Boris tidak akan berperang tanpa persiapan. Sekalipun ada serangan mendadak, dia masih memiliki banyak cara untuk membuat lawannya mundur. Jadi jawaban Boris membuat Zola merasa bingung. Apakah Boris benar-benar tidak menemukan apa pun?Zola tenggelam dalam pikirannya sendiri. Sebenarnya dia bisa langsung mengungkapkan isi pikirannya kepada Boris, tapi dia sedikit ragu-ragu. Ada perasaan di dalam hatinya yang membuatnya tidak bisa melakukan hal yang benar-benar tidak berperasaan.Zola terdiam lama. Boris mengambil kembali ponselnya dan meletakkannya di samping. Kemudian, Boris meletakkan tangannya di pinggang Zola sambil bertanya, “Masih sakit?”“Sedikit.”Boris mengangkat tangannya dan mencubit pipi Zola. “Kalau sakit istirahat saja di rumah. Nggak usah khawatir. Kesehatanmu lebih penting.”Zola hanya mengerutkan bibir dan mengangguk, tanpa banyak ekspresi di wajahnya. Boris langsung mencubit dagunya lalu membuat Zola melihat ke arahnya. “Ada apa denganmu hari ini? Apa aku lakukan hal
Zola menatap Jeni masih dengan ekspresi yang sama. “Nggak apa-apa. Ingat apa kataku, oke?”Jeni masih penasaran, tapi dia mengangguk dengan cepat. Keduanya masuk ke perusahaan. Zola langsung pergi ke kantor Mahendra. Mahendra juga baru datang. Begitu melihat Zola masuk ke kantornya, Mahendra langsung berkata, “Zola, pinggangmu masih sakit, nggak?”Mahendra menatap Zola dengan penuh perhatian. Dia berharap Zola bisa istirahat dulu kalau masih merasa tidak enak badang.Zola tersenyum tipis dan mengangguk, “Sudah jauh lebih baik.”“Hmm, biar sudah sembuh juga harus tetap diperhatikan. Kamu lagi hamil, harus ekstra hati-hati.”“Oke, aku tahu,” jawab Zola. Kemudian, dia berkata lagi, “Mahendra, aku cari kamu karena ada sedikit urusan.”“Ada apa? Katakan saja.”Mahendra menatap Zola dengan lekat. Zola berkata, “Mobilku lagi diservis. Aku ingin ke rumah sakit untuk pemeriksaan rutin. Jadi aku ingin tanya nanti kamu keluar, nggak? Kalau kamu nggak keluar, boleh pinjam mobilmu, nggak? Awalnya a
Setelah merasa mengambil cukup banyak foto topi itu, Zola menutup pintu bagasi. Dia menatap Jeni dan berkata, “Kita pergi lihat Nenek dulu.”Jeni mengangguk tanpa banyak tanya. Kemudian, dia menemani Zola pergi ke bangsal tempat neneknya dirawat dengan menggunakan lift.Setelah masuk ke kamar neneknya, Zola menyingkirkan semua emosi dan keseriusan di wajahnya. Dia tersenyum tipis dan berkata pada sang nenek, “Nenek, coba tebak aku bawa siapa ke sini?”“Boris, ya?” Nenek tanpa sadar teringat dengan Boris.Jeni keluar dari belakang Zola dan pura-pura tidak senang. “Nenek, sekarang Nenek pilih kasih. Di mata dan hati Nenek hanya ada cucu menantu Nenek, nggak ada cucu angkatnya yang ini lagi.”Nenek baru tahu kalau Jeni datang bersama Zola. Dia pun langsung tersenyum lebar, lalu berkata dengan hangat kepada Jeni, “Sini, duduk di sini. Aku pikir kamu mungkin lagi sibuk. Habis itu, aku kira kamu sudah kembali ke Kota Jantera. Dasar kamu ini. Jelas-jelas lagi di Kota Binru, kenapa nggak perna
Jeni sedikit bingung. Dia mengangkat tangan dan memberi isyarat agar Zola berhenti bicara dulu. “Tunggu sebentar, kamu tunggu aku cerna dulu.”Beberapa detik kemudian, Jeni menatap Zola dan berkata, “Kamu curiga kalau Mahendra adalah orang yang bawa pergi istri Budi? Terus kamu curiga lagi kalau dia dalang atau ada campur tangan di balik kejadian gedung runtuh?”Zola tidak bicara, Jeni menganggapnya sebagai jawaban iya. Jeni spontan mengerutkan kening dan berpikir berulang kali. Kemudian, dia melihat foto dan video di ponsel Zola lagi.“Kamu tahu dari mana asal topi ini?” tanya Jeni.“Aku pernah tanya. Aku nggak sengaja lihat topi itu setelah kejadian yang menimpa Leonarto Group. Jadi aku pernah tanya padanya. Dia bilang Audy yang belikan untuknya.”Saat itu Zola tidak terlalu memikirkannya. Karena dia merasa respon yang Mahendra berikan sangat masuk akal. Jadi dia tidak pernah mencurigai topi itu. Namun, kejadian yang terjadi berturut-turut membuat Zola benar-benar tidak bisa berhenti
“Nggak tahu. Kalau nggak ada hal di luar dugaan, aku rasa bisa masuk final.”Ada sepuluh kuota peserta di babak final. Zola merasa dia memiliki peluang untuk masuk ke babak final.“Benar-benar nggak mau suap aku?” tanya Boris lagi.Mulai lagi, Boris mulai lagi. zola mendengus sinis. “Aku lagi hamil. Kamu tega suruh aku suap kamu?”“Suap yang aku maksud paling suruh kamu lebih baik sama aku. Kamu kira maksud aku apa?”Boris tertawa pelan. Zola menyipitkan matanya, tidak tahu harus berkata apa lagi. Apakah Boris benar-benar mengira Zola tidak tahu apa yang ada di pikirannya? Huh.Zola tidak bicara, Boris pun berkata, “Nanti malam makan bareng?”“Makan di luar?”“Iya, Tedy ajak kita berdua makan bareng.”“Kenapa dia ajak kita makan bareng?” Zola sedikit kaget. Lebih tepatnya, kenapa Tedy mengajaknya juga?“Mungkin dia ingin baik-baik di depanmu,” kata Boris.Beberapa patah kata itu mengandung banyak arti. Zola langsung memahaminya. Dia memikirkannya dengan serius, lalu berkata, “Nggak usa
Zola masih menatap Mahendra. Dia mengangguk pelan dan menjawab, “Hmm, iya.”“Bukannya CCTV di lokasi dihancurkan? Polisi umumkan hasil penyelidikan. Tapi ada banyak orang yang berikan saran. Aku lihat polisi selidiki satu per satu tapi nggak temukan apa pun.”Boleh dibilang hampir tidak ada masalah dalam jawaban Mahendra. Namun, justru karena tidak ada masalah. Itulah masalah paling besar.Zola tidak beranggapan dalam keadaan normal seseorang masih akan menjawab pertanyaan dari orang lain setelah menanyakan pertanyaan kepada orang itu. Jadi, apakah Mahendra mencoba menyembunyikan sesuatu?Hati Zola sedang kacau. Ada perasaan yang terlukiskan dalam hatinya, membuatnya sangat tidak nyaman.Zola mengerutkan bibir dan berkata, “Polisi jelas akan umumkan apa yang bisa diumumkan. Mereka nggak akan umumkan sesuatu yang nggak bisa diumumkan.”Jawaban Zola terkesan samar-samar, seperti sedang menutupi sesuatu, tapi itu justru membuat orang semakin penasaran dan mulai berspekulasi.Namun, Mahend
“Kenapa kamu nggak beranggapan kalau mereka ingin tahan kamu di Kota Binru?” tanya Zola.“Mereka baru berkembang di Kota Binru. Dengan kewaspadaan mereka terhadapku, kamu kira mereka akan biarkan aku menetap dan bangun kerajaanku di sini?”Mahendra tertawa sinis, sarkasme di sorot matanya sangat kuat. Zola spontan mengerutkan kening.“Jangan pesimis begitu, Mahendra. Sekarang belum sampai tahap itu. Tunggu sampai benar-benar harus buat pilihan baru buat rencana.”“Zola, kalau mereka benar-benar suruh aku kembali ke Kota Jantera, apakah kamu akan menyalahkan aku?” tanya Mahendra sambil menatap Zola dengan serius.“Nggak akan. Aku hanya berharap kamu pilih apa yang kamu suka.” Meskipun Mahendra dibesarkan oleh keluarga Cahyono, Mahendra telah melakukan banyak hal untuk keluarga itu. Tentu saja, utang budi itu tidak akan terbayar seumur hidup. Namun, Mahendra juga tidak perlu sampai memaksa diri dalam segala hal, bukan?Terlebih lagi, membuat pilihan yang Mahendra sendiri sukai bukan ber
Mahendra tidak mengakuinya secara langsung, tapi hanya berkata, “Hanya teman.”Apakah teman bisa membuat Mahendra sampai harus mengganti pakaian untuk pergi menemuinya? Zola tidak berpikir demikian.Namun, Zola tidak banyak bertanya agar tidak membuat Mahendra curiga. Setelah pulang karena, karena tahu mobil Zola sedang diservis, Mahendra berinisiatif berkata, “Aku antar kamu dan Jeni pulang, ya.”Mahendra tidak bertanya, tapi membuat pernyataan. Zola juga tidak menolak. “Oke, maaf buat kamu harus antar kami dulu.”“Kamu ini ngomong apa, sih? Nggak ingat apa yang pernah aku bilang ke kamu?”Mahendra sudah mengatakannya berkali-kali, Zola tidak perlu mengucapkan terima kasih padanya.Zola tersenyum, “Oke, aku ingat.”Zola dan Jeni duduk di kursi belakang. Sementara Mahendra mengemudikan mobil di depan. Sepanjang jalan Jeni tetap diam saja. Namun, suasana di dalam mobil tidak boleh terlalu sunyi. Kalau tidak rasanya akan sedikit canggung. Oleh karena itu, Zola hanya bisa terus mencari to