KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 73Aku tepuk jidat sampai lupa kalau belum tau jenis kelamin anakku. Aku kembalikan baju bayi itu pada tempatnya, kemudian aku pilih model baju dan warna yang netral."Kalau nanti anak kita lahir dan sudah tau jenis kelaminnya kita beli baju lagi ya … atau baju yang tadi Dinda pengin, beli saja nggak apa-apa, barangkali nanti anak kita perempuan." "Nggak apa-apa Kanda, kita pilih baju yang lain saja ya," jawabku sambil tersenyum.Setelah puas belanja kami melanjutkan dengan makan di restoran di mall. Kami semua berkumpul bersama.Terlihat mereka sudah menenteng barang belanja mereka.Suamiku memanggil pelayan restoran untuk meminta meja digabung menjadi satu agar kita semua bisa makan bersama tanpa terpisah."Dinda duduk disini ya" Suamiku menyeret kursi dan membantuku untuk duduk. "Ratih, kamu tidak lupa membawanya kan?" tanya suamiku pada Bi Ratih."Tidak Tuan, apa mau saya buatkan sekarang?""Tidak usah, biar saya yang membuatnya." Bi Ratih kemudian meny
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 74"Nggak perlu Kanda, mungkin ini efek terlalu lelah tadi siang.""Pokoknya Dinda harus periksa ke dokter!""Kanda, ini itu biasa pada orang hamil, tadi aku udah tanya sama Ibu. Ke dokternya besok aja ya kalau masih bengkak. Aku sudah sangat capek mau istirahat." Maaf Kanda aku berbohong, sebenarnya aku tidak menghubungi ibuku, suamiku saja yang terlalu khawatir."Ya sudah, Dinda berbaring ya, biar Kanda lanjut lagi pijit kakinya." Ah, daripada ribet menolak mending aku turuti saja, toh suamiku yang mau. Kutepuk-tepuk bantal empukku, kubaca doa, tak lupa kuelus perut buncitku seraya berkata pada anak-anak dalam perutku agar jangan main bola dulu di dalam perut biar aku bisa tidur nyenyak."Selamat malam Kanda sayang" Tak lupa kuberikan senyum termanis pakai gula alami biar suamiku tak kena diabetes jika aku pakai gula buatan.***"Dinda, ayo bangun! Ini sudah subuh." Suara dari suamiku terdengar samar di telingaku."Ini jam berapa, Kanda?" tanyaku dengan sua
"Kenapa Nyonya?" tanya Bi Ratih yang masih belum sadar tentang keadaanku."I—itu Bi," ucapku tersekat. Aku menunjukkan air yang berada di bawah tubuhku."Loh, Nyonya ngompol?" "Bukan Bi, kalau ngompol saya bisa kendalikan, ini nggak bisa. Airnya keluar begitu saja." Aku yang masih belum paham menjelaskannya pada Bi Ratih."Bukan ngompol berarti—""Huaaaaaaaa, Nyonya pecah ketuban!" Bi Ratih justru berteriak histeris dan mondar mandir di depanku. "Bibi! Jangan disini aja, cepat panggil Tuan!" Aku sebenarnya panik tapi aku berusaha untuk tetap tenang. Bi Ratih akhirnya ke luar kamarku dengan berlari, baju yang tadi sedianya akan dibawa keluar malah dilempar ke sembarang tempat.Tak berselang lama, semua penghuni rumah masuk ke kamar. Aku masih berdiri mematung tak berani bergerak walaupun hanya satu langkah. Aku takut kalau bergerak air yang keluar akan tambah banyak."Dinda …." Suamiku terlihat panik dan memegang lenganku. "Kata Bi Ratih air ketubanku pecah," ucapku sambil melihat k
"Kanda,apa yang terjadi?" Aku yang masih dalam proses operasi tidak bisa melihat apapun hanya suara yang terdengar jelas."Tidak apa-apa Sayang, Dokter pasti melakukan yang terbaik. Dinda yakin kan kalau anak kita kuat?"Tak ada jawaban yang keluar dari bibir ini. Hanya air mata yang terus membasahi pipi, begitu juga dengan suamiku.Nak, kuat ya Nak … bertahanlah, jangan menyerah. Ada kami yang menantimu. "Kanda, apa Kanda tidak mau tau kenapa anak kita tidak menangis? Apa Kanda tidak khawatir dengan anak kita? Apa Kanda—" "Sssst, Kanda hanya yakin anak kita kuat anak kita pasti sehat. Yakin itu!" Dihapusnya air mata di pipiku. Aku yang dalam posisi terlentang dengan peralatan yang menempel di kedua tanganku tak mampu berbuat apapun.Oeeee oeeee"Alhamdulillah."Terdengar kalimat syukur di ruang operasi. Ada secercah harapan yang membuncah saat mendengarkan kalimat itu. Apa itu artinya anakku selamat? "Bu Seva, Alhamdulillah, bayi ibu yang satu selamat." Diletakkannya bayiku di ata
"Va, kok bayinya belum dibawa kesini?" tanya Ibu saat menjelang maghrib bayinya belum juga diantar."Tadi kata perawat masih di inkubator, Bu. Bukannya tadi Ibu sama yang lain ke ruangan bayi ya?" "Apaan orang nggak boleh masuk, ya belum ketemu lah!" Mbak Nisa mencebik, kesal keinginannya bertemu dengan anak-anakku belum terlaksana."Jangankan Mbak Nisa, aku aja baru ketemu sebentar Mbak, rasanya nggak sabar pengen ketemu, tapi mau gimana lagi, kata dokter bayiku lahir prematur jadi butuh waktu di inkubator." "Oh, iya Va, dari tadi aku mau tanya tapi lupa, anak kembar kamu jenis kelaminnya apa?" tanya Riska penasaran."Laki-laki dan perempuan," jawabku singkat."Beneran?" tanya Mbak Nisa tak percaya. Aku menganggukkan kepalaku."Alhamdulillah, langsung sepasang. Pak, kita langsung punya cucu sepasang Pak," ucap Ibu sambil menggenggam tangan Bapak."Va, udah punya nama buat anak kamu belum?" tanya Riska. "Belum. Mungkin Kanda sudah punya?" Aku beralih tanya pada suamiku yang sedang
Wanita itu berjalan menjauh, semakin jauh sampai kulihat dia berpapasan dengan Mbak Nisa.Tampak Mbak Nisa berpelukan dengan wanita bernama Andini. "Yah, kenapa Tante Andini ada disini?" tanya Mbak Nisa setelah berhasil menyusul kami."Nggak tau, Ayah baru saja bertemu.""Kanda, siapa dia?" "Bukan siapa-siapa, Sayang," jawab suamiku. "Kalau bukan siapa-siapa kenapa tadi menampar Kanda?" "Wah, benarkah seorang Bambang Hendromoyo ada yang berani menamparnya?" tanya Mbak Nisa yang berjalan di belakang kursi rodaku."Iya, Mbak Nisa lihat saja pipinya pasti masih ada bekas telapak tangan wanita cantik itu." Aku bilang dia cantik karena memang dia sangat cantik walaupun usianya sudah tak lagi muda tapi aku lihat masih terlihat jelas gurat kecantikannya."Cantik? Usianya sudah lebih dari setengah abad Va," ucap Mbak Nisa."Dengarkan aku Tuan Putri Seva, jangan pikirkan wanita itu. Dia hanya terobsesi dengan Kanda." Suamiku sudah berjongkok di depan kursi rodaku dan meletakkan kedua tanga
Sepuluh hari aku di rumah sakit, akhirnya aku dan kedua bayiku diperbolehkan untuk pulang. Rasanya lega, bisa kembali ke rumah. Malam ini malam perdana anakku tinggal di rumah. "Dinda … istirahat dulu ya, biar Kanda yang jaga anak kita.""Udah, Ayah sama Seva istirahat aja biar Nisa yang jaga," usul Nisa. "ASI aman 'kan Va?" tanya Mbak Nisa."Udah aku stok di freezer Mbak, nanti aku pompa lagi," jawabku. "Ya udah, aku bawa adikku keluar ya biar kalian istirahat. Bi Ratih, tolong bawa yang satu ya.""Oke Non, mau dibawa kemana?" "Ke kamar bayi aja," jawab Mbak Nisa. Hampir jam sepuluh malam ketika aku selesai pompa ASI untuk bayiku. Rumah sudah sepi, mungkin sudah pada tidur. "Kanda, aku keluar dulu ya, mau cek anak-anak sama Mbak Nisa." Suamiku yang sedang berkutat dengan berkas di tangannya hanya tersenyum. Kasihan suamiku, sejak aku di rumah sakit kerjaan menumpuk. Sebenarnya bukan kerjaan hanya meneliti saja, sekarang lebih banyak Mbak Nisa yang ke kantor.Aku kemudian keluar
Gegas aku menutup bagian atas kereta bayiku dan langsung menuju rumah Bude Ratmi.Begitu sampai di teras, keadaan sudah haru biru. Bude Ratmi terlihat wajahnya babak belur dengan rambut yang awut-awutan sedangkan Mbak Susi juga tak kalah miris. Sudut bibirnya mengeluarkan darah, bagian lengan bajunya ada yang koyak. Bude Ratmi terisak di sudut teras bersama Riko, dan Mbak Susi malah memalingkan wajahnya dengan sapu lantai berada di tangannya."Salah apa aku sampai punya anak sepertimu, Susi?" ucap Bude terisak. Mbak Susi mencebik, tetap bergeming diam seribu bahasa."Jawab, Susi!" hardik Bude Ratmi."Bude, ada apa ini?" Mbak Nisa yang dari tadi hanya menyimak kini menghampiri Bude."Non Nisa," ucap Bude Ratmi. Bude terkejut melihat kedatangan Mbak Nisa, namun tak lama Mbak Nisa memeluk Bude Ratmi. Mendapat pelukan dari Mbak Nisa, Bude Ratmi semakin tergugu dan menangis."Va, kira-kira ada apa ini?" bisik Riska."Nggak tau Ris," jawabku."Va, aku bawa si kembar pulang aja ya, hawanya
"Ehm, Pak Agus kalau pulangnya naik taxi online nggak apa-apa?" "Nggak apa-apa sih, Nona Bos, tapi mobilnya mau dibawa kemana?""Mau dibawa buat momong aki-aki," gurauku."Gimana Bos?" Pak Agus meminta persetujuan dari suamiku."Perintah istriku mutlak wajib dikabulkan," jawab suamiku. Pak Agus kemudian menyerahkan kunci mobil pada suamiku namun sebelum suamiku menerimanya aku sudah terlebih dahulu merebutnya."Aku yang nyetir," ucapku sambil berlalu menaiki mobil."Jangan lupa pasang safety belt ya Kek," candaku saat suamiku duduk di kursi penumpang sebelahku."Mohon maaf Cu, Kakek lupa cara pasangnya." Lah malah suamiku balik ledek."Oke, kita berangkat. Sesuai aplikasi ya," ucapku menirukan driver taxi online. Kemudian aku pacu mobil sedan Mercedes Benz keluaran terbaru berwarna hitam dengan kecepatan sedang."Kita mau kemana, Sayang?" tanya suamiku."Gimana kalau nonton bioskop?" usulku."Boleh, bentar Kanda booking dulu.""Eh, jangan donk, jangan main asal booking. Kita biasa a
Aku cukup kaget mendengar perintah suamiku, dan Seno pun terlihat langsung menunduk."Darimana kamu belajar nyetir?" tanya suamiku."Dari Bapak," jawab Seno lirih."Maaf Mas Mantu, Seno sebenarnya sudah ada satu tahun belajar nyetir, kadang dia yang antar pesanan ketring, tapi tetap dalam pengawasan bapak. Hanya saja, setelah bapak meninggal, Seno bawa sendiri. Kalau keberatan nanti biar mobilnya ditinggal disini," imbuh Ibu."Apa Kanda marah sama Seno?" tanyaku pada suamiku."Siapa yang marah?""Itu tadi minta mobil di tinggal disini.""Memangnya nggak boleh kalau ditinggal disini?" "Satu minggu lagi kan Seno tujuh belas tahun, bisa buat SIM sama KTP kenapa harus ditinggal disini mobilnya? Kalau ditinggal disini Ibu gimana anter pesanan ketring?" "Dinda jangan marah-marah dulu, belum selesai ngomong udah di protes." "Terus?""Itu mobil yang dibawa Seno udah ketinggalan model, masa anak muda kaya Seno bawa mobil kaya gitu, niatnya mau dibelikan yang baru …," jelas suamiku. "Tapi ka
Perhatian kini tertuju pada perempuan itu, ah iya aku ingat namanya Mayang.Mbak Nisa berbalik, karena perempuan itu datang dari arah belakang Mbak Nisa."Enak banget kamu mau melamar dia?!" pekik Mayang.Ivan yang tadinya berlutut kemudian berdiri menghampiri Mayang."Apa ada yang salah, Mayang?" tanya Ivan."Tentu saja ada!" jawab Mayang dengan nada tinggi. "Kalau kamu melamar dia, apa arti kedekatan kita selama ini?" "Kedekatan? Apa maksudmu? Bukankah dari awal aku sudah memberitahu tentang rencana ini?" tanya Ivan."Kalian selesaikan dulu masalahnya, aku pergi dulu," ucap Mbak Nisa."Tunggu, Nisa!" cegah Ivan."Ada apa lagi? Sudah jelas kan kalau dia berharap lebih pada kamu?""Tapi aku tidak ada maksud apa-apa sama Mayang, aku hanya mencintaimu Nisa ….""Aku juga," jawab Mbak Nisa lirih. "Tapi aku tidak mau ada orang lain yang sakit hati dengan hubungan kita.""Katakan sekali lagi Nisa, apa kamu mencintai Ivan?" tanya Mayang."Maaf, kalau aku salah. Aku memang masih sangat menci
Setelah dilakukan cek darah, dia terkena tipes dan itu sudah lumayan parah," jelas Dokter. "Dia harus rawat inap di rumah sakit," imbuh Dokter."Lakukan yang terbaik untuk putri saya Dok," ucap Ayah Riska."Rawat dia di ruang VVIP, akan aku booking satu lantai untuk dia," ujar suamiku."Tuh, Ris, ucapan adalah doa. Kamu kan dulu pengen booking satu lantai sekarang kesampaian." "Ya kali harus sakit dulu kaya gini," elak Riska. "Ehm, aku cancel deh buat booking satu lantai, mending pulang aja. Boleh nggak, Dok?" pinta Riska."Nggak bisa. Apa kamu mau sakitmu tambah parah?" Riska akhirnya pasrah harus opname di rumah sakit. "Terimakasih Pak Bambang, sudah sangat peduli dengan anak kami," ucap Ayah Riska saat aku dan suamiku hendak pulang."Tidak apa-apa. Riska adalah sahabat baik istriku, dia sudah saya anggap sebagai—""Stop Pak Bambang!" sergah Riska. "Jangan anggap aku sebagai istrimu!" Mendengar ucapan Riska, Ibu Riska langsung memukul kaki Riska."Astaga! ini bocah kalau ngomong
"Maaf Va, tapi benar-benar perutku mual," ucap Riska."Nggak apa-apa." Aku mendorong kursiku kemudian mendekati Riska. Aku pijat tengkuk lehernya, agar dia merasa lebih baik. "Jangan-jangan dia hamil," ucap seseorang yang duduk di meja sebelahku."Apa maksudmu mengatakan hal itu?" tanyaku padanya."Ya nggak apa-apa. Sekarang lihat deh, dia muntah-muntah di pagi hari, bukankah pas sama ciri-ciri orang hamil?""Kalau ngomong disaring dulu mulutnya! Nggak tau apa-apa udah ngomong hamil!""Loh, kok kamu nggak terima?!""Kirim aja nggak gimana aku mau terima? Dasar aneh, kenal juga nggak udah main tuduh!" Ingin aku menyiram muka perempuan itu dengan teh yang ada diatas meja, tapi tanganku malah ditarik oleh Riska."Va … aku pulang aja ya," ucap Riska."Aku anterin ya," usulku pada Riska."Nggak usah, aku naik taksi online aja, kamu kan ada kelas pagi," tolak Riska."Udah, nggak usah dipikirin," jawabku.Aku kemudian membantu Riska untuk berdiri dan memapahnya."Maaf Va, ngrepotin kamu," u
"Va, kamu selalu bawa kan?" tanya Riska. Entah apa maksudnya malah tanya seperti itu."Bawa apaan?" "Permen!" jawab Riska ketus. "Botol Va, botol."Auto mikir dengan ucapan Riska. Aku ingat-ingat tentang botol, yang terlintas di otak malah bayangan tampan suamiku. Aku geser kembali bayangan suamiku, yang keluar malah Song Joong Ki. Hih! Ni otak kenapa mendadak pintar!"Kelamaan mikir kamu, Va!" hardik Riska. Dua orang laki-laki itu sudah sangat dekat jaraknya dengan kami. "Om-om! Lihat deh, ke atas," ucap Riska."Ada apa di atas?" tanya salah satu laki-laki itu."Itu ada cicak bawa koper, kayaknya keberatan deh. Bantuin dulu gih Om," jawab Riska membuatku tepuk jidat. Bisa-bisanya dia bercanda disaat seperti ini."Ngledek kamu, hah?!" bentak laki-laki itu."Siapa yang ngeledek?" elak Riska. "Kalau yang ini beneran deh, tuh lihat dipojokkan," tunjuk Riska pada benda kecil yang terpasang di langit-langit pojok lift. "Kasih lihat giginya dulu, Om!" perintah Riska. Yang lebih mencengang
"Mbak … Mbak Nisa kenapa?" Aku beranikan diri untuk bertanya pada Mbak Nisa karena semakin lama air mata Mbak Nisa semakin banyak mengalir di pipi."Mbak Nisa nangis pengin balon? Atau mau kue ulang tahun? Nanti Riska ambilkan, tapi jangan nangis ya …" hibur Riska."Kenapa rasanya sakit kaya gini? Seharusnya aku biasa saja. Aku sudah menolaknya, tapi aku sakit melihatnya dengan perempuan lain," ucap Mbak Nisa terisak."Apa itu karena Ivan Mbak?" tanyaku pada Mbak Nisa. "Kenapa Mbak Nisa menolak lamaran Ivan kalau Mbak Nisa cinta sama dia?""A—aku takut dia kecewa Va. Kamu kan tau aku nggak bisa kasih dia keturunan dulu juga ibunya menentang hubungan kami karena hal itu.""Waktu mau melamar Mbak Nisa kan ibunya sudah merestui Mbak, kenapa Mbak Nisa tetap menolaknya?""Aku takut Va, takut jika suatu saat ibunya kembali mengungkitnya.""Mbak Nisa sekarang masih cinta sama Ivan?""Dari dulu aku nggak pernah mencintai laki-laki lain selain dia, bahkan setelah aku meninggalkannya ke Austral
Malamnya kami sudah sampai di tempat Ibu. Mbak Nisa malah sudah sampai terlebih dahulu karena Mbak Nisa dari kantor langsung ke tempat Ibu. Kue yang aku pesan juga sudah sekalian dibawa sama Mbak Nisa.Di ruang tamu para tamu datang berkumpul untuk mengirimkan doa untuk Bapak."Va, kuenya enak," ucap Riska saat baca doa telah selesai."Hmmmm, makan terus kamu kerjanya! Bukannya ikut kirim doa!" sungutku pada Riska."Aku kan lagi halangan, Va," jawabnya dengan mulut penuh makanan. "Halah! Alasan aja kamu!" timpal Mbak Nisa. "Aku perhatiin kok dari tadi kamu sibuk sama kacang di depan kamu. Tuh lihat kulitnya aja paling banyak di depan kamu." "Lah kan biar pas, nanti kalau kulitnya di buang jadinya kacang yang lupa sama kulitnya," elak Riska.Pukul sembilan malam akhirnya acara telah selesai, semua tamu sudah kembali ke rumah masing-masing. Kami memutuskan untuk menginap di rumah Ibu."Ris, kamu masih ngunyah?" tanya Mbak Nisa saat Riska masih menikmati bola-bola coklat yang ada di de
Bi Asih kemudian mematikan sambungan teleponnya dan berbalik."Nyo—nya," ucap Bi Asih gelagapan. Mukanya menunduk tak berani menatapku."Iya ini saya. Kaget?!" "Ti—tidak Nyonya, saya kira Nyonya masih di kamar sebelah," jawab Bi Asih melawan rasa gugupnya."Sudah dari tadi saya disini. Mana ponselmu?" Bi Asih kemudian merogoh saku bajunya dan menyerahkan ponsel kepadaku, yang diserahkannya justru ponselku padahal sudah jelas yang aku minta adalah ponsel Bi Asih. Aku terima saja ponselku dan aku masukkan kantong bajuku."Ponsel Bi Asih mana?" tanyaku."Bu—bu—buat apa Nyonya?" "Nggak usah banyak tanya! Saya sudah tau semuanya! Cepat berikan ponsel kamu!" teriaku.Bi Asih kaget dengan suara nada tinggi yang aku keluarkan. Tangannya langsung bertindak cepat merogoh saku kemudian menyerahkan ponsel miliknya padaku."Ada apa Dinda?" tanya suamiku yang baru saja terbangun. Mungkin dia kaget dengan suara kerasku."Maaf Kanda, sudah membuat Kanda kaget sampai terbangun," jawabku pada suamik