Begitu mendengar perkataan Selena, raut wajah Lydia seketika menjadi muram. Dia pun berkata dengan tegas, “Zola, sudah berapa kali aku beritahu kamu jangan lakukan sesuatu secara diam-diam? Kamu bukan gadis liar yang tinggal di kampung lagi. kamu ini anak keluarga terpandang, anak kedua keluarga Leonarto, istri Boris Morrison.”Zola menurunkan tatapannya sambil memasang raut wajah datar. Dia mengangguk pelan dan berkata dengan suara pelan, “Aku mengerti, Ma.”Ekspresi Lydia baru sedikit melembut. Dia berkata dengan tenang, “Ayo duduk di sini.”Zola berjalan mendekat lalu duduk tegak di sofa dengan postur yang lembut dan anggun. Wajahnya yang cantik menawan itu sulit untuk dilupakan tidak peduli apa pun pakaian yang dia kenakan. Itu juga satu-satunya hal dari Zola yang membuat Lydia merasa puas.Lydia menatap Zola dengan lembut dan bertanya, “Kenapa kamu tiba-tiba pulang jam segini?”“Ma, aku akan cerai dengan Boris.”Zola mengangkat wajahnya dan menatap ibunya. Tatapannya penuh tekad,
Bansan Mansion.Zola tidak makan apa-apa sepanjang hari ini. Begitu sampai di rumah, dia meminta orang dapur membuatkan mie untuknya. Zola melihat mie yang dipadu dengan sayuran dan telur dadar di depannya. Hanya dengan mencium aromanya seharusnya membuat Zola merasa lapar. Namun, dia tiba-tiba merasa mual dan ingin muntah.Zola mengira itu karena perutnya kosong terlalu lama. Saat dia hendak memasukkan mie ke dalam mulut, perasaan kuat itu tidak bisa ditahan lagi. Dia segera berlari ke kamar mandi dan terus muntah. Perasaan ini sangat tidak nyaman. Dalam kondisi perut kosong, tidak ada yang bisa dimuntahkan. Zola merasa seperti organ-organ dalamnya pun akan keluar.Setelah beberapa saat, Zola baru merasa lebih nyaman. Begitu berdiri, matanya bertemu dengan sepasang mata seorang pria yang hitam dan tajam.Mata Zola membeliak, dia memutar badannya menghadap pria itu dengan kaget, “Kapan kamu pulang?”Tidak ada suara sama sekali. Zola sungguh tidak tahu sejak kapan pria itu kembali, suda
Zola menatap Boris, “Hmm, aku sudah bilang.”“Kenapa kamu nggak diskusi denganku dulu?”Boris tampak tidak senang, ada emosi yang tidak terbaca di matanya. Zola tidak tahu mengapa pria itu memberikan reaksi seperti itu. Apakah karena Zola berinisiatif sendiri memberitahu keluarga Leonarto tentang perceraian mereka?“Menurutku masalah nggak ini nggak perlu didiskusikan lagi. Hari Senin kita akan urus perceraian kita, kan? Kalau begitu, aku beritahu keluargaku juga nggak akan berpengaruh bagimu, bukan?” tanya Zola.“Kamu ingin cepat-cepat pisah denganku?”Boris bertanya dengan dingin. Matanya menatap Zola dengan tajam. Zola spontan terkejut, sama sekali tidak mengerti apa maksud pria itu.Zola tersenyum getir, “Boris, kamu lupa kalau kamu sendiri yang minta cerai?”Orang yang ingin cepat-cepat bercerai bukannya Boris sendiri? Mengapa sekarang pria itu bersikap seolah-olah Zola yang minta cerai?Boris mengerutkan keningnya dan berkata dengan dingin, “Nggak perlu terburu-buru juga, kan. Ka
Jika terus bersikeras bertahan dalam hubungan ini, pada akhirnya Zola yang akan malu sendiri.Boris menangkap sesuatu yang aneh dari kata-kata yang Zola ucapkan. Zola seperti sedang membicarakannya, juga seperti tidak ada hubungannya dengannya. Apakah dia yang terlalu banyak berpikir?Zola tidak ingin terus mengobrol dengan Boris lagi. dia takut tidak bisa mengendalikan emosinya. Sejak kemarin, dia senantiasa mengingatkan dirinya sendiri dan berkata, “Zola, jangan berharap lagi, jangan teruskan lagi. Nggak akan ada hasil. Dia nggak mungkin mencintaimu. Semua usaha dan pengorbananmu akan jadi sia-sia. Bahkan kamu mungkin bakal buat dia merasa muak sama kamu.”Zola menarik napas dalam diam. Emosi di dalam hatinya perlahan-lahan menjadi lebih tenang. Setelah itu, pelan-pelan kembali normal.***Boris dan Zola pergi ke rumah sang kakek sebelum jam makan malam. Rumah keluarga Morrison terletak di sebuah kawasan vila di dekat gunung Kota Binru. Orang-orang yang tinggal di sini adalah generas
“Kamu merasa aku ini tua bangka yang suka ikut campur?” Hartono tampak marah. Dia langsung mengangkat tangan dan memukul meja.Dimas, ayah Boris, cepat-cepat menegur, “Boris, kenapa ngomong seperti itu sama Kakek? Cepat tarik kembali kata-katamu, bilang sama Kakek kalau kamu nggak akan bercerai.”Boris diam dengan wajah tanpa ekspresi. Rosita, ibu Boris, terlihat serba salah, tidak tahu harus berkata apa.Hartono tertawa sinis, “Bagus, kelihatannya kamu mau jungkir balikkan keluarga ini, kamu bahkan nggak mau dengar kata-kataku lagi. Kalau kamu bersikeras mau cerai, tunggu aku mati dulu baru cerai. Selama aku masih hidup, jangan harap perempuan bernama Tyara itu bisa menginjakkan kaki di rumah ini.”Hartono sangat marah. Usai berkata, dia mulai terbatuk-batuk. Zola lekas berjalan ke samping Hartono, lalu mengambilkan segelas air hangat untuknya, “Kakek, tenang dulu. Jangan marah ....”“Zola, aku merasa bersalah pada mendiang kakekmu. Seandainya dari awal aku tahu dia ternyata orang yan
Zola melihat ke samping dengan mata menerawang. Pria di sebelahnya berkata dengan suara lembut, “Jangan berpikiran macam-macam. Aku akan buat mereka semua suka sama kamu. Kamu jaga kesehatan. Serahkan sisanya padaku, oke?”Sesaat kemudian, Boris menutup telepon. Zola langsung berkata dengan tenang, “Kamu suruh Tyara jangan khawatir. Aku nggak akan tahan-tahan kamu terus. Aku akan cari cara untuk bujuk Kakek supaya dia setuju. Kalian buru-buru, aku lebih buru-buru.”Bagaimanapun juga, ada anak di dalam perut Zola. Seiring berjalannya waktu, perutnya akan membesar, Boris pasti akan mengetahui soal itu.Boris mengerutkan kening dan menoleh untuk melihat perempuan di sebelahnya, lalu berkata, “Tyara cuma tanya sebentar, kamu nggak usah marah begitu. Aku tetap berpegang pada janjiku. Nggak peduli kita cerai atau nggak, kalau ada masalah kamu bisa datang padaku kapan saja.”“Aku nggak marah. Untuk apa aku marah?”“Kamu benar-benar mau cepat-cepat cerai?”“Bukannya kamu juga mau cepat-cepat?”
“Bukan nggak mungkin, sebaiknya kita tetap berhati-hati,” kata Zola.“Oke, aku akan selidiki.”Mahendra seperti ingin mengatakan sesuatu tapi ragu-ragu. Namun, Zola juga tidak terlalu memikirkannya. Dia mengira Mahendra kelelahan. Dia pun meminta Mahendra untuk istirahat lebih awal dan mengakhiri percakapan mereka.Setelah mematikan laptop, Zola mengambil ponselnya dan melihat jam. Sudah pukul sepuluh lewat. Sepertinya Boris tidak pulang malam ini. Tiba-tiba Zola teringat akan peringatan yang Boris berikan padanya. Pria itu berkata kalau dia berharap Zola tetap menjaga jarak dengan lawan jenis sebelum mereka resmi bercerai. Lantas, bagaimana dengan Boris? Bukankah semua orang harus mendapat perlakuan yang sama?Zola mengerutkan bibirnya dan langsung menghubungi nomor Boris. Pria itu segera menjawab, tapi yang terdengar justru suara lembut seorang perempuan, “Zola? Ini aku Tyara. Kamu cari Boris ada urusan apa?”Raut wajah Zola seketika membeku. Boris benar-benar mencintai Tyara. Dia ba
Boris memilih diam tidak menjawab pertanyaan Tyara. Raut wajahnya juga datar tanpa ekspresi. Melihatnya seperti itu, rasa percaya diri Tyara pun berkurang. Dia sungguh tidak ingin bertengkar dengan Boris di saat seperti ini. Bagaimanapun juga, perceraian Boris dan Zola masih belum diproses. Akan tetapi, Tyara ingin bersikukuh. Dia ingin menguji apakah pria ini sudah berubah.Zola tidak ingin melepaskan tangannya, “Boris, temani aku. Aku hanya ingin habiskan lebih banyak waktu bersamamu. Kali ini saja, oke?”Boris tampak acuh tak acuh, ada sedikit rasa kesal di matanya, “Tyara, kamu yakin ingin aku temani kamu di saat seperti ini? Kalau terjadi sesuatu di luar dugaan kemungkinan besar kita akan masuk berita dan jadi bahan pembicaraan orang. Aku pria nggak masalah, tapi kamu nggak sama. Sekarang kakek dan orang tuaku masih memiliki prasangka kurang baik padamu. Kamu nggak mau mereka mengubah pandangan mereka terhadapmu?”Tyara terdiam, pada akhirnya dia pun mengalah. Meski tidak rela, di