Visual yang sangat terpahat sempurna ini siapapun yang pernah melihatnya sudah jelas tidak akan bisa dengan mudah melupakannya. Apalagi tatapan mata tajam berwarna abu-abu ini, pria itu tampak jelas sangat memukau.
Terutama untukKayla, yang baru beberapa hari lalu tidur dengannya! “K-Kak … Will?!” Panggilan kecil Kayla membuat sang pria yang berdiri tegap selagi menatap teman-temannya itu menurunkan pandangan, memandang lurus mata hitam milik Kayla. “Lama tidak bertemu, Kay,” ucap William dengan suara dalam. Mendengar balasan William, benak Kayla mendadak menjadi ribut. Bukankah Ghafa bilang temannya yang satu ini tidak diundang?! Lalu, kenapa sekarang William berada di sini? Apakah Ghafa membohongi Kayla!? Selagi deretan pertanyaan itu berputar di otak Kayla, terdengar suara seseorang berseru, "William!” Kayla menoleh dan mendapati sosok Ghafa bergegas turun dari panggung untuk kemudian menghampiri sahabat dekatnya itu. Sebuah pelukan hangat dihadiahkan kakak Kayla tersebut kepada William. “Kenapa tidak mengabari akan datang?! Aku kira kamu masih di luar negeri, Bro!” Mendengar ucapan Ghafa dan juga reaksi terkejutnya, Kayla pun berpikir, ‘Jadi, benar Kakak tidak tahu-menahu soal kepulangan Kak William?’ Dia balik menatap ke arah sahabat baik sang kakak. ‘Lalu, kenapa dia bisa berada di sini sekarang?!’ "Kesempatan reuni dengan kalian tentu tidak boleh dilewatkan." William membalas rangkulan singkat Ghafa sebelum melepaskannya. “Selain itu, ada urusan yang perlu kuselesaikan.” Tepat saat mengatakan hal tersebut, mata William mendadak bergeser untuk menatap Kayla. Kayla tertegun, kemudian langsung membuang muka. Batin gadis itu langsung berteriak, ‘Mungkinkah Kak William membicarakan malam itu!?’ Khawatir William akan mengungkit hal yang terjadi di beberapa malam yang lalu, Kayla pun memutuskan bahwa dia harus segera pergi. Namun, belum sempat menemukan celah untuk kabur, teman-teman SMA Ghafa dan William malah datang mengerubung. Jalan keluarnya tertutup! “Wah, Will! Kamu sudah menjadi bos besar sekarang rupanya!” “Semakin sukses adalah hal bagus, tapi jangan lupa mencari istri, ya!” “Oho! Benar itu! Kapan kami akan menerima undangan, Will?!” Godaan teman-teman lamanya itu sama sekali tidak membuat William tersinggung, pria itu hanya menyunggingkan senyum tipis khasnya yang hampir tak terlihat dan menatap Ghafa. “Bukankah pertanyaan ini lebih cocok diajukan padamu?" tanya William, mengalihkan topik dengan ahli kepada sang empunya acara. Ghafa dengan malas memutar bola matanya. “Lupakan … setelah putus dari yang terakhir, aku ingin istirahat dulu dari masalah percintaan,” ujar kakak Kayla itu, merujuk kepada sang mantan kekasih. Reaksi itu membuat semua orang menatap Ghafa kasihan, selagi beberapa dengan sengaja menggoda, “Awh, Ghafa yang malang. Perlukah kami mencarikanmu jodoh yang lain?” “Tidak, terima kasih,” tolak Ghafa tegas sebelum tersenyum penuh arti ke arah William. “Dibandingkan diriku, carikan saja jodoh untuk William! Dia lebih perlu!” Sementara para teman sejawat itu bersenda gurau mengenai pasangan hidup, Kayla tak bisa berhenti menatap William dengan waspada. Dalam benaknya, Kayla terus mempertanyakan apakah William mengingat kejadian di malam yang lalu. Kalau misalkan iya, maka perlu Kayla puji sifat tenang pria itu yang sedari dulu tidak pernah berubah. Karena sejauh ini, tidak sedikit pun terlihat pertanda bahwa William memiliki masalah dengan Kayla! Akan tetapi, ada satu kemungkinan lagi, yakni … William mabuk terlalu berat hingga lupa siapa wanita yang telah menghabiskan malam dengannya? Membayangkan bagaimana pria itu dengan mudah melupakan apa yang terjadi di antara mereka, entah kenapa dada Kayla terasa sedikit sesak. Selagi Kayla sibuk dengan pikirannya sendiri, tanpa dia sadari salah seorang teman Ghafa menangkap perhatiannya kepada William. Alhasil, sebuah celetukan pun terdengar. “Eh! Eh! Eh! Kalau William tidak perlu dicarikan jodoh lagi, ‘kan sudah ada Kayla!" Celetukan itu membuat Kayla tersentak sadar dari lamunannya. Mengapa topik pembicaraan ini jadi mengarah ke dirinya? Melihat wajah terganggu sang adik, mata Ghafa tampak berbinar dengan sebuah ide. “Benar juga. Cinta lama bersemi kembali, bukan?” Pria bertubuh kekar itu langsung merangkul pundak sang adik dan menariknya mendekat agar berhadapan langsung dengan William. “Bagaimana, Will? Masih ingat Kayla, ‘kan? Coba perhatikan baik-baik. Adikku sudah bertambah dewasa dan cantik, apa sudah masuk kriteria untuk menjadi istrimu?" tanya Ghafa ceria. Wajah Kayla langsung berubah keruh mendengar ucapan kakaknya. Biasanya Ghafa selalu menjelek-jelekkan dirinya, lalu kenapa sekarang malah seperti mempromosikan!? Kayla tidak butuh itu sekarang! “Kakak, lepas!” Kayla berusaha meronta, tapi tenaga Ghafa yang merupakan seorang mantan petinju profesional membuatnya tak bisa berkutik. "Kriteria menjadi istriku?” ulang William dengan suara dalam, membuat tubuh Kayla mematung selagi mata abu-abu itu melirik pria tersebut dengan ekspresi khawatir. “Sepertinya, lebih tepat bertanya pada Kayla. Apa aku masih masuk kriteria calon suaminya?” Ucapan William membuat semua orang serentak bersorak. Sementara itu, jantung Kayla berdetak cepat dan matanya membesar. Apa … maksud pria ini? Melihat Kayla hanya menatap William dalam diam, Ghafa langsung menghela napas kasar dan mencubit pipi adiknya. “Kay, kamu sedang ditanya. Kenapa malah diam saja?!” tegur Ghafa dengan gemas. “Kemarin berkali-kali menanyakan soal William, tapi sekarang orangnya di depan mata, kamu malah bisu. Jangan buat usahaku sia-sia!” gerutu kakak Kayla itu, membuat teman-temannya tertawa terbahak-bahak. Kalimat Ghafa membuat Kayla hanya bisa semakin bungkam dengan wajah merona merah. Dia menatap sang kakak kesal dengan mata berkaca-kaca. Kayla jelas hanya pernah bertanya sekali tentang William! Itu pun untuk memastikan pria itu tidak hadir agar mereka tidak perlu bertemu, bukan malah menantikan pertemuan! Bisa-bisanya Ghafa malah memutarbalikkan fakta seperti itu dan mempermalukannya di depan semua orang!? "Aku tidak pernah minta bantuan Kakak! Jadi, berhenti menjodohkanku dengan sembarang orang!” protes Kayla sebal. “Sembarang orang?” Suara William yang mengulangi kalimatnya membuat Kayla terkejut dan langsung menatap ke depan. Sekilas dia melihat bayangan gelap menyelimuti pancaran mata pria tersebut. Namun, detik berikutnya, aura gelap itu hilang seiring William sedikit membungkuk untuk menyejajarkan pandangan dengan Kayla. “Jadi, aku sekarang sudah menjadi ‘sembarang orang’ untukmu, ya?” tanya William, menatap lurus mata Kayla hingga wanita tersebut menahan napas. “Kenapa? Kamu tidak lagi mau jadi calon istriku? Atau … aku tidak masuk lagi dalam list kriteria calon suamimu?”Pertanyaan William membuat semua orang langsung terkesiap. “Astaga, Kayla! Sudah dilamar itu!” “Cepat terima!“ Mendengar komentar beberapa temannya itu, Ghafa juga langsung tertawa rendah seraya menatap saudarinya itu dengan tatapan terhibur. “Kalau kamu diam seperti ini, Kakak akan artikan kamu menerima lamaran William loh, ya? Dengan begitu, kita bisa—” PLAK! Suara pukulan mengejutkan semua orang, menyadari bahwa Kayla baru saja menepis tangan Ghafa dengan begitu kencang dari pundaknya. Dengan wajah dingin, gadis itu berkata, “Aku yakin kakak-kakak punya banyak hal untuk dibicarakan selain diriku, jadi aku izin dulu untuk menjamu tamu lain. Permisi.” Usai mengatakan hal tersebut, tanpa menoleh sedikit pun ke arah William maupun Ghafa, Kayla langsung berbalik dan berlari kecil untuk pergi meninggalkan tempat itu. Seorang teman wanita Ghafa yang merasa sedikit tidak enak melihat Kayla pergi seperti itu gegas bertanya, “Dia tidak marah ‘kan, Ghaf? Apa candaan kita tad
Mendengar suara Kayla, empat orang yang terduduk di sofa ruang tamu itu langsung menoleh ke arahnya. "Kayla?" Andre dan Hana—ayah dan ibu Kayla—langsung menatap sang putri dengan kaget. “Ternyata dari tadi kamu sembunyi di kamar tamu? Pantas sulit sekali mencarimu,” ucap Ghafa dengan tangan terlipat dan wajah santai, seakan apa yang baru saja dibicarakan tidak sepenting itu. Sementara itu, Kayla mengabaikan ucapan kakaknya. Dia langsung menatap sang ayah dan bertanya, “Apa aku tidak salah dengar? Papa baru saja berkata kalau aku akan menikah dengan Kak William?” Mendengar pertanyaan putrinya, Andre pun menghela napas. Kentara jelas bahwa Kayla sudah mendengar inti pembicaraan dan tidak ada lagi yang perlu disembunyikan. Alhasil, pria itu langsung menganggukkan kepala tegas. “Ya, itu benar. Kamu dan William akan menikah,” ucap pria paruh baya itu membenarkan. Jantung Kayla berdebar. “Kenapa?!” Dia merasa sangat takut dan bingung. Mungkinkah kejadian di malam itu sudah
Balasan Kayla membuat seisi ruangan menjadi hening. Mereka sama sekali tidak menyangka akan mendapatkan penolakan yang begitu keras dari gadis itu! Sampai akhirnya, Ghafa menjadi orang pertama yang memecah keheningan. “Kay, kamu jangan konyol. Selama ini kamu yang terus merengek ingin menikah dengan William, kenapa sekarang malah menolak!?” tanya kakak Kayla itu dengan wajah menekuk. Kayla membalas tatapan Ghafa dengan serius. “Terakhir kali aku mengatakan itu adalah ketika aku masih SD, Kakak percaya omongan anak SD?” balasnya ketus sebelum menatap sang ayah. “Aku sudah dewasa, dan aku punya hak untuk memilih jalan hidupku sendiri. Demikian, aku tidak menerima perjodohan ini.” tegasnya. Andre dan Hana langsung terdiam, tidak bisa berkata-kata. Mereka tidak menyangka reaksi sang putri akan seperti ini. Namun, wasiat dari Nenek Yulia yang juga mengungkit janji dengan kakek Kayla—ayah dari Hana—juga bukan hal yang bisa ditepis begitu saja. Apa kiranya yang harus mereka lakukan?
Kayla terpana. William tadi bilang apa?“Kak Will … ingat semuanya?” tanya Kayla dengan tubuh bergetar.“Setiap detiknya,” William memandang gadis itu tanpa berkedip, “dan setiap jengkal tubuhmu.” Dengan mata yang berkaca-kaca dan wajah yang merona merah akibat malu dan marah, Kayla berucap setengah berseru, “Lalu, ketika tadi bertemu denganku, kenapa Kakak bersikap seakan tidak terjadi apa-apa!?”Reaksi Kayla membuat William terdiam sesaat. Dia menjauhkan diri dari gadis itu, lalu bertanya, “Memang, kamu ingin keluargamu tahu mengenai apa yang terjadi di antara kita malam itu?” Ucapan pria tersebut sukses membuat Kayla tersentak. “I-itu—““Aku tidak keberatan jika demikian,” ucap William santai. “Hal terburuk yang bisa terjadi adalah … mereka akan menikahkan kita lebih cepat.”Kayla memasang wajah tidak percaya saat melihat sikap pria di hadapannya ini. Bisa-bisanya William berbicara mengenai pernikahan seakan hal tersebut bukanlah apa-apa!?‘Inikah pria yang selama bertahun-tahun
Ucapan yang keluar dari mulut Kayla disambut suka cita oleh keluarga Kayla, mereka langsung mengembangkan senyum merekah. “Syukurlah!” ucap Hana dengan begitu senang dan ceria. Dari dulu, Hana memang sudah menantikan hari anak-anaknya akan menikah agar bisa segera menimang cucu. Walau yang dia harapkan menikah pertama adalah Ghafa, tapi pun Kayla mendahului, dia juga tidak keberatan! Sementara Hana begitu gembira, Andre memasang wajah ragu. “Kay, kamu benar-benar yakin?” Andre berjalan mendekati putrinya, berusaha memastikan gadis itu tidak mengambil pilihan karena tekanan ekspektasi keluarga. Mendengar pertanyaan ayahnya, Kayla tak elak meringis dalam hati. Dia mengulang kembali semua ancaman William dalam benaknya, dan jantungnya pun kembali berdebar seiring dia cepat mengangguk. “Yakin, Pa,” jawab Kayla singkat. Padahal dalam hatinya, dia masih sangat menyesali kenyataan dia tidak mampu menolak perjodohan ini. Merasa sedikit ragu dengan ekspresi sang putri, Andre berkata, “Ka
Bersandar di kepala ranjang selagi memeluk kedua lutut, Kayla tampak menautkan alisnya ketat. Pikirannya berkecamuk memainkan ingatan mengenai kejadian hari ini, terutama tentang kepergian William dari rumahnya tadi. Kelembutan itu, tatapan itu, sentuhan hangatnya …. ‘Apa mungkin Kak Will sebenarnya menyukaiku?’ batin Kayla saat membayangkan ekspresi William saat menatapnya dalam diam sebelum pergi. Tatapan itu persis sama dengan yang sering William berikan kepada Kayla di masa lalu, tepat ketika mereka masih begitu dekat. Tatapan yang menunjukkan bahwa William peduli dan perhatian kepada Kayla. Tatapan dari sosok William yang Kayla rindukan. Namun, Kayla menggelengkan kepalanya dengan cepat. ‘Tidak! Pria itu hanya menginginkan harta warisannya saja!’ Kayla membanting tubuhnya ke tempat tidur, lalu memeluk gulingnya erat. Dia bersumpah dalam hati, ‘Pokoknya, kamu tidak boleh terbuai, Kayla!’ Tepat di saat dirinya selesai mengucapkan sumpah tersebut, ponsel Kayla terdengar
Kayla tidak bicara apapun saat di mobil, dia masih diam seribu bahasa. Awalnya, dia berharap keluar menemui sahabatnya agar bisa melepaskan rasa stresnya, tetapi malah berujung dia bersama William. ‘Tidak, ini tidak boleh terjadi! William tidak boleh bersamaku!’ Kayla berkata dalam hati. “Di mana kita akan bertemu dengan temanmu itu?” suara William menarik kesadaran Kayla. “Itu … sepertinya, Kak Will pasti banyak pekerjaan yang mesti diurus, jadi … setelah mengantarku ke sana, Kak Will bisa melanjutkan pekerjaan kakak saja dan jangan tertunda hanya karena aku.” Kayla berkata dengan datar. William diam sesaat lalu kemudian mengangguk, “Hmm,” jawabnya kemudian. Mendengar jawaban singkat itu membuat Kayla mengerutkan kening. Dengan mudahnya William setuju? Cih, sudah Kayla duga pria ini hanya berpura-pura baik di depan orang tuanya saja. Tunggu, apa sekarang Kayla kesal? Kenapa dia harus kesal?! Bukannya bagus kalau William tidak bersamanya? ‘Kamu kenapa sih, Kay?
“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….” Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temanny