Zola menatap Boris, “Hmm, aku sudah bilang.”“Kenapa kamu nggak diskusi denganku dulu?”Boris tampak tidak senang, ada emosi yang tidak terbaca di matanya. Zola tidak tahu mengapa pria itu memberikan reaksi seperti itu. Apakah karena Zola berinisiatif sendiri memberitahu keluarga Leonarto tentang perceraian mereka?“Menurutku masalah nggak ini nggak perlu didiskusikan lagi. Hari Senin kita akan urus perceraian kita, kan? Kalau begitu, aku beritahu keluargaku juga nggak akan berpengaruh bagimu, bukan?” tanya Zola.“Kamu ingin cepat-cepat pisah denganku?”Boris bertanya dengan dingin. Matanya menatap Zola dengan tajam. Zola spontan terkejut, sama sekali tidak mengerti apa maksud pria itu.Zola tersenyum getir, “Boris, kamu lupa kalau kamu sendiri yang minta cerai?”Orang yang ingin cepat-cepat bercerai bukannya Boris sendiri? Mengapa sekarang pria itu bersikap seolah-olah Zola yang minta cerai?Boris mengerutkan keningnya dan berkata dengan dingin, “Nggak perlu terburu-buru juga, kan. Ka
Jika terus bersikeras bertahan dalam hubungan ini, pada akhirnya Zola yang akan malu sendiri.Boris menangkap sesuatu yang aneh dari kata-kata yang Zola ucapkan. Zola seperti sedang membicarakannya, juga seperti tidak ada hubungannya dengannya. Apakah dia yang terlalu banyak berpikir?Zola tidak ingin terus mengobrol dengan Boris lagi. dia takut tidak bisa mengendalikan emosinya. Sejak kemarin, dia senantiasa mengingatkan dirinya sendiri dan berkata, “Zola, jangan berharap lagi, jangan teruskan lagi. Nggak akan ada hasil. Dia nggak mungkin mencintaimu. Semua usaha dan pengorbananmu akan jadi sia-sia. Bahkan kamu mungkin bakal buat dia merasa muak sama kamu.”Zola menarik napas dalam diam. Emosi di dalam hatinya perlahan-lahan menjadi lebih tenang. Setelah itu, pelan-pelan kembali normal.***Boris dan Zola pergi ke rumah sang kakek sebelum jam makan malam. Rumah keluarga Morrison terletak di sebuah kawasan vila di dekat gunung Kota Binru. Orang-orang yang tinggal di sini adalah generas
“Kamu merasa aku ini tua bangka yang suka ikut campur?” Hartono tampak marah. Dia langsung mengangkat tangan dan memukul meja.Dimas, ayah Boris, cepat-cepat menegur, “Boris, kenapa ngomong seperti itu sama Kakek? Cepat tarik kembali kata-katamu, bilang sama Kakek kalau kamu nggak akan bercerai.”Boris diam dengan wajah tanpa ekspresi. Rosita, ibu Boris, terlihat serba salah, tidak tahu harus berkata apa.Hartono tertawa sinis, “Bagus, kelihatannya kamu mau jungkir balikkan keluarga ini, kamu bahkan nggak mau dengar kata-kataku lagi. Kalau kamu bersikeras mau cerai, tunggu aku mati dulu baru cerai. Selama aku masih hidup, jangan harap perempuan bernama Tyara itu bisa menginjakkan kaki di rumah ini.”Hartono sangat marah. Usai berkata, dia mulai terbatuk-batuk. Zola lekas berjalan ke samping Hartono, lalu mengambilkan segelas air hangat untuknya, “Kakek, tenang dulu. Jangan marah ....”“Zola, aku merasa bersalah pada mendiang kakekmu. Seandainya dari awal aku tahu dia ternyata orang yan
Zola melihat ke samping dengan mata menerawang. Pria di sebelahnya berkata dengan suara lembut, “Jangan berpikiran macam-macam. Aku akan buat mereka semua suka sama kamu. Kamu jaga kesehatan. Serahkan sisanya padaku, oke?”Sesaat kemudian, Boris menutup telepon. Zola langsung berkata dengan tenang, “Kamu suruh Tyara jangan khawatir. Aku nggak akan tahan-tahan kamu terus. Aku akan cari cara untuk bujuk Kakek supaya dia setuju. Kalian buru-buru, aku lebih buru-buru.”Bagaimanapun juga, ada anak di dalam perut Zola. Seiring berjalannya waktu, perutnya akan membesar, Boris pasti akan mengetahui soal itu.Boris mengerutkan kening dan menoleh untuk melihat perempuan di sebelahnya, lalu berkata, “Tyara cuma tanya sebentar, kamu nggak usah marah begitu. Aku tetap berpegang pada janjiku. Nggak peduli kita cerai atau nggak, kalau ada masalah kamu bisa datang padaku kapan saja.”“Aku nggak marah. Untuk apa aku marah?”“Kamu benar-benar mau cepat-cepat cerai?”“Bukannya kamu juga mau cepat-cepat?”
“Bukan nggak mungkin, sebaiknya kita tetap berhati-hati,” kata Zola.“Oke, aku akan selidiki.”Mahendra seperti ingin mengatakan sesuatu tapi ragu-ragu. Namun, Zola juga tidak terlalu memikirkannya. Dia mengira Mahendra kelelahan. Dia pun meminta Mahendra untuk istirahat lebih awal dan mengakhiri percakapan mereka.Setelah mematikan laptop, Zola mengambil ponselnya dan melihat jam. Sudah pukul sepuluh lewat. Sepertinya Boris tidak pulang malam ini. Tiba-tiba Zola teringat akan peringatan yang Boris berikan padanya. Pria itu berkata kalau dia berharap Zola tetap menjaga jarak dengan lawan jenis sebelum mereka resmi bercerai. Lantas, bagaimana dengan Boris? Bukankah semua orang harus mendapat perlakuan yang sama?Zola mengerutkan bibirnya dan langsung menghubungi nomor Boris. Pria itu segera menjawab, tapi yang terdengar justru suara lembut seorang perempuan, “Zola? Ini aku Tyara. Kamu cari Boris ada urusan apa?”Raut wajah Zola seketika membeku. Boris benar-benar mencintai Tyara. Dia ba
Boris memilih diam tidak menjawab pertanyaan Tyara. Raut wajahnya juga datar tanpa ekspresi. Melihatnya seperti itu, rasa percaya diri Tyara pun berkurang. Dia sungguh tidak ingin bertengkar dengan Boris di saat seperti ini. Bagaimanapun juga, perceraian Boris dan Zola masih belum diproses. Akan tetapi, Tyara ingin bersikukuh. Dia ingin menguji apakah pria ini sudah berubah.Zola tidak ingin melepaskan tangannya, “Boris, temani aku. Aku hanya ingin habiskan lebih banyak waktu bersamamu. Kali ini saja, oke?”Boris tampak acuh tak acuh, ada sedikit rasa kesal di matanya, “Tyara, kamu yakin ingin aku temani kamu di saat seperti ini? Kalau terjadi sesuatu di luar dugaan kemungkinan besar kita akan masuk berita dan jadi bahan pembicaraan orang. Aku pria nggak masalah, tapi kamu nggak sama. Sekarang kakek dan orang tuaku masih memiliki prasangka kurang baik padamu. Kamu nggak mau mereka mengubah pandangan mereka terhadapmu?”Tyara terdiam, pada akhirnya dia pun mengalah. Meski tidak rela, di
Tedy mempaparkan fakta. Kemudian, dia menambahkan, “Sekalipun kakekmu sayang sama dia, dia hanyalah orang luar. Mungkin saja nanti kakekmu sendiri yang suruh dia menikah dengan Mahendra.”Semakin Tedy membicarakannya, semakin kuat pula kesan gambarannya. Ekspresi Boris tiba-tiba menjadi dingin. Sepasang matanya yang hitam pekat seperti tertutup oleh lapisan es tebal. Dia tidak melanjutkan topik pembicaraan ini lagi. dia mengulurkan tangan untuk mengambil gelas di depannya dan menghabiskan isi gelasnya sekaligus dalam satu teguk.***Zola berguling-guling tidak bisa tidur. Dia merasa seperti ada semut yang menggigit hatinya. Tidak sakit, tapi membuat orang tidak tahan. Dia memutuskan untuk pergi ke rumah kakek Boris besok pagi. Dia akan menjelaskan kepada sang kakek dan mengakhiri pernikahan yang menyiksa ini secepat mungkin.Zola menutup matanya, hendak memaksa dirinya untuk tidur. Namun, ponselnya tiba-tiba berdering. Telepon dari Boris. Mengapa pria itu meneleponnya malam-malam begin
Keduanya saling menatap tanpa berkata apa-apa. Pada akhirnya, Boris turun dari mobil sendiri. Kemudian, keduanya masuk ke dalam rumah dan kembali ke kamar tidur. Boris memasang raut wajah tidak senang, suasana menjadi sedikit lebih kikuk.Pintu dan jendela kamar ditutup. Bau rokok bercampur alkohol di tubuh sangat menyengat. Zola merasa tidak nyaman dengan bau itu. Dia pun bertanya dengan suara pelan, “Kamu mau mandi lagi?”“Maksud kamu apa, Zola? Kamu merasa aku sudah mandi di luar?”“Bukankah begitu?”Boris mengerutkan kening, “Apakah aku melakukan sesuatu yang buat kamu kesal? Kalau ada kamu langsung katakan padaku. Aku sudah bilang, aku nggak akan lakukan apa pun yang melanggar janji setia pernikahan ini.”“Siapa tahu, kan? Aku juga nggak bersamamu setiap hari,” tukas Zola dengan suara pelan.Boris menatapnya, “Kalau kamu mau ikut aku setiap hari juga nggak apa-apa. Bagaimana kalau mulai besok?”“Nggak mau,” tolak Zola. Kemudian, dia bertanya dengan santai, “Bukannya kamu sudah man