Bima baru saja meminta maaf atas nama Aluna dan pergi ke dalam mobil saat seorang lelaki yang memakai kemeja hitam membungkuk di jendela.
Tatapannya serta merta menajam sebab kepalanya mengenali lelaki ini.Prasasti.Teman Aluna yang dia ketahui masih berstatus sebagai mahasiswa di salah satu universitas swasta Kuningan. Pertemuan mereka singkat tetapi Bima tidak lupa bahwa Pras adalah lelaki yang menggendong Aluna di camp Palutungan Ciremai ketika Aluna terkilir.Lelaki ini benar-benar mengganggu Bima oleh karena kejadian itu sehingga Bima tentu hapal di luar kepala bagaimana perawakan Pras.Prasasti berpostur tinggi, sedikit berotot, punya rambut gondrong dan wajah tengil khas anak remaja yang belum mengenal susahnya hidup."Ini kenapa?" tanya Bima meminta perhatian.Pras menoleh mendengar pernyataan itu. Lelaki itu serta merta menatap Bima tepat di muka. Tatapannya tidak mencerminkan anak muda yang belasan tahuDamai sekali rasanya terbangun dari ranjang masa kecilnya dengan guling sebagai teman. Aluna menggeliat dan membuka jendela sehingga angin subuh yang segar memanjakan paru-parunya. Aluna tersenyum tipis, sekarang dia tidak perlu berpura-pura lagi. Apa yang dia tampilkan di wajahnya adalah realita yang dia rasakan di hatinya. Keabsent-an Bima di hidupnya pagi ini, membuat Aluna punya banyak energi untuk bahagia. Energi yang sebelumnya dia pakai untuk membuat topeng juga benteng, sekarang utuh banyak sekali.Alhasil, ya seperti ini, Aluna merasa tenang. Namun paginya yang damai, terusik oleh teriakan bayi yang digendong ayahnya. "Ini siapa? Subuh-subuh kok udah culik bayi?" tanya Aluna menghampiri ayahnya. Satria tidak lekas menjawab. Lelaki yang sudah beruban itu menimang bocah perempuan yang sepertinya baru belajar merangkak itu agar teriakan mengantuknya lekas hilang. "Ini Gigi," jawab Satria mengecupi pipi bayi i
Aluna mengatupkan bibirnya rapat-rapat ketika suara tamparan keras mengalun kencang. Wajah Bima sampai tersentak ke sisi saking kuatnya Mitha mengumpulkan tenaga tuk memberi tamparan.Genderang di kepala Aluna berdetak keras. Dia harus mengambil keputusan sebelum ada pihak lain yang menyadari pertengkaran ini. Aluna takut semuanya kacau dan dia akan kesulitan menghandle sebab di rumah ini memang hanya ada mereka bertiga. "Udah ya mah," bujuk Aluna memeluk bahu Mitha yang bergetar hebat. "Dia udah menutup diri selama 5 tahun Al, bagi Mamah itu bodoh!" hardik Mitha meloloskan isak tangis. "Bim, coba lihat Mamah! Apa kamu enggak kasihan sama Mamah? Kamu boleh berduka, Mamah sama sekali enggak larang, tapi ada batas waktunya."Sungguh, Aluna bingung harus menengahi dengan cara apa. Mitha yang emosional bukan hanya akan merusak suasana tetapi juga merusak kesehatan tubuh Mitha sendiri. Akhirnya Mitha bisa dibujuk agar duduk. Itupu
Sikap Aluna yang tiba-tiba condong ke arahnya, ibarat pisau tajam yang mengiris tipis perasaan Bima.Lelaki itu sadar begitu banyak rasa sakit yang dia torehkan di hidup Aluna. Dan perempuan itu bisa-bisanya masih membela dirinya?Di ujung rasa frustasi karena harus membakar semua barang-barang yang telah menemaninya selama 5 tahun terakhir, Bima menunjukan tatapan penuh permohonan kepada Aluna. Please ....Bima tidak mungkin membakar hangus satu-satunya kenangan dirinya dan Cassandra. Perempuan itu adalah titik balik dirinya bisa hidup senormal sekarang, Bima tidak mungkin melupakan Cassandra. Tanpa Bima duga, Aluna mengabulkan permintaannya. Perempuan itu menolak permintaan Mitha dan menjelaskan bahwa benda-benda itu tidak bisa mendefinisikan apapun soal pernikahan dirinya dan Aluna.Bima pikir dia akan lega. Dia pikir hatinya akan meluas seperti samudera mendengar izin dari Aluna, bahwa dia bebas menyimpa
Kelihatan berat, Abimanyu Basudewa mengangguki ucapan sang Ayah. Sungguh di luar dugaan lelaki itu mau berkompromi dengan dua hal sulit dalam waktu singkat. Haruskah Aluna bertepuk tangan dan melakukan selebrasi?Aluna tidak menampik dia sedikit bahagia karena Bima mau sedikit 'berusaha' agar hubungan mereka 'tak retak'. Namun tentu, ini bukan tentang perasaan, melainkan hanya semata demi punya anak. Sebut Aluna gila, tetapi obsesinya untuk punya anak benar-benar membuatnya seperti bukan manusia. Dia sudah kehilangan perasannya di pernikahan ini, setidaknya izinkan dia punya keinginan maniak untuk punya anak. "Untuk sementara ini, karena cari tempat yang bagus itu susah, kalian bisa tinggal disini," cetus Mitha memberi opsi ketika Bima diam saja ditanya soal tempat tinggal. "Sekalian Mamah awasi Bima biar enggak macam-macam."Bima menghela nafas. Pasti berat jadi Bima, gumam Aluna. Dalam satu hari, lelaki itu diminta meruba
"Ini bagus, tapi nanti disimpan dimana?" Aluna menunjuk kamar Bima yang sudah disesaki dengan rak buku. "Rak-nya dikeluarin satu," jawab Bima.Aluna mengangguk. "Ini mau dibuang?" tanya Mitha menunjuk tumpukan buku di depan pintu. Sangat menumpuk dan berdebu. "Ditaruh gudang aja, nanti aku yang turunin," jawab Bima. "Enggak sekalian sewa tukang aja kalau mau dicat ulang?""Enggak usah, bisa dicat sendiri.""Aku juga suka ngecat, nanti berdua lebih cepat Mah," timpal Aluna membuat Bima menatapnya.Aluna merealisasikan ucapannya dengan mengambil alih bagian mengecat. Bima memilih putih sebagai warna dasar. Baguslah, Aluna jadi tidak perlu mendebat hal itu. "Emang enggak ada kerjaan?" Aluna mencelupkan kuas ke ember yang berisi cat. Perempuan itu mengusap peluh di dahi dengan lengan bagian dalam. "Fleksibel. Nanti malam juga bisa.""Ini karena nanti bau cat, paling malam i
Selama masa konsultasi ke psikolog, Aluna menutup diri dari semua informasi tentang apa, siapa, dimana, dan bagaimana. Dia membiarkan Mitha menjadi 'pengawas' Bima ke psikolog. Menurut Mitha, Bima sudah sedikit terbuka sekarang. Aluna sendiri tidak tahu spesifiknya seperti apa. Dia lebih banyak menghabiskan waktu bersama Bee alih-alih Bima. Dia hanya bertemu dengan Bima di meja makan untuk sarapan dan makan malam lalu di ranjang ketika tidur. Itupun jarang mengobrol karena Aluna tidur cukup larut sebab jadwal bekerjanya dari sore sampai malam. Namun yang pasti, Aluna merasa psikolog itu ada 'efeknya' ketika hari Jumat Bima tidak pergi ziarah. Entah Bima benar-benar tulus untuk 'menyembuhkan diri' atau bukan. Lelaki itu malah meminta Aluna menemaninya ke toko buku. Kata Bu Novita, membuat jurnal bisa membuat Bima mengenali perasaannya. Ini akan membuat proses penyembuhan 'jiwa' Bima lebih mudah, sebab tahu apa yang menjadi penyebab Bi
Fokus Bima sudah sangat kacau ketika Aluna yang duduk di jok sebelah, tiba-tiba meminta izin ke jok belakang. Mereka dalam perjalanan pulang setelah nge-date tipis-tipis. "Mau ngapain?" tanya Bima tidak sadar bernada sengit. "Mau pakai celana."Bima menatap Aluna dengan tatapan tidak mengerti. Sudah hampir satu jam menempuh perjalanan dari Grage Mall Cirebon ke Jalaksana, Aluna baru ingat memakai celana? Aluna memang memakai atasan super pendek tanpa bawahan. Di atas lutut. "Nanti ayahku bisa ngomel kalau liat aku pakai baju ini aja," ungkap Aluna. "Dari tadi aku suruh pakai celana kamu enggak mau, tapi sama ayah kamu takut?" tanya Bima tak habis pikir. "Kenapa kita enggak ke Gramedia ya Al, beli buku tentang kewajiban istri untuk mematuhi suaminya.""Ck, kamu kaya Mamah Mitha ya, bawa-bawa begituan," ledek Aluna menepuk lengan Bima agar menyingkir dari sisi jok. Aluna merunduk dan memaksa tubuh kurusnya untuk melom
"Kenapa kamu menginginkanku?" tanya Aluna merah merona. "Apa kamu enggak menginginkanku?" Bima balas bertanya. Sepasang mata Bima penuh kabut. Aluna tenggelam di sana. Aluna tidak punya apapun untuk membuat seorang lelaki tergila-gila, tetapi ketika mereka bermesraan, cara Bima memperlakukannya begitu lembut dan penuh pemujaan seolah Aluna adalah perempuan tercantik di dunia. Aluna tidak akan pernah bosan mengatakan hal itu karena rasanya memang sangat aneh. Tubuhnya kurus seperti tulang dibungkus kulit. Aluna tidak merasa spesial. Aluna yang duduk di pangkuan Bima berjengit ketika Bima meremas bokongnya. "Kamu enggak menginginkanku juga Al?" ulang Bima menagih jawaban. Bima mengelus punggung Aluna yang lembut. Perempuan di pelukannya ini hanya memakai panties sehingga punggungnya bebas dari tali bra. Bima menunggu jawaban itu sembari menurunkan mulutnya. Aluna menatap langit-langit dengan mata terpejam