Balasan Kayla membuat seisi ruangan menjadi hening. Mereka sama sekali tidak menyangka akan mendapatkan penolakan yang begitu keras dari gadis itu!
Sampai akhirnya, Ghafa menjadi orang pertama yang memecah keheningan. “Kay, kamu jangan konyol. Selama ini kamu yang terus merengek ingin menikah dengan William, kenapa sekarang malah menolak!?” tanya kakak Kayla itu dengan wajah menekuk. Kayla membalas tatapan Ghafa dengan serius. “Terakhir kali aku mengatakan itu adalah ketika aku masih SD, Kakak percaya omongan anak SD?” balasnya ketus sebelum menatap sang ayah. “Aku sudah dewasa, dan aku punya hak untuk memilih jalan hidupku sendiri. Demikian, aku tidak menerima perjodohan ini.” tegasnya. Andre dan Hana langsung terdiam, tidak bisa berkata-kata. Mereka tidak menyangka reaksi sang putri akan seperti ini. Namun, wasiat dari Nenek Yulia yang juga mengungkit janji dengan kakek Kayla—ayah dari Hana—juga bukan hal yang bisa ditepis begitu saja. Apa kiranya yang harus mereka lakukan? Di saat semua orang terdiam, tiba-tiba sebuah suara terdengar memanggil, “Om Andre.” Ayah Kayla pun menoleh ke kiri, menatap William yang entah sejak kapan sudah mendekati dirinya dan Kayla. “Apa aku bisa berbicara dengan Kayla sebentar?” ucap pria itu dengan sopan. Untuk sesaat, Andre terdiam. Dia melirik Kayla sesaat, memastikan sang putri nyaman. Karena Kayla tidak menolak, Andre pun menganggukkan kepala. “Silakan.” Mendengar persetujuan itu, William pun langsung menatap Kayla dan berkata, “Ikut denganku.” Kalimat William terdengar seperti perintah, dan Kayla tidak menyukainya. Akan tetapi, entah kenapa bisa-bisanya dia tidak mampu menentangnya dan berujung mengikuti pria tersebut masuk ke dalam kamar tamu. Baru saja menutup pintu, tiba-tiba Kayla mendengar William berkata, “Terima pernikahan ini.” Kayla mematung. Dia berbalik dan menatap sosok William yang tengah menatapnya dengan dingin dari tengah ruangan. “Apa?” ulang Kayla dengan alis tertaut. “Kubilang, terima pernikahan ini,” tegas William sekali lagi. Ekspresi Kayla menjadi semakin keruh seiring dirinya bertanya, “Atas dasar apa?” Dengusan dingin kabur dari bibirnya seiring dia menambahkan, “Aku tidak menyukai Kak William, begitu pula sebaliknya. Jadi, untuk apa memaksakan perjodohan yang tidak diinginkan ini?” Usai mengatakan hal tersebut, Kayla bisa merasakan aura dingin dan gelap menguar semakin kuat dari tubuh William. Hal itu membuat wanita itu bertanya-tanya, apa dia salah berbicara? Namun, itu adalah kebenarannya! Bahwa William tidak memiliki perasaan cinta maupun suka kepada Kayla. Jadi, apa yang salah!? “Kalau aku bilang aku menyukaimu, apa kamu akan menyetujui pernikahan ini?” Kayla terbelalak, tidak percaya dengan apa yang dia dengar. ‘Mengatakan pengakuan kosong hanya agar aku menerima pernikahan dan warisan bisa menjadi miliknya, Kak William … kamu sungguh pria yang luar biasa!’ batin Kayla dengan ekspresi diselimuti kekecewaan mendalam. “Tidak,” ucap Kayla pada akhirnya. “Sudah kukatakan sebelumnya, aku tidak akan menerima perjodohan ini.” Tahu betapa keras kepalanya seorang Kaisar William Drake, Kayla pun menjatuhkan senjata terakhir yang dia miliki. “Lagi pula, aku sudah punya kekasih.” Ketika kalimat itu terucap, Kayla bisa merasakan suhu ruangan berubah menjadi sangat dingin. William yang tadi berdiri di tengah ruangan tampak berjalan menghampirinya. “A-apa yang Kak William lakuk—ah!” Kayla memekik saat William berakhir memojokkannya ke tembok. “Kekasih?” ulang pria itu dengan setengah menggeram dan tatapan yang begitu dingin, membuat tubuh Kayla tak elak bergetar. “Kamu sudah punya kekasih?” Dengan jantung berdebar, Kayla mengepalkan tangan untuk mengumpulkan keberanian. “Y-ya, aku sudah punya kekasih,” ucapnya. “Jadi, kuharap Kakak tidak—” “Putuskan.” Kayla terkejut mendengar ucapan William barusan. Dia memandang sepasang manik abu menghipnotis milik pria itu dengan saksama, mencoba mencari-cari dasar alasan pria itu berani memberikan perintah kepadanya seperti atasan memerintahkan seorang bawahan. Namun, sebelum Kayla bisa memahami pikiran William, seluruh tubuhnya langsung membeku saat pria itu berucap, “Putuskan kekasihmu atau aku akan memberi tahu semua orang kalau kita sudah tidur bersama.”Kayla terpana. William tadi bilang apa?“Kak Will … ingat semuanya?” tanya Kayla dengan tubuh bergetar.“Setiap detiknya,” William memandang gadis itu tanpa berkedip, “dan setiap jengkal tubuhmu.” Dengan mata yang berkaca-kaca dan wajah yang merona merah akibat malu dan marah, Kayla berucap setengah berseru, “Lalu, ketika tadi bertemu denganku, kenapa Kakak bersikap seakan tidak terjadi apa-apa!?”Reaksi Kayla membuat William terdiam sesaat. Dia menjauhkan diri dari gadis itu, lalu bertanya, “Memang, kamu ingin keluargamu tahu mengenai apa yang terjadi di antara kita malam itu?” Ucapan pria tersebut sukses membuat Kayla tersentak. “I-itu—““Aku tidak keberatan jika demikian,” ucap William santai. “Hal terburuk yang bisa terjadi adalah … mereka akan menikahkan kita lebih cepat.”Kayla memasang wajah tidak percaya saat melihat sikap pria di hadapannya ini. Bisa-bisanya William berbicara mengenai pernikahan seakan hal tersebut bukanlah apa-apa!?‘Inikah pria yang selama bertahun-tahun
Ucapan yang keluar dari mulut Kayla disambut suka cita oleh keluarga Kayla, mereka langsung mengembangkan senyum merekah. “Syukurlah!” ucap Hana dengan begitu senang dan ceria. Dari dulu, Hana memang sudah menantikan hari anak-anaknya akan menikah agar bisa segera menimang cucu. Walau yang dia harapkan menikah pertama adalah Ghafa, tapi pun Kayla mendahului, dia juga tidak keberatan! Sementara Hana begitu gembira, Andre memasang wajah ragu. “Kay, kamu benar-benar yakin?” Andre berjalan mendekati putrinya, berusaha memastikan gadis itu tidak mengambil pilihan karena tekanan ekspektasi keluarga. Mendengar pertanyaan ayahnya, Kayla tak elak meringis dalam hati. Dia mengulang kembali semua ancaman William dalam benaknya, dan jantungnya pun kembali berdebar seiring dia cepat mengangguk. “Yakin, Pa,” jawab Kayla singkat. Padahal dalam hatinya, dia masih sangat menyesali kenyataan dia tidak mampu menolak perjodohan ini. Merasa sedikit ragu dengan ekspresi sang putri, Andre berkata, “Ka
Bersandar di kepala ranjang selagi memeluk kedua lutut, Kayla tampak menautkan alisnya ketat. Pikirannya berkecamuk memainkan ingatan mengenai kejadian hari ini, terutama tentang kepergian William dari rumahnya tadi. Kelembutan itu, tatapan itu, sentuhan hangatnya …. ‘Apa mungkin Kak Will sebenarnya menyukaiku?’ batin Kayla saat membayangkan ekspresi William saat menatapnya dalam diam sebelum pergi. Tatapan itu persis sama dengan yang sering William berikan kepada Kayla di masa lalu, tepat ketika mereka masih begitu dekat. Tatapan yang menunjukkan bahwa William peduli dan perhatian kepada Kayla. Tatapan dari sosok William yang Kayla rindukan. Namun, Kayla menggelengkan kepalanya dengan cepat. ‘Tidak! Pria itu hanya menginginkan harta warisannya saja!’ Kayla membanting tubuhnya ke tempat tidur, lalu memeluk gulingnya erat. Dia bersumpah dalam hati, ‘Pokoknya, kamu tidak boleh terbuai, Kayla!’ Tepat di saat dirinya selesai mengucapkan sumpah tersebut, ponsel Kayla terdengar
Kayla tidak bicara apapun saat di mobil, dia masih diam seribu bahasa. Awalnya, dia berharap keluar menemui sahabatnya agar bisa melepaskan rasa stresnya, tetapi malah berujung dia bersama William. ‘Tidak, ini tidak boleh terjadi! William tidak boleh bersamaku!’ Kayla berkata dalam hati. “Di mana kita akan bertemu dengan temanmu itu?” suara William menarik kesadaran Kayla. “Itu … sepertinya, Kak Will pasti banyak pekerjaan yang mesti diurus, jadi … setelah mengantarku ke sana, Kak Will bisa melanjutkan pekerjaan kakak saja dan jangan tertunda hanya karena aku.” Kayla berkata dengan datar. William diam sesaat lalu kemudian mengangguk, “Hmm,” jawabnya kemudian. Mendengar jawaban singkat itu membuat Kayla mengerutkan kening. Dengan mudahnya William setuju? Cih, sudah Kayla duga pria ini hanya berpura-pura baik di depan orang tuanya saja. Tunggu, apa sekarang Kayla kesal? Kenapa dia harus kesal?! Bukannya bagus kalau William tidak bersamanya? ‘Kamu kenapa sih, Kay?
“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….” Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temanny
Kayla sudah sampai di rumah. Usai sepenuhnya sadar, wanita itu langsung pergi tanpa banyak berpikir panjang, meninggalkan teman kakaknya yang masih tertidur dengan sangat pulas. “Bagaimana ini? Bagaimana ini? Bagaimana ini!?” Tidak henti-hentinya Kayla mengulangi kalimat itu seperti merapal mantra sambil menutup wajahnya dengan frustasi. Seumur hidupnya, tidak pernah Kayla membayangkan bahwa dirinya akan tertimpa masalah sebesar dan segila ini! Beruntung, saat ini orang tua Kayla sedang pergi bersama dengan kakak laki-lakinya untuk mengurus bisnis keluarga mereka di luar kota. Demikian, selain para pelayan—yang tentunya tidak akan berani bertanya—tidak ada yang benar-benar tahu alasan dirinya tidak pulang tadi malam! Sejauh yang Kayla ingat, di malam lalu dirinya kalah berkali-kali dalam permainan dengan teman-temannya dan berakhir mabuk. Kemudian, di saat yang bersamaan, teman-teman Kayla ini menantangnya untuk memilih pria tertampan di bar untuk dicium, ya dicium! Kayla y
Visual yang sangat terpahat sempurna ini siapapun yang pernah melihatnya sudah jelas tidak akan bisa dengan mudah melupakannya. Apalagi tatapan mata tajam berwarna abu-abu ini, pria itu tampak jelas sangat memukau. Terutama untukKayla, yang baru beberapa hari lalu tidur dengannya! “K-Kak … Will?!” Panggilan kecil Kayla membuat sang pria yang berdiri tegap selagi menatap teman-temannya itu menurunkan pandangan, memandang lurus mata hitam milik Kayla. “Lama tidak bertemu, Kay,” ucap William dengan suara dalam. Mendengar balasan William, benak Kayla mendadak menjadi ribut. Bukankah Ghafa bilang temannya yang satu ini tidak diundang?! Lalu, kenapa sekarang William berada di sini? Apakah Ghafa membohongi Kayla!? Selagi deretan pertanyaan itu berputar di otak Kayla, terdengar suara seseorang berseru, "William!” Kayla menoleh dan mendapati sosok Ghafa bergegas turun dari panggung untuk kemudian menghampiri sahabat dekatnya itu. Sebuah pelukan hangat dihadiahkan kakak Kayla
Pertanyaan William membuat semua orang langsung terkesiap. “Astaga, Kayla! Sudah dilamar itu!” “Cepat terima!“ Mendengar komentar beberapa temannya itu, Ghafa juga langsung tertawa rendah seraya menatap saudarinya itu dengan tatapan terhibur. “Kalau kamu diam seperti ini, Kakak akan artikan kamu menerima lamaran William loh, ya? Dengan begitu, kita bisa—” PLAK! Suara pukulan mengejutkan semua orang, menyadari bahwa Kayla baru saja menepis tangan Ghafa dengan begitu kencang dari pundaknya. Dengan wajah dingin, gadis itu berkata, “Aku yakin kakak-kakak punya banyak hal untuk dibicarakan selain diriku, jadi aku izin dulu untuk menjamu tamu lain. Permisi.” Usai mengatakan hal tersebut, tanpa menoleh sedikit pun ke arah William maupun Ghafa, Kayla langsung berbalik dan berlari kecil untuk pergi meninggalkan tempat itu. Seorang teman wanita Ghafa yang merasa sedikit tidak enak melihat Kayla pergi seperti itu gegas bertanya, “Dia tidak marah ‘kan, Ghaf? Apa candaan kita tad