Share

Bab 11

Jika terus bersikeras bertahan dalam hubungan ini, pada akhirnya Zola yang akan malu sendiri.

Boris menangkap sesuatu yang aneh dari kata-kata yang Zola ucapkan. Zola seperti sedang membicarakannya, juga seperti tidak ada hubungannya dengannya. Apakah dia yang terlalu banyak berpikir?

Zola tidak ingin terus mengobrol dengan Boris lagi. dia takut tidak bisa mengendalikan emosinya. Sejak kemarin, dia senantiasa mengingatkan dirinya sendiri dan berkata, “Zola, jangan berharap lagi, jangan teruskan lagi. Nggak akan ada hasil. Dia nggak mungkin mencintaimu. Semua usaha dan pengorbananmu akan jadi sia-sia. Bahkan kamu mungkin bakal buat dia merasa muak sama kamu.”

Zola menarik napas dalam diam. Emosi di dalam hatinya perlahan-lahan menjadi lebih tenang. Setelah itu, pelan-pelan kembali normal.

***

Boris dan Zola pergi ke rumah sang kakek sebelum jam makan malam. Rumah keluarga Morrison terletak di sebuah kawasan vila di dekat gunung Kota Binru. Orang-orang yang tinggal di sini adalah generasi pertama keluarga konglomerat Kota Binru.

Zola berjalan masuk ke dalam rumah sambil bergandengan tangan dengan Boris. Sang kakek sudah menunggu mereka. Begitu melihat wajah Zola, senyum ramah seketika merekah di wajah sang kakek, Hartono Morrison.

“Zola sudah pulang. Cepat ke sini, Kakek mau lihat kamu jadi kurus, nggak. Boris baik padamu, nggak?” kata Hartono.

Zola langsung melepaskan tangan Boris dan berjalan ke arah Hartono. Dia memijat bahu sang kakek sambil berkata dengan manja, “Kakek, aku baik-baik saja. Jangan khawatirkan aku. Sekarang aku jadi gemuk, justru aku sudah harus diet, nih.”

Hartono melotot dan pura-pura bersikap tegas, “Omong kosong, gemuk apanya? Kamu nggak boleh seperti orang-orang di luar sana yang diet sampai nggak makan apa-apa.”

Zola mengangguk, “Oke, aku dengarkan apa kata Kakek. Kakek juga harus jaga kesehatan sendiri, oke?”

“Huh, gadis tengik. Sudah berapa lama kamu nggak pulang lihat Kakek?”

Zola berpikir sejenak, sudah setengah bulan dia tidak pulang ke rumah ini. Hartono tidak sungguh-sungguh mempermasalahkan hal ini dengan Zola. Dia hanya pura-pura marah supaya Zola membujuknya.

Zola dengan mudah membuat pria tua itu tertawa hanya dengan mengucapkan beberapa kata. Boris yang berdiri di samping melihat pemandangan itu sambil tersenyum tipis. Zola pandai membujuk orang, dia berhasil membuat hati sang kakek senang.

Sebenarnya Boris tidak begitu mengerti. Kakeknya adalah seorang pria yang sangat tegas dan berwibawa di depan semua orang di dunia bisnis selama berpuluh-puluh tahun. Namun, dia sangat menyayangi Zola, bahkan melebih rasa sayangnya pada cucu kandungnya sendiri. Entah pesona apa yang dimiliki Zola.

“Kakek, lain kali mending langsung suruh Zola datang sendiri ke sini. Aku rasa aku juga nggak perlu datang bolak-balik ke sini hanya untuk diabaikan,” kata Boris.

Hartono berhenti tertawa. Dia menatap Boris dengan tidak senang dan mendengus sinis, “Kenapa? Sekarang aku nggak bisa suruh-suruh kamu lagi?”

“Bukan begitu.”

“Aku rasa kamu sekarang merasa sudah jadi yang paling hebat, bukan?”

Melihat situasi ini, Zola segera bicara untuk mencairkan suasana seperti biasa, “Kakek, kalau marah nanti wajah jadi keriput, loh. Jangan marah, ya.”

Hartono tertawa pelan, “Kamu paling bisa buat aku tertawa.”

“Aku hanya katakan yang sebenarnya, Kakek.”

“Aku harus tegas dengan bocah tengik ini. Kamu nggak usah bantu dia. Kalau ngga, dia bakal terus ganggu kamu.”

Boris tak berdaya menghadapi sang kakek. Dia hanya bisa berkata, “Kakek, aku mana berani?”

“Bagus kalau kamu nggak berani. Kalau nggak, aku nggak akan ampuni kamu.”

Boris menyipitkan matanya, tentu saja dia tahu isyarat dalam kata-kata yang kakeknya ucapkan. Karena kehadiran Zola, suasana menjadi sedikit santai. Sesaat kemudian, orang tua Boris juga telah pulang. Zola juga bisa menghadapi mertuanya dengan mudah. Sikapnya yang lembut, penurut dan sopan membuat orang-orang sayang padanya.

Setelah semua sudah lengkap, keluarga itu pun baru pindah ke ruang makan dan duduk di sana. Hartono belum mulai makan, semua orang hanya diam menunggu, tidak ada yang berani makan lebih dulu.

Raut wajah Hartono yang awalnya lembut dan ramah tiba-tiba menjadi tegas, lalu dia bertanya, “Boris, aku dengar dari orang tua Zola, kalian berdua akan bercerai?”

Apa yang seharusnya terjadi, cepat atau lambat pasti akan terjadi juga. Suasana di ruang makan seketika menjadi tegang.

Tatapan sang kakek, ayah dan ibu Boris spontan tertuju pada Zola dan Boris. Zola hanya mengerutkan bibirnya tanpa berkata apa-apa.

Boris tetap bersikap tenang. Dia membalas tatapan kakeknya dan menjawab, “Kakek, ini urusan aku dan Zola. Tolong jangan ikut campur, oke?”
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Helmi Doang
boris terlalu mengintimidasi
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status