Khania menangis. Ia tidak menyangka dengan apa yang kini ada di hadapannya. Efgan merangkul pinggang Khania. Ia mengusap-usap punggung istrinya dengan lembut.Monic datang menghampiri Khania dan langsung memeluknya. "Selamat ya! Akhirnya aku akan jadi auntie!" ucapnya sambil melepas pelukan. Ia lalu beralih pada adiknya."Widih! Hebat juga ternyata adikku ini! Selamat ya. Bentar lagi bakalan jadi bapak!" Monic langsung memeluk adiknya itu. Ia menangis dalam pelukan Efgan."Monic kamu kenapa?!" tanya Efgan dengan panik saat melihat Kakaknya itu menangis dalam pelukannya."Aku terharu bod*h! Ini itu tangisan bahagia. Aku kira kamu beneran gak mau nikah dan punya anak. Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain. Ia mempertemukan kamu sama Khania. Dan parahnya lagi, kamu sekarang sangat bucin sama istri kamu itu," ujar Monic saat ia sudah melepas pelukannya pada Efgan."Dan sangat posesif," tambah Glen dari arah belakang. Mereka semua tertawa saat mendengar ucapan Monic dan Glen. Semua orang
Satu bulan kemudian.Hoek ... hoek.Pagi-pagi sekali Khania sudah berada di kamar mandi ditemani suaminya. Dengan sabar Efgan memijat tengkuk Khania. Sebenarnya ia sangat Khawatir melihat kondisi sang istri yang semakin hari semakin parah saja. Bahkan sudah beberapa hari ini Khania enggan untuk makan."Sayang! Kita ke rumah sakit aja ya! Biar kamu di rawat di sana."Khania menggelwngkan kepalanya. Ia tidak mau di bawa ke rumah sakit. Ia akan bertambah mual saat mencium bau obat-obatan. Walaupun nanti ia di tempatkan di ruang VIP tetap saja ia tidak mau."Kan kemarin udah diperiksa dokter," sahut Khania saat ia sudah selesai mengeluarkan semua isi perutnya itu."Tapi kemarin aja kamu gak minum obat yang dikasih sama dokter! Kita ke rumah sakit aja ya, biar kamu diinfus." Efgan membopong Khania. Ia segera mendudukan Khania di atas kasur dan meminta istrinya untuk berbaring dan istirahat kembali."Mas! Aku bosen di kamar terus! Sudah satu bulan lho kamu ngurung aku di kamar ini," protes
Efgan menjalankan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Hatinya tak tenang, takut terjadi sesuatu pasa istrinya. Ia terus mencoba mengubungi nomor Khanja. Namun ponselnya tak aktif. Perasaannya mulai gelisah. "Sial!" umpat Efgan.Tiba di rumah. Efgan memarkir mobilnya sembarangan. Ia dengan cepat masuk dan berlari menuju kamarnya. "Sayaang!" teriak Efgan saat ia sudah menaiki tangga.Khania yang tengah serius menonton TV terkejut saat mendengar teriakan suaminya. Ia bergegas turun dari ranjang.Ceklek!Khania membuka pintu saat Efgan baru saja memegang handle pintu. "Sayang! Kamu gak apa-apa?!" tanya Efgan saat melihat Khania berdiri tepat di hadapannya.Khania menggelengkan kepalanya.Efgan membawa Khania kembali masuk ke dalam kamar dan ia memeriksa tubuh Khania. "Mas! Kamu apa-apaan sih! Pusing tau diputer-puter gini!" protes Khania saat Efgan memutar-mutar tubuh Khania untuk memastikan istrinya baik-baik saja."Maaf!" ucapnya, lalu ia memeluk Khania dengan erat. Jantungnya seakan b
"Haii Khania! Apa kabar?!" tanya orang itu dengan tersenyum cerah.Khania tersenyum. Ia lalu bangun dari duduknya dan menghampiri orang yang baru saja datang bersama Glen."Mas Rizal?! Ya Allah, kabar aku baik Mas! Mas sendiri apa kabarnya?!" tanya Khania dengan tersenyum bahagia.Orang yang di panggil Rizal itu tersenyum. "Ya seperti yang kamu lihat, aku baik-baik aja! Oh iya. Ngomong-ngomong kamu lagi ngapain di sini? Kamu kerja di sini?!" Khania hendak menjawab namun Efgan terlebih dahulu menyela."Dia istri saya." Efgan merangkul pinggang Khania dengan posesif. Ia menatap Rizal dengan tatapan yang tajam. "Ah! Kamu udah nikah lagi, padahal Albi belum ada setahun ya meninggalnya." Rizal tersenyum simpul pada Khania.Khania yang mendengar itu hanya menundukan kepalanya. Efgan mengerutkan keningnya. Ia tak suka jika ada orang yang memojokan istrinya."Maaf sebelumnya! Ada hubungan apa anda dengan istri saya?! Kenapa anda dengan lancang berbicara seperti itu!" Efgan menatap tajam Riz
Khania menangis sejadi-jadinya, ia memukul-mukul dada Efgan. "Kamu jahat Mas! Aku gak nyangka kamu bisa seperti itu. Kamu pembohong! Aku benci sama kamu Mas.""Sayang! Aku mohon dengarkan penjelasan aku dulu. Ini semua hanya salah paham," ujar Efgan sambil menggenggam tangan Khania yang terus memukul dadanya. "Apa? Kamu mau jelaskan apa lagi Mas?! Semua itu sudah cukup jelas!" ucap Khania dengan napas yang berat. Dadanya naik turun menahan amarah yang kini memuncak. Ia menepis tangan Efgan yang kini mengenggam tangannya "Sayang! Sumpah demi apapun aku gak melakukan hal aneh! Aku hanya menolongnya yang gak sengaja aku tabrak!" Efgan mencoba menjelaskan yang sebenarnya pada istrinya."Heh! Kamu bilang kamu hanya menolongnya?" tanya Khania dengan senyum kecut. Ia menatap suaminya dengan tajam. "Kalau kamu memang menolongnya, harusnya kamu itu bawa dia ke rumah sakit bukan ke hotel, Mas! Emangnya sekarang hotel itu sudah beralih fungsi jadi tempat pelayanan kesehatan?!" "Sayang! Aku han
Glen mengejar Efgan yang sudah menjauh dari hadapannya. Ia akan memberitahukan hal penting yang bisa saja mengancam rumah tangga bosnya dan juga nyawanya sendiri, karena tidak memberitahukan masalah ini."Pak Bos!" seru Glen sambil terus mengejar Efgan.Efgan tak menghiraukan Glen dan terus berjalan."Di ruangan bu bos ada pak Rizal," teriak Glen yang sukses membuat langkah Efgan terhenti. Efgan membalikan badannya dan menatap Glen dengan tajam, "Kenapa kamu gak bilang dari tadi?!"Glen hendak menjawab namun Efgan lebih dulu pergi meninggalkannya sendiri di sana. Ia pun menggelengkan kepalanya saat melihat tingkah posesif bosnya yang sudah mulai on.Efgan berlari menuju ruangan istrinya. Darahnya mendidik kala ia membayangkan jika sekarang Khania dan Rizal hanya berdua saja di ruangan itu.Tiba di depan pintu Efgan membuka pintu itu dengan keras.BRAAAKKK!Orang-orang yang ada di dalam ruangan itu terkejut dan menatap Efgan dengan sengit."Apa-apaan kamu itu! Datang-datang langsung ba
"Sa-sayang," Efgan panik saat melihat Khania yang sedang menangis.Khania terjengkit kaget mendengar pintu dibuka dengan keras."Mas! Kamu itu dari mana aja sih? Kenapa baru dateng?" tanya Khania dengan mata yang menyipit.Efgan segera menghampiri istrinya, "Maaf sayang! Tadi aku ketiduran? Ada apa kenapa kalian menghubungiku sampai sebanyak itu?!" Efgan membawa Khania ke dalam dekapannya. Ia menoleh ke arah nenek dan kakak ya."Itu, tadi Khania minta dicarikan buah delima merah," ucap Monic dengan wajah lelahnya."Ya tinggal beli aja, kenapa repot banget sih!" sahut Efgan dengan santainya."Itu dia masalahnya. Khania gak mau beli. Dia maunya delima yang langsung dipetik dari pohonnya. Aku sama Glen udah ngubek-ngubek nih kota tapi, gak ada yang menanam buah itu. Bahkan aku sama Glen sampe berburu ke kota Bogor. Gak ada. Kita gak nemu!" jawab Monic."Padahal dulu ada di depan rumah pak Mamat Mas. Itu rumah yang warna merah di belokan dekat kontakan aku dulu." Khania mendongakkan kepal
Efgan tiba di depan rumah kontrakan Khania yang dulu. Ia menengok kiri kanan sebelum keluar dari mobil. Ia lalu tersenyum kala melihat pohon delima di depan rumah yang tadi istrinya itu sebutkan. Ia lalu melihat jam di tangannya yang sudah menunjukan pukul 23.45.Efgan berpikir dengan keras. Ia tak mungkin mangganggu penghuni rumah itu dengan ia bertamu tengah malam begini. Ia pun memutuskan untuk diam sebentar di sana sambil melihat sekitar yang cukup sepi.Efgan terkejut kala seseorang mengetuk kaca pintu mobilnya. Efgan membuka kaca jendelanya."Anda siapa? Kenapa tengah malam begini anda berada di sini?!" tanya seorang lelaki paruh baya itu pada Efgan."Maaf Pak! Saya sebenarnya ingin menukar buah delima yang ada di depan rumah itu. Istri saya tengah hamil muda dan ia ingin buah delima yang dipetik dari pohonnya," jelas Efgan pada bapak tersebut. Bapak itu menoleh ke aeah rumah yang ditunjuk Efgan. Ia lalu tersenyum. "Oh! Kalau begitu anda bisa ikut saya."Bapak itu lalu pergi ter