Share

Bab 2

Sorot mata Boris kian tajam dan gelap. Keduanya saling menatap dalam diam. Sesaat kemudian, dia baru berkata dengan suara berat, “Aku nggak suka candaan seperti ini.” Baginya, jatuh cinta pada Zola hanya akan menjadi sebuah candaan.

“Maaf,” ucap Zola dengan raut wajah membeku.

Pria itu menatap perempuan yang selalu penurut, lembut, bijaksana dan perhatian. Entah mengapa, tiba-tiba ada perasaan aneh di dalam hatinya. Tepat saat ini, ponsel Zola tiba-tiba berdering.

Zola segera mengambil ponselnya. Namun, kepanikan muncul di matanya ketika melihat nama di layar ponselnya. Meski rasa panik itu menghilang dengan cepat, Boris tetap bisa menangkapnya.

Melihat Zola yang tampak ragu-ragu, Boris pun bertanya, “Nggak angkat?”

Zola mengangguk, lalu mengangkat telepon, “Halo.”

“Zola, hasil tesnya sudah keluar. Kamu baik-baik saja.” Orang di ujung telepon lainnya terdiam sejenak, lalu berkata, “Tapi kamu hamil, sudah lebih dari dua bulan. Perkembangan janinnya sangat bagus. Kamu ... mau pertahankan?”

Kata-kata yang diucapkan dengan suara jelas itu menggema di telinga Zola. Perempuan itu diam termangu, wajahnya tiba-tiba menjadi pucat. Tubuhnya membeku di tempat dia berdiri.

Ternyata dia hamil. Zola tidak menjawab. Matanya spontan menatap pria yang berdiri di depannya. Dia tidak yakin apakah pria itu bisa mendengar ucapan orang di dalam telepon dari jarak sedekat itu.

Boris yang melihat reaksi Zola pun bertanya dengan cemas, “Ada apa?”

Orang di ujung telepon lainnya juga mendengar suara Boris dan spontan berkata dengan kaget, “Kamu lagi sama Boris?”

“Iya, aku mengerti. Kalau nggak ada hal lain, aku tutup dulu.”

Zola bergegas menutup telepon. Dari awal hingga akhir tatapan Boris selalu tertuju padanya. Saat ini, dia melihat wajah Zola menjadi muram. Dia pun bertanya, “Zola, katakan padaku. Apa yang terjadi sampai buat kamu gelisah begini?”

Zola menggelengkan kepala, hatinya begitu kalut dan tersiksa. Apa gunanya memberitahu Boris? Lagi pula, mereka akan bercerai. Apakah Boris akan melanjutkan pernikahan ini demi anak?

Tidak, sekalipun Boris mau, Zola tidak akan mau. Zola merasa dirinya sudah cukup rendah. Dia tidak ingin mengikat pria itu dengan anak. Itu hanya akan membuat Zola kehilangan harga dirinya yang terakhir.

Zola berusaha menahan gejolak emosi di dalam hatinya, lalu berkata dengan tenang, “Nggak ada apa-apa, ada sedikit urusan di tempat kerja. Aku bisa selesaikan sendiri.”

Setelah mendengar ucapan Zola, Boris juga tidak membongkar keanehan pada Zola. Dia hanya menatap perempuan itu dengan acuh tak acuh.

Zola tersenyum kaku. Tiba-tiba dia teringat sesuatu, “Aku harus ke kantor sebentar. Kabari aku kalau kamu sudah pastikan waktu untuk proses prosedur perceraian kita.”

Usai berkata, Zola meninggalkan Bansan Mansion secepat mungkin bahkan tanpa menunggu jawaban pria itu. Pada detik kakinya keluar dari bangunan mewah itu, perasaan sedih menghantam hatinya seperti deburan ombak yang kuat.

Air mata yang sudah tertahan sedari tadi akhirnya jatuh dari matanya. Semua kejadian di masa lalu membuat hatinya begitu sakit hingga membuatnya terasa seperti tercekik. Sejak awal Boris jelas tidak berniat melanjutkan pernikahan mereka, tapi mengapa pria itu masih memperlakukannya dengan begitu baik? Boris bisa pergi dengan pikiran jernih, tapi bagaimana dengannya?

Zola mengangkat tangannya dan meletakkan di perutnya yang masih tampak datar, lalu bergumam dengan suara pelan, “Nak, kamu seharusnya nggak datang di saat seperti ini. Mama benar-benar nggak tahu harus berbuat apa.”

Kedatangan anak itu sungguh di luar dugaan. Semua gara-gara kejadian malam itu. Pria itu mabuk, dia memeluk Zola dan berulang kali membisikkan sebuah nama, Tyara ....

Zola menolak, tapi dia bukanlah tandingan seorang pria mabuk. Dia tak kuasa melawan. Setelah kejadian itu, Zola terlalu larut dalam rasa malu dan siksaan batin yang tak berkesudahan. Hingga akhirnya dia lupa minum obat.

***

Zola pergi ke perusahaan desain arsitektur yang dia dirikan bersama temannya yang bernama Mahendra. Baru-baru ini, ada masalah dengan sketsa desain. Seseorang melaporkannya dengan dugaan plagiarisme. Zola harus menangani masalah ini dengan baik. Kalau tidak, Zola tidak berani membayangkan konsekuensinya.

Begitu tiba di perusahaan, Mahendra melihat Zola lemas tidak bersemangat. Dia pun bertanya dengan cemas, “Ada apa denganmu, La?”

Zola menggelengkan kepala dan hanya berkata, “Nggak apa-apa.” Dia melihat jam dan bertanya, “Pihak Stonerise bilang apa?”

Stonerise Real Estate adalah perusahaan mitra di mana sketsa desain perusahaan Zola mengalami masalah.

“Mereka berharap kita dapat berikan penjelasan yang masuk akal. Kalau nggak, mereka akan ajukan tuntutan.”

“Kamu buat janji dengan mereka jam berapa? Bagaimana kalau kita pergi sekarang?”

“Oke.”

Mahendra mengangguk pelan, lalu berjalan keluar bersama Zola sambil mengobrol. Dia juga menyerahkan selembar kertas pada Zola dan berkata, “Ada yang tawari harga tinggi untuk minta kamu desain perhiasan berlian.”

Zola mengambil kertas itu dan melihatnya sekilas, lalu dia langsung menolak tanpa ragu-ragu, “Untuk sementara belum bisa. Tunggu aku selesai urus perceraianku dengan Boris.”

“Kamu cerai dengan Boris?”

“Hmm.”

“Dia yang minta cerai?”

Ada perasaan sedih terpancar di mata Zola. Dia menjawab dengan suara tenang, “Iya, orang yang disukainya sudah sadar. Boris mau nikahi dia.”

Mahendra mengerutkan kening, raut wajahnya tampak sangat serius. Namun, matanya penuh dengan rasa tidak tega melihat Zola sedih serta amarah terhadap Boris.

Mahendra berkata dengan suara pelan, “Zola, kenapa kamu harus lukai dirimu sendiri seperti ini? Setahun yang lalu kamu seharusnya nggak ....”
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Belgin Cia
bagus dan baguuuuuuuussss
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status