“Kenal. Dia sekarang bisa dapat kerja di Kota Jantera juga berkat nenekmu. Nenekmu yang minta tolong orang carikan. Kalau dipikir-pikir, aku juga harus berterima kasih padamu. Kalau kamu nggak suruh aku jaga nenekmu, aku juga nggak akan kenal nenekmu.”Ucapan dan ekspresi si bibi terlihat sangat natural, tidak ada yang aneh atau dibuat-buat. Zola ikut tersenyum ketika melihat senyuman di wajah si bibi, lalu dia bertanya dengan suara pelan, “Jadi sebelum Bibi jaga Nenek, Bibi nggak kenal sama Nenek, ya?”“Tentu saja nggak kenal. Zola, kan kamu yang cari Bibi. Masa kamu lupa?” Senyuman di wajah si bibi semakin lebar.Zola tertawa pelan dan tidak bertanya lagi. Sebenarnya Zola tidak curiga terhadap neneknya. Dia hanya ingin memastikan lagi. Karena kejadian gedung runtuh, Zola dan Boris tidak melanjutkan masalah tersebut. Kalau bukan karena kecelakaan itu, Zola tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia juga tidak tahu apa yang akan Boris lakukan untuk Tyara.Setelah meminta si bibi
Boris sengaja menekankan kata “menjenguk”. Selena spontan mengerutkan kening. “Aku nggak tahu. Hari ini? Kapan?”Selena tampak terkejut. Karena dia tahu betul seperti apa hubungan ibu dan neneknya. Jadi dia tahu kalau ibunya pasti bukan benar-benar niat pergi menjenguk. Ditambah lagi, nada bicara Boris yang dingin serta ada aura tidak senang dari pria itu, yang membuat Selena semakin yakin.Jadi tanpa menunggu Boris menjawab, dia segera bertanya, “Mamaku buat Nenek kesal?”“Heh, kamu rasa seorang nenek tua yang nggak punya hak untuk bicara di keluargamu, bisa dibuat kesal sama orang lain?” tanya Boris dengan sinis.Selena langsung mengerutkan bibirnya dan diam. Boris berkata lagi, “Nggak masalah gimana keluarga kalian perlakukan Zola dan Nenek. Baik atau buruk, toh sudah dari dulu. Aku rasa mereka juga sudah lama terbiasa. Dengan catatan, kalian boleh saja cuek dengan mereka, tapi jangan semakin menjadi-jadi.”“Kak Boris ... Pak Boris, aku nggak mengerti maksudmu. Apa yang mamaku lakuk
Saat ini Selena baru sepenuhnya memahami maksud Boris. Jika Boris benar-benar hanya ingin memberi peringatan kepada Lydia, Boris cukup menelepon dan bicara langsung dengannya. Tidak perlu repot-repot minta Selena datang ke perusahaannya, lalu menyuruh Selena menelepon Lydia langsung di depannya. Ternyata Boris ingin Lydia mengakui perbuatannya terhadap Zola.Selena mengerutkan kening. Tiba-tiba dia menyadari kalau pria yang sejak awal sudah ditakdirkan tidak akan pernah menjadi miliknya itu ternyata bisa melakukan hal seperti ini untuk Zola. Bisa dibayangkan betapa pentingnya Zola bagi Boris. Namun, mengapa Boris harus berputar-putar hanya untuk memberikan keadilan kepada Zola?Lydia juga sama terkejutnya dengan Selena. Terutama setelah dia mendengar suara Boris. Dia baru menyadari kalau Selena sedang bersama Boris.“Selena, kamu lagi di mana?” tanya Lydia.Selena mengatupkan bibirnya. Sorot matanya redup, seperti orang yang putus asa. Setelah terdiam sejenak, dia baru berkata dengan s
“Dia bilang sama kamu?” tanya Zola. Zola sungguh tidak menyangka Lydia akan memberitahu Selena.Selena tidak menjawab pertanyaan Zola. Dia hanya berkata, “Mama yang salah. Kamu lagi hamil. Dia seharusnya nggak dorong kamu, juga nggak ganggu Nenek yang lagi sakit. Dia … dia mungkin jadi impulsif karena cemas dengan kondisi keluarga Leonarto. Bisa nggak kamu beri dia satu kesempatan lagi dan maafkan dia kali ini?”Permohonan Selena membuat Zola spontan mengernitkan kening. Terlepas dari Zola memaafkan atau tidak, Zola tidak melakukan apa pun. Dia juga tidak menyuruh Lydia melakukan apa pun.Setelah berpikir sejenak, Zola segera memahami situasi ini. Boris seharusnya sudah tahu. Benar juga, ada Guntur di rumah sakit. Guntur pasti akan memberitahu Boris walau cedera yang Zola alami tidak membahayakan anak. Bagaimanapun juga, cedera di saat hamil bukanlah masalah sepele.Selama Boris cari informasi sedikit, dia pasti bisa mengetahui semuanya. Jadi, Boris cari masalah dengan Lydia? Kalau tid
Bagaimana mungkin Zola masih mau menunggu Boris? Dia langsung cepat-cepat menutup telepon. Tentu saja, Jeni tahu kalau Zola sedang malu. Jeni mendecakkan lidah dan berkata, “Kalau sering jalan di tepi sungai, cepat atau lambat sepatumu bakal basah juga.”Zola tidak bicara. Dia hanya ingin diam dan pura-pura kejadian barusan tidak pernah terjadi. Boris juga tidak segera menelepon kembali. Jadi Zola yakin kalau pria itu benar-benar sedang kesal. Akan tetapi, lebih baik Boris tidak telepon. Karena sekarang Zola masih merasa malu, tidak tahu harus berkata apa nanti.Jeni menemani Zola sebentar. Zola sendiri sudah merasa lelah. Jadi dia pun ketiduran di sofa. Setelah Zola tidur, Jeni pergi dan kembali ke perusahaan. Zola tidur sampai petang baru bangun. Selama dia tidur, Boris tidak menelepon atau mengirimkan pesan apa pun padanya.setelah ragu sejenak, Zola mencoba menghubungi Boris lagi. Kali ini dia menunggu sampai dia mendengar suara Boris dulu baru bicara.“Lagi di rumah?” tanya Boris.
Zola mengerutkan bibirnya dan tidak berkata apa-apa. Tentu saja, dia tidak akan menanggapi ucapan Boris. Anggap saja Boris hanya mengatakannya dengan sembarangan, hanya untuk membuat suasana hati Zola lebih baik.Boris naik lift dan kembali ke apartemen sambil bicara dengan Zola di telepon. Pria itu memegang banyak kantong berisi makanan di tangannya. Boris menaruhnya di meja, lalu pergi mencuci tangan. Kemudian, dia baru membantu Zola bangun dan membukakan makanan untuknya.Mengenai bagaimana Zola terluka dan kondisi lukanya, Boris sama sekali tidak bertanya. Karena Boris sudah tahu segalanya dengan jelas. Selain Zola orang yang terlibat, mungkin Boris orang kedua yang paling tahu jelas segalanya.Zola mengunyah buah dengan pelan-pelan, sambil sesekali melirik ke arah Boris yang sedang sibuk dengan laptopnya. Setelah berulang kali, akhirnya dia ketahuan oleh Boris.“Mau ngomong apa?” tanya Boris dengan suara pelan. Kemudian, dia meletakkan laptop di pangkuannya ke samping dan menatap
Zola merasa sangat bingung. Dia tidak tahu apakah Mahendra melakukannya dengan sengaja atau tidak. Atau mungkin Zola yang sudah berpikir berlebihan?Mungkin saja Mahendra mengambil ponsel Zola karena kantor dalam kondisi tidak ada orang, sehingga pria itu merasa penasaran. Akan tetapi, pemikiran ini rasanya terlalu dipaksakan. Zola sama sekali tidak bisa meyakinkan dirinya sendiri untuk memercayainya.Namun, Zola menahan keinginan untuk segera mencari tahu. Dia menggertakkan gigi dan mengerutkan keningnya, hingga membuat raut wajahnya tampak serius. Dia tetap diam dan tidak melakukan apa pun.Pada saat ini, Jeni datang sambil membawa makanan. Begitu dia melihat Zola sedang melamun, dia pun bertanya, “Kamu lagi apa?”Zola tersadar dari lamunannya. Dia segera menggelengkan kepala. Jeni juga tidak bertanya lagi. dia meletakkan makan siang di atas meja sofa, lalu berjalan ke samping Zola dan berkata, “Ayo makan siang dulu.”Jeni mengulurkan tangannya untuk membantu Jeni berdiri dengan sang
“Cukup kooperatif. Tapi situasinya agak kacau. Mungkin ada kaitannya dengan jadwal kerja dan istirahatnya, serta pemikiran otaknya sendiri. Tapi itu nggak penting.”Psikiater itu adalah seorang pria berusia tiga puluhan, namanya Suwandi. Meski masih mudah, dia ahli dalam bidang psikologi.Setelah mendengar perkataan Suwandi, Jesse hanya mengangguk, lalu bertanya lagi, “Selain itu, nggak ada hal lain yang aneh, ya?”“Ini dia sebabnya aku minta kamu datang ke sini sebentar.”Suwandi memberi isyarat agar Jesse mengikutinya ke mejanya. Dia menyalakan komputernya dan membuka rekaman CCTV lalu memperlihatkannya kepada Jesse.“Meskipun Bu Tyara selalu datang sesuai jadwal, juga sangat kooperatif dalam mengobrol denganku, dia lebih banyak menghabiskan waktu dengan orang yang bernama Pak Mahendra ini,” kata Suwandi.“Dia juga datang ke sini untuk konsultasi?”Jesse mengenali pria dalam video adalah Mahendra. Namun, dia tidak tahu kalau Tyara dan Mahendra ternyata saling kenal.“Pak Mahendra baw