Setelah merasa mengambil cukup banyak foto topi itu, Zola menutup pintu bagasi. Dia menatap Jeni dan berkata, “Kita pergi lihat Nenek dulu.”Jeni mengangguk tanpa banyak tanya. Kemudian, dia menemani Zola pergi ke bangsal tempat neneknya dirawat dengan menggunakan lift.Setelah masuk ke kamar neneknya, Zola menyingkirkan semua emosi dan keseriusan di wajahnya. Dia tersenyum tipis dan berkata pada sang nenek, “Nenek, coba tebak aku bawa siapa ke sini?”“Boris, ya?” Nenek tanpa sadar teringat dengan Boris.Jeni keluar dari belakang Zola dan pura-pura tidak senang. “Nenek, sekarang Nenek pilih kasih. Di mata dan hati Nenek hanya ada cucu menantu Nenek, nggak ada cucu angkatnya yang ini lagi.”Nenek baru tahu kalau Jeni datang bersama Zola. Dia pun langsung tersenyum lebar, lalu berkata dengan hangat kepada Jeni, “Sini, duduk di sini. Aku pikir kamu mungkin lagi sibuk. Habis itu, aku kira kamu sudah kembali ke Kota Jantera. Dasar kamu ini. Jelas-jelas lagi di Kota Binru, kenapa nggak perna
Jeni sedikit bingung. Dia mengangkat tangan dan memberi isyarat agar Zola berhenti bicara dulu. “Tunggu sebentar, kamu tunggu aku cerna dulu.”Beberapa detik kemudian, Jeni menatap Zola dan berkata, “Kamu curiga kalau Mahendra adalah orang yang bawa pergi istri Budi? Terus kamu curiga lagi kalau dia dalang atau ada campur tangan di balik kejadian gedung runtuh?”Zola tidak bicara, Jeni menganggapnya sebagai jawaban iya. Jeni spontan mengerutkan kening dan berpikir berulang kali. Kemudian, dia melihat foto dan video di ponsel Zola lagi.“Kamu tahu dari mana asal topi ini?” tanya Jeni.“Aku pernah tanya. Aku nggak sengaja lihat topi itu setelah kejadian yang menimpa Leonarto Group. Jadi aku pernah tanya padanya. Dia bilang Audy yang belikan untuknya.”Saat itu Zola tidak terlalu memikirkannya. Karena dia merasa respon yang Mahendra berikan sangat masuk akal. Jadi dia tidak pernah mencurigai topi itu. Namun, kejadian yang terjadi berturut-turut membuat Zola benar-benar tidak bisa berhenti
“Nggak tahu. Kalau nggak ada hal di luar dugaan, aku rasa bisa masuk final.”Ada sepuluh kuota peserta di babak final. Zola merasa dia memiliki peluang untuk masuk ke babak final.“Benar-benar nggak mau suap aku?” tanya Boris lagi.Mulai lagi, Boris mulai lagi. zola mendengus sinis. “Aku lagi hamil. Kamu tega suruh aku suap kamu?”“Suap yang aku maksud paling suruh kamu lebih baik sama aku. Kamu kira maksud aku apa?”Boris tertawa pelan. Zola menyipitkan matanya, tidak tahu harus berkata apa lagi. Apakah Boris benar-benar mengira Zola tidak tahu apa yang ada di pikirannya? Huh.Zola tidak bicara, Boris pun berkata, “Nanti malam makan bareng?”“Makan di luar?”“Iya, Tedy ajak kita berdua makan bareng.”“Kenapa dia ajak kita makan bareng?” Zola sedikit kaget. Lebih tepatnya, kenapa Tedy mengajaknya juga?“Mungkin dia ingin baik-baik di depanmu,” kata Boris.Beberapa patah kata itu mengandung banyak arti. Zola langsung memahaminya. Dia memikirkannya dengan serius, lalu berkata, “Nggak usa
Zola masih menatap Mahendra. Dia mengangguk pelan dan menjawab, “Hmm, iya.”“Bukannya CCTV di lokasi dihancurkan? Polisi umumkan hasil penyelidikan. Tapi ada banyak orang yang berikan saran. Aku lihat polisi selidiki satu per satu tapi nggak temukan apa pun.”Boleh dibilang hampir tidak ada masalah dalam jawaban Mahendra. Namun, justru karena tidak ada masalah. Itulah masalah paling besar.Zola tidak beranggapan dalam keadaan normal seseorang masih akan menjawab pertanyaan dari orang lain setelah menanyakan pertanyaan kepada orang itu. Jadi, apakah Mahendra mencoba menyembunyikan sesuatu?Hati Zola sedang kacau. Ada perasaan yang terlukiskan dalam hatinya, membuatnya sangat tidak nyaman.Zola mengerutkan bibir dan berkata, “Polisi jelas akan umumkan apa yang bisa diumumkan. Mereka nggak akan umumkan sesuatu yang nggak bisa diumumkan.”Jawaban Zola terkesan samar-samar, seperti sedang menutupi sesuatu, tapi itu justru membuat orang semakin penasaran dan mulai berspekulasi.Namun, Mahend
“Kenapa kamu nggak beranggapan kalau mereka ingin tahan kamu di Kota Binru?” tanya Zola.“Mereka baru berkembang di Kota Binru. Dengan kewaspadaan mereka terhadapku, kamu kira mereka akan biarkan aku menetap dan bangun kerajaanku di sini?”Mahendra tertawa sinis, sarkasme di sorot matanya sangat kuat. Zola spontan mengerutkan kening.“Jangan pesimis begitu, Mahendra. Sekarang belum sampai tahap itu. Tunggu sampai benar-benar harus buat pilihan baru buat rencana.”“Zola, kalau mereka benar-benar suruh aku kembali ke Kota Jantera, apakah kamu akan menyalahkan aku?” tanya Mahendra sambil menatap Zola dengan serius.“Nggak akan. Aku hanya berharap kamu pilih apa yang kamu suka.” Meskipun Mahendra dibesarkan oleh keluarga Cahyono, Mahendra telah melakukan banyak hal untuk keluarga itu. Tentu saja, utang budi itu tidak akan terbayar seumur hidup. Namun, Mahendra juga tidak perlu sampai memaksa diri dalam segala hal, bukan?Terlebih lagi, membuat pilihan yang Mahendra sendiri sukai bukan ber
Mahendra tidak mengakuinya secara langsung, tapi hanya berkata, “Hanya teman.”Apakah teman bisa membuat Mahendra sampai harus mengganti pakaian untuk pergi menemuinya? Zola tidak berpikir demikian.Namun, Zola tidak banyak bertanya agar tidak membuat Mahendra curiga. Setelah pulang karena, karena tahu mobil Zola sedang diservis, Mahendra berinisiatif berkata, “Aku antar kamu dan Jeni pulang, ya.”Mahendra tidak bertanya, tapi membuat pernyataan. Zola juga tidak menolak. “Oke, maaf buat kamu harus antar kami dulu.”“Kamu ini ngomong apa, sih? Nggak ingat apa yang pernah aku bilang ke kamu?”Mahendra sudah mengatakannya berkali-kali, Zola tidak perlu mengucapkan terima kasih padanya.Zola tersenyum, “Oke, aku ingat.”Zola dan Jeni duduk di kursi belakang. Sementara Mahendra mengemudikan mobil di depan. Sepanjang jalan Jeni tetap diam saja. Namun, suasana di dalam mobil tidak boleh terlalu sunyi. Kalau tidak rasanya akan sedikit canggung. Oleh karena itu, Zola hanya bisa terus mencari to
“Hati-hati di jalan, ya,” kata Zola kepada Mahendra.“Oke.”“Hmm, bye.”“Bye.”Keduanya melambaikan tangan, lalu Zola baru keluar dari mobil. Zola tidak langsung masuk ke apartemen. Dia diam di sana melihat Mahendra pergi, sampai mobil Mahendra menghilang di ujung jalan, dia dan Jeni baru masuk ke apartemen.“Tadi kamu kenapa, sih?”“Aku nggak suka saja sama dia.”“Nggak bisa ditahan saja?” tanya Zola dengan suara pelan. Sebenarnya Zola sangat tidak berdaya. “Sepertinya kamu nggak ada masalah dengan dia, kan? Kenapa kamu ketus banget sama dia?”Sebelumnya Jeni telah mengatakan kalau dia hanya tidak terlalu menyukai Mahendra. Meskipun dia tidak banyak kontak dengan Mahendra, dia tetap tidak menyukai pria itu.Jeni menghela napas lalu berkata, “Dulu aku merasa orangnya munafik. Tapi sekarang aku merasa dia sangat jahat. Aku juga ingin kendalikan diri, nggak mau rusak rencanamu. Tapi aku nggak bisa tahan. Selain itu, setelah aku pikir-pikir, kalau perubahan sikapku padanya terlalu jelas,
Zola tidak tahu mengapa Boris begitu pandai berimajinasi. Dia sampai ingin tertawa karena saking marahnya ketika mendengar kata-kata Boris.“Boris, kamu tahu apa yang kamu bicarakan? Aku hanya ikut mobil dia pulang. Lagi pula aku nggak sendirian. Ada Jeni juga!”Boris menyipitkan mata dan tidak bicara, tapi sangat kentara, rasa tidak senangnya tidak berkurang sama sekali.“Sebenarnya apa yang buat kamu marah?” tanya Zola.Zola merasa tidak berdaya, tapi ada beberapa hal yang tidak bisa dia katakan kepada Boris. Setidaknya untuk saat ini. Jadi setelah Boris tak kunjung menjawab, dia pun berhenti bicara.Zola berdiri dan hendak kembali ke kamar. Tiba-tiba Boris berkata, “Sekarang sudah nggak sabar hadapi aku lagi?”Zola, “???”Zola menatap ke arah pria yang duduk di sofa sambil terpelongo. Mengapa dia merasa pria itu sedang merajuk?Zola mengerutkan kening. Ekspresi lembut di wajahnya berubah menjadi dingin. “Boris, kamu nggak merasa seharusnya aku yang tanya seperti itu padamu? Bukannya