“Oh, kau baru selesai mandi?” ucap Diana ketika Luna membuka pintu dengan handuk yang masih melilit di tubuhnya.“Ya, ada apa, Bu?” tanya Luna sedikit gugup. Dia bahkan tidak membuka pintu dengan lebar dan hanya menampakkan sebagian tubuhnya. Jantung Luna berdetak lebih kencang. Meski Reno telah bersembunyi di balkon kamarnya, tetap saja dia takut ibunya curiga.“Ponsel Ibu sepertinya tertinggal di kamarmu saat kita berbicara tadi. Ibu ingin mengambilnya,” jawab Diana sambil melangkah masuk hingga dengan berat hati Luna mundur perlahan, membiarkan sang ibu menjelajah kamarnya.Mata Luna melirik ke arah balkon berpintu kaca yang gordennya tidak tertutup rapat. Disanalah Reno bersembunyi. Dalam hati Luna terus berdoa supaya Diana segera menemukan ponsel dan keluar dari kamarnya.Ketika langkah Diana yang tengah menyusuri sekitar ranjang semakin mendekat ke arah balkon, Luna segera bersuara, “Bu! Bagaimana jika aku menelponnya agar lebih cepat ketemu?”Diana berhenti dan menoleh ke arah
“Hei, apa kau baik-baik saja?” bisik Flora. Wanita itu keheranan melihat Luna yang sejak tadi terlihat tidak fokus. Bahkan sampai sekarang dia belum dapat mengartikan gambar yang sedang dilukis oleh Luna. Tidak biasanya dia tak semangat saat kelas melukis.Luna menoleh dengan senyum tipis. Dia ingin bercerita, tapi mungkin nanti saat kelas mereka selesai. Jadi, Luna hanya menggelengkan kepala dan kembali menatap lukisannya di kanvas.Astaga… Luna terkejut ketika menyadari gambar yang ia lukis tidak sesuai dengan tema. Percakapannya dengan Lucas di meja makan terus terngiang-ngiang di kepala. Emosi menguasai hati. Dan pikirannya sangat kacau sekarang.Hal itu diperparah dengan suara seseorang yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya. “Apa kau menemui kesulitan, Luna?”Tubuh Luna seketika menegang. ‘Matilah aku!’ ringisnya dalam hati.“Sepertinya tema yang diberikan tidak sulit, tapi lukisanmu tidak hidup sama sekali, tidak sesuai dengan temanya.”Luna menoleh dengan senyuman bodoh,
“Terimakasih banyak sudah mengundangku ke pembukaan galerimu, Brian. Kau benar-benar luar biasa dan banyak sekali ilmu yang aku dapatkan malam ini. Aku tidak tahu bagaimana cara membalas kebaikanmu.”Luna tersenyum tulus pada Brian yang berjalan beriringan di sampingnya. “Mungkin kau bisa mentraktirku makan malam lain waktu?” sahut Brian menyeringai.“Tentu saja,” jawab Luna terkekeh.“Kalau begitu, ayo aku antar pulang. Ini sudah larut. Biar aku mengantarmu, dimana rumahmu?”Mendapat tawaran itu, Luna merasa segan. Dia tidak ingin lebih membebani Brian. Jadi, Luna berniat menolak, dia bisa pulang dengan taksi. Namun, Brian memaksa yang membuat Luna tidak memiliki pilihan lain, hingga 30 menit kemudian, mobil Brian berhenti di depan rumah besar Lucas.“Brian, sekali lagi terimakasih untuk semuanya. Kau bahkan mengantarku pulang. Aku benar-benar senang bisa melihat galerimu. Aku berjanji akan mentraktirmu lain waktu,” ujar Luna sambil melepas sabuk pengamannya.“Santai, Luna. Aku juga
“Ada yang ingin aku sampaikan Bu, Ayah.” Suara Reno memecahkan keheningan di meja makan pagi itu. Membuat Diana, Lucas, dan Luna menoleh ke arahnya. “Luna akan ikut denganku ke Italy sore nanti.”Hati Luna yang kemarin berantakan seketika berbunga mendengar ucapan Reno. Pria itu menepati ucapannya semalam jika dia akan membawa Luna ke Italy. Membuat Luna begitu bahagia, matanya berbinar menatap Reno. “Apa?” Diana terkejut mendengar ucapan Reno. “Kenapa mendadak sekali? Dan kenapa Luna harus ikut?”Lucas menggelengkan kepala. “Jangan bercanda, Reno. Kau kesana bukan untuk liburan, tapi untuk bekerja.” Pria paruh baya itu dengan terus terang menolak.“Bu, Ayah… tolong izinkan aku ikut dengan Kakak ke Italy,” rengek Luna dengan tatapan memohon.“Luna ingin mengunjungi Galeri Uffizi di Firenze, lokasinya tidak jauh dari tempat kami menginap,” sahut Reno. Dia tidak berbohong soal itu. Selain tidak ingin meninggalkan Luna dan pergi berdua dengan Jessie, Reno juga ingin membawa Luna mengunj
“Ahh! Reno…”Desahan bersahut-sahutan bergema di kamar itu, seolah tak pernah puas, Reno terus ‘menghajar’ Luna lagi dan lagi. Tak peduli cakaran atau kuku Luna yang menancap di kulit, pria itu tetap bersemangat mencari kepuasan dan melepas dahaganya. “Kau sangat nikmat, Sayang.” Erangan Reno terdengar setelah dia menumpahkan cairan cintanya dalam tubuh Luna sepenuhnya. Dia terlalu terangsang untuk memikirkan pengaman dan terlalu menikmati untuk mengeluarkan diluar.Reno kembali mendaratkan ciumannya di leher jenjang wanita itu, sementara Luna membiarkan Reno menjelajah dan memberi banyak tanda merah di sana. Namun, tak lama dia merasakan kejantanan Reno kembali mengeras, menekan keras, dan meminta lebih. “Kau…” Luna terengah. Tak menyangka Reno benar-benar memberinya pelajaran. Setelah membuatnya sangat kelelahan, pria itu bahkan masih menginginkannya lagi.“Ada apa, Sayang?” tanya Reno sama terengahnya dengan Luna.“Reno, apa kau belum selesai?” lirih Luna. Sungguh ia sangat kelel
“Kenapa adikmu tidak ikut makan malam dengan kita?” tanya Jessie. “Dia kelelahan,” jawab Reno dengan singkat.Jessie menaikkan sebelah alisnya. Kelelahan? Apa yang membuat Luna sebegitu lelahnya? Mereka tiba saat hari masih pagi, banyak waktu beristirahat sebelum makan malam, tapi wanita itu kelelahan? Sebenarnya Jessie tak peduli Luna kelelahan atau pingsan sekalipun, dia hanya berbasa-basi menanyakan calon adik iparnya itu agar terlihat baik di depan Reno dan di dalam hati dia senang memiliki waktu berdua dengan Reno setelah meeting mereka selesai, tapi entah kenapa setelah melihat tanda merah di leher Reno tadi ia jadi sedikit overthinking. Reno memang telah memakai turtle neck di balik jasnya untuk menutupi tanda merah itu, tapi Jessie telah melihat sebelumnya dan menutupi tanda itu semakin membuatnya curiga. “Oh, sayang sekali. Padahal aku berharap bisa bicara banyak dengannya. Besok kita agak sibuk.”Reno tidak memperdulikan ucapan Jessie, pria itu tengah melihat daftar menu
Luna memutus panggilan teleponnya setelah mendengar suara menjijikan itu. Dia mendengar percakapan di ujung telepon dan sangat sulit untuknya tidak salah paham dengan apa yang ia dengar, meski logikanya tidak mempercayai Reno melakukan hal itu dengan Jessie. Reno tidak mungkin mengkhianatinya, tapi kenapa suara mereka seperti itu? Apa yang mereka lakukan berdua? “Tidak mungkin… Reno hanya mencintaiku,” gumam Luna menggelengkan kepala, berusaha mengenyahkan semua pikiran buruk yang tengah mendera di kepalanya. “Aku akan menunggu, Reno. Dia tidak mungkin melakukan itu. Dia pasti datang padaku, dia sudah janji….”Malam itu Luna menunggu… dia terus menatap ke arah pintu dan ponselnya menanti kedatangan Reno atau sekedar pesan untuk mengabarinya. Wanita itu bahkan tak bisa memejamkan mata atau beristirahat dengan tenang.Matanya kembali menatap ponsel, jam di ponselnya sudah menunjukkan pukul tiga dini hari dan Reno sama sekali tidak datang atau memberinya kabar. Mata Luna berkaca-kaca,
“Sayang…”Reno merasa hatinya sangat terpukul saat melihat Luna menangis. Dia tak menyangka jika telah begitu menyakiti hati kekasihnya. Dia segera merengkuh pinggang dan mengecup kening Luna. “Astaga… maafkan aku.” Tangannya mengusap pipi Luna, menghapus air mata di sana. “Maafkan aku telah membuatmu menangis. Aku salah karena tidak mengabarimu dan membiarkanmu salah paham padaku.”“Ya, dan kau sangat brengsek! Kau datang ke kamarku, tapi yang kau lakukan adalah memeriksa ponselku dan marah-marah padaku. Aku saja tidak pernah memeriksa ponselmu!” lirih Luna masih terisak. “Ah, kau mau memeriksa ponselku? Periksa saja.” Reno menyodorkan ponselnya pada Luna. “Aku memang selalu menerima pesan dari Jessie. Tapi, tidak ada satupun yang kubalas. Satu-satunya pesan yang aku balas hanya dari Sera, sekretarisku, itupun soal pekerjaan. Bukalah.” Tantang Reno yang sedikit tak menerima jika Luna mempermasalahkan pemeriksaan ponselnya. Bagi Reno sebagai pasangan seharusnya tidak saling menutupi