“Dia bilang sama kamu?” tanya Zola. Zola sungguh tidak menyangka Lydia akan memberitahu Selena.Selena tidak menjawab pertanyaan Zola. Dia hanya berkata, “Mama yang salah. Kamu lagi hamil. Dia seharusnya nggak dorong kamu, juga nggak ganggu Nenek yang lagi sakit. Dia … dia mungkin jadi impulsif karena cemas dengan kondisi keluarga Leonarto. Bisa nggak kamu beri dia satu kesempatan lagi dan maafkan dia kali ini?”Permohonan Selena membuat Zola spontan mengernitkan kening. Terlepas dari Zola memaafkan atau tidak, Zola tidak melakukan apa pun. Dia juga tidak menyuruh Lydia melakukan apa pun.Setelah berpikir sejenak, Zola segera memahami situasi ini. Boris seharusnya sudah tahu. Benar juga, ada Guntur di rumah sakit. Guntur pasti akan memberitahu Boris walau cedera yang Zola alami tidak membahayakan anak. Bagaimanapun juga, cedera di saat hamil bukanlah masalah sepele.Selama Boris cari informasi sedikit, dia pasti bisa mengetahui semuanya. Jadi, Boris cari masalah dengan Lydia? Kalau tid
Bagaimana mungkin Zola masih mau menunggu Boris? Dia langsung cepat-cepat menutup telepon. Tentu saja, Jeni tahu kalau Zola sedang malu. Jeni mendecakkan lidah dan berkata, “Kalau sering jalan di tepi sungai, cepat atau lambat sepatumu bakal basah juga.”Zola tidak bicara. Dia hanya ingin diam dan pura-pura kejadian barusan tidak pernah terjadi. Boris juga tidak segera menelepon kembali. Jadi Zola yakin kalau pria itu benar-benar sedang kesal. Akan tetapi, lebih baik Boris tidak telepon. Karena sekarang Zola masih merasa malu, tidak tahu harus berkata apa nanti.Jeni menemani Zola sebentar. Zola sendiri sudah merasa lelah. Jadi dia pun ketiduran di sofa. Setelah Zola tidur, Jeni pergi dan kembali ke perusahaan. Zola tidur sampai petang baru bangun. Selama dia tidur, Boris tidak menelepon atau mengirimkan pesan apa pun padanya.setelah ragu sejenak, Zola mencoba menghubungi Boris lagi. Kali ini dia menunggu sampai dia mendengar suara Boris dulu baru bicara.“Lagi di rumah?” tanya Boris.
Zola mengerutkan bibirnya dan tidak berkata apa-apa. Tentu saja, dia tidak akan menanggapi ucapan Boris. Anggap saja Boris hanya mengatakannya dengan sembarangan, hanya untuk membuat suasana hati Zola lebih baik.Boris naik lift dan kembali ke apartemen sambil bicara dengan Zola di telepon. Pria itu memegang banyak kantong berisi makanan di tangannya. Boris menaruhnya di meja, lalu pergi mencuci tangan. Kemudian, dia baru membantu Zola bangun dan membukakan makanan untuknya.Mengenai bagaimana Zola terluka dan kondisi lukanya, Boris sama sekali tidak bertanya. Karena Boris sudah tahu segalanya dengan jelas. Selain Zola orang yang terlibat, mungkin Boris orang kedua yang paling tahu jelas segalanya.Zola mengunyah buah dengan pelan-pelan, sambil sesekali melirik ke arah Boris yang sedang sibuk dengan laptopnya. Setelah berulang kali, akhirnya dia ketahuan oleh Boris.“Mau ngomong apa?” tanya Boris dengan suara pelan. Kemudian, dia meletakkan laptop di pangkuannya ke samping dan menatap
Zola merasa sangat bingung. Dia tidak tahu apakah Mahendra melakukannya dengan sengaja atau tidak. Atau mungkin Zola yang sudah berpikir berlebihan?Mungkin saja Mahendra mengambil ponsel Zola karena kantor dalam kondisi tidak ada orang, sehingga pria itu merasa penasaran. Akan tetapi, pemikiran ini rasanya terlalu dipaksakan. Zola sama sekali tidak bisa meyakinkan dirinya sendiri untuk memercayainya.Namun, Zola menahan keinginan untuk segera mencari tahu. Dia menggertakkan gigi dan mengerutkan keningnya, hingga membuat raut wajahnya tampak serius. Dia tetap diam dan tidak melakukan apa pun.Pada saat ini, Jeni datang sambil membawa makanan. Begitu dia melihat Zola sedang melamun, dia pun bertanya, “Kamu lagi apa?”Zola tersadar dari lamunannya. Dia segera menggelengkan kepala. Jeni juga tidak bertanya lagi. dia meletakkan makan siang di atas meja sofa, lalu berjalan ke samping Zola dan berkata, “Ayo makan siang dulu.”Jeni mengulurkan tangannya untuk membantu Jeni berdiri dengan sang
“Cukup kooperatif. Tapi situasinya agak kacau. Mungkin ada kaitannya dengan jadwal kerja dan istirahatnya, serta pemikiran otaknya sendiri. Tapi itu nggak penting.”Psikiater itu adalah seorang pria berusia tiga puluhan, namanya Suwandi. Meski masih mudah, dia ahli dalam bidang psikologi.Setelah mendengar perkataan Suwandi, Jesse hanya mengangguk, lalu bertanya lagi, “Selain itu, nggak ada hal lain yang aneh, ya?”“Ini dia sebabnya aku minta kamu datang ke sini sebentar.”Suwandi memberi isyarat agar Jesse mengikutinya ke mejanya. Dia menyalakan komputernya dan membuka rekaman CCTV lalu memperlihatkannya kepada Jesse.“Meskipun Bu Tyara selalu datang sesuai jadwal, juga sangat kooperatif dalam mengobrol denganku, dia lebih banyak menghabiskan waktu dengan orang yang bernama Pak Mahendra ini,” kata Suwandi.“Dia juga datang ke sini untuk konsultasi?”Jesse mengenali pria dalam video adalah Mahendra. Namun, dia tidak tahu kalau Tyara dan Mahendra ternyata saling kenal.“Pak Mahendra baw
Jadi setelah pulang kerja, Boris membawa laporan itu pulang. Dia dan Zola kembali ke apartemen hampir bersamaan.Jeni juga ada di sana. Namun, begitu dia melihat Boris pulang, dia segera mencari alasan untuk pergi. Karena dia takut Boris akan bertanya padanya seperti yang Zola tanyakan siang tadi, apakah dia menginginkan seorang pria. Jadi lebih baik dia pergi dulu.Hanya tersisa Zola dan Boris di apartemen. Boris menyerahkan laporan di tangannya kepada Zola dan berkata, “Ini hasil perbandingan batang baja yang kamu suruh Jesse bawa pergi periksa. Pusat pemeriksaan sana bilang kalau pabrik pembuatan batang baja semacam ini adalah pabrik ilegal. Jadi akan sulit untuk menyelidikinya.”Kata-kata Boris bergema di telinga Zola. Zola hanya mendengar kalimat pertama yang Boris ucapkan. Sedangkan sisanya, dia tidak mendengar lagi karena dia fokus melihat hasil laporan pemeriksaan batang baja.Zola menemukan petunjuk dalam bahan tersebut, selain itu juga sangat familiar. Namun, dia tidak menunj
Boris tidak akan berperang tanpa persiapan. Sekalipun ada serangan mendadak, dia masih memiliki banyak cara untuk membuat lawannya mundur. Jadi jawaban Boris membuat Zola merasa bingung. Apakah Boris benar-benar tidak menemukan apa pun?Zola tenggelam dalam pikirannya sendiri. Sebenarnya dia bisa langsung mengungkapkan isi pikirannya kepada Boris, tapi dia sedikit ragu-ragu. Ada perasaan di dalam hatinya yang membuatnya tidak bisa melakukan hal yang benar-benar tidak berperasaan.Zola terdiam lama. Boris mengambil kembali ponselnya dan meletakkannya di samping. Kemudian, Boris meletakkan tangannya di pinggang Zola sambil bertanya, “Masih sakit?”“Sedikit.”Boris mengangkat tangannya dan mencubit pipi Zola. “Kalau sakit istirahat saja di rumah. Nggak usah khawatir. Kesehatanmu lebih penting.”Zola hanya mengerutkan bibir dan mengangguk, tanpa banyak ekspresi di wajahnya. Boris langsung mencubit dagunya lalu membuat Zola melihat ke arahnya. “Ada apa denganmu hari ini? Apa aku lakukan hal
Zola menatap Jeni masih dengan ekspresi yang sama. “Nggak apa-apa. Ingat apa kataku, oke?”Jeni masih penasaran, tapi dia mengangguk dengan cepat. Keduanya masuk ke perusahaan. Zola langsung pergi ke kantor Mahendra. Mahendra juga baru datang. Begitu melihat Zola masuk ke kantornya, Mahendra langsung berkata, “Zola, pinggangmu masih sakit, nggak?”Mahendra menatap Zola dengan penuh perhatian. Dia berharap Zola bisa istirahat dulu kalau masih merasa tidak enak badang.Zola tersenyum tipis dan mengangguk, “Sudah jauh lebih baik.”“Hmm, biar sudah sembuh juga harus tetap diperhatikan. Kamu lagi hamil, harus ekstra hati-hati.”“Oke, aku tahu,” jawab Zola. Kemudian, dia berkata lagi, “Mahendra, aku cari kamu karena ada sedikit urusan.”“Ada apa? Katakan saja.”Mahendra menatap Zola dengan lekat. Zola berkata, “Mobilku lagi diservis. Aku ingin ke rumah sakit untuk pemeriksaan rutin. Jadi aku ingin tanya nanti kamu keluar, nggak? Kalau kamu nggak keluar, boleh pinjam mobilmu, nggak? Awalnya a