Share

Bab 6

“Bagaimana mungkin jadi jelek? Sekarang kamu masih dalam masa pemulihan, jangan berkecil hati, oke?” hibur Boris dengan suara lembut.

“Benaran? Kamu nggak akan risih denganku?” Suara perempuan yang lembut itu penuh dengan harapan.

“Tentu saja nggak akan. Setelah kamu sembuh, kita akan menikah,” kata pria itu tanpa ragu-ragu.

“Benaran? Kamu nggak bohong, kan?”

“Nggak bohong. Sudah, makan dulu, ya.”

“Aku mencintaimu, Boris.” Suara lembut perempuan itu seperti suara alunan piano yang memabukkan.

Zola yang berada di balik pintu juga mendengar setiap kata dalam percakapan mereka dengan jelas. Dia spontan melengkungkan bibirnya, menertawakan dirinya sendiri. Ada kesedihan yang tak ada habisnya di matanya.

Zola tidak ingin menguping pembicaraan orang lain. Namun, dibandingkan dengan mengetuk pintu sekarang dan membuat orang merasa kesal, lebih baik dia menunggu dengan tenang. Setelah memastikan percakapan kedua orang itu telah berakhir, dia baru mengetuk pintu.

Suara pria yang acuh tak acuh terdengar dari dalam kamar, “Masuk.”

Zola membuka pintu dan masuk. Zola pun langsung melihat pria yang sedang berdiri di samping ranjang rumah sakit. Pria itu masih mengenakan setelan jas yang sama ketika dia meninggalkan rumah. Jadi dia memang menemani sang pujaan hati di rumah sakit sepanjang malam.

Wajah tampan itu tampak sangat acuh tak acuh. Matanya yang dalam menatap Zola tanpa kehangatan atau emosi apa pun. Seolah-olah dia sedang berhadapan dengan seseorang yang tidak penting. Zola mengepalkan kedua tangannya tanpa sadar, langkah kakinya juga seketika terhenti.

Sedangkan perempuan di ranjang rumah sakit berkata, “Zola sudah datang. Maaf banget, ya. Sudah merepotkan kamu sampai minta kamu antar baju ke sini. Silakan duduk dulu.”

Setelah mendengar suara perempuan itu, Zola baru sadar dan mengalihkan tatapannya. Wajah perempuan di ranjang rumah sakit itu pucat pasi. Rambut hitam sebahu dibiarkan tergerai di kedua sisi. Mungkin karena tidur terlalu lama, membuat perempuan itu memancarkan kecantikan seorang pasien yang lemah, membuat orang yang melihatnya seketika merasa ingin melindunginya.

Perempuan itu sedang sarapan dengan semangkuk telur kukus yang lembut. Karena baru sadar, dia hanya bisa makan makanan cair dan yang mudah dicerna.

Akan tetapi, bau telur yang kuat menghantam indera penciuman Zola. Bau itu membuatnya langsung mengerutkan kening. Dia pun merasakan sesuatu jauh di dalam perutnya sedang meronta ingin keluar. Pada detik berikutnya, dia yang tidak tahan dengan rasa mual segera menutup mulutnya ingin muntah. Seketika, suasana di dalam kamar menjadi sunyi senyap.

Boris menatap Zola dengan tajam, “Apa-apaan kamu ini?”

Tyara memasang raut wajah tersinggung sambil berkata pelan, “Zola merasa jijik dengan penampilanku yang sekarang?”

Sesaat kemudian, Zola merasa lebih baik dan bisa menahan rasa mualnya. Dia memasang raut wajah tenang, sorot matanya juga acuh tak acuh, lalu berkata, “Aku nggak ada maksud lain. Aku hanya nggak suka bau disinfektan.”

Zola berjalan mendekat sambil membawa pakaian untuk Tyara. Dia berusaha menahan napas agar tidak mencium bau telur. “Ini baju yang kamu mau, semuanya masih baru.”

Tyara lekas mengulurkan tangan dan mengambilnya. Dia membuka kantong dan melihat pakaian yang dibawakan Zola. Kemudian, senyum senang merekah di wajahnya. “Zola, kamu baik banget. Kamu bahkan tahu gaya baju yang aku suka.”

Gaya baju yang Tyara sukai? Jadi pakaian di ruang ganti Bansan Mansion yang diganti setiap musim memang disiapkan untuk Tyara? Zola hanya tertawa pelan sambil Boris.

“Kalau nggak ada urusan lain, kita bisa bicara sebentar?” tanya Zola.

Hati Tyara spontan menegang. Dia langsung berkata, “Zola, kamu marah, ya? Aku tahu sekarang kamu istri Boris. Seharusnya aku nggak telepon dia malam-malam dan suruh dia ke sini tadi malam. Tapi aku ....”

Semakin lama suara Tyara semakin bergetar hingga akhirnya dia mulai terisak. Dia terlihat seperti merasa sedih dan juga bersalah. Dia pun menjelaskan dengan suara pelan, “Aku nggak mau seperti itu. Tapi aku benar-benar nggak punya pilihan lain. Di Kota Binru aku hanya punya Boris. Aku ....”

“Tyara, cukup, nggak usah ngomong apa-apa lagi. Kamu lupa pesan dokter? Sekarang kamu nggak boleh terlalu terbawa emosi. Kamu perlu istirahat.” Boris segera mencondongkan tubuhnya ke depan Tyara untuk menghentikannya. Dia mengerutkan keningnya, wajahnya penuh dengan kekhawatiran.

Setelah Tyara lebih tenang, Boris baru berdiri tegak, lalu menatap Zola dengan tatapan rumit sambil mengerutkan alis, “Tyara masih sakit, kenapa kamu pasang wajah cemberut dan buat dia sedih?”

Zola menatap Boris dengan tatapan tidak percaya. Jelas-jelas dia tidak melakukan apa pun, tapi pada akhirnya tetap dia yang salah?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status