Boris duduk di depan meja kerjanya, Jesse menyerahkan jadwal kerja hari ini dan berkata, “Pak Boris, juri dan mitra dari kompetisi arsitek menelepon, ingin tahu apakah putaran kedua akan berlangsung sesuai jadwal?” “Kenapa nggak?” balas Boris dengan kening berkerut.Jesse menjelaskan, “Mereka mungkin khawatir bahwa kejadian belakangan ini akan memengaruhi kompetisi.” Boris mendengus dingin dan menjawab, “Apakah karena jarinya terluka, dia nggak bisa makan atau minum, dan nggak bisa melakukan apa-apa?” Asistennya itu hanya bisa menundukkan kepala dan tidak berani bersuara. Dia hanyalah seorang penyampai pesan, dan risiko dipecat cukup besar. Suasana hening selama setengah menit. Setelah Boris meninjau semua jadwal kerja di depannya, dia baru mengangkat wajahnya dan berkata,“Kosongkan waktu makan siangku, aku sudah membuat janji untuk makan dengan Tedy. Selain itu, kerja sama antara Jardi Group dan Morrison Group nggak perlu diperpanjang. Kalau mereka bertanya alasannya, biarkan mere
Boris tidak mengatakan apa pun dan langsung mematikan sambungan telepon. Jeni terlihat puas sekali. Siapa suruh lelaki itu meminta Zola kembali. Memangnya tidak boleh menemaninya lebih lama?Di dunia ini, tidak boleh cari masalah dengan perempuan dan orang licik. Jeni meletakkan ponsel Zola dan menatap dua orang yang tengah berbincang. Sorot matanya terlihat ragu karena berencana memberikan mereka waktu lima menit lagi.Pagi-pagi sekali Zola datang ke kantor dan berbicara dengan Caca serta beberapa rekannya. Dia mengingatkan mereka jika kemungkinan besar kompetisi akan dihentikan. Zola berharap agar mereka tidak berkecil hati. Perempuan itu meyakinkan mereka bahwa ini bukan karena kesalahan atau kurangnya kemampuan mereka.Caca dan kedua rekannya tampak terlihat tenang. Sepertinya mereka telah siap menghadapi hal ini. Mereka berkata, “Nggak apa-apa. Mungkin kali ini kami memang belum berjodoh dengan kompetisi ini, tapi bukankah masih ada kesempatan berikutnya? Asalkan pada kesempatan b
Setelah selesai bicara, Zola langsung berbalik dan pergi.Ruangan terasa hening sejenak. Perempuan itu menatap Mahendra, dan berkata, “Aku akan menelepon sebentar, dan aku mengerti niat baikmu terkait yang tadi kamu katakan.”“Baik, pergilah,” jawab Mahendra dengan anggukan pelan. Ekspresinya hampir tidak menunjukkan emosi apa pun.Begitu Zola beranjak pergi, wajah lelaki itu berubah dingin. Meski sudah berusaha meyakinkannya, Zola tetap tidak bergeming. Dia jadi bertanya-tanya, apakah Boris mengatakan sesuatu pada perempuan itu? Sorot licik dan dingin melintas di mata Mahendra.Perempuan itu kembali ke ruang kerjanya dan menutup pintu. “Apa yang barusan kamu lakukan?” tanya Zola.“Lakukan apa?” balas Jeni berpura-pura tidak mengerti.“Kamu bilang Boris meneleponku?”“Ya, kalau nggak percaya coba periksa sendiri,” jawabnya datar.Zola memeriksa riwayat panggilan dan memang ada panggilan dari lelaki itu. Dia menelepon balik, dan bertanya pada Jeni, “Apakah dia bilang ada sesuatu?”“Ngga
Zola mengatupkan bibirnya dan terdiam sejenak sebelum berkata dengan mantap, “Aku nggak akan memberimu kesempatan itu.”“Kita lihat saja!” jawab Boris dengan suara rendah yang diiringi tawa samar. Kata-kata mereka terdengar seperti tantangan, tetapi sebenarnya merupakan jaminan dan dorongan satu sama lain.Percakapan mereka berlangsung lama, dan Jeni menyaksikan semuanya. Dia memperhatikan bahwa hubungan mereka berdua makin mirip dengan pasangan yang jatuh cinta setelah menikah. Dia tersenyum kecil dan dalam hatinya dia berharap, “Semoga semua keinginanmu menjadi nyata.”Sejak menerima telepon dari Boris, Zola merasa lebih lega. Bahkan saat makan siang, perempuan itu makan dengan lahap. Dia menyantap sepiring penuh nasi dan hampir menambah setengah mangkuk sup jika tidak dihentikan oleh Jeni.Sore harinya, Zola pergi ke rumah sakit untuk menjenguk neneknya. Beberapa hari terakhir, karena banyaknya masalah dan perhatian orang yang tertuju padanya, dia baru bisa datang sekarang. Meskipun
Zola mendengus, “Menyalahi anak yang nggak punya pilihan, apa kamu layak menjadi seorang ibu?”Mata Lydia dan penuh kemarahan. Dia melirik neneknya dan mencela dengan sinis, “Lihatlah bagaimana kamu mendidiknya. Seperti ini jadinya dia? Kamu tinggal di rumah lamaku hanya untuk mendidiknya jadi seperti ini?”“Cukup! Nenek bukan ibumu, dia nggak perlu mendengar perkataanmu. Lagipula kamu nggak pernah berbakti, dia nggak berutang apa-apa padamu.”Zola melindungi neneknya dan menanyakan dengan lembut, “Nenek, kamu baik-baik saja?”Nenek menggeleng, berbisik, “Jangan bertengkar dengan ibumu.”Zola mengerti kegundahan neneknya, tapi dia tidak bisa mengabulkan permintaan Lydia begitu saja. Dia menatap Lydia tanpa ekspresi. “Kalau sudah selesai bicara, pergi sekarang. Nenek butuh istirahat.”Lydia tidak beranjak dan hanya menatap Zola penuh kebencian. Saat Zola hendak duduk di samping neneknya, tiba-tiba Lydia mendorongnya hingga tubuhnya terhantam pelindung tempat tidur. Rasa sakit membuatny
“Kenal. Dia sekarang bisa dapat kerja di Kota Jantera juga berkat nenekmu. Nenekmu yang minta tolong orang carikan. Kalau dipikir-pikir, aku juga harus berterima kasih padamu. Kalau kamu nggak suruh aku jaga nenekmu, aku juga nggak akan kenal nenekmu.”Ucapan dan ekspresi si bibi terlihat sangat natural, tidak ada yang aneh atau dibuat-buat. Zola ikut tersenyum ketika melihat senyuman di wajah si bibi, lalu dia bertanya dengan suara pelan, “Jadi sebelum Bibi jaga Nenek, Bibi nggak kenal sama Nenek, ya?”“Tentu saja nggak kenal. Zola, kan kamu yang cari Bibi. Masa kamu lupa?” Senyuman di wajah si bibi semakin lebar.Zola tertawa pelan dan tidak bertanya lagi. Sebenarnya Zola tidak curiga terhadap neneknya. Dia hanya ingin memastikan lagi. Karena kejadian gedung runtuh, Zola dan Boris tidak melanjutkan masalah tersebut. Kalau bukan karena kecelakaan itu, Zola tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia juga tidak tahu apa yang akan Boris lakukan untuk Tyara.Setelah meminta si bibi
Boris sengaja menekankan kata “menjenguk”. Selena spontan mengerutkan kening. “Aku nggak tahu. Hari ini? Kapan?”Selena tampak terkejut. Karena dia tahu betul seperti apa hubungan ibu dan neneknya. Jadi dia tahu kalau ibunya pasti bukan benar-benar niat pergi menjenguk. Ditambah lagi, nada bicara Boris yang dingin serta ada aura tidak senang dari pria itu, yang membuat Selena semakin yakin.Jadi tanpa menunggu Boris menjawab, dia segera bertanya, “Mamaku buat Nenek kesal?”“Heh, kamu rasa seorang nenek tua yang nggak punya hak untuk bicara di keluargamu, bisa dibuat kesal sama orang lain?” tanya Boris dengan sinis.Selena langsung mengerutkan bibirnya dan diam. Boris berkata lagi, “Nggak masalah gimana keluarga kalian perlakukan Zola dan Nenek. Baik atau buruk, toh sudah dari dulu. Aku rasa mereka juga sudah lama terbiasa. Dengan catatan, kalian boleh saja cuek dengan mereka, tapi jangan semakin menjadi-jadi.”“Kak Boris ... Pak Boris, aku nggak mengerti maksudmu. Apa yang mamaku lakuk
Saat ini Selena baru sepenuhnya memahami maksud Boris. Jika Boris benar-benar hanya ingin memberi peringatan kepada Lydia, Boris cukup menelepon dan bicara langsung dengannya. Tidak perlu repot-repot minta Selena datang ke perusahaannya, lalu menyuruh Selena menelepon Lydia langsung di depannya. Ternyata Boris ingin Lydia mengakui perbuatannya terhadap Zola.Selena mengerutkan kening. Tiba-tiba dia menyadari kalau pria yang sejak awal sudah ditakdirkan tidak akan pernah menjadi miliknya itu ternyata bisa melakukan hal seperti ini untuk Zola. Bisa dibayangkan betapa pentingnya Zola bagi Boris. Namun, mengapa Boris harus berputar-putar hanya untuk memberikan keadilan kepada Zola?Lydia juga sama terkejutnya dengan Selena. Terutama setelah dia mendengar suara Boris. Dia baru menyadari kalau Selena sedang bersama Boris.“Selena, kamu lagi di mana?” tanya Lydia.Selena mengatupkan bibirnya. Sorot matanya redup, seperti orang yang putus asa. Setelah terdiam sejenak, dia baru berkata dengan s
Namun, karya desain bagus saja tidak cukup. Harus memiliki nuansa desain dan gaya yang unik juga agar dapat meninggalkan kesan yang mendalam sekali dilihat orang. Zola membantu revisi dan memberi mereka arah inspirasi baru. Draf desain saat ini sepenuhnya dipoles berulang kali, buat lagi, dipoles lagi.Zola sibuk sampai jam pulang kerja. Dia memeriksa ponselnya, berencana makan di luar bersama Jeni sebelum pulang. Sejak pindah kembali ke apartemen, si bibi belum pernah datang untuk menyiapkan makanan. Zola tidak ingin bertanya dulu. Sedangkan dia sendiri malas mau masak. Jadi dia memilih makan di luar.Namun, baru saja Zola dan Jeni masuk ke mobil dan hendak berangkat ke restoran, ponsel Zola tiba-tiba berdering. Telepon dari Boris.Zola memegang erat ponselnya dan tertegun sejenak, tidak langsung mengangkat telepon, lalu Jeni berkata, “Angkat saja.”Jeni langsung menepikan mobilnya dan menunggu Zola mengangkat telepon. Zola menekan tombol jawab, lalu suara Boris datang dari ujung tele
“Memang medan perang, kan? Bahkan medan perang di dalam sana jauh lebih sulit untuk dihadapi daripada yang di luar,” goda Jeni.Zola tersenyum, lalu dia keluar dari mobil dan berjalan masuk ke dalam rumah. Akhir-akhir ini Jerico sedang memulihkan diri di rumah. Setelah mengetuk pintu, Zola membuka pintu dan masuk. Begitu melihat Zola, Jerico langsung bertanya, “Kenapa kamu datang ke sini?”Sikap dingin Jerico membuat Zola diam sejenak, tapi dia sudah terbiasa. Jadi, Zola merasa tidak apa-apa. Dia menatap ayahnya dan berkata, “Ada yang ingin aku tanyakan pada Papa.”Jerico melihatnya sekilas. “Mau tanya apa?”Zola mengerutkan bibirnya. Pada akhirnya, dia segera bertanya, “Aku ingin tanya soal Budi. Budi sudah jadi sekretaris Papa bertahun-tahun. Kenapa dia tiba-tiba berkhianat? Selama ini Papa selalu baik padanya. Apakah dia ada kesulitan atau rahasia yang nggak bisa dikatakan?”Begitu Zola selesai bicara, raut wajah Jerico langsung berubah. Dia memelototi Zola dengan tidak senang.“Zol
Usai berkata, Boris berjalan keluar sambil berkata, “Aku panggil dokter dulu untuk periksa kamu. Nanti sudah boleh keluar dari rumah sakit.”Mata Zola mengikuti sosok Boris. Kata-kata Boris terulang-ulang terus di dalam otaknya. Dibandingkan Sandra yang cerdas, Zola lebih cocok menjadi istri Boris? Maksud Boris, Zola kurang cerdas?Zola yang sedang hamil sama sekali tidak menyadari kalau dirinya sedang melalui proses otak tidak bisa berpikir dengan cepat selama kehamilan. Setelah berpikir lama, dia masih tidak mengerti maksud Boris. Apakah Boris sedang memujinya? Namun, sepertinya itu tidak sepenuhnya memuji.Setelah melalui pemeriksaan, dokter memastikan Zola tidak apa-apa. Semuanya stabil. Dia pun dipulangkan. Boris yang mengantarnya kembali ke apartemen. Sepanjang perjalanan pulang, Zola dan Boris tidak bicara. Karena Boris menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengangkat telepon.Boris tampak sangat sibuk, tapi Boris tetap menemani Zola. Zola memperhatikan wajah Boris dari sam
Zola juga tercengang. Sandra ingin memberi Boris saham? Dia semakin fokus memperhatikan Boris, tidak ingin melewatkan ekspresi apa pun di wajah pria itu. Apakah Boris akan terharu?“Kamu jangan salah paham. Aku nggak ingin lakukan apa pun. Ini bentuk ketulusanku. Kamu tahu, kelak aku akan ambil alih Gordi Group. Tapi aku tahu seberapa besar persaingan dalam dunia bisnis. Aku butuh penopang. Aku tahu kamu nggak ada perasaan apa pun padaku, juga nggak mungkin menikah denganku. Tapi aku butuh kerja sama jangka panjang dengan Morrison Group.”“Ini bukan masalah kecil. Aku belum bisa kasih jawaban.”“Kalau begitu, kamu pertimbangkan dulu.”Boris menutup telepon. Wajahnya tampak dingin. Zola tidak mendengar semua percakapan antara Boris dan Sandra, tapi Zola mendengar jelas setiap kata yang Boris ucapkan. Setelah panggilan telepon berakhir, Boris meletakkan ponselnya. Dia spontan melihat ke arah Zola. Tidak disangka, Zola sedang memperhatikannya. Saat mata keduanya bertemu, Zola sama sekali
Zola menyadari kalau dirinya semakin tidak memahami Mahendra, bahkan boleh dibilang dia merasa seperti tidak pernah memahami pria itu sebelumnya. Apa tujuan Mahendra melakukan hal ini?Zola tidak bisa menemukan jawaban yang masuk akal. Jadi dia tidak menanggapi pertanyaan Boris. Suasana pun menjadi sunyi senyap. Sesaat kemudian, ponsel Boris berdering. Sandra yang meneleponnya.“Kamu nggak di kantor?”“Ada urusan?”“Iya, ada sedikit urusan. Soal proyek kerja sama. Aku baru saja dapat kabar, ada perusahaan real estate asing yang berencana datang ke Kota Binru untuk berinvestasi. Kalau kita bisa dapatkan kerja sama ini, itu akan sangat membantu untuk go public nanti. Jadi kamu mau pertimbangkan, nggak?”Meskipun Morrison Group merupakan sebuah perusahaan besar, sampai saat ini Morrison Group belum mendaftarkan diri ke bursa efek. Baik Boris maupun keluarganya tidak peduli dengan hal itu. Jika Morrison Group mau go public, pasti sudah go public sejak kepemimpinan Hartono. Namun nyatanya t
Setiap kali memikirkan hal itu, Boris pasti berpikir kalau Zola ingin berpisah dengannya demi Mahendra. Akan tetapi, pesan Guntur terngiang kembali di benaknya. Sekarang Zola tidak boleh emosi, harus tetap dalam suasana hati yang baik. Sehingga kata-kata yang sudah sampai di ujung bibirnya akhirnya ditelan kembali.Zola menatap Boris, mengira pria itu ingin mengatakan sesuatu lagi. Jadi dia menatap Boris dalam diam. Kata-kata Boris barusan membuat Zola merasa hatinya seperti dicengkeram dengan erat hingga membuatnya sulit bernapas.Namun, beberapa saat berlalu. Boris tak kunjung bicara. Zola menatapnya dengan bingung dan berkata, “Mau ngomong apa ngomong saja.”Sikap Boris melembut, tidak sekeras tadi. Dia menatap Zola sambil berpikir keras. Kemudian, dia menanyakan keraguan yang selalu Boris sembunyikan di dalam hatinya.“Aku hanya mau tanya satu hal. Katakan padaku, apakah kamu pernah pacaran dengan Mahendra?”Zola mengerutkan kening, tampak semakin bingung. “Boris, sebenarnya apa ya
“Oke, aku mengerti.” Boris menjawab dengan serius, seperti seorang murid yang penurut.Guntur jarang melihat reaksi seperti itu dari Boris. Dia spontan tertawa dan berkata, “Baguslah kalau kamu bisa bekerja sama seperti ini. Kakek dan orang tuamu belum tahu. Perlu beritahu mereka?”Boris menatap Guntur dan bertanya balik, “Menurutmu?”Guntur terus tertawa. “Oke, oke, aku mengerti. Kalau begitu aku kerja dulu. Kamu temani Zola. Kalau dia bangun, dia boleh sarapan.”Boris menganggukkan kepala. Guntur pun pergi. Beberapa menit kemudian, Zola membuka matanya dan mendapati dirinya sedang berada di rumah sakit. Dia spontan mengangkat tangannya dan memegang perutnya. Setelah merasakan perutnya yang buncit, dia baru merasa lega.Zola ingat Jeni mengantarnya ke rumah sakit dan dia diperiksa oleh dokter. Namun saat itu, dia benar-benar sudah terlalu lelah. Dokter juga memberinya obat yang boleh diminum ibu hamil. Jadi dia tidur sampai sekarang baru bangun.Zola bangun dan duduk. Begitu duduk, di
Boris punya kebiasaan marah ketika dibangunkan dari tidurnya, apalagi kalau dibangunkan secara tiba-tiba. Akan tetapi, sebelum dia bisa melampiaskan kekesalannya, suara yang masuk telinganya langsung membuat matanya terbelalak lebar.“Zola lagi di UGD rumah sakit?” tanya Boris dengan suara serak.“Kamu nggak tahu?”“Kenapa dia ke rumah sakit jam segini?”Boris mengangkat selimutnya dan turun dari tempat tidur. Sambil mengganti pakaian, dia bertanya kepada Guntur dengan wajah serius. Guntur bilang kalau muridnya yang melihat Zola. Zola baring di ranjang pemeriksaan, sepertinya baru selesai diperiksa. Dia masih belum tahu bagaimana situasi jelasnya.Boris tidak banyak bicara. Setelah menjawab singkat, dia langsung menutup telepon. Wajah tampannya tampak tegang. Rahangnya mengeras sampai seolah-olah bisa hancur kapan saja. Dia bahkan tidak sempat memakai sepatu lagi. Dia langsung mengambil kunci dan keluar.Boris mengebut sepanjang jalan. Dia mencoba menghubungi ponsel Zola, tapi Zola tid
Manusia sangat mudah membiasakan diri. Begitu sudah terbiasa, manusia bisa saja melupakan semua hal negatif yang pernah dialaminya sebelumnya.“Apakah aku sudah kehilangan diriku sendiri?” tanya Zola kepada Jeni.Jeni memikirkannya dengan serius. “Sayang, kalau kamu sudah mempertanyakan apakah kamu sudah kehilangan dirimu sendiri, menurutku kamu benar-benar perlu merenungkan diri dulu.”Karena kata-kata Jeni barusan, Zola pun jadi berpikir keras. Benar, dia bahkan sudah mempertanyakan dirinya sendiri. Apa yang akan dipikirkan orang lain?Zola bangun dan duduk di sofa, lalu berkata dengan yakin, “Aku percaya aku masih diriku yang dulu. Aku nggak akan kehilangan diri sendiri demi siapa pun.”“Ini baru betul.”Keduanya saling menatap dan tersenyum. Di malam hari, Zola rela mengeluarkan uang mentraktir Jeni makan mie, sebagai penghargaan kepada Jeni karena telah memberinya pencerahan dan semangat. Saat itu, Jeni merasa sangat kesal. Ingin rasanya memarahi Zola.Zola justru berkata, “Maklum