Siang harinya.Efgan tak bisa fokus untuk bekerja, ia masih memikirkan tentang bayangan yang cukup jelas ia lihat tadi pagi, ia takut jika itu orang jahat yang berniat mencelakai keluarganya. Ia pun dengan cepat berdiri dan membuat Glen yang tengah duduk di depannya terkejut sekaligus heran."Kamu mau ke mana?" tanya Glrn saat melihat Efgan yang hendak keluar."Pulang," jawab Efgan dengan santai sambil pergi dari ruangannya."Eeh, enak aja main pulang, pulang aja. Gak, gak bisa. Itu pekerjaan masih banyak," ucap Glen saat ia sudah berhasil menahan Efgan pergi."Tapi aku harus pulang," ucap Efgan.Glen mengernyitkan keningnya."Emangnya kenapa kamu harus pulang?" tanya Glen yang heran sekaligus bingung."Perasaan aku gak enak." Efgan hendak melangkah dan pergi dari hadapan Glen. Namun, lagi-lagi Glen menahan Efgan. "Kamu gak bisa pulang gitu aja, pekerjaan kita banyak!""Lepas," bentak Efgan pada Glen dan melepaskan tangan Glen yang tengah mem
"Kamu mau ke mana?" tanya Efgan saat melihat Khania yang melangkah menuju pintu."Keluar," jawab Khania tanpa menoleh, ia terus berjalan menuju pintu."Sayang, kenapa kamu gak ngerti sih, aku itu takut terjadi sesuatu sama kamu dan juga Kai. Apa aku salah menjaga dan melindungi apa yang paling berharga untukku?" ujar Efgan dengan sendi. Ia sedih saat Khabia yak mempercayainnya."Kamu gak salah Mas, hanya cara kamu yang salah. Aku gak mau dikurung di dalam kamar, aku gak mau Mas,c sahut Khania sambil terus berjalan dan membuka pintu. Saat Khania membuka lintu, ia tertegun saat melihat siapa yang kini berdiri di depan pintunya itu. Ia lalu tersenyum kikuk pada orang yang kini tengah berdiri di hadapannya."Kamu ... ngapain di sini Gab?" tanya Khania.Gabriel tersenyum pada Khania."Apa kita bisa bicara sebentar?" tanya Gabriel dengan nada yang serius.Khania menganggukan kepalanya dengan dada yang berdegub kencang, ia berpikir mungkin Gabriel mendengar
Khania terkejut mendengar ucapan nenek. Namun, ia masih berpikiran positif, ia tak ingin berburuk sangka terhadap Gabriel, ia pun berdiri dan berjalan ke arah depan. Dan benar kata nenek. Gabriel tak ada di sana. Jantung Khania berdetak dengan kencang, ia pun berlari ke dalam dan mencari Gabriel ke seluruh rumah. "Gab ... Gabriel kamu di mana?" Khania berteriak sambil terus mencari Gabriel.Nenek pun ikut mencari.Semua orang yang berada di rumah ikut mencari. Namun, Gabriel tak juga ketemu. Khania meluruhkan tubuhnya yang terasa lemas dan jantung yang berdetak kencang. Apa mungkin ucapan suaminya benar tentang Gabriel. Apa memang benar Gabriel ada niat buruk kepadanya. Kepana Kai? Kenapq Kai yang harus jadi korbannya. Kenapa bukan dia saja. Pikir Khania. Air matanya jatuh tanpa diminta."Sayang kamu tenang dulu ya," ucap nenek menenangkan Khania, ia membawa Khania duduk di kursi.Khania tak bersuara. Ia hanya menangis tersedu-sedu."Gabriel gak ada di
Khania segera membawa benda yang ia temukan di laci kamar yang Gabriel tempati dan langsung keluar dari sana. Khania mencari nenek di dapur untuk berpamitan keluar. Namun, ia tak menemukan nenek. Dengan terpaksa Khania pergi tanpa meminta izin pada nenek.Setelah di luar, Khania segera menghentikan taksii dan pergi menggunakan taksi itu."Mudah-mudahan apa yang aku pikirkan benar," ucap Khania saat sudah duduk di dalam mobil, ia menggenggam erat benda milik Gabriel.Disaat taksi sudah mau sampai, Khania baru teringat jika ia tak membawa ponsel dan juga dompetnya. Karena ia perginya terburu-buru ia sampai lupa membawa ponsel dan dompet."Ya ampun, aku bayar taksinya gimana?" Khania merogoh saku celananya dan beruntung dia masih punya uang yang ada di sana. "Ah, beruntungnya masih ada uang, tapi, apa ini cukup?" gumamnya dengan lirih, ia lalu melihat argo taksi dan bernapas lega karena uang yang ia pegang lebih dari cukup.Setelah tiba di tempat tujuan. Khania segera turun setelah memba
Khania membuka matanya dan bernapas lega saat peluru itu ternyata meleset dan mengenai tembok yang berada di belakang Khania.Gabriel yang terkejut pun menghela napas lega.Namun, baru saja mereka merasa lega, orang itu kembali mengarahkan pi-stol itu pada Khania."Kaget ya?" ucapnya sambik terkekeh menyebalkan. "Itu tadi hanya pemanasan," lanjutnya lagi sambil tersenyum jahat."Mau kamu apa?" tanya Khania.Orang itu menatap tajam Khania lalu berjalanendekati Khania dan berbisik. "Aku mau kamu mati.""Apa dengan aku mati? Kamu merasa puas dan bahagia?" tanya Khania lagi."Jelas, itu akan membuatku sangat puas dan bahagia," jawabnya lagi dengan tertawa menyeramkan.Gabriel terus mencoba melepaskan ikatan yang mengikat tangannya.Khania berusaha mengulur waktu. Dia terus memutar otaknya agar bisa terus mengulur waktu.Kenapa? Kamu takut ya?" ledek orang itu."Enggak, aku gak takut," jawab Khania dengan penuh percaya diri.Orang itu sonta
Efgan yang sudah berhasil menemukan Kai bergegas pulang. Ia sungguh tidak sabar ingin bertemu istrinya dan memberikan kabar bahagia ini secepatnya."Nenek," teriak Efgan saat mobil yang ditumpanginya sudah tiba di depan rumah. Ia pun dengan cepat keluar dan menghampiri sang nenek yang nampak terkejut melihatnya."E-Efgan," ucap nenek terbata. Ia nampak syok melihat kedatangan sang cucu."Lihat Nek, Kai sudah kembali. Dia gak apa-apa!" Efgan menunjukan Kai yang berada digendongannya.Nenek melihat Kai dan tersenyum."Syukurlah kalau Kai selamat," ucapnya. Namun, raut wajahnya tak menampilkan kebahagiaan."Nenek kenapa? Apa Nenek gak senang lihat cicit Nenek selamat?" tuduh Efgan yang terheran saat melihat raut wajah nenek yang nampak tak begitu senang.Nenek menggelengkan kepalanya."Ah, bu-bukan begitu. Nenek senang, senang sekali malahan kalau Kai itu baik-baik saja," sahut nenek dengan tersenyum paksa.Efgan menatap penuh curiga pada nenek."Terus kenapa raut wajah Nenek begitu?""Be
"Nia," teriak Gabriel saat melihat Khania tak sadarkan diri, ia membuang pis-tol di tangannya dan perlahan mendekat pada Khania, ia lalu membawan Khania dipangkuannya. Ia pun menoleh pada Anita yang sudah terkapar di lantai dengan darah mengalir di tubuhnya. "Nia ... Nia bangun!" Gabriel berusaha membangunkan Khania.Sampai beberapa saat kemudian Khania pun sadar dari pingsannya.Khania yang baru bangun melihat sekitar dan terkejut saat melihat Anita yang terkapar di lantai dengan bersimbah darah."Ga-Gab, Nita kenapa?" Khania lalu melihat pada dirinya sendiri. "Eh, kok bisa aku gak apa-apa? Bukannya tadi ada suara tembakan? Aku kira Anita nembak aku," ucap Khania kebinggungan.Gabriel menggengam tangan Khania."Anita memang bodoh. Harusnya tadi saat dia mau nembak kamu, pis-tol yang dia taruh di tanganku itu dia ambil dulu. Tapi, mungkin karena dia sangat berambisi untuk mem-bunuh kamu. Jadinya dia gak mikirin itu," sahut Gabriel."Ja-jadi kamu yang udah nembak Anita?" ucap Khania ta
"Ma-maafkan aku Gab," ucap Khania, ia lalu mendekat pada Gabriel dan menarik dan menyeret tubuh Gabriel.Gabriel terkejut. Namun ia tak bisa berbuat apa-apa karena tububnya pun sudah melemah dan tak bertenaga.Tiba di pinggir jalan raya. Khania meletakkan tubub Gabriel di sisi jalan dan ia mencari kendaraan yang mungkin saja lewat sana."Ya Tuhan. Tolong berikan pertolonganmu pada hamba dan juga Gabriel," ucap Khania sambil terus melihat kiri dan kanan berharap ada kendaraan yang lewat.Tak lama kemudian Khania melihat ada kendaraan dari jauh."Alhamdulillah ada kendaraan yang lewat," ucap Khania sambil tersenyum senang. Ia lalu berjalan ke tengah dan berniat untuk menghentikan kendaraan itu."Nia, awas bahaya." Gabriel yang sudah lemah dan tek berdaya pun mencoba merangkak dan mendekat pada Khania yang berdiri di tengah jalan."Gab, kamu diam aja di sana. Jangan ke sini," Gabriel menggelengkan kepalanya.Khania pun berjalan dan mendekat pada Gab