Tidak ada yang tahu kapan datangnya musibah. Begitu pun dengan kecelakaan yang baru mereka lewati berdua. Reno terus berusaha menguatkan diri. Dia tidak boleh terlihat lemah di depan Luna, atau wanita itu akan jauh lebih lemah darinya dan tidak punya tempat bersandar. Namun, gerakan cepat saat Luna mencabut pecahan kaca di pipinya membuat Reno seketika mengerang kesakitan. “ARGHHH …” Erangan Reno membuat Luna refleks mendekatkan wajah dan meniup pipi Reno yang terluka. Dan detik itu juga erangan Reno berhenti. Wajah yang hanya berjarak beberapa centi dan tiupan hangat Luna di pipinya membuat Reno seketika terdiam. Beberapa detik mata mereka bertatapan. Sama-sama merasakan getaran lain di hati. Getaran yang dulu selalu mereka ciptakan dalam momen-momen indah yang mereka lalui berdua. “M-maafkan aku, Reno.” Luna memutus tatapan mereka dan menjauhkan wajahnya. Lalu kembali mengeluarkan beberapa pecahan kaca kecil yang dia temukan di sekitar pipi bagian kanan Reno.“Emm … sekarang ak
“Sshhttt … aw …”Luna tidak berhenti meringis sejak tadi. Akibat gengsinya yang terlalu tinggi dan tak mau menerima uluran tangan Reno, kaki Luna tidak sengaja terkilir saat berjalan. Jalan hutan yang curam membuat langkahnya tidak seimbang dan akhirnya kaki sebelah kiri Luna yang menjadi korbannya. “Apa kau bisa berdiri?” tanya Reno dengan khawatir. “Kakiku sakit sekali.” Luna mengeluh kesakitan dan Reno tak punya pilihan selain menggendong tubuh Luna. “Ayo, naik ke punggungku,” ucap Reno sambil berjongkok memunggungi Luna. “T-tapi lenganmu?”Reno menghela napas kasar. “Cepatlah naik, lebih baik kita kembali ke mobil sebelum hari mulai gelap.”Tak memiliki pilihan lain membuat Luna menerima tawaran Reno dan kini ia berada di atas punggung pria itu. “Kenapa kita kembali?” tanya Luna ketika Reno berbalik arah. Tidak menuju ujung tebing lagi. “Kita tidak bisa memanjat tebing dalam keadaan seperti ini, Luna. Kakimu terkilir, dan kondisiku juga tidak sefit itu untuk memanjat tebing
Hari telah beranjak malam. Beruntung dingin yang kian menusuk kulit sedikit terhalau dengan hangatnya api. Reno menatap pancaran wajah cantik Luna yang diterangi api unggun di hadapannya. “Maaf, aku janji besok akan mendapatkan ikan lebih banyak untuk kita makan,” ujar Reno, sedikit merasa bersalah karena Luna terlihat sangat lapar dan dia hanya bisa menangkap satu ekor ikan untuk mereka makan berdua. “Tidak apa, tubuhmu masih lemas. Setidaknya perut kita tidak kosong lagi.” Luna mengangguk, lalu dia menguap. “Sepertinya kita harus tidur karena aku merasa lelah dan seluruh tubuhku benar-benar sakit.”“Ya, aku juga merasakannya … kita memang perlu tidur. Aku sudah menyiapkan beberapa lembar daun besar di atas rumput. Tidak empuk, tapi semoga saja kita bisa tidur,” ujar Reno. Reno kemudian berbaring lebih dulu di atas rerumputan yang telah ia lapis daun pisang yang ditumpuk menjadi lebih lebar dan tebal.Kemudian dia mengambil
Luna hampir frustasi karena tak kunjung melihat Reno, dia ingin menyusuri hutan untuk menemukan Reno, tapi ia takut kemungkinan dia pun akan ikut menghilang karena tersesat di hutan. Luna benar-benar tidak ingin hal buruk terjadi pada Reno karena ia yakin tanpa Reno, dia tidak akan bisa bertahan di sana sendirian. Namun, jantung Luna yang sejak tadi berdegup kencang itu seketika berhenti berdetak saat ia mendengar langkah kaki di belakang. Luna dengan cepat berbalik dan detik itu dia langsung berhadapan dengan Reno. Tangisan Luna pecah saat itu juga bersamaan dengan perasaannya yang begitu lega melihat Reno kembali dalam keadaan hidup. “Hei, kenapa kau menangis? Apa kau mencariku?” Reno terkejut saat melihat Luna menangis histeris dan lebih terkejut lagi ketika dalam hitungan detik Luna memeluk tubuhnya dengan sangat erat. “Kau benar-benar gila, Reno! Kau membuatku ketakutan setengah mati!” Kening Reno mengernyit. “Ketakutan karena apa?” Dia juga memeluk Luna, berusaha memenangk
“Jadi, Ibu akan menikah lagi?” Luna menatap Ibunya dengan gembira. Akhirnya setelah sekian lama sang ibu membuka hatinya pada seorang pria. Meski gadis berusia 20 tahun itu sedikit terkejut mendengarnya. “Iya, Luna. Ibu akhirnya menemukan sosok yang sangat baik, kami memang baru berkenalan enam bulan, tapi kami merasa sangat cocok. Dia sangat pengertian dan mengerti kondisi Ibu. Maaf Ibu baru bilang padamu sekarang. Itulah kenapa Ibu mengajakmu untuk bertemu dan berkenalan dengannya malam ini,” jelas Diana, Ibu Luna yang telah berusia 42 tahun. Senyum dibibir Luna perlahan memudar. “Malam ini? Kenapa sangat tiba-tiba, Bu? Aku sudah ada janji dengan seseorang.” “Ohh… sorry, Sweety. Ibu tidak tahu kalau kau sudah ada janji. Apakah itu dengan pria yang kemarin kau ceritakan?” Luna tak kuasa menahan senyumnya mengingat pria yang satu bulan lalu baru dikenalnya. Gadis itu belum pernah jatuh cinta sebelumnya, jadi ini adalah pengalaman pertama. Luna mengangguk pelan, pipinya bersem
Senyuman di bibir Luna lenyap seketika saat ia melihat Reno yang berdiri tak jauh dari tempatnya duduk. Pria itu berhenti melangkah beberapa meter, tampak sama terkejutnya dengan Luna. ‘Luna? Kenapa dia ada di sini?’ Tersadar. Reno kembali mendekat. Luna semakin yakin pria itu adalah Reno yang sama, Reno yang beberapa waktu ini mengisi hatinya. Reno yang begitu dia sukai, Reno yang telah membatalkan janji temu mereka malam ini. Tapi, siapa sangka mereka akan tetap bertemu dalam situasi yang berbeda? Dan Luna jadi tahu alasan mengapa Reno membatalkan makan malam mereka. Semuanya berdiri menyambut kedatangan Reno yang tampak rapi dengan setelan jas berwarna abu. “Reno, kenalkan ini Diana dan putrinya, Luna.” Suara Lucas menyadarkan Luna dan Reno. Pria berusia 24 tahun itu menatap antara ayahnya, Diana, kemudian Luna. Dengan mudah dia memahami situasi yang ada. “Moreno Peterson.” Reno lantas memaksakan senyum dan mengulurkan tangan pada Diana, setelah itu pada… gadis cantik yang
Dengan setengah hati dan memaksakan senyum, akhirnya Luna berkata, “Jika Ibu dan Paman merasa ini yang terbaik, maka lakukanlah. Aku setuju jika Ibuku bahagia.” Luna menatap dalam mata Diana yang telah digenangi air mata, terharu setelah mendengar perkataannya. Sementara Reno, rahangnya mengeras mendengar ucapan pasrah Luna barusan. Lucas tersenyum senang. “Terimakasih, Luna. Aku ingin menikahi Ibumu memang untuk membuatnya terus bahagia. Kau tidak perlu khawatir.” “Bagaimana denganmu, Reno? Apa kau baik-baik saja dengan itu? Sungguh, aku tidak ingin memaksa kalian,” tanya Diana menatap Reno yang sejak tadi menatap ke arahnya, lebih tepatnya ke arah Luna yang berada di samping Diana. Reno menatap bergantian pada Lucas, Diana, dan Luna yang tersenyum menunggu jawabannya. Bagaimana gadis itu bisa tersenyum sekarang? Reno sama sekali tidak mengerti apa yang ada di otak cantik Luna. Benar-benar membuatnya muak. “Jika itu keputusannya, aku hanya bisa mendukung,” jawab Reno berusah
Ekspresi bahagia terpancar di wajah Diana dan Lucas. Sementara itu Luna duduk tidak jauh dari pelaminan, menatap sang ibu yang kini menggandeng tangan suami barunya. “Kau baik-baik saja?” bisik Flora, sahabat Luna yang terus merangkul lengan Luna dan berada di sampingnya. Luna menoleh dan tersenyum tipis. “Ya, tentu saja.” Dia terlihat sangat baik diluar, tapi hancur di dalam. Flora tahu soal itu. Hubungan rumit sekaligus takdir tragis yang dialami Luna. Dalam sebulan lebih ini selain ibunya, Flora adalah tempat Luna mencurahkan segala isi hatinya, terlebih setelah malam pertemuan itu, hanya Flora yang bisa menjadi pendengar setia Luna. Akhirnya hari yang sangat tidak diinginkan Luna datang. Ibunya telah resmi menikah dengan Lucas dan dia telah resmi menjadi adik Reno. Bukan berarti Luna tidak bisa ikut bahagia dengan pernikahan ibunya. Tapi, harusnya bukan Reno yang menjadi kakaknya, karena pria itu seharusnya menjadi kekasihnya. Luna kembali menundukkan kepala saat mat