin, itu karena suaraku yang sudah meninggi menunggu jawaban dari Riska."Riska, tenanglah … katakan apa yang terjadi?" Zaky yang berada satu meja dengan kami berusaha ikut mencari tau apa yang terjadi."Va, Bapak … Va …," lirih Riska."Bapak?! Bapak siapa?" gertakku yang sudah semakin penasaran. "Apa terjadi sesuatu dengan Bapaku?" Riska mengangguk. "Bapak jatuh di kamar mandi Va, dan sekarang …""Ba—bapak," ucapku lirih. Aku tak sanggup lagi mendengar lanjutan dari penjelasan Riska. "Mana kunci mobilmu?!" Riska gelagapan dengan pertanyaanku, dia berusaha mencari barang yang aku minta di dalam tas yang berada di kursi."Nona Bos." Pak Agus kini sudah menemui kami.
Iya, mereka akan melamar Nisa, tapi jangan beritahu Nisa terlebih dahulu ya," pinta suamiku. Aku hanya mengangguk, ikut bahagia mendengarnya. "Dinda nanti pulang jam berapa?""Mungkin jam dua sudah pulang, kuliah hanya sampai jam satu. Kenapa?""Nggak apa-apa, kalau Dinda mau main dengan teman-teman baru Dinda dulu juga nggak apa-apa.""Temanku hanya Riska dari dulu sampai sekarang, bukankah Kanda tau itu? Lagian aku nggak mau harus lama-lama meninggalkan Baby A."***"Pagi … Seva," sapa Zaky. Laki-laki yang waktu itu aku tinggalkan di kantin saat hari kematian Bapak."Pagi juga," jawabku singkat dan terus melangkah menuju kelasku, tapi tiba-tiba aku jadi sadar dari mana Zaky tau namaku. "Darimana kamu tau namaku?" "Bukan hal yang sulit untuk tau siapa namamu." Zaky tidak memberitahuku darimana dia tau namaku.Aku berbalik dan meneruskan langkahku tak mau perdulikan hal yang nggak penting. Namun Zaky berlari mensejajarkan langkahnya dan terus mengikutiku."Apa kamu tidak mau tau si
"Bi Ratih, istirahat dulu aja biar aku sama Riska yang jaga si kembar." Perintahku pada Bi Ratih yang terlihat sudah kelelahan. Biasanya ada Bude Ratmi yang membantu tapi kali ini Bude Ratmi diminta untuk di rumah ibu saja membantu ketring ibu sekaligus menemaninya."Dinda, mungkin kita butuh baby sitter lagi untuk anak kita," usul suamiku."Iya benar," jawabku sambil memangku Baby Al."Akan Kanda suruh Agus mencarinya.""Kanda sudah makan?" "Sudah. Bagaimana kuliah Dinda?""Ya, begitulah. Hanya saja hari ini ketemu sama laki-laki yang menyebalkan.""Menyebalkan?" Suamiku menautkan kedua alisnya, mungkin dia bingung dengan apa yang aku katakan. Akhirnya aku ceritakan tentang Zaky tanpa aku kurangi atau lebihkan."Begitu ceritanya, makannya Dinda jadi sebal.""Wah, kayaknya Kanda punya saingan ini," gurau suamiku. "Apa perlu Kanda berganti penampilan seperti oppa-oppa Korea yang sering ditonton anak muda jaman sekarang?" Suamiku mengatakan sambil mempermainkan rambutnya yang rajin aku