Terdengar suara seorang lelaki yang tertawa ringan. Zola dan Hartono secara refleks menoleh ke belakang. Lelaki bertubuh jangkung itu berjalan perlahan ke arah mereka. Wajah tampannya membuat jantung Zola berdegup cepat tanpa sadar.Meskipun telah banyak hal terjadi, dia masih saja gugup di dekatnya. Zola tahu dengan jelas bahwa dirinya masih mencintainya. Namun, apakah cinta satu pihak bisa bertahan lama?Sebelum Zola sempat memikirkan jawabannya, suara Kakek pun terdengar, “Apa? Aku nggak boleh bicara lebih lama dengan Zola?”"Kurasa nggak boleh, sudah cukup larut. Kami harus segera pulang," jawab Boris, sambil melirik jam di tangannya dan berjalan mendekat ke arah Zola. Dengan santai, dia meletakkan tangannya di pinggangnya. Gerakannya tampak begitu alami seolah-olah dia sudah sering melakukannya. Zola terkejut sejenak, tetapi dia tetap berusaha menjaga ketenangannya.Kakek melihat pemandangan itu dengan senyum tidak terbendung di matanya, dia berkata pada Boris dengan nada yang ter
Meski Kakek dan kedua orang tua Boris sangat yakin tidak ada pemikiran seperti itu, tetapi Zola ingin tahu apa yang ada dalam benak Boris.Dia terdiam sejenak, lalu berkata, “Boris, aku mengerti maksudmu. Aku hanya ingin tahu, apa kamu benar-benar nggak pernah merasakan meski hanya sedetik saja kalau semua ini nggak akan terjadi kalau nggak ada aku?”Boris mengerutkan alisnya dan wajah tampannya menunjukkan sedikit ketidakpedulian. Dia kemudian melirik ke arah kendaraan di kaca spion dan langsung menepi. Dia berbalik menghadapnya dan berkata dengan suara rendah, “Kalau ini nggak terjadi, apakah kamu bisa memastikan nggak akan ada hal lain yang terjadi?”Zola menatapnya tidak mengerti.“Setiap hal yang terjadi pasti ada alasannya. Kalau nggak, hidup akan terlalu datar, bukan? Karena hal ini sudah terjadi, apakah menyalahkan seseorang bisa menyelesaikan semua masalah? Nggak, ‘kan? Jadi daripada menyalahkan orang lain, lebih baik kita cari solusi untuk segera menyelesaikannya.”“Zola, kat
Zola terdiam sejenak dan baru kemudian dia menyadari keterkaitan antara Wina dan Jeni. Raut wajahnya sedikit khawatir sambil bertanya, "Kamu ... baik-baik saja?"“Aku nggak apa-apa. Kamu jawab pertanyaanku dulu.”Jeni melepas sarung tangan sekali pakainya, lalu berbalik menghadap Zola. Matanya menunjukkan sedikit ketegasan yang dingin.Zola berkata, “Mungkin hanya ingin menyenangkan Ibunya Boris saja. Bagaimana pun, mereka adalah teman lama. Kalau memang ada keterkaitan, mungkin peringatan dariku kepada Wina sebelumnya membuat keluarga Jardi merasa nggak nyaman.”“Bohong kalau mau menyenangkan. Seharusnya diam mau menggunakan kesempatan ini untuk menjelekkan kamu. Wina nggak begitu menyukaimu karena aku, jadi ibunya pun mencari cara untuk mempersulit kamu.”“Kalau tujuannya hanya untuk mempersulit, mereka nggak perlu repot-repot datang ke sana karena semua orang tahu sikap keluarga Morrison padaku. Nggak akan mudah dipengaruhi hanya dengan beberapa provokasi, jadi kamu nggak perlu mera
Boris duduk di depan meja kerjanya, Jesse menyerahkan jadwal kerja hari ini dan berkata, “Pak Boris, juri dan mitra dari kompetisi arsitek menelepon, ingin tahu apakah putaran kedua akan berlangsung sesuai jadwal?” “Kenapa nggak?” balas Boris dengan kening berkerut.Jesse menjelaskan, “Mereka mungkin khawatir bahwa kejadian belakangan ini akan memengaruhi kompetisi.” Boris mendengus dingin dan menjawab, “Apakah karena jarinya terluka, dia nggak bisa makan atau minum, dan nggak bisa melakukan apa-apa?” Asistennya itu hanya bisa menundukkan kepala dan tidak berani bersuara. Dia hanyalah seorang penyampai pesan, dan risiko dipecat cukup besar. Suasana hening selama setengah menit. Setelah Boris meninjau semua jadwal kerja di depannya, dia baru mengangkat wajahnya dan berkata,“Kosongkan waktu makan siangku, aku sudah membuat janji untuk makan dengan Tedy. Selain itu, kerja sama antara Jardi Group dan Morrison Group nggak perlu diperpanjang. Kalau mereka bertanya alasannya, biarkan mere
Boris tidak mengatakan apa pun dan langsung mematikan sambungan telepon. Jeni terlihat puas sekali. Siapa suruh lelaki itu meminta Zola kembali. Memangnya tidak boleh menemaninya lebih lama?Di dunia ini, tidak boleh cari masalah dengan perempuan dan orang licik. Jeni meletakkan ponsel Zola dan menatap dua orang yang tengah berbincang. Sorot matanya terlihat ragu karena berencana memberikan mereka waktu lima menit lagi.Pagi-pagi sekali Zola datang ke kantor dan berbicara dengan Caca serta beberapa rekannya. Dia mengingatkan mereka jika kemungkinan besar kompetisi akan dihentikan. Zola berharap agar mereka tidak berkecil hati. Perempuan itu meyakinkan mereka bahwa ini bukan karena kesalahan atau kurangnya kemampuan mereka.Caca dan kedua rekannya tampak terlihat tenang. Sepertinya mereka telah siap menghadapi hal ini. Mereka berkata, “Nggak apa-apa. Mungkin kali ini kami memang belum berjodoh dengan kompetisi ini, tapi bukankah masih ada kesempatan berikutnya? Asalkan pada kesempatan b
Setelah selesai bicara, Zola langsung berbalik dan pergi.Ruangan terasa hening sejenak. Perempuan itu menatap Mahendra, dan berkata, “Aku akan menelepon sebentar, dan aku mengerti niat baikmu terkait yang tadi kamu katakan.”“Baik, pergilah,” jawab Mahendra dengan anggukan pelan. Ekspresinya hampir tidak menunjukkan emosi apa pun.Begitu Zola beranjak pergi, wajah lelaki itu berubah dingin. Meski sudah berusaha meyakinkannya, Zola tetap tidak bergeming. Dia jadi bertanya-tanya, apakah Boris mengatakan sesuatu pada perempuan itu? Sorot licik dan dingin melintas di mata Mahendra.Perempuan itu kembali ke ruang kerjanya dan menutup pintu. “Apa yang barusan kamu lakukan?” tanya Zola.“Lakukan apa?” balas Jeni berpura-pura tidak mengerti.“Kamu bilang Boris meneleponku?”“Ya, kalau nggak percaya coba periksa sendiri,” jawabnya datar.Zola memeriksa riwayat panggilan dan memang ada panggilan dari lelaki itu. Dia menelepon balik, dan bertanya pada Jeni, “Apakah dia bilang ada sesuatu?”“Ngga
Zola mengatupkan bibirnya dan terdiam sejenak sebelum berkata dengan mantap, “Aku nggak akan memberimu kesempatan itu.”“Kita lihat saja!” jawab Boris dengan suara rendah yang diiringi tawa samar. Kata-kata mereka terdengar seperti tantangan, tetapi sebenarnya merupakan jaminan dan dorongan satu sama lain.Percakapan mereka berlangsung lama, dan Jeni menyaksikan semuanya. Dia memperhatikan bahwa hubungan mereka berdua makin mirip dengan pasangan yang jatuh cinta setelah menikah. Dia tersenyum kecil dan dalam hatinya dia berharap, “Semoga semua keinginanmu menjadi nyata.”Sejak menerima telepon dari Boris, Zola merasa lebih lega. Bahkan saat makan siang, perempuan itu makan dengan lahap. Dia menyantap sepiring penuh nasi dan hampir menambah setengah mangkuk sup jika tidak dihentikan oleh Jeni.Sore harinya, Zola pergi ke rumah sakit untuk menjenguk neneknya. Beberapa hari terakhir, karena banyaknya masalah dan perhatian orang yang tertuju padanya, dia baru bisa datang sekarang. Meskipun
Zola mendengus, “Menyalahi anak yang nggak punya pilihan, apa kamu layak menjadi seorang ibu?”Mata Lydia dan penuh kemarahan. Dia melirik neneknya dan mencela dengan sinis, “Lihatlah bagaimana kamu mendidiknya. Seperti ini jadinya dia? Kamu tinggal di rumah lamaku hanya untuk mendidiknya jadi seperti ini?”“Cukup! Nenek bukan ibumu, dia nggak perlu mendengar perkataanmu. Lagipula kamu nggak pernah berbakti, dia nggak berutang apa-apa padamu.”Zola melindungi neneknya dan menanyakan dengan lembut, “Nenek, kamu baik-baik saja?”Nenek menggeleng, berbisik, “Jangan bertengkar dengan ibumu.”Zola mengerti kegundahan neneknya, tapi dia tidak bisa mengabulkan permintaan Lydia begitu saja. Dia menatap Lydia tanpa ekspresi. “Kalau sudah selesai bicara, pergi sekarang. Nenek butuh istirahat.”Lydia tidak beranjak dan hanya menatap Zola penuh kebencian. Saat Zola hendak duduk di samping neneknya, tiba-tiba Lydia mendorongnya hingga tubuhnya terhantam pelindung tempat tidur. Rasa sakit membuatny