Mas Bimo tampak ketakutan merasakan tanganku yang memegangi tangannya. Semua polisi yang ada di sana kulihat tidak bisa menggerakkan kaki semua. Mulut mereka pun seperti terkunci. Sesaat kemudian kuliah ternyata ulah para arwah yang berdatangan itu. Mereka menyekap mulut para polisi itu dan mengunci kaki mereka dengan kaki para arwah itu.
“Lepaskan mereka!” teriakku lagi.Para arwah itu tidak menggubris.“Istigfar dalam hati!” teriak Mas Bimo kepada para polisi itu.Para Polisi itu menggeleng ke Mas Bimo, mereka masih tak bisa bicara. Lalu tiba-tiba tanganku bergegar seperti melakukan gerakan yoga. Telapak tanganku seperti mengeluarkan energi lalu energi itu kuarahkan kepada para arwah yang menyerang mereka. Lalu tiba-tiba seorang kakaek tua berpakaian serba hitam muncul dan langsung meyerangku. Aku terbangun di atas ranjang kamarku dengan napas terengah-engah.“Mas Bimo!” teriakku yang sudag“Kita mau ke mana kek?” tanyaku.“Ke rumahku,” jawabnya.“Masih jauh?”Kakek mengangguk.“Di sini kita tidak bisa berpindah dengan cepat seperti di duniamu. Di sini adalah alam nyata bagi kami, maka sama sepertimu di duniamu, kita harus berjalan atau menaiki kendaraan untuk cepat sampai ke tempat masing-masing. Sayangnya aku tidak punya burung terbang, jadi kita harus berjalan,” jawab kakek.“Kenapa aku di duniaku bisa dengan cepat pergi dengan jiwaku?” tanyaku heran.“Karena kamu menggunakan kekuatanku. Kekuatanku hanya bisa digunakan di duniamu. Kalau di sini tidak bisa,” jawab kakek.Sekarang aku mengerti. Lalu setelah cukup lama berjalan bersama kakek, kami tiba di mulut gua. Gua yang berbeda dari milik arwah Aksana dulu. Kakek mengajakku masuk. Di tempat itu begitu dingin. Dinding-dinding gua dipenuhi lumut. Kakek menyuruhku memasu
“Siapa kamu?” teriakku.“Pergi dari sini! Jangan ganggu aku lagi!” teriak seseorang padaku. Suaranya seperti suara nenek-nenek.Aku menoleh ke belakang. Rupanya memang benar nenek-nenek itu yang menarikku. Nenek-nenek yang menganggu kami saat di Villa dulu. Tiba-tiba tanganku dengan reflesk mengarah pada arwah nenek-nenek itu. Sesaat kemudian arwah nenek-nenek itu menjadi kecil dan bertambah sangat kecil. Lalu tak lama kemudian kulihat tubuhnya terbakar. Dia menjerit meminta tolong padaku agar aku menghentikannya. Tapi saat aku berniat menghentikan aksi tanganku, aku tak bisa mencegahnya. Tanganku terus saja mengarah pada tubuhnya yang kini terbakar.Arwah nenek-nenek itu tiba-tiba menjadi asap lalu menghilang. Tanganku mendadak lemas. Aku terduduk dengan lesu. Apa yang sudah kulakukan terhadap nenek-nenek itu? Apakah dia sudah mati atau hanya menghilang saja? Entahlah. Lalu aku segera bangkit dan menoleh pada sebuah lemari
“Aku harus mendapatkan kekuatan baru, Mas. Gimana soal Ilyas?” tanyaku.“Kami sudah berhasil sampai ke sana, tapi di rumah itu dia sudah tidak ada lagi di sana. Mas juga ngalamin hal aneh sama polisi di tengah hutan itu, tapi beruntung kami bisa lolos dari gangguan makhluk penunggu di sana,” ucap Mas Bimo.Aku lega mendengarnya.“Syukurlah kalau Mas baik-baik saja,” ucapku lega.“Sekarang pihak polisi masih mencari Ilyas, mereka sedang melacak keberadaanya, semoga Ilyas segera ditemukan,” ucap Mas Bimo penuh harap.“Aamiin,” ucapku.“Sekarang gimana keadaanmu?” tanya Mas Bimo memastikan.Aku bangkit dan mendudukkan diri di atas kasur. Sekarang tubuhku kurasakan tak lemas lagi.“Aku udah baik-baik aja, Mas,” jawabku.
Setelah aku selesai mandi, kami duduk di ruang tengah. Kutatap wajah Mas Bimo dengan penasaran akan tulisan di depan pintu itu.“Aku yakin ini ulah Ilyas, Mas,” ucapku pada Mas Bimo.“Mungkin aja, sekarang kita harus hati-hati ya,” pinta Mas Bimo.Aku mengangguk. Tak lama kemudian handphone Mas Bimo berbunyi. Mas Bimo mengangkatnya.“Iya... apa? Oke... oke...,” ucap Mas Bimo lalu langsung menyimpan handphonenya dengan bingung. Aku penasaran.“Siapa yang nelepon, Mas?” tanyaku.Mas Bimo menatap mataku dengan serius.“Polisi... katanya mereka belum menemukan tempat persembunyian Ilyas saat ini,” jawab Mas Bimo tampak tak bersemangat.Aku meraih tangan Mas Bimo dengan lembut.“Biar aku yang mencarinya ya, Mas,” pintaku pada Mas B
Aku membuka mata. Aku kembali ke atas kasur dengan napas tak beraturan. Aku tak percaya sekarang Ilyas bisa memiliki kekuatan. Mungkin dia telah berhasil berpuasa dan menguasai ilmu dari mendiang duduk sakti itu. Entahlah. Mas Bimo memandangiku dengan heran.“Gimana, Indah?” tanya Mas Bimo.Aku memandangi wajah Mas Bimo dengan lesu dan bingung.“Ilyas sangat kuat, Mas. Ilmunya tinggi banget sampe aku kewalahan. Aku nggak berhasil ngambil biang batunya dari dia,” jawabku.Mas Bimo tampak berpikir lalu dia kembali melihat ke arahku.“Kamu tahu tempat tinggalnya?” tanya Mas Bimo.Aku mencoba mengingatnya. Ruangan yang aku masuki tadi begitu mewah. Apartemen yang besar terdiri dari empat kamar. Aku mencoba mengingat apa yang kulihat di luar kaca apartemennya tadi. Ya, aku ingat, di sana aku melihat ada sebuah gedung bank dan ta
Mas Bimo tiba-tiba memegang tanganku.“Kita sudah lama nggak ngelakuin itu,” ucap Mas Bimo tiba-tiba.Aku berdesir mendengarnya.“Maksud, Mas?” tanyaku yang masih tak mengerti.Tiba-tiba bibir Mas Bimo mendarat ke bibirku. Aku tak bisa menolaknya meski sedang lelah. Bagaimana pun dia suamiku. Akhirnya aku pasrah atas apa yang dilakukan Mas Bimo padaku. Aku harus melayaninya.Mas Bimo perlahan menurunkan bibirnya ke leherku lalu mengarah ke dua gunungku. Tak berapa lama kemudian dia melepaskan pakaiannya dan perlahan melepaskan pakaianku. Mas Bimo berbaring, dia memintaku melumat barang berharga miliknya. Aku pun dengan terpaksa melakukannya hingga kepalaku ditekan-tekan olehnya. Kudengar desahan napas Mas Bimo begitu menggema. Aku terus saja melumat benda berharga milik Mas Bimo yang kian menegang. Sesaat kemudian Mas Bimo memintaku berbaring. Kini dia ber
“Apakah kamu Indah?” tanyanya.Aku diam. Ingin rasanya aku menyentuh benda yang ada di sana, tapi jika itu aku lalukan itu akan mengundang teman-temannya masuk ke dalam.“Aku tahu kamu Indah. Aku sudah bekerjasama dengan Ilyas. Kami sudah menguasai ilmu itu. Meski sekarang aku tak bisa melihatmu, tapi aku bisa merasakan jiwamu ada di sini,” ucap Rangga sambil tertawa.Ternyata dugaanku benar. Dia telah menguasai ilmu itu. Namun kelemahannya dia tak bisa melihatku. Jangan-jangan yang membuat mereka menyewa perumahaan di sini dulu karena diminta Ilyas untuk merebut batu yang dulu masih dipegang oleh Mas Bimo. Tiba-tiba kukeluarkan energi dari tangaku. Kuarahkan padanya. Namun bukannya Rangga yang terkena energi itu, malah aku yang terpental. Dia sama seperti Ilyas, kuat.Lalu kuraih sebuah guci yang ada di sana, kulempar guci itu hingga mengenai kepala Rangga. Rangga tidak kenap
“Lebih baik pindah saja dari sini, saya khawatir komplotannya datang lagi,” pinta polisi itu.Mas Bimo mengangguk. Para wartawan yang dilengkapi dengan kameranya mendatangi kami. Mereka mewawancari aku dan Mas Bimo. Aku pun menceritakan apa adanya dan akan menyerahkan pada pihak kepolisian untuk mengurusnya. Setelah wartawan itu selesai mewawancarai kami. Mobil polisi itu akhirnya membawa Rangga dan komplotannya pergi.Aku dan Mas Bimo duduk berdua di ruang tamu dengan terdiam. Kami sama-sama menghadapi hal yang menakutkan. Bagaimana pun nyawa kami hampir saja dipertaruhkan. Mas Bimo memandangiku.“Kita pindah ke apartemen aja,” pinta Mas Bimo.“Apartemen kan mahal, Mas,” ucapku ragu.“Mas masih punya simpenan uang, kita bisa menyewa dulu di sana sambil menjual rumah ini,” pinta Mas Bimo.Aku tak punya pilihan l
“Apa harus aku lakukan ketika menghadapnya?” tanyaku. “Kau akan mendapatkan kekuatan yang luar bisa. Kau akan mengurus mereka-mereka yang menjadi pengikut setia Tuan Raja di alammu. Kau akan menjadi dukun yang sangat sakti,” ucapnya. “Apa yang harus aku lakukan jika aku menjadi dukun sakti?” tanyaku penasaran. “Nanti kau akan tahu sendiri jika sudah menghadap Tuan Raja,” ucapnya. Lalu kuda yang membawa kereta kencana yang kunaiki perlahan mendekati sebuah gerbang istana. Di sana kulihat banyak pengawal seram yang menjaga gerbang itu. Pengawal itu langsung membuka gerbang istana untuk kami. Kami pun masuk ke dalam gerbang itu. Kulihat istananya begitu megah terbuat dari batu. Aku seperti melihat banyak candi di sana. Peri-peri kulihat beterbangan di atasnya. Tak lama kemudian kuda itu berhenti. “Turunlah dan masuklah ke dalam istana itu,” pinta perempuan yang sangat meny
Saat Mobil itu melaju kencang di jalanan. Kulihat Mas Bimo menangis. Aku ikut menangis melihatnya.“Terima kasih, Mas. Terima kasih kamu masih setia sama aku,” ucapku.Sekarang aku benar-benar yakin kalau Mas Bimo memang sangat mencintaiku. Lelaki mana yang masih setia pada istrinya yang sudah gila dan akan menunggunya sampai sembuh, meski tak ada yang tahu apakah istrinya itu benar-benar bisa sembuh atau tidak?Mobil yang kami naiki tiba-tiba berhenti di depan rumahku. Aku heran kenapa Mas Bimo ke sini. Aku pun turun bersama Mas Bimo lalu masuk ke dalam rumah. Papah dan Mamahku menyambut Mas Bimo dengan hangat. Aku kembali menangis melihat mereka. Mereka pasti sangat sedih melihatku kini sudah gila.“Apapun yang terjadi, aku akan tetap cinta sama Indah, Mah, Pah,” ucap Mas Bimo pada mereka.Mamah dan Papah menangis mendengarnya.&ldqu
Tak lama kemudian, tubuhku keluar bersama tiga perawat itu dari dalam ruangan itu. Dia tampak diam dengan tatap kosong. Dia juga tidak bisa melihat kehadiranku. Lalu tubuhku dibawa kembali oleh mereka ke ruangan tempat tubuhku tadi. Ketika kami sudah sampai di sana, kulihat Mas Bimo datang membawa makanan, mendekati tubuhku yang tersenyum-senyum sendiri.“Itu siapa?” tanya arwah perempuan itu padaku.“Itu suamiku,” jawabku.Arwah perempuan itu tampak heran.“Suamimu tampan!” pujinya.Mas Bimo duduk di dekat tubuhku.“Sayang, ini aku bawain kamu makanan. Kamu makan ya?” pinta Mas Bimo pada tubuhku.Aku menangis haru melihat itu. Rupanya Mas Bimo masih sayang padaku meski tubuhku sekarang sudah sudah gila.Tubuhku melihat ke arah Mas Bimo dengan marah.
Bus yang aku naiki tiba di sebuah halte dekat apartemenku. Aku turun dari sana. Tak ada satupun manusia yang bisa melihatku. Aku pun memasuki lobby apartemen dan berdiri di depan lift, menunggu mereka yang naik ke lantai yang sama dengan apartemenku. Saat ada dua sepasang kekasih memencet lantai yang sama dengan apartemenku, aku buru-buru masuk ke dalam. Dua sepasang kekasih itu saling melihat.“Kok aku merinding ya, yang?” tanya perempuan itu pada lelakinya.“Aku juga sama, kayaknya emang angker apartemen ini,” jawabnya.Aku diam saja. Aku tak peduli obrolan mereka. Saat pintu lift itu terbuka. Aku ikut keluar dan segera menembus pintu apartemenku. Aku mencari-cari Mas Bimo di dalam sana. Di dua kamar yang aku masuki aku tak menemukan Mas Bimo. Tiba-tiba aku mendengar kucuran air di dalam kamar mandi. Aku masuk ke dalam sana. Aku menangis saat mendapati Mas Bimo sedang telanjang menyandar di dind
Aku mengangguk. Ya, aku tak tahu sudah berapa lama aku di sana. Setipa kali pintu sering terbuka dan dua lelaki seram datang menyuruh kami kerja paksa untuk membangun istana mereka. Entah sudah berapa bulan lamanya hingga tubuhku sangat kurus dan rambutku terlihat acak-acakan. Tapi suatu hari, keajaiban datang. Kudengar di luar sana seperti terjadi peperangan. Lelaki itu berdiri dengan senang.“Mereka sudah datang!” ucapnya.Aku pun berdiri. Kami menempelkan telinga ke arah pintu gua yang tertutup. Sekarang terdengar jelas suara pedang yang beradu dan suara teriakan kesakitan. Tak lama kemudian, pintu gua terbuka. Benar saja, makhluk berjubah putih yang bercahaya terang itu masuk ke dalam gua dan menyuruh kami keluar dari sana. Aku dan lelaki itu pun keluar. Di depan gua, kulihat banyak sekali makhluk-makhluk yang menyeramkan terkapar di atas tanah dengan bersimbah darah. Burung-burung besar dan bersayap itu berdatangan. Mereka m
Aku pun terpaksa bersimpuh di hadapannya.“Tolong aku! Aku janji akan membantumu asal kembalikan aku ke tubuhku!” pintaku lagi.Makhluk seram itu tidak menggubrisku. Dia melihat ke dua lelaki seram yang berdiri di belakangku.“Kurung dia sekarang juga!” pintanya pada mereka.Akupun di tarik oleh dua lelaki yang menyeramkan itu.“Tolong! Aku janji akan menuruti kemauanmu! Aku janji tak akan berniat lagi untuk mengeluarkan ilmuku! Jangan kurung aku!” isakku.Makhluk menyeramkan dan memiliki dua tanduk itu tak menggubris permohanku. Dua lelaki itu terus saja menyeretku, lalu aku dimasukkan ke dalam gua yang sempit dan berpintu.“Keluarkan aku! Aku mau kembali ke tubuhku! Jangan kurung aku!” teriakku sambil terisak. Aku pun teruduk menyandar di dinding gua. Aku tak menyangka kalau akhirnya nasib
Kami pun tiba di rumah sakit. Mas bimo menggotong bibi Sarinah. Beberapa perawat langsung mengurus bibi Sarinah dan membawanya ke ruang ICU. Aku dan Mas Bimo duduk menunggu di depan ruang ICU. Mas Bimo menoleh padaku lalu memegangi tanganku.“Sabar, ya. Mas yakin bibi nggak akan kenapa-napa,” ucap Mas Bimo menenangkanku.Aku mengangguk. Mas Bimo memelukku.“Kamu tenang, aku yakin pasti ada jalannya untuk mengeluarkan ilmu di dalam tubuhmu,” ucap Mas Bimo.“Iya, Mas,” jawabku mencoba untuk tenang.Tak lama kemudian, dokter keluar dari ruang ICU. Aku dan Mas Bimo langsung menghampiri dokter itu.“Gimana keadaan bibi Sarinah, dok?” tanyaku sedikit khawatir.Dokter itu tersenyum padaku.“Dia sudah sadar, sekarang kalian sudah boleh kalau mau menjenguknya,” jawab
“Nggak apa-apa, biar aku aja,” ucapku lalu berjalan ke arah dapur. Bibi Sarinah mengikutiku.Saat aku sudah memasukkan makanan itu ke dalam kulkas, aku menoleh pada bibi Sarinah yang berdiri di dekatku.“Bi,” panggilku.Bibi Sarinah menatapku dengan heran.“Kenapa?” tanyanya.“Aku minta maaf,” ucapku.Bibi Sarinah semakin heran.“Minta maaf kenapa?”“Ternyata ucapan bibi bener,”“Ucapan yang mana?”Aku menangis. Bibi Sarinah semakin penasaran padaku.“Ada apa, Non. Cerita ke bibi,” pintanya.“Kakek yang aku temuin itu ternyata iblis,” ucapku.Bibi Sarinah tercengang mendengarnya.“A
“Kenapa?” tanyanya.Tiba-tiba kudengar suara arwah pengantin perempuan itu.“Jangan khawatir! Aku tak akan melihat kalian bermesraan. Itu malah akan membuatku sial jika melihatnya,” ucap arwah pengantin perempuan itu. Entah sekarang dia berada di mana. Aku lega mendengarnya. Akhirnya kutarik tangan Mas Bimo ke dalam kamar.Sesampainya kami di dalam kamar. Mas Bimo hendak menciumku. Aku menghindar.“Nanti aja, Mas,” ucapku.Mas Bimo heran, “Kenapa?”“Aku harus menemui kakek lagi. Aku harus mengakhiri semua ini,” ucapku.“Yaudah,” ucap Mas Bimo sedikit kecewa.Akhirnya aku duduk di atas kasur. Seperti biasa aku meminta Mas Bimo menjagaku. Akupun memejamkan mata. Akhirnya aku kembali berada di pinggir sungai itu. Sekarang aku lega sudah melihat kakek