Zola tidak mengatakan apa pun, juga tidak menanggapi perkataan Boris. Meskipun dia tahu apa yang Boris katakan memang masuk akal, dia tetap saja masih merasa bersalah karena tidak menjaga Jeni dengan baik.Karena tidak tidur dari subuh, satu jam kemudian Zola tidak tahan dan akhirnya tertidur. Boris membaringkannya di sofa, lalu menutupi tubuh Zola dengan jaketnya. Dia mengatur suhu AC agar tidak terlalu dingin. Setelah itu, dia keluar dari bangsal.Boris mengeluarkan ponselnya. Setelah ragu-ragu sejenak, pada akhirnya dia memutuskan untuk menelepon Tedy. Saat ini, Tedy masih belum bangun. Jadi dia sedikit terkejut ketika menerima telepon dari Boris.“Pagi amat, Ris. Ada apa?”“Kamu lagi sendirian?” tanya Boris.“Kamu ngomong apa, sih? Tentu saja aku sendirian. Memangnya kamu mau temani aku?” tukas Tedy sambil tertawa pelan.“Jeni masuk rumah sakit. Baru saja bilas lambung. Masih belum sadar,” kata Boris dengan acuh tak acuh.“Dia kenapa?”“Dia kenapa aku nggak tahu. Aku hanya tahu ten
“Nenek nggak apa-apa. Nenek suruh kamu ke sini hanya karena ingin ngobrol sama kamu. Tadi pagi Dokter Guntur baru datang. Untung ada Boris. Kalau nggak ada Boris, kita nggak mungkin kenal dokter ahli seperti Dokter Guntur,” kata sang nenek dengan tulus.Tentu saja Zola mengerti maksud di balik kata-kata neneknya. Dia pun menganggukkan kepala tanda mengerti.“Zola, akhir-akhir ini kamu ada kontak dengan orang rumah?”Orang rumah yang dimaksud nenek Zola tentunya mengacu kepada keluarga Leonarto. Namun, Zola tercengang sejenak, baru menangkap maksud neneknya.Zola menatap neneknya dan bertanya, “Nenek mau ngomong soal apa?”Nenek Zola tersenyum lembut. Hati nenek Zola sangat baik, dia juga orang yang sangat bijaksana. “Sebentar lagi Nenek akan menjalani operasi. Nenek ingin bertemu mama kamu dulu sebelum operasi. Sekarang aku nggak leluasa pergi ke rumah keluarga Leonarto. Coba kamu tanya dia, bisa nggak dia datang ke rumah sakit sebentar.”Zola menatap neneknya dengan wajah tanpa ekspre
“Kalau aku bilang nggak bisa ya nggak bisa. Zola, dia baik padamu tapi nggak padaku. Kamu mau tanggung jawab itu urusanmu sendiri, nggak ada hubungannya denganku. Kalau kamu nggak ada urusan lain, kamu pergi saja.”Usai berkata, Lydia berdiri dan hendak naik ke lantai atas. Tutur kata dan perbuatannya membuat Zola merasa semakin kesal dan marah. Zola berdiri dan menatap Lydia.“Kalau kamu nggak pergi ke rumah sakit jenguk nenek, aku akan batalkan kerja sama Leonarto Group sekarang juga,” ancam Zola. “Kalau kamu nggak percaya, kamu tanya saja pada Selena. Sekarang Leonarto Group sedang kerja sama denganku. Selama aku menolak, Leonarto Group nggak akan bisa temukan mitra kerja sama lagi. Proyek akan dibatalkan, maka jalan yang akan ditempuh Leonarto Group akan menjadi semakin sulit.”Kata-kata Zola membuat langkah kaki Lydia seketika berhenti. Dia menoleh dan melihat Zola dengan tatapan dingin. Wajahnya penuh dengan amarah. “Apa maksudmu? Kamu tahu kamu lagi ngomong apa? Demi orang luar,
Jeni juga spontan melepaskan Zola, tapi tidak ada niat untuk menjauh. Sebaliknya, dia bertanya, “Pak Boris, aku masih sakit. Aku peluk sebentar istrimu, kamu nggak akan keberatan, kan?”“Aku rasa aku akan keberatan,” jawab Boris dengan terus terang.Jeni mengangkat alisnya, lalu memiringkan kepalanya dan bersandar di bahu Zola. “Pak Boris, aku sudah bantu kamu yakinkan Sianta Group untuk kerja sama denganmu. Habis manis sepah dibuang.”“Hmm, kerja sama ya kerja sama. Suatu saat kalau kamu butuh bantuan dalam pekerjaan, katakan saja padaku.”Boris memberitahu Jeni kalau Jeni tidak bisa memeluk istrinya hanya karena soal kerja sama. Zola yang menjadi objek pembicaraan hanya menundukkan kepala tanpa mengucapkan sepatah kata pun.Jeni justru sengaja berkata, “Lihat, La. Pak Boris galak banget sama aku!”“Hmm, dia juga galak sama aku. Jadi jangan buat dia marah, oke?” kata Zola.“Cemen.”Zola tertawa acuh tak acuh. Boris pun memotong percakapan mereka dengan bertanya, “Kabari aku kapan Pak
“Dia ada di Kota Jantera. Saya sudah atur orang untuk awasi dia terus.”“Kenapa nggak langsung bawa ke sini?” tanya Boris sambil mengerutkan kening. Wajahnya menjadi muram.“Pak Boris, kami menemukan hubungan Gilang yang lain selama penyelidikan,” jawab Jesse.“Hubungan apa?” tanya Boris.“Gilang mungkin ada hubungannya dengan Bu Zola. Istri Gilang yang selama ini merawat nenek Bu Zola. Bibi yang sekarang jaga nenek Bu Zola. Alasan Gilang datang ke Kota Binru juga karena untuk menemui istrinya.”Begitu Jesse selesai bicara, ekspresi Boris menjadi sangat muram. Dia mengerutkan kening tanpa mengucapkan sepatah kata pun.Jesse mengambil risiko dan lanjut berkata, “Pak Boris, jika masalah ini benar-benar ada hubungan dengan Gilang, apakah Bu Zola juga tahu?”Boris tidak menjawab. Dia hanya menatap Jesse dengan dingin, sebagai ungkapan rasa tidak senangnya. Boris mengibaskan tangannya sebagai isyarat menyuruh Jesse pergi. Kemudian, dia duduk sendirian di kantor dan menyalakan sebatang rokok
“Nggak kenal.” Nenek menggelengkan kepalanya tanpa ragu-ragu.Boris langsung menjelaskan, “Bukan masalah apa-apa. Aku hanya pernah dengar Zola sebut nama itu saat lagi telepon. Aku khawatir dia ada masalah tapi nggak mau beritahu aku. Makanya aku coba tanya sama Nenek. Nenek juga tahu, kan. Kalau aku paksa dia, dia akan marah padaku lagi. Jangan beritahu dia kalau aku datang tanya soal ini sama Nenek, ya. Kalau nggak, dia ngambek lagi sama aku.”Boris mengatakannya dengan sungguh-sungguh. Tentu saja, nenek Zola sama sekali tidak meragukannya. Sebaliknya, dia malah berkata, “Dia nggak punya banyak teman di Kota Jantera. Teman mainnya hanya itu-itu saja. Nggak ada tuh temannya yang bernama Gilang. Kalau kamu khawatirkan dia, gimana kalau aku coba tanya ke dia saat dia datang ke sini nanti?”“Nggak usah tanya, Nek. Aku suruh orang selidiki. Nenek anggap saja nggak tahu apa-apa.”“Ya sudah,” jawab sang nenek.Pada akhirnya, Boris tidak mendapatkan informasi apa pun dari nenek Zola. Ekspres
Hubungan mereka tampak hanya sekedar hubungan rekan kerja dan kerja sama, sesederhana itu. Tentu saja, Mahendra tidak tahu apa yang dipikirkan Zola. Dia menatap Zola, seperti ingin mengatakan sesuatu tapi merasa ragu. Setelah ragu sejenak, dia pun berkata, “Zola, ada yang ingin aku bicarakan denganmu.”Zola merasa terkejut. “Ada apa?”“Kamu mungkin nggak senang kalau aku katakan hal ini. Tapi aku nggak ingin sembunyikan dari kamu. Jadi setelah berpikir berulang kali, aku rasa lebih baik aku beritahu kamu.”Raut wajah Mahendra menjadi serius. Zola spontan mengerutkan kening. “Katakan saja,” ujar Zola.“Bibi yang merawat nenekmu itu kamu cari dari Kota Jantera, kan?”Zola mengangguk. “Kenapa kamu tiba-tiba tanya hal ini?”“Suami bibi itu bernama Gilang. Akhir-akhir ini, orangnya Boris sedang ikuti dan selidiki dia.”“Orangnya Boris selidiki dia? Kenapa kamu bisa tahu?” tanya Zola yang kini benar-benar terkejut.Mahendra justru berkata dengan sangat tenang, “Si Gilang ini teman lama sopir
Boris tidak segera membalas. Zola terus merasa gelisah. Semakin dia memikirkannya, semakin dia tidak bisa tenang. Akhirnya dia merapikan dokumennya dan pergi.Saat Zola meninggalkan kantor, dia harus melewati kantor Mahendra baru bisa meninggalkan perusahaan. Jadi Mahendra yang duduk di kursinya bisa melihat dengan jelas Zola keluar. Setengah menit kemudian, Mahendra memanggil sekretarisnya dan bertanya, “Bu Zola pergi?”“Iya, Pak. Bu Zola bilang dia ada urusan.”“Oh, ya sudah.”Mahendra mengibaskan tangan dan menyuruh sekretarisnya keluar. Kemudian, dia menutup pintu kantornya.Ponsel di tangan Mahendra masih tersambung dalam panggilan. Dia berkata dengan tenang, “Tunggu Boris taruh seluruh perhatiannya untuk jelaskan kepada Zola, proyek juga dapat dimulai.”“Kamu benar-benar sudah atur dengan baik? Yakin Boris nggak akan curiga sama kita?” Perempuan yang berada di ujung telepon lainnya bertanya dengan gusar.“Tentu saja. Sekarang kamu coba sering-sering hubungi dia. Sering-sering ung