Reaksi suamiku setelah dicium sungguh sangat diluar dugaan. Dia mendorong wanita itu sampai hampir saja jatuh jika dia tidak segera menyeimbangkan tubuhnya."Mirip adegan di film Va," ucap Riska."Judulnya apa?" "Beranak dalam kubur.""Nggak nyambung!""Jangan diem aja Va, ayo gerak!" Diseretnya tanganku oleh Riska."Sudah belum adegan ciumannya?" tanyaku saat berada di belakang mereka."Dinda …!" ucap suamiku dengan ekspresi kaget."" Iya, Sayang … " jawabku dengan nada mesra Aku menatap tajam wajah suamiku, wajah yang baru saja ternoda oleh wanita itu. Wajah yang tak lagi suci, wajah yang … Ah, ingin aku segera mengelap bekas lipstik merah cabe di pipi suamiku. Sementara wanita itu… wanita itu justru sedang tersenyum dengan penuh arti. "Dinda nggak salah paham, 'kan?" "Nggak lah, masa sama ulat bulu ubanan harus salah paham?" Kutampilkan senyum semanis mungkin di hadapan wanita itu. Sejujurnya hatiku sangat sakit, tapi jika aku langsung memarahi suamiku, wanita itu akan bersorak g
Hari ini, hari yang dinanti olehku. Hari pertama aku mulai menjadi seorang mahasiswi kembali.Sebelum berangkat aku sudah persiapkan makanan untuk si kembar juga stok ASI selama aku tinggalkan. Ya, si kembar sudah tujuh bulan sudah mulai MPASI. Beruntung mereka berdua tidak menolak dengan makanan yang aku buat."Dinda, mau bawa mobil sendiri atau diantar sama sopir?" tanya suamiku."Dijemput Riska nanti," jawabku sambil merapikan pakaianku. "Kanda nggak ke kantor?" "Nggak, kalau Dinda kuliah biar Kanda sama anak-anak. Udah ada Nisa yang ke kantor. Besok-besok Dinda juga mulai aktif ke kantor ya," pinta suamiku."Harus?""Iya, harus! Buat pengganti Kanda.""Apaan sih?! Nggak ada yang namanya pengganti. Seribu tahun Kanda akan terus bersamaku. Titik! Nggak pakai koma!"Tak berselang lama terdengar suara klakson mobil, kode dari Riska kalau sudah sampai."Aku berangkat ya, doain biar kuliah hari pertamanya lancar.""Iya Sayang, tanpa diminta juga selalu di doain." Aku masih saja berdiri
"Ada apa?" tanyaku penasaran. Namun Riska malah terdiam"I—itu Va," ucap Riska terbata."Iya itu apa? Jangan bikin orang penasaran donk?! Katakan Riska!" Aku mulai panik, karena Riska justru celingukan ke kanan dan ke kiri serta air mata sudah turun dari pipinya.Aku dan Riska kini sudah jadi pusat perhatian pengunjung kantin, itu karena suaraku yang sudah meninggi menunggu jawaban dari Riska."Riska, tenanglah … katakan apa yang terjadi?" Zaky yang berada satu meja dengan kami berusaha ikut mencari tau apa yang terjadi."Va, Bapak … Va …," lirih Riska."Bapak?! Bapak siapa?" gertakku yang sudah semakin penasaran. "Apa terjadi sesuatu dengan Bapaku?" Riska mengangguk. "Bapak jatuh di kamar mandi Va, dan sekarang …""Ba—bapak," ucapku lirih. Aku tak sanggup lagi mendengar lanjutan dari penjelasan Riska. "Mana kunci mobilmu?!" Riska gelagapan dengan pertanyaanku, dia berusaha mencari barang yang aku minta di dalam tas yang berada di kursi."Nona Bos." Pak Agus kini sudah menemui kami.
Iya, mereka akan melamar Nisa, tapi jangan beritahu Nisa terlebih dahulu ya," pinta suamiku. Aku hanya mengangguk, ikut bahagia mendengarnya. "Dinda nanti pulang jam berapa?""Mungkin jam dua sudah pulang, kuliah hanya sampai jam satu. Kenapa?""Nggak apa-apa, kalau Dinda mau main dengan teman-teman baru Dinda dulu juga nggak apa-apa.""Temanku hanya Riska dari dulu sampai sekarang, bukankah Kanda tau itu? Lagian aku nggak mau harus lama-lama meninggalkan Baby A."***"Pagi … Seva," sapa Zaky. Laki-laki yang waktu itu aku tinggalkan di kantin saat hari kematian Bapak."Pagi juga," jawabku singkat dan terus melangkah menuju kelasku, tapi tiba-tiba aku jadi sadar dari mana Zaky tau namaku. "Darimana kamu tau namaku?" "Bukan hal yang sulit untuk tau siapa namamu." Zaky tidak memberitahuku darimana dia tau namaku.Aku berbalik dan meneruskan langkahku tak mau perdulikan hal yang nggak penting. Namun Zaky berlari mensejajarkan langkahnya dan terus mengikutiku."Apa kamu tidak mau tau si
"Bi Ratih, istirahat dulu aja biar aku sama Riska yang jaga si kembar." Perintahku pada Bi Ratih yang terlihat sudah kelelahan. Biasanya ada Bude Ratmi yang membantu tapi kali ini Bude Ratmi diminta untuk di rumah ibu saja membantu ketring ibu sekaligus menemaninya."Dinda, mungkin kita butuh baby sitter lagi untuk anak kita," usul suamiku."Iya benar," jawabku sambil memangku Baby Al."Akan Kanda suruh Agus mencarinya.""Kanda sudah makan?" "Sudah. Bagaimana kuliah Dinda?""Ya, begitulah. Hanya saja hari ini ketemu sama laki-laki yang menyebalkan.""Menyebalkan?" Suamiku menautkan kedua alisnya, mungkin dia bingung dengan apa yang aku katakan. Akhirnya aku ceritakan tentang Zaky tanpa aku kurangi atau lebihkan."Begitu ceritanya, makannya Dinda jadi sebal.""Wah, kayaknya Kanda punya saingan ini," gurau suamiku. "Apa perlu Kanda berganti penampilan seperti oppa-oppa Korea yang sering ditonton anak muda jaman sekarang?" Suamiku mengatakan sambil mempermainkan rambutnya yang rajin aku
Bi Asih kemudian mematikan sambungan teleponnya dan berbalik."Nyo—nya," ucap Bi Asih gelagapan. Mukanya menunduk tak berani menatapku."Iya ini saya. Kaget?!" "Ti—tidak Nyonya, saya kira Nyonya masih di kamar sebelah," jawab Bi Asih melawan rasa gugupnya."Sudah dari tadi saya disini. Mana ponselmu?" Bi Asih kemudian merogoh saku bajunya dan menyerahkan ponsel kepadaku, yang diserahkannya justru ponselku padahal sudah jelas yang aku minta adalah ponsel Bi Asih. Aku terima saja ponselku dan aku masukkan kantong bajuku."Ponsel Bi Asih mana?" tanyaku."Bu—bu—buat apa Nyonya?" "Nggak usah banyak tanya! Saya sudah tau semuanya! Cepat berikan ponsel kamu!" teriaku.Bi Asih kaget dengan suara nada tinggi yang aku keluarkan. Tangannya langsung bertindak cepat merogoh saku kemudian menyerahkan ponsel miliknya padaku."Ada apa Dinda?" tanya suamiku yang baru saja terbangun. Mungkin dia kaget dengan suara kerasku."Maaf Kanda, sudah membuat Kanda kaget sampai terbangun," jawabku pada suamik
Malamnya kami sudah sampai di tempat Ibu. Mbak Nisa malah sudah sampai terlebih dahulu karena Mbak Nisa dari kantor langsung ke tempat Ibu. Kue yang aku pesan juga sudah sekalian dibawa sama Mbak Nisa.Di ruang tamu para tamu datang berkumpul untuk mengirimkan doa untuk Bapak."Va, kuenya enak," ucap Riska saat baca doa telah selesai."Hmmmm, makan terus kamu kerjanya! Bukannya ikut kirim doa!" sungutku pada Riska."Aku kan lagi halangan, Va," jawabnya dengan mulut penuh makanan. "Halah! Alasan aja kamu!" timpal Mbak Nisa. "Aku perhatiin kok dari tadi kamu sibuk sama kacang di depan kamu. Tuh lihat kulitnya aja paling banyak di depan kamu." "Lah kan biar pas, nanti kalau kulitnya di buang jadinya kacang yang lupa sama kulitnya," elak Riska.Pukul sembilan malam akhirnya acara telah selesai, semua tamu sudah kembali ke rumah masing-masing. Kami memutuskan untuk menginap di rumah Ibu."Ris, kamu masih ngunyah?" tanya Mbak Nisa saat Riska masih menikmati bola-bola coklat yang ada di de
"Mbak … Mbak Nisa kenapa?" Aku beranikan diri untuk bertanya pada Mbak Nisa karena semakin lama air mata Mbak Nisa semakin banyak mengalir di pipi."Mbak Nisa nangis pengin balon? Atau mau kue ulang tahun? Nanti Riska ambilkan, tapi jangan nangis ya …" hibur Riska."Kenapa rasanya sakit kaya gini? Seharusnya aku biasa saja. Aku sudah menolaknya, tapi aku sakit melihatnya dengan perempuan lain," ucap Mbak Nisa terisak."Apa itu karena Ivan Mbak?" tanyaku pada Mbak Nisa. "Kenapa Mbak Nisa menolak lamaran Ivan kalau Mbak Nisa cinta sama dia?""A—aku takut dia kecewa Va. Kamu kan tau aku nggak bisa kasih dia keturunan dulu juga ibunya menentang hubungan kami karena hal itu.""Waktu mau melamar Mbak Nisa kan ibunya sudah merestui Mbak, kenapa Mbak Nisa tetap menolaknya?""Aku takut Va, takut jika suatu saat ibunya kembali mengungkitnya.""Mbak Nisa sekarang masih cinta sama Ivan?""Dari dulu aku nggak pernah mencintai laki-laki lain selain dia, bahkan setelah aku meninggalkannya ke Austral